GEMERCIK air terdengar dibalik sebuah pintu. Tak lama kemudian muncullah sosok dari dalam, Dicky yang bertelanjang dada dan hanya berbalut celana boxer, tengah mengusap-usap rambutnya yang basah. Memperlihatkan lekuk badan yang atletis dengan perut kotak-kotaknya. Sungguh, siapapun gadis yang melihatnya dalam keadaan seperti ini, pasti akan menganga lebar dan menahan napas.
Dengan bibir yang asik bersiul, Dicky berjalan kearah cermin yang berada di satu sudut dinding kamarnya. Cowok itu menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. Sedangkan di depan rumahnya, Adelia baru saja datang dengan membawa sebuah tempat makanan berbentuk lingkaran dan Renata yang membukakan pintu.
"Adelia? Ayo masuk," perempuan paruh baya itu menarik tangan Adelia supaya mengikutinya ke dalam rumah.
Gadis itu tersenyum ramah, "Iya tante," jawabnya.
Mereka berjalan masuk sampai di ruang keluarga. Hendrawa
MENANGIS karena seorang cowok adalah hal paling bodoh untuk dilakukan seorang cewek. Adelia sangat sependapat dengan itu. Apalagi setelah Friska bercerita kepadanya soal gadis itu yang semalaman harus begadang karena tidak bisa tidur, karena cairan bening terus saja menetes dari pelupuk matanya mengingat Dimas-cowoknya-yang tiba-tiba saja memutuskan hubungan mereka tanpa sebab, ditambah lagi hal itu dilakukan lewat sambungan telefon. Benar-benar membuat tanda tanya besar di kepala."Udahlah Friska, nangisin cowok tuh nggak ada gunanya tau nggak, cuma bakal nguras fikiran lo aja! Lagian, dunia ini nggak selebar daun kelor keules, cowok yang lebih baik dari Dimas itu banyak! Lo pernah berfikir nggak sih, air mata lo tuh terlalu berharga untuk dibuang cuma karena satu cowok! Duh~ please deh ya, kantung mata lo udah tebel tau sekarang, jadi kayak mata panda deh! Nih minum,"Adelia berusaha memberikan nasihat kepada sahabatnya itu supaya tidak te
SUDAH menjadi takdir kalau manusia diciptakan dengan berpasang-pasangan. Tak ada yang tahu, siapa yang akan menjadi jodoh kita selain Tuhan. Semua itu rahasia. Tuhan juga hanya sebatas mempertemukan, tidak mempersatukan. Namun, Adelia sempat bingung, untuk apa dua orang manusia yang sebelumnya tidak saling mengenal, itu dipertemukan jika mereka saja tidak dapat bersatu. Karena Adelia tidak mungkin merusak persahabatannya dengan Dicky hanya karena ke-egois-an-nya. Apakah mereka ditakdirkan bertemu hanya sebagai sepasang sahabat? Tak bolehkah jika lebih dari itu? Entahlah. Tapi yang pasti, Adelia masih ingat, 10 tahun yang lalu-tepatnya saat ia masih berusia 6 tahun, untuk yang pertama kalinya, ia bertemu dengan Dicky.--Flashback On--Sore itu, matahari sudah terlihat sedikit condong kearah barat tetapi sekumpulan anak kecil terlihat masih begitu asik dan bersemangat saling mengoper bola sepak dari kaki satu ke kaki yang lain di sebuah lapang
SABTU malam atau biasa juga disebut malam Minggu adalah surganya bagi para remaja. Biasanya, sebagian besar remaja akan menghabiskan waktu mereka untuk jalan-jalan bareng sama pacar-bagi yang punya-atau sekedar berkumpul bersama teman di satu tempat, nongkrong bareng sambil minum kopi, ketawa-ketiwi, dan bercanda gurau. Untuk Dicky, malam ini adalah malam minggu pertamanya di Indonesia. Setelah selesai shalat Isya, pemuda itu langsung mendudukkan pantatnya di tempat tidurnya. Tak tahu apa yang akan ia lakukan-kalau belajar rasanya kurang seru-Dicky memutar kepala kearah balkon kamarnya yang masih terbuka, dimana berhadapan langsung dengan balkon kamar Adelia."Kenapa tuh cewek jadi makin deket aja ya sama anak kelas 10 itu? Mana tadi pake acara makan bareng lagi, untung gue lagi ada disana, jadi mereka nggak berduaan deh!" gerutu Dicky. "Walaupun gue juga tau sih kalo Adel bersikap biasa-biasa aja,"Dicky menghela
PANDANGAN Dicky menatap fokus ke depan, kearah dimana terdapat sebuah botol kaca. Sedangkan di tangannya, ia menggenggam sebuah benda yang berbentuk gelang. Tak lama, Dicky langsung melemparnya kearah botol itu dan .. masih meleset, belum jatuh tepat disana. Pemuda itu menghela nafas. Ia belum putus asa."Gue pasti bisa!" gumamnya sembari mengambil gelang di depannya lagi dan melemparnya kearah botol itu berdiri. Berkali-kali ia gagal dan mencoba lagi.Ya! Permainan itu! Entah apa namanya, tetapi yang pasti itu berhadiah. Setiap pengunjung yang ingin mencoba, akan dibekali benda berbentuk gelang yang berjumlah 10. Dan barangsiapa yang bisa memasukkan gelang itu kedalam botol-minimal 3 buah, maka akan mendapatkan hadiah. Deretan boneka pun terpampang manis di samping si laki-laki penjaga tenda itu, pemenang boleh memilih salah satu dan itu gratis. Karena pembayaran hanya dilakukan di awal, sebelum bermain.
SALAH satu hal yang paling jarang-bahkan tidak pernah, dilakukan oleh seorang Adelia adalah memasak. Oleh karena itu, Marissa memaksanya untuk belajar supaya gadis itu menjadi perempuan yang benar-benar perempuan. Namun, sedari tadi gadis itu hanya menekuk wajahnya sembari memotong wortel dengan asal-asalan. Sehingga potongan wortel yang dihasilkan pun ada berbagai macam ukuran dan bentuk, ada yang besar, ada yang kecil, ada yang segitiga, dan ada pula yang kotak.Tak~Tak~Tak~Suara pisau dengan papan begitu mendominasi dapur itu. Sementara Adelia memotong wortel, Marissa sibuk menggoreng ayam. "Aduh, kamu salah motongnya, Del! Jangan gede-gede gitu, tipis-tipis aja, kamu gimana sih?" omel wanita itu saat memperhatikan kerja anak gadisnya yang ternyata diluar ekspektasi."Yang penting kan dipotong ma? Biar kenyang kan kalo gede-gede gini!" ujar Adelia masih dengan aktivitas mem
DERAP langkah kaki Adelia tampak menyusuri lorong-lorong koridor yang masih sepi, baru beberapa saja yang datang karena hari masih terlalu pagi. Ya! Karena ini hari Senin dan ia tidak mau terlambat upacara. Namun, langkahnya terlihat santai dan tidak begitu semangat. Pandangannya pun kosong, sepertinya suasana hati sedang tidak secerah matahari pagi. Berkali-kali Adelia menghela nafas dan mengeratkan pegangannya pada tali tas ranselnya.Arahnya berjalan pun tidak menuju ke kelasnya, namun ke tempat lain. Hingga tak lama, gadis itu sampai di sebuah taman yang lumayan luas dan letaknya berada di belakang sekolah, yang notabenenya jarang dikunjungi oleh murid-murid. Rerumputan hijau tampak berembun, udara masih segar. Adelia segera berjalan menuju sebuah kursi panjang yang ada disana."Aduh~ Kenapa masih sakit aja sih, udah diobatin juga tadi malem!" gadis itu mendudukkan pantatnya disana. Jari-jari tangannya meraba bagian sudut bibir yan
LANGIT sudah benar-benar gelap. Dicky berkali-kali menelfon Adelia namun yang ia dapatkan hanyalah suara mbak-mbak operator yang mengatakan bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Sedari tadi Dicky juga hanya berjalan mondar-mandir di balkon kamarnya. Ia merasakan hatinya tidak tenang. Cemas dan khwatir amat berkecamuk dalam dirinya karena gadis itu belum juga menampakkan batang hidungnya sampai saat ini."Adel kemana sih? Udah jam segini kok nggak pulang-pulang?" pemuda itu bergumam seraya melirik arloji dalam pergelangan tangannya. "Apa gue cek ke sekolah aja kalik ya?" fikirnya.Karena tidak ingin terjadi apa-apa, Dicky akhirnya memutuskan untuk mencarinya di sekolah. Ia berjalan cepat menuju garasi untuk mengeluarkan mobil dan segera meluncur keluar meninggalkan rumahnya, juga rumah Adelia, yang begitu sepi itu. Ya! Pasalnya, orangtua mereka dengan kompaknya pergi ke luar negeri tanpa sepengetahuan Dicky
"Kriinggg ..''BEL masuk khas GHS baru saja dibunyikan oleh seorang security di ruang TU, getaran suaranya pun merambat hingga terdengar ke seluruh penjuru sekolah itu. Terlihat murid-murid dari berbagai angkatan mulai berbondong-bondong memasuki kelas masing-masing, termasuk Adelia, Friska, dan Dicky. Entah, setelah mengetahui kenyataan kalau ternyata Dimas memiliki hubungan khusus dengan Raisha-terbukti saat cowok itu menjemputnya tempo hari, kini Friska lebih sering berangkat siang.Di bangku paling belakang dan deretan ke 3 dari barat, Adelia mendudukkan pantatnya di tempat duduk yang berada disana, diikuti Friska di sampingnya sementara Dicky duduk di bangku sebelah mereka."Hhh .. Kalian makin hari makin lengket aja deh gue liat-liat! Udah kayak perangko aja! Bikin gue iri tau nggak!" celetuk Friska sambil menghempaskan tas selempangnya di atas meja.Mendengar itu, membuat Dicky dan Adeli
SATU hal yang tidak pernah terlintas dalam benak Adelia selama ini, yaitu kenyataan bahwa Raisha ternyata bermuka dua alias musuh dalam selimut. Setelah benar-benar mendengarkan cerita Friska kemarin di telfon, emosi cewek itu benar-benar tersulut dan terbakar. Benar-benar tidak habis fikir dengan ke-kejam-an Raisha-plus Cherry and the gank, memutus rem motornya. Masih untung ia bisa selamat, kalau tidak? Memangnya Raisha mau mengganti dengan nyawanya? Itu jelas tidak mungkin.Dan hari ini, gadis itu sudah bertekad akan melabraknya. Walaupun Dicky pula sudah berkali-kali memberinya nasihat untuk tidak terlalu emosi, tapi tetap saja, Adelia tetap Adelia, Adelia yang frontal, brutal, bar-bar, tidak takut dengan apapun, tidak ingin ditindas, atau apalah itu. Karena gadis itu juga tidak mungkin bisa diam saja, seakan-akan tidak terjadi apa-apa sementara dalam emosi dalam dirinya terus bergejolak.Karena masalah ini juga sudah kelewatan. Memutus
BEBERAPA kali Dicky mengetuk-ketukkan jari tangannya di atas meja. Terhitung sejak istirahat pertama yang telah usai beberapa menit yang lalu kemudian disusul pelajaran berikutnya yang juga telah berlangsung beberapa menit, Adelia tak kunjung menampakkan batang hidungnya di kelas. Hingga kini terketuklah pintu hati pemuda itu untuk angkat pantat dari kursinya dan ijin keluar kelas dengan alasan ke kamar mandi.Apa tuh cewek marah ya sama gue? Sialan! Gue-nya juga si yang bego, mau-mau aja makan bareng sama Raisha. Duh! Lo kemana sih Del?Di setiap langkahnya menyusuri koridor yang sepi, Dicky tak henti-hentinya memikirkan Adelia dan merutuki kebodohan dirinya. Beberapa pesan sudah Dicky kirimkan namun tidak dibalas, panggilan pula tidak diangkat. Ia telah mengunjungi beberapa tempat seperti: kantin, perpustakaan, bahkan ruang musik-walaupun ia tahu, cewek itu tidak mungkin berada disana-tetapi Adelia masih belum juga ketemu.
HARI terus berganti. Tak terasa bulan Februari telah habis dan mulai memasuki bulan baru, Maret. Karena memang lukanya tidak parah, keadaan Adelia semakin kesini semakin membaik. Dan setelah diperbolehkan keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, kini gadis itu dapat menghirup udara lagi dengan bebas dan menjalani kehidupan seperti biasanya.Mungkin setelah adanya insiden yang mencelakakan Adelia beberapa waktu lalu, membuat Dicky semakin menunjukkan perhatiannya. Seperti saat ini, baru saja Adelia terbangun dari tidurnya-disaat matahari mulai merangkak naik-Dicky telah datang menghampirinya dengan semangkuk bubur ayam yang tadi dibelinya di warung makan gang depan pagi-pagi sekali."Gimana rasanya? Enak?" tanya Dicky, sembari memperhatikan Adelia menyantap makanan itu. Untung saja gadis itu bangun tepat waktu, sehingga Dicky tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk membangunkannya.Masih mengunyah, Adelia men
CUACA pagi ini sedikit mendung. Tidak seperti hari-hari biasanya. Sama seperti hati Dicky ketika pemuda itu menginjakkan kakinya di halaman sekolah. Setelah semalaman ia tidur di rumah sakit karena menjaga Adelia, pukul 6 tadi ia baru bisa pulang ke rumah dan langsung bersiap-siap ke sekolah.Sebenarnya, Dicky ingin absen hari ini karena ia ingin tetap berada di samping Adelia. Hanya takut saja kalau gadis itu tiba-tiba membutuhkan sesuatu dan ia tidak sedang bersamanya. Namun, Adelia tentu tidak ingin kalau Dicky sampai tertinggal pelajaran di kelas hanya karena menjaganya, sehingga ia harus memaksa pacarnya itu untuk tetap masuk sekolah sampai Dicky akhirnya menuruti perkataannya."Pagi Dicky!"Seseorang bersuara feminim tiba-tiba datang dan menepuk pundaknya dari belakang lalu disusul dengan langkahnya yang langsung ia sejajarkan dengan Dicky. Pemuda itu kontan menoleh. "Raisha?"Senyum
CAHAYA matahari di siang bolong nampaknya begitu membakar kulit Dicky dan teman-teman satu timnya yang tengah bermain basket di lapangan outdoor. Berpeluh-peluh keringat yang menetes di setiap wajah itu, membuat mereka terlihat semakin kece-apalagi Dicky, tingkat ketampanannya bertambah begitu wajahnya terekspos oleh sinar matahari.Tak sedikit pasang mata kaum hawa di sekeliling lapangan yang menyaksikan aktivitas mereka. Bahkan, sesekali ada yang menjerit begitu melihat Dicky memasukkan bola ke dalam ring dengan mulus dan dari sudut manapun.Dug~Dug~Dug~Suara pantulan bola basket dengan lantai lapangan, juga decitan sepatu, dan suara bariton cowok-cowok itu amat mendominasi. Dari satu arah, Adelia datang dengan membawa minuman dingin dan handuk kecil kemudian duduk di salah satu bangku di bawah pohon yang berada di pinggir lapangan. Ikut menyaksikan mereka.&nbs
"Kriinggg ..''BEL masuk khas GHS baru saja dibunyikan oleh seorang security di ruang TU, getaran suaranya pun merambat hingga terdengar ke seluruh penjuru sekolah itu. Terlihat murid-murid dari berbagai angkatan mulai berbondong-bondong memasuki kelas masing-masing, termasuk Adelia, Friska, dan Dicky. Entah, setelah mengetahui kenyataan kalau ternyata Dimas memiliki hubungan khusus dengan Raisha-terbukti saat cowok itu menjemputnya tempo hari, kini Friska lebih sering berangkat siang.Di bangku paling belakang dan deretan ke 3 dari barat, Adelia mendudukkan pantatnya di tempat duduk yang berada disana, diikuti Friska di sampingnya sementara Dicky duduk di bangku sebelah mereka."Hhh .. Kalian makin hari makin lengket aja deh gue liat-liat! Udah kayak perangko aja! Bikin gue iri tau nggak!" celetuk Friska sambil menghempaskan tas selempangnya di atas meja.Mendengar itu, membuat Dicky dan Adeli
LANGIT sudah benar-benar gelap. Dicky berkali-kali menelfon Adelia namun yang ia dapatkan hanyalah suara mbak-mbak operator yang mengatakan bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Sedari tadi Dicky juga hanya berjalan mondar-mandir di balkon kamarnya. Ia merasakan hatinya tidak tenang. Cemas dan khwatir amat berkecamuk dalam dirinya karena gadis itu belum juga menampakkan batang hidungnya sampai saat ini."Adel kemana sih? Udah jam segini kok nggak pulang-pulang?" pemuda itu bergumam seraya melirik arloji dalam pergelangan tangannya. "Apa gue cek ke sekolah aja kalik ya?" fikirnya.Karena tidak ingin terjadi apa-apa, Dicky akhirnya memutuskan untuk mencarinya di sekolah. Ia berjalan cepat menuju garasi untuk mengeluarkan mobil dan segera meluncur keluar meninggalkan rumahnya, juga rumah Adelia, yang begitu sepi itu. Ya! Pasalnya, orangtua mereka dengan kompaknya pergi ke luar negeri tanpa sepengetahuan Dicky
DERAP langkah kaki Adelia tampak menyusuri lorong-lorong koridor yang masih sepi, baru beberapa saja yang datang karena hari masih terlalu pagi. Ya! Karena ini hari Senin dan ia tidak mau terlambat upacara. Namun, langkahnya terlihat santai dan tidak begitu semangat. Pandangannya pun kosong, sepertinya suasana hati sedang tidak secerah matahari pagi. Berkali-kali Adelia menghela nafas dan mengeratkan pegangannya pada tali tas ranselnya.Arahnya berjalan pun tidak menuju ke kelasnya, namun ke tempat lain. Hingga tak lama, gadis itu sampai di sebuah taman yang lumayan luas dan letaknya berada di belakang sekolah, yang notabenenya jarang dikunjungi oleh murid-murid. Rerumputan hijau tampak berembun, udara masih segar. Adelia segera berjalan menuju sebuah kursi panjang yang ada disana."Aduh~ Kenapa masih sakit aja sih, udah diobatin juga tadi malem!" gadis itu mendudukkan pantatnya disana. Jari-jari tangannya meraba bagian sudut bibir yan
SALAH satu hal yang paling jarang-bahkan tidak pernah, dilakukan oleh seorang Adelia adalah memasak. Oleh karena itu, Marissa memaksanya untuk belajar supaya gadis itu menjadi perempuan yang benar-benar perempuan. Namun, sedari tadi gadis itu hanya menekuk wajahnya sembari memotong wortel dengan asal-asalan. Sehingga potongan wortel yang dihasilkan pun ada berbagai macam ukuran dan bentuk, ada yang besar, ada yang kecil, ada yang segitiga, dan ada pula yang kotak.Tak~Tak~Tak~Suara pisau dengan papan begitu mendominasi dapur itu. Sementara Adelia memotong wortel, Marissa sibuk menggoreng ayam. "Aduh, kamu salah motongnya, Del! Jangan gede-gede gitu, tipis-tipis aja, kamu gimana sih?" omel wanita itu saat memperhatikan kerja anak gadisnya yang ternyata diluar ekspektasi."Yang penting kan dipotong ma? Biar kenyang kan kalo gede-gede gini!" ujar Adelia masih dengan aktivitas mem