Di kediaman Keluarga besar Gavin
Ara sudah tidak punya lagi kebebasan dalam dirinya, ia mogok makan sejak empat hari lalu. Tubuhnya semakin lemah dan bibirnya sekarang kering seperti gurun pasir. Ara berhenti memasukkan makanan ke perutnya selama empat hari ini, tapi ia sudah tidak merawat pola makannya sekembali dari Sydney. Ia kini lemah dan tak mampu bergerak dari ranjangnya. Ia hanya melihat semua pesan singkat yang terus di kirimkan Arka padanya, tanpa berani membalas tiap pesan itu. Gavin berusaha dengan keras memadamkan cinta Ara pada Arka yang sudah mengakar sejak ia SMA, tanpa ia tahu itu hanya akan jadi ke sia-sian saja. Ancaman itu hanya akan membunuh adiknya, tidak dengan cintanya. Kisah cinta sepihak sudah berakhir, mereka sudah memiliki ikatan satu sama lain yang menguatkan perasaan itu. “Apa kamu mau mati perlahan?” maki Tante Geby melihat keponakannya hanya terbaring di sisi ranjang tanpa mau memasukkan apa pun ke mulutnya. Tubu“Tolong, biarkan aku melihat Ara!” pinta Arka pada Gavin. Matanya merah dan berair, berlutut adalah cara terakhir Arka untuk mendapatkan izin dari Gavin tanpa harus membuat keributan meski ia sangat ingin berlari dan menggendong Ara keluar dari rumah ini.“Apa kalian tidak bisa mengusir pria itu keluar?” Maki Gavin pada dua anak buahnya.“Tuan, mari bekerja sama! Keluarlah tanpa kami harus melakukan kekerasan!” Pinta salah satu anak buah Gavin.Arka tak bergeming, ia sudah menancapkan akarnya di rumah ini. Ia tidak akan begitu mudah di cungkil sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.“Aku tidak akan bergerak meninggalkan rumah ini jika belum melihat kondisi Ara!”Kedua anak buah Gavin segera meraih lengan Arka hingga tubuhnya sedikit terangkat.“Lepaskan dia!” perintah Tante Geby pada dua anak buah Gavin.“Tante jangan ikut campur!” pekik Ga
Beberapa hari setelah di rawat dari rumah sakit, Arka membawa Ara ke rumah sahabat baiknya, Via.“Aku minta maaf, untuk sementara akan merepotkan dirimu. Tolong jaga Ara baik-baik!” Pamit Arka ketika meninggalkan Ara di rumah Via.Ara sudah di usir dari rumah besarnya oleh Gavin, tidak mungkin membawa Ara kembali ke rumahnya. Meski gadis itu juga memiliki apartemen tetapi Arka berpikir akan buruk bagi mental Ara yang masih terguncang untuk tinggal sendiri di apartemen. Arka masih cukup rasional untuk tidak membawa Ara tinggal bersamanya. Jika Gavin mengetahui itu kemarahan di hatinya justru akan semakin membara.Arka menggenggam erat jemari Ara sebelum meninggalkan rumah Via, “Jaga diri baik-baik! istirahat cukup, biar aku yang menangani Gavin,” pesan Arka.“Aku pergi dulu ya!” lanjut Arka.Ara melambaikan tangannya, ada kebahagiaan dan juga kesedihan di wajah cantiknya yang saling tumpa
“Tidak, kamu pasti sudah berbohong padaku!” elak Gavin mendengar bahwa Nayara tidak ingin bertemu dengan dirinya. Ia meyakin bahwa apa yang baru saja dikatakan oleh Keanu adalah kebohongan untuk membuat dirinya menyerah.Keanu segera meraih ponsel di tangannya, butuh beberapa detik hingga telepon yang ia hubungi menjawab. Keanu sengaja menekan tombol loudspeaker pada layar ponsel agar Gavin bisa mendengar percakapan yang akan ia lakukan.“Iya Hallo, ada apa Keanu?”Pupil mata Gavin seketika melebar ketika mendengar suara di balik telepon adalah Nayara. Jari telunjuk Keanu diletakkan di atas bibirnya, ia sedang memerintahkan agar Gavin diam dan hanya mendengarkan saja percakapan yang akan ia lakukan.“Gavin baru saja datang menemuiku Kak, apakah aku boleh memberitahu di mana kakak berada sekarang padanya?” tanya Keanu.“Jangan beri tahu di mana keberadaanku padanya!” jawab Nay
Setelah mendengar bahwa Gavin masih berusaha mencarinya, Nayara merasakan sakit di ulu hatinya. Sebesar keinginan dia untuk melupakan Gavin, semakin besar pula rasa rindu di hatinya. Gavin masih menjadi satu-satunya pria yang pernah ia cintai sepanjang hidupnya. Ia sudah melihat banyak perjuangan Gavin selama di rumah sakit jiwa untuk menebus kesalahan dirinya di masa lalu. Semua usaha itu membuat dinding es yang menyelubungi hatinya kembali mencair untuk pria itu.Hanya saja kini ia sudah dalam kondisi stabil dan mengetahui lubang besar yang ada pada dirinya. Ia tetap meminum obat, meski sekarang Dokter Hana sudah meresepkan obat seminggu sekali untuknya. Skizofrenia akan terus melekat pada dirinya, walau ia sekarang sudah merasa baik-baik saja. Hanya saja ia harus tetap bergantung pada obat sepanjang hidupnya, meski dengan jangka waktu minum obat yang tidak sesering dulu.Skizofrenia yang ia derita sekarang sedang tertidur untuk sementara waktu dan bisa
Arumi dan Dava tengah berada di ruang karaoke. Mereka bukan datang untuk bernyanyi bersama, justru selama dua jam mereka berada di sini tidak ada satu lagu pun yang di putar melalui layar. Pengeras suara di ruangan itu tidak berbunyi sedikit pun. Hanya ada suara gitar dan suara merdu Arumi di ruangan itu.“Ternyata tidak semudah yang kubayangkan,” keluh Arumi setelah hampir dua jam ia masih belum bisa menghafalkan kunci gitar yang akan mengiringi lagunya.“Tak apa, masih ada beberapa hari tersisa,” tenang Dava.Ini sudah hari ketiga mereka berlatih gitar, masih di tempat yang sama yaitu tempat karaoke keluarga tak jauh dari tempat tinggal Dava. Bagi Dava ini adalah tempat teraman, mereka tidak mungkin berlatih di Cafe di mana banyak orang bisa dengan mudah mengenali Dava. Ia juga sudah mengepak semua barang-barangnya di manajemen Stone, Dava merasa begitu enggan jika harus melatih gitar Arumi di sana. Jadi pilihan tempat terakhir yang Dava putuskan adalah
Arumi membopong tubuh Dava keluar dari dikotik, sebenarnya lelaki itu cukup kuat untuk berjalan sendiri tapi entah kenapa perhatian Arumi membuat ia ingin terlihat lemah lebih lama lagi. Pelukan Arumi membuat ia lupa diri untuk sesaat.Arumi segera mengemudi mobil Dava, setelah memastikan Dava sudah duduk dengan an di kursi penumpang bagian depan.“Kita mau kemana?” tanya Dava.“Rumah sakit,” jawab Arumi singkat sambil memundurkan mobilnya dari tempat parkir.“Hai, tidak perlu! Aku tidak separah itu hingga harus dibawa ke rumah sakit,” tolak Dava.“Lihatlah wajahmu memar dan bibirmu juga robek!”“Ini tidak separah itu! Antar saja aku pulang ke apartemen.”Arumi tidak dapat berbuat banyak, ia akhirnya mengemudikan mobilnya menuju apartement Dava. Menurunkan pria itu tepat di depan loby apartemen.“Apa kamu yakin bisa berjalan sendir
Pagi hari Gavin sudah memacu mobilnya menuju dataran tinggi bogor. Ia pergi ke sebuah Vila yang agak jauh dari Vila kebanyakan yang berada di sini. Bukan sebuah Vila yang jauh dari keramaian, justru sebuah Vila yang dekat dengan perkampungan warga dan juga daerah persawahan terasering.Ini adalah lokasi terakhir Damar bisa melacak keberadaan Nayara. Ia menunggu dengan tenang di dalam mobil hitamnya yang ia parkir tak jauh dari Vila tempat Nayara berada. Setelah tiga jam menunggu Gavin melihat gadis itu keluar dengan seorang remaja wanita yang mengekor di belakangnya.Gavin keluar dari mobilnya dan mengekor perlahan pada langkah kedua wanita itu. Kini mereka berjalan menuju pematang sawah, mereka terus berjalan hingga ke sebuah sungai kecil tempat Nayara suka menghabiskan waktu untuk duduk dan menikmati udara pagi.Gavin perlahan menghampiri Nayara, gadis remaja di sebelahnya hanya bisa menatap diam keheranan. “Kamu siapa?” tanya Ranum pada
Arka bersandar pada pintu mobil sambil menunggu Ara turun. Sudah sepuluh menit ia menunggu Ara di depan rumah Via. Rencana pagi ini mereka akan menonton pertandingan basket Indonesia melawan Thailand.“Maaf menunggu lama,” kata Ara begitu menghampiri Arka. Ia tampak cantik dengan balutan kaos sederhana berwarna-warni biru muda dan celana jeans.Arka segera merapat mendekati Ara, ia mencium pipi Ara kanan dan kiri dengan hangat. Ciuman itu membuat Ara tersipu, rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat kehangatan yang Arka berikan. Terakhir lelaki ini mencium dirinya adalah ketika mereka di Swiss.“Apa kamu sudah sarapan?” tanya Arka.“Sudah, Ibu Via memasakkan sup jamur kancing yang enak. Apa kamu belum sarapan?”“Sudah dengan roti dan selai kacang.”Mereka segera memacu mobil menuju lapangan basket ternama di tengah kota. Hiruk pikuk suporter dari dua negara sudah memba