Prakas keluar dari ruangannya melewati Niko dan sekretarisnya yang bersiap untuk pulang. Saat Niko mendapati Prakas di sana, dia langsung buru-buru mengejarnya.
“Prakas! Tunggu!” teriak Niko.
Langkah Prakas terhenti, dia menoleh kesal pada Niko. “Jangan panggil gue dengan nama kalo lagi berada di depan karyawan-karyawan gue,” protesnya.
“Emang kenapa? Lo kan temen gue?”
Prakas melotot padanya, “Lo mau gue pecat?”
Niko ciut, “Yaudah, Bapak Prakas yang terhormat.”
Prakas tersenyum lalu melangkah meninggalkannya. Niko mengejarnya. “Eh, pertanyaan gue tadi belum dijawab, Pak Prakas! Tunggu!”
“Gue mau ketemu Miona,” jawab Prakas sambil berjalan menuju lift.
Kini Niko sudah berjalan sejajar dengannya, “Ikut,dong!”
Langkah Prakas terhenti. Dia teringat kalau Miona akan mengajak asistennya. Mungkin itu ide terbaik untuk membawa Niko k
Prameswari melangkahkan kakinya memasuki ruangan keluarga rumah Pak Widodo yang luas itu. Sejak menikah dengan Papahnya Prakas, dia tak pernah lagi berkunjung ke sana. Pak Widodo tersenyum mendapati mantan istrinya itu datang tanpa diundang. Dia menyambut kedatangannya penuh hangat.“Ada angin apa kamu bisa datang kemari tanpa ngasih kabar?” tanya Pak Widodo dengan heran.Prameswari duduk di sofa sambil meletakkan tas jinjingnya di sebelahnya. “Usaha kedua sedang kulakukan, aku berharap ini akan berhasil,” ucap Prameswari dengan penuh keyakinan.Pak Widodo tertawa. “Memangnya usaha seperti apa? Padahal aku udah bilang tunggu saja solusi dariku,” ucap Pak Widodo dengan penasaran.“Aku menemukan sesuatu yang bisa melemahkan Prakas. Aku tidak menyangka kalau selama ini anak itu doyan dengan pelacur. Dan ternyata, anak yang pernah dikencaninya itu adalah anak dari almarhum Pak Imam yang setia dengan ayahnya Prakas sel
Maryam duduk dengan bimbang di sofa ruang keluarga. Lampu di ruangan itu tampak redup. Tangannya gemetar meraih handphone di atas meja. Sebuah kartu nama yang diberikan Prameswari masih tergeletak di sana. Dia masih ragu apakah harus menelepon seorang mucikari yang disebut Prameswari sebagai penyalur Miona menjual dirinya pada Prakas selama ini. Dia masih tak sanggup jika semua yang dikatakan Prameswari benar adanya. Tak lama kemudian, demi rasa penasarannya yang membuncah, akhirnya Maryam memencet nomor teleponnya. “Halo,” ucap seseorang di sana. Maryam gemetar mendengarnya. Dia bingung harus memulai pertanyaannya dari mana. “Halo?” sapa seseorang sekali lagi di seberang sana. “Iya, halo,” ucap Maryam kemudian. “Ini siapa?” tanya seseorang di seberang sana. “Saya… saya asisten seorang tuan muda. Dia meminta saya untuk menanyakan apakah Miona malam ini bisa dipesan?” tanya Maryam gugup. Hanya dengan cara itu dia bisa langsung ke intiny
Pagi sekali, Miona dan Siska sudah tiba di lokasi shooting. Para crew terlihat sedang sibuk menyiapkan segala peralatan untuk shooting. Saat mereka berdua hendak menuju ruangan para talent, Bintang tiba-tiba berdiri menunggu mereka di depan ruangan itu. Miona dan Siska terhenti melangkah dengan heran.“Aku pengen ngomong sesuatu ke kamu,” pinta Bintang.“Mau ngomong apa? Langsung aja. Aku harus ganti baju karena jadwalnya aku shooting paling awal,” ucap Miona.“Nggak bisa di sini,” sahut Bintang.Miona heran, “Mau ngomong di mana?”“Ikut aku,” ucap Bintang.“Aku juga harus ikut,” celetuk Siska.Bintang menoleh ke Siska agak kesal. “Kamu nggak boleh ikut. Kamu tunggu aja di ruangan talent,” tegas Bintang.“Nggak! Aku harus ikut! Nanti kalo kamu jahatin Miona lagi siapa yang bela?” tegas Siska.Miona langsung menoleh pada Siska,
Maryam membuka pintu. Dia heran melihat wajah anaknya tampak sedih begitu.“Kamu baik-baik aja kan?” tanya Maryam pada Miona yang baru datang.“Aku baik-baik aja, Bu,” jawab Miona.Maryam tenang mendengarnya. Dia pun masih tak berani untuk menanyakan kebenaran tentang apa yang berhasil diselidikinya mengenai anak gadisnya itu. Maryam masih bingung harus bersikap bagaimana. Dia sama sekali tak bisa marah padanya.“Kamu sudah makan? Kalo belum biar ibu siapin,” tawar Maryam.“Aku udah makan, Bu. Siska mana?” tanya Miona.“Siska tadi barusan aja masuk ke kamarnya,” ucap Maryam.“Yaudah, aku ke kamar dulu ya, Bu?” pamit Miona.Maryam mengangguk. Miona lalu berjalan menuju kamarnya. Maryam memperhatikan punggungnya dengan bingung. Sesampainya Miona di kamarnya, dia langsung duduk di tepi kasur. Matanya kembali berair. Dia tak percaya hubungannya dengan Prakas ak
Pagi itu, Bintang hendak pergi ke lokasi shooting. Tiba-tiba bel di apartemennya berbunyi. Dia buru-buru berjalan ke arah pintu. Bintang terkejut ketika mendapati Prameswari sudah berdiri di ambang pintu.“Tante?” ucap Bintang dengan heran.Parmeswari tersenyum padanya lalu berjalan masuk. Bintang buru-buru membuka pintu lalu menyusul Prameswari yang sudah duduk di sofa dengan santainya.“Tumben Tante pagi-pagi ke sini?” tanya Bintang sambil duduk di sofa menghadapnya. Dia benar-benar heran padanya.“Aku pengen mampir aja. Ternyata apartemenmu ini satu gedung dengan sahabat lamaku,” ucap Prameswari berbohong padanya.“Oh, begitu,” sahut Bintang.“Kamu sama Prakas gimana?” tanya Prameswari.“Baik-baik aja, Tante,” jawab Bintang.Prameswari mengernyit heran. Dia bingung kenapa Bintang seperti tidak marah pada Prakas. Padahal dia sudah mengirimkan video itu ag
Bintang langsung berjalan menuju mobilnya dengan kesal dan sedih. Dia tak percaya mendengarkan semua pengakuan Prakas padanya. Dia tak percaya Prakas sudah membohonginya. Miona mengejarnya dengan ketakutan. Dia khawatir gadis itu akan menyebarkan videonya bersama Prakas yang menjadi ancamannya selama ini.“Bintang, ini diluar kendali aku! Dengerin aku dulu, Bingang!” teriak Miona mengejarnya.Bintang cuek lalu masuk ke dalam mobilnya dengan menutup pintu mobil begitu kencangnya. Bintang kemudian pergi dari sana dengan mobilnya.“Bintang! Bintaaang!” teriak Miona kesal.Prakas heran melihat aksi Miona. Sesaat dia curiga bahwa yang memintanya melakukan itu adalah Bintang. Miona berjalan ke arah Prakas dengan kesal.“Bintang punya video kita berdua di hotel waktu itu,” ucap Miona dengan air mata yang mulai menjatuhi pipinya.Prakas terbelalak mendengarnya. “Maksud kamu?”“Dia punya re
Miona dan Siska terduduk lesu di lokasi shooting. Shooting ditunda akibat Bintang tidak ada di sana. Di ruangan yang lain, terdengar suara Mahendra marah-marah pada crew. Miona heran, padahal Bintang yang salah, malah crew yang dimarahinya.“Apa kita pulang aja?” tanya Miona pada Siska.“Jangan dulu. Lo nggak liat Pak Mahendra marah-marah begitu? Nanti lo juga kena kalo ikutan kabur kayak Bintang,” ucap Siska.“Abisnya mau sampai kapan kita nunggu Bintang. Dia nggak bakal balik ke sini,” ucap Miona.“Gimana pun lo harus tunjukin profesionalitas! Lo nggak inget gimana susahnya kita dulu? Harus kerja di café, disuruh-suruh orang, diomelin orang? Sekarang hidup lo udah enak! Lo harus bersyukur,” ucap Siska.Miona akhirnya mengangguk. Dia memang senang berada di posisi sekarang. Tapi gimana pun juga ada hal yang paling menakutkan di hadapannya kelak. Miona berpikir bagaimana jika Bintang nekad meny
Prakas berdiri menghadap kaca ruangan kantornya yang menghamparkan pemandangan suasana kota Jakarta di malam hari. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahayanya. Lelaki itu menarik napas berat. Dia sudah nekat melakukan konfrensi pers ke pihak wartawan. Dia sudah tidak ingin bermain-main dengan ancaman dan perjanjian itu lagi. Dia juga tidak peduli dengan ancaman video rekamannya bersama Miona akan tersebar luas ke luar sana. Dia sudah siap menerima itu semua. Sekarang yang harus dia lakukan adalah menguatkan Miona untuk menghadapinya bersama-sama jika hal buruk benar-benar terjadi.Prakas meraih handponenya lalu menghubungi Miona. Tak lama kemudian Miona mengangkat teleponnya.“Halo,” sapa Miona dengan suara lemah di seberang sana.“Aku minta maaf,” ucap Prakas dengan tulus.“Minta maaf soal apa?” tanya Miona dengan heran.“Kamu pasti tahu soal konfrensi pers yang tadi aku lakukan sama wartawan,” jawab Prakas.“Kamu nggak perlu minta maaf ke aku soal itu. Itu udah jadi hak kamu