Rumah pagi ini dibuat gempar atas kepergian Ara yang tiba-tiba dan hanya meninggalkan secarik kertas berisi izin keberangkatan ke Italia
Selamat pagi Tante Geby dan Kak Gavin,, Ara akan tetap pergi ke Italia sesuai rencana awal meski tanpa Ferdi. Aku rasa sangat disayangkan jika tiket pesawat bahkan hotel harus hangus, lagi pula aku juga butuh penyegaran. I’m fine jadi jangan khawatir.
“Aku harus menyusul Ara ke sana, dia tidak pernah keluar negeri sendirian,” tegas Gavin di depan tante Geby dengan raut khawatir.
“No Vin, Just leave her to calm down! Ara sudah dewasa Vin, kamu tidak harus selalu membayangi dia. Ara juga butuh me time,” bantah Tante Geby
Gavin terdiam, lagi pula ia memiliki jadwal padat di kantornya. Sangat mustahil membatalkan beberapa jadwal penting demi menyusul Ara. Meski begitu ia masih mencemaskan Ara. Ia merasa bersalah karena menjadi alat balas dendam Ferdi padanya.
Setiba di kantor ia menceritakan semua pada Dava yang tengah bersiap untuk pemotretan sampul video klip terbaru.
“Ara, tetap pergi bulan madu sesuai rencana awal ke Italia sendirian. Bagaimana kalau kususul saja dia?“ tanya Gavin berdiri di sebelah Dava yang tengah dirias oleh seorang perempuan muda berusia 25 tahunan.
“Dia bukan anak kecil lagi, bahkan hampir menikah dan kamu masih saja mencemaskan dia. Aku rasa Ara bukan gadis yang ceroboh dia tidak akan membahayakan dirinya sendiri,“ jawab Dava.
“Tetap saja aku masih khawatir, masalahnya bukan tentang dia sendirian saja, tapi kondisi mentalnya setelah pernikahan batal.“
“Telepon saja Arka, dia hari ini juga berangkat ke Italia untuk urusan bisnis.“
“Benar, bagaimana aku bisa lupa. Bahkan keberangkatan mereka juga sama itu berarti mereka di pesawat yang sama,” mata Gavin berbinar ia segera mengeluarkan Handphone mencoba menelepon Arka.
“Pesan text sajalah Vin, pesawatnya pasti masih dalam penerbangan dan bisakah kau mengetik pesan itu di luar ruangan rias. Jangan lupa tutup pintunya ya!“ perintah Dava sambil mengedipkan mata dibalas dengan tatapan kecut Gavin ia tahu betul apa yang dimaksud Dava adalah untuk memberi ruang dengan dia bersama perias yang hendak di rayunya.
“Sheila, apa kamu tidak lelah merias sambil berdiri?“ tanya Dava pada perias yang baru dikenalnya itu.
“Sheiva, bukan Sheila Kak! “
“Ups maaf belum ada satu jam dan aku sudah lupa, aroma harum di tubuhmu membuyarkan konsentrasiku,” balas Dava, sebagai playboy yang sudah mumpuni ia tahu betul parfum yang digunakan perias itu adalah jenis parfum untuk menggoda lawan jenis, Dava juga tahu aroma parfum yang masih kuat telah disemprot kan pada tubuh sexy itu sesaat sebelum ia masuk ruang rias. Kancing bajunya juga sengaja dibuka satu tingkat lebih bawah daripada seharusnya, dengan cekatan tangan Dava menarik lengan gadis itu hingga membuat ia terduduk secara menyamping di sebelah kanan paha Dava.
“Nah merias secara dekat seperti ini bukankan lebih leluasa hingga bisa melihat secara detail pori-pori mana yang belum tertutup,“ ucap Dava sambil melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Sheiva dan dibalas senyum tipis oleh Sheiva. Tangan yang semakin lama semakin menjelajahi ke semua tubuh wanita itu bahkan membuat semua kancing terburai.
“Lipstikmu terlalu tebal, biarkan aku sedikit menghapusnya,“ ucap Dava sembari memegang dagu Sheiva, tanpa menunggu jawaban terlebih dulu Dava sudah mendaratkan ciuman panasnya. Tak berapa lama terdengar suara ketukan pintu diikuti oleh suara asisten Dava.
“Sudah waktunya pemotretan!“
Dava menarik nafas panjang, Sheiva segera merapikan bajunya kemudian mengecek ulang wajah Dava sembari menghapus lipstik merah Sheifa yang menempel di bibir Dava.
“Hotel Wiston nomor 103, tunggu aku jam 10 malam disana!“ perintah Dava sambil menyerahkan kunci hotel pada genggaman tangan Sheiva.
***
Awan di sepanjang penerbangan terlihat menakjubkan, bukan awan Cumolonimbus yang hitam pekat melainkan awan Cirrus yang berbaris cantik. Pada penerbangan kelas satu orang tak banyak bicara sebagian besar dari mereka menikmati perjalanan sambil bekerja baik menggunakan tablet atau laptop sehingga ruangan tampak sunyi hanya pramugari berbadan tinggi dengan wajah cantik yang hilir mudik tanpa lelah menawarkan bantuannya.
“Maaf, apa kamu tahu hotel terbaik yang ada di Milan? “
Tiba-tiba Ara mendengar suara yang tak asing dari arah belakang tempat duduknya, ia refleks memutar tubuh dan melihat siapa yang memulai percakapan itu. Tampak seorang pria dewasa tengah berbicara dengan wanita di sebelah tempat duduknya. Ara menyeringai, ia tahu betul lelaki itu adalah Arka yang tengah mencari mangsa seorang wanita cantik berambut seleher dengan dandanan elegan. Tak butuh lama gadis itu menyebutkan 3 hotel terkenal yang berada di Milan, bahkan salah satunya adalah hotel yang sudah Ara pesan jauh hari sebelumnya sebagai tempat bulan madu bersama Ferdi.
“Terus, kamu nginap di mana?“ selidik Arka
“No, aku menginap di tempat saudaraku.“
“Strike!“ ucap Ara pelan sambil tersenyum melihat usaha Arka yang sepertinya menemui jalan buntu. Ara kemudian melambaikan tangannya ke arah pramugari saat melangkah di depannya. Membisikkan pesan yang harus ia sampaikan pada Arka. Pria itu masih belum menyadari bahwa ada Ara duduk tak jauh di depannya.
“Permisi, istri anda menanyakan apakah anda mau pindah posisi duduk di sampingnya?“ tanya pramugari itu pada Arka sambil menunjukkan letak duduk Ara yang berada di sebelah kirinya berbeda dua baris lebih depan dari pada tempat duduk Arka. Saat Arka melihat ke arah Ara, gadis itu melambaikan tangan sambil mengedipkan mata dan melukai harga diri Arka di depan wanita yang hendak ia rayu. Arka berjalan menuju arah Ara sambil merentangkan kedua tangan dan berkata,
“Istriku!“ ia sengaja memeluk Ara sekuat mungkin hingga terbatuk, membuat Ara memukul punggung belakang Arka agar menyudahi pelukan yang menyesakkan itu.
“Gadis nakal, kenapa kamu menggagalkan usahaku, padahal aku berharap wanita itu bisa menemaniku selama dua hari di Milan, dan kamu kenapa bisa di sini? “
“Honey moon!“ jawab Ara singkat
Arka menoyor kepala gadis yang ia telah saksikan pertumbuhannya lebih dari sedasawarsa, “Sendirian?”
“Iya, aku sudah reservasi semuanya terlalu disayangkan jika hangus,” jawab Ara singkat.
Menuju Italia mereka harus melewati penerbangan panjang selama 10 jam lebih, mereka sampai pada tengah Malam waktu Milan dan segera bergegas menghentikan taksi.
“20 panggilan dari Gavin, sepertinya dia sangat mengkhawatirkanmu,“ cerita Arka setelah mengaktifkan kembali handphone yang sengaja ia mode pesawat selama penerbangan.
“Mungkin dia sudah tahu kalau kita berada dalam satu penerbangan,“ tegas Ara
Arka mulai menghubungi Gavin, tak butuh lama panggilan dengan biaya internasional itu pun terhubung.
“Hallo, apa di pesawat kamu sempat melihat Ara? Dia satu penerbangan denganmu cepat cari dia sebelum ia menghilang!“ perintah Gavin bahkan sebelum sempat menyapa temannya itu.
“I'm here!“ sahut Ara yang duduk di samping Arka di dalam taksi.
“Ara kamu baik-baik saja? Apa perlu kakak susul?“
“Aku sudah besar kak, aku juga sedang ingin menikmati liburan sendiri.“
“Oke, tapi kamu harus jaga diri baik-baik ya. Sering telepon dan cepat kembali ke Indonesia.“
“yaaaaa... yaaa... yaaa,” sahut Ara sambil menghela nafas
“Arka, awasi Ara baik-baik, jaga jarak maksimal 1 meter. Jangan sampai ia terluka atau di dekati pria brengsek,“ perintah Gavin pada sahabatnya itu.
“Padahal yang kakak suruh adalah pria brengsek juga,“ guman Ara di balas dengan tatapan Sinis Arka.
“Kamu fikir aku kesini untuk jadi bodyguard Ara. Aku ada urusan kerja bro, dan lusa juga harus segera kembali,“ jawab Arka
“Ya setidaknya selesai kerja segera ikuti Ara ke mana pun ia pergi, dan saat kau kembali bawa juga Ara pulang bahkan jika terpaksa ia tidak mau pulang temani ia hingga hari kepulangannya.“
“Kamu gila? Aku orang sibuk bukan pengangguran, bahkan jika waktuku senggang lebih baik aku mencari gadis Italia bertubuh seksi yang bisa kukencani!”
“Arka, bukankah kamu butuh investor di proyek barumu? Aku hanya tinggal merayu kakek dan investasi akan segera mengalir ke rekening perusahaanmu. Juga akan kuaturkan jadwal makan malam bersama artis pendatang baru di Stone,” ucap Gavin yang tahu betul cara menaklukkan Arka.
“Siap Komandan, perintah dilaksanakan!!!“ jawab Arka tegas
Ara mendengus mendengar percakapan itu, “Kalian sudah dewasa dan masih saja bertingkah seperti anak kecil,” guman Ara
“Sini hapemu!“ Arka merebut handphone Ara, dengan sigap ia memasang GPS yang ia koneksikan langsung pada HP miliknya, “Jika kau putuskan sambungannya, awas saja! Aku akan segera ke kantor polisi Italia dan melaporkanmu sebagian orang hilang,“ ancam Arka sambil menyerahkan kembali HP Ara, gadis itu pun menatap sinis pada Arka. Taksi menurunkan mereka di Loby Hotel bintang lima Kota Milan.
“I'm sorry sir, but room is full booked tonight” jelas resepsionis dengan rambut pirang dan bermata biru.
Arka menghela nafas, “do you know where is hotel near from here? I mean like Hotel five stars.”
“Almost hotel full booked in this week because match football between AC Milan and barcelona tomorrow.“
Arka mulai kebingungan, kebetulan pertemuan bisnisnya besok adalah di dekat hotel ini, namun keteledoran sekretaris yang lupa untuk memesan kamar hotel membuat ia kini kehabisan kamar. Sementara Ara tersenyum lega karena sudah pesan kamar untuk bulan madu satu bulan sebelum kedatangannya ke Italia. Ia melenggang meninggalkan Arka yang kebingungan, namun sejurus kemudian koper Ara ditarik oleh Arka. Senyum Arka penuh dengan maksud terselubung.
“Izinkan aku menginap di kamarmu ya? Sekali ini saja, aku akan tidur di Sofa! “ rayu Arka. Ara tak menjawab dan hanya tersenyum simpul kemudian melepaskan tangan Arka yang menahan kopernya, ia melanjutkan langkah kaki meninggalkan lobi menuju lift.
“Bagaimana kalau kubayar dengan tas Dior atau merek apapun itu!“ teriak Arka merayu Ara sedetik kemudian langkahnya terhenti dan menoleh ke belakang.
“Baik, aku sendiri yang pilih kau tinggal bawakan kartu kreditmu saja.“
“Sepakat!“ jawab Arka sambil menyusul Ara yang beberapa langkah di depannya. Mereka menaiki lift menuju kamar yang sama.
Pintu kamar dibuka, baru beberapa langkah tampak di atas ranjang tidur berwarna putih itu dihiasi oleh taburan bunga mawar. Kamar ini sengaja dihias seperti ranjang pengantin sesuai pesanan Ara jauh hari sebelum pesta pernikahannya gagal. Ara yang melihat itu mulai padam wajahnya, langkahnya yang ceria tadi kini berubah menjadi berat, teringat semua bayangan rencana bulan madu yang akan ia jalani bersama Ferdi. Arka menangkap jelas perasaan sedih Ara, membuat ia segera menarik seprai yang dihiasi bunga mawar dan membuyarkan bentuk hati yang indah itu.
“Apa ini! Kekanakan sekali, aku tidak tahu hal seperti ini juga dilakukan oleh hotel bintang lima di negara maju,” gumanya. Kini kelopak bunga-bunga itu bertebaran di lantai setelah di kibaskan oleh Arka.
“Nah sekerang kau bisa istirahat!“ ucap Arka sambil tersenyum, lelaki itu kemudian menuju kursi yang berada tak jauh dari ranjang. Sebuah kursi panjang dekat jendela yang menghadap Kota Milan.
“Aku mandi dulu.“ ucap Ara setelah merapikan koper miliknya di sebelah tempat tidur.
“Gadis nakal kenapa mandi saja harus bilang! Membuat pikiran liarku terbangun dari tidurnya, sial!” keluh Arka dalam hati setelah mendengar perkataan Ara yang sudah sering ia dengar tiap kali check-in dengan teman kencannya .
Ara menghabiskan waktu satu jam lebih dikamar mandi, ketika keluar ia sudah melihat Arka tengah tertidur di kursi dengan laptop menyala pada meja depannya. Ara mengambil selimut dari tempat tidur dan meletakkannya di atas tubuh Arka. Suhu Milan mencapai 14° C malam ini, suhu yang sudah cukup membuat kedinginan untuk orang negara tropis. Ara menyetel suhu pemanas ruangan sebelum tidur, sebenarnya gadis itu cukup bersyukur dengan keberadaan Arka di sisinya, setidaknya ia tidak begitu teringat pada Ferdy dan kegagalan pernikahan yang menyakitkan .
“Meskipun menyebalkan, tapi keberadaanmu di sini membuat lukaku terlupakan” guman Ara dalam hati sebelum menutup matanya.
Milan, Italia Pagi ini Arka bangun lebih awal, ia segera membuka tirai jendela kamar hotel, menyaksikan jalan yang mulai rame oleh pejalan kaki. Sebagian orang tampak berjalan membungkuk menahan hawa dingin yang menerpa tubuh mereka meski sudah mengenakan pakaian hangat. Masih ada tiga jam sebelum rapat dengan investor di kantor yang berada tak jauh dari hotel ini, Arka segera mandi dan menyeduh kopi, cahaya silau dari jendela dan aroma kopi membangunkan Ara yang sebelumnya masih tertidur pulas, ia merenggangkan tubuhnya dan duduk dengan rambut yang berantakan. “Ck ck ck, apa kamu pergi ke Italia hanya untuk pindah tidur, orang lain pergi berlibur sengaja bangun pagi dan segera berwisata tapi kamu malah masih bermalasan di tempat tidur,“ sindir Arka Ara menatapnya sinis, “Kamu bawel sekali seperti mertua yang melihat menantunya bangun kesiangan!” “Lap dulu air liurmu itu baru membantah!“ Arka tersenyum simpul sambil menyeruput kopi hitamnya.
Rapat sudah berlangsung selama dua jam dan belum menemukan jalan keluar dari turunnya harga saham setelah batalnya pernikahan Ara yang mulai tersebar. Wajah dewan direksi mulai menunjukkan raut kesal dan lelah membuat Kakek, Tante Geby dan Gavin yang berada dalam rapat itu mulai terpojok. Mereka harus membuat para dewan tenang dengan keputusan apa yang akan mereka ambil.“Buat Ferdi dan keluarganya tersandung masalah, cari masalah sekecil apa pun yang bisa menyeret mereka pada unsur Pidana. Blow up beritanya, dan sogok media agar membuat Ferdy menjadi orang jahat sehingga simpati akan segera mengalir pada Ara,“ ucap Kakek Gavin menutup rapat yang mulai membuat ia lelah, mengingat usianya yang tak lagi muda.“Baik akan segera saya laksanakan! “ jawab Damar“Waktumu hanya 24 jam! “ Damar mengangguk pada perintah Kakek Gavin.Keputusan final kakek Gavin membuat sebagian dewan mulai tenang dan
Tiga puluh menit sudah berlalu sejak Gavin dan Ferdi keluar namun belum juga datang menjemput Dava. Entah bagaimana Dava yang resah mulai menuangkan gelas demi gelas wiski ke kerongkongan yang terus terasa kering menahan rasa gelisah berada di dekat Dina yang tak henti membelai dada bidang milik Dava tak butuh waktu lama ia runtuh dan tak sadarkan diri. Selang dua jam setelah kepergian Gavin ia menemukan dirinya tengah terkapar di sebuah kamar hotel mewah sendirian dengan hanya menggunakan celana boxer, sayup-sayup ia dengar nyanyian sumbang Dina di dalam kamar mandi.Dava duduk, ia mulai mencerna semua yang terjadi, kepalanya masih pusing, dan terus memijat keningnya untuk mengurangi rasa sakit kepala yang di derita. Sontak ia terkaget dengan kedatangan Dina dari kamar mandi tengah mengenakan busana setelah G string menerawang, lemak dan juga kerutan memburai dari setiap sisi tubuh wanita paruh baya itu.“Astaga, mati aku kenapa Gavin lama seka
Zermatt, Swiss “Bukankah menginap di sini sangat mahal? Kamu benar-benar tahu cara menghamburkan uang kakekmu untuk laki-laki yang malah kabur di hari pernikahan,“ canda Arka setelah mereka memasuki Chale sebuah penginapan mirip Vila pribadi yang sudah Ara pesan jauh hari sebelum pesta pernikahan. Mata Ara melotot tajam ke arah Arka setelah mendengar perkataan Arka yang menusuk hatinya. “Ups,, maaf!“ Arka segera merangkul pundak gadis yang tengah menatapnya tajam itu. “Aduh dingin sekali, aku tidak pernah suka berlibur saat musim dingin apalagi pada daerah bersalju,“ lanjut Arka sambil merangkul erat pundak Ara. Arka berkeliling di Chale yang sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu, ada perapian di depan ruang keluarga, sebuah jacuzzi outdoor yang terletak menghadap pegunungan. “Dingin sekali, di mana kamarku? Aku sangat lelah dan ingin tidur?” tanya Arka pada Ara yang sedang naik tangga dengan menenteng koper miliknya.
Sebuah gudang pengap berdiri di antara jajaran industri lain di kompleks pergudangan pinggiran kota Jakarta, sebuah gudang tua yang lama ditinggalkan karena kebakaran ruang produksi pada bagian belakang 10 tahun silam. Cat mulai memudar di bakar sinar matahari dan juga debu tanpa adanya perawatan, bahkan rumput mulai tumbuh di cela-cela rekahan lantai. Sarang laba-laba juga bertengger di setiap sisi menambah kesan misteri gudang dengan luas hampir satu hektare. Gavin dan Dava membuka pintu besi besar berwarna hijau gudang ini, membuat ruang yang awalnya hanya temaram cahaya lampu neon kuning kini di susupi lampu terang mobil Gavin yang sengaja tak ia padamkan. Seseorang tengah duduk tak berdaya di kursi kayu dengan tangan dan kaki terikat, wajahnya sudah penuh lebam dan baju yang mulai berantakan bekas dihajar tiga orang anak buah Damar yang kini tengah bermain kartu di meja sebelah Ferdi berada. Ada sebuah perapian yang mereka buat dari drumb besi bekas oli samping meja mer
Zermatt, SwissCahaya mulai menyusup dari punggung pegunungan Alpen menuju ke celah kaca kamar Ara yang tengah tertidur pulas, gadis yang menyukai suasana gelap saat tidur ini mulai terbangun. Ia menoleh ke samping tempat tidurnya dan tak menemukan sosok Arka. Tempat tidur Arka masih rapi tampak jelas semalam lelaki itu tidak tidur di sampingnya. Ara mulai turun dan mendapati lelaki yang ia cari tengah berendam di jacuzzi sambil menatap pada hamparan salju putih di depannya. Mengetahui itu Ara segera berganti bikini dan menyusul Arka dari belakang tanpa sepengetahuan Arka hingga mengagetkannya.“Selamat pagi!“Arka tersentak dan segera menoleh ke belakang tempat suara itu berasal.“Kamu sudah bangun?“ tanya Arka“Iya, kenapa tidak tidur dikamar semalam?““Tidur di depan perapian sudah cukup menghangatkan. Aku akan keluar jika kau ingin berendam di sini!” kata Arka setelah mengeta
Gondola menurunkan Ara dan Arka tepat beberapa saat sebelum kereta gantung itu di tutup karena badai salju yang tengah bersiap. Langit berkabut putih pekat mulai menutupi semua langit di sini, angin dingin juga mulai menaikkan kecepatannya secara perlahan, menghembus hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Ara dan Arka harus segera mempercepat langkah mereka menuju penginapan yang masih berjarak 1 kilometer dari tempat mereka sekarang. Salju tipis mulai turun jarak pandang juga terbatas pada kisaran 10 meter. Beberapa orang mulai tergopoh menuju tempat berlindung sebelum badai yang lebih besar datang, meski jalan-jalan licin akibat salju yang turun harus membuat mereka lebih memperhatikan tiap langkah. “Hurry up, kita harus segera sampai di penginapan sebelum badai besar datang,“ perintah Arka pada Ara yang mulai berjalan lebih lambat darinya. Gadis itu mulai kelelahan, nafasnya tak beraturan akibat badai dingin dan juga kelelahan berjalan cepat sejak turun dari
Malam semakin larut, hawa sunyi menyerbak dari kompleks industri yang mulai sepi dari aktivitas ekonomi. Sebuah mobil hitam parkir tepat di samping gudang kosong tempat Ferdi disekap. Ia di tinggalkan sendiri di gedung berhantu ini. Para anak buah suruhan Gavin hanya mengawasi dari pos satpam yang berada di depan pintu masuk gudang dengan jarak 200 meter dari tempat Ferdi di sekap.Empat orang keluar dari mobil hitam, mereka segera melemparkan tali panjang untuk memanjat dinding setinggi 10 meter, dengan cepat mereka sudah sampai di samping gudang tempat Ferdi berada. Penerangan yang minim membuat anak buah Gavin tak bisa melihat kedatangan penyusup di sekitar mereka. Empat pria berbaju hitam itu segera berpencar, dua orang lainnya mencari keberadaan Ferdi. Mereka akhirnya menemukan Ferdi sudah dalam kondisi lemas menahan ngilunya memar di sekujur tubuh, bahkan darah di wajahnya mulai mengering. Mereka segera melepaskan ikatan Ferdi dan membopongnya keluar lewat pintu d
Lima tahun Kemudian“Halo Kak Nay, apakah Arka ada di rumahmu sekarang? Beritahu padanya untuk cepat pulang,” kata Ara di dalam teleponnya.“Bukankah dia ada di rumahmu? Dia berkata bahwa Arka sedikit tidak enak badan dan akan membawakan vitamin.”Hening sejenak di dalam sambungan telepon, mereka mencium aroma licik dari kedua suami mereka. Ara segera menambahkan Arumi ke dalam panggilan grup WA.“Apakah Gavin dan Arka di sana sekarang?” tanya Ara.“Tidak, bukankah dia ada di rumah Gavin untuk bermain bilyard?”Tiga wanita di dalam sambungan telepon itu terdiam. Amarah menjalar dari ujung kaki hingga kepala mereka. Nayara yang sedang memegang pisau dapur segera mencacah timun di talenan dengan keras, Ara yang sedang mengulaskan pensil alis di wajahnya mematahkan pensil itu hingga menjadi dua, sementara Arumi yang sedang mengolesi roti dengan selai stroberi melahap langsung dua lapis roti sekaligus.Ara mendengus saat ponsel Ar
Tiga hari kemudianAra sibuk membuat coretan di kertas putih dengan tatapan penuh antusias dari Nayara dan Gavin.“Bagaimana gaunnya tampak indah kan?”Ara menunjukkan hasil coretannya yang dibuat tak kurang dari lima menit.Gavin menggeleng, “Tidak, dadanya terlalu terbuka, buatlah seperti gaun Cate Maddleton waktu menikah. Tapi belahan dadanya jangan terlalu rendah.”Ara menghela nafas, ia kemudian membuat gambar lagi dengan inspirasi gaun pengantin Cate Maddleton namun sedikit ia rubah pada bagian bawah dan juga bagian lengan.“Seperti ini?” tanya Ara lagi.“Tidak-tidak, bagian roknya terlalu mengembang.”Ara kembali menyobek kertas itu, meremasnya dengan erat lalu membuangnya ke sampah. Ia kembali menggambar contoh baju pengantin dan menyodorkan kembali pada kakaknya.“Tidak, ini terlalu sederhana.”Ara yang jengkel akhirnya membanting pensilnya di me
Gavin bergegas menuju gedung pusat Leaf Corp masih dengan pakaian kemarin yang lusuh. Ia hanya sempat membasuh wajahnya dengan air mineral, sebenarnya ia bisa saja menggunakan toilet di SPBU tapi ia belum terbiasa menggunakan toilet bersama selain hanya untuk buang air dalam keadaan mendesak.Begitu memasuki ruang kerja kakeknya Gavin terkesiap begitu mendapati bahwa Nayara sudah berada di dalam.“Apa yang sudah kakek katakan padanya?” tanya Gavin dengan wajah yang dingin.Nayara segera bangkit dari tempat duduknya dan meraih lengan Gavin.“Tenanglah, Kakek hanya menyuruhku untuk berkunjung.”Kakek Gavin mendengus dengan wajah yang acuh, “Apa kamu selalu punya pikiran buruk tentang kakekmu?”Gavin terdiam dan Nayara hanya mampu mengucapkan kata “Maaf” untuk mewakili Gavin.“Lihatlah penampilanmu sangat mengerikan hanya dalam tiga hari setelah memutuskan hubungan dengan keluargamu s
Di pagi hari Dava terus menyeret tubuh Gavin untuk bangun, Gavin bersikeras melawan tindakan Dava. Ia tetap menarik selimut dan memilih tidur kembali. Dava tak menyerah dan terus menyeret tubuh Gavin turun dari ranjang.“Aku masih mengantuk, ini masih jam enam. Apa yang kamu inginkan sebenarnya!” pekik Gavin jengkel.“Bantu aku membeli Jas baru, ini adalah harus pernikahanku. Aku tidak mungkin memakai jas yang lama. Antar aku juga membeli cincin pernikahan. Ayolah waktuku tidak banyak!”“Pergilah tidur, sepertinya kamu masih bermimpi!”“Cepatlah mandi dan jadilah saksi di pernikahanku!”Dava mendorong tubuh Gavin ke kamar mandi. Gavin tak punya pilihan lain kecuali mandi dan mengikuti perkataan tuan rumah.Sepanjang pagi ia merasa lelah karena mengantar Dava membeli jas baru di salah satu desainer dan juga ke toko perhiasan. Ia bahkan melupakan jadwal sarapan karena terus mengikuti Dava.
Arumi sampai di rumah ketika tengah malam, ayahnya sudah menunggu dengan penuh amarah di ruang tamu. Lampu ruang tamu yang sengaja di matikan membuat Arumi tidak menyadari bahwa ayahnya tengah duduk menatap dirinya yang berjalan dengan mengendap-endap seperti seorang pencuri.“Apakah kamu baru saja bersenang-senang dengan Dava?”Arumi terkejut pada suara berat yang baru saja menghentikan langkahnya .“A-ayah,” keringat dingin mulai mengucur di dahi Arumi. Saat lampu di nyalakan ia bisa melihat seringai dingin dari tatapan ayahnya .“Maaf ayah, aku terlambat datang. Ada acara pesta pernikahan teman.”“Oh, ada Dava juga kan di sana? Kenapa kamu masih saja mengekor pada pria itu. Bukankah kamu bilang akan pergi melanjutkan study ke Australia?”“Ayah, itu adalah keputusan yang aku buat dalam keadaan tidak jernih. Aku tidak bisa pergi ke sana lagi sekarang.”“Apakah itu kare
Pernikahan berlangsung lancar, banyak pasang mata yang merasa iri pada visual kedua pengantin yang seperti pangeran dan putri dari negeri dongeng. Mereka bahkan berasal dari status tinggi yang sama. Saat Leaf Corp dan Sparkling Cosmetic bersatu, keduanya akan menjadi kekuatan bisnis yang besar. Kakek Gavin banyak mendapat sanjungan dari semua tamu bisnis tentang berapa beruntungnya ia mendapatkan cucu menantu dengan kualifikasi seperti Arka.“Aku merasa bahagia saat melihat pasangan Ara, tapi menjadi begitu jengkel saat menoleh pada pasangan Gavin,” keluh Kakek Gavin pada istrinya.“Kita sudah tua, kenapa kamu tak membiarkan mereka hidup dengan pilihannya masing-masing. Aku tidak ingin Gavin menjadi seperti Geby yang pada akhirnya memilih untuk tidak menikah. Aku sudah tua dan ingin mati dengan tenang tanpa memikirkan Geby dan juga Gavin akan menua sendiri.”Mendengar perkataan istrinya, urat tegang di wajah Kakek Gavin mengendur. Pandang
Ara bersiap di ruang tunggu pengantin perempuan, ia sangat cantik dengan balutan gaun pengantin putih off-shoulder dengan A-line dengan model ini bagian bahu dan leher Ara terlihat sangat indah dengan kulitnya yang seputih susu.Di dalam ruang itu Ara sedang di temani oleh Nayara dan juga Arumi yang tampak cantik dengan gaun bridesmaid model A-line berwarna biru laut.“Oh, ternyata kamu yang akhirnya di nikahi Arka?” kata Bela begitu memasuki ruang tunggu pengantin. Ia mengenakan gaun berwarna merah dengan belahan kaki hampir setinggi pangkal paha.Bela adalah teman kuliah Ara, ia pernah berpacaran dengan Arka satu tahun lalu selama satu bulan. Gadis itu masih tergila-gila dengan Arka, ia merasa sangat cemburu ketika Arka akhirnya memilih Ara sebagai pasangan hidup Arka.“Bagaimana kamu bisa masuk. Aku tidak merasa sudah mengundangmu!”“Kamu tidak mengundangku, tapi kakekmu mengundang ayahku!”Ara menghela
Telepon Gavin berdering setelah rapat, ia menarik nafas dalam saat melihat panggilan telepon yang tertera adalah dari kedua orang tuanya. ‘Kabar tentang Nayara pasti sudah terdengar sampai telinga mereka,’ batin Gavin. “Aku di rumah besar, Pulanglah!” “Baik,” jawab Gavin sebelum menutup telepon dari Kakeknya. Ia menarik nafas dalam bersiap untuk badai yang akan segera datang, mengingat kakeknya bahkan jauh-jauh datang dari Bogor di usia tuanya. “Apa kamu tidak bisa mencari gadis lain?” Lelaki tua itu memekikkan suaranya begitu Gavin memasuki ruang tamu. “Dia adalah satu-satunya wanita yang ingin aku nikahi!” “Tidak, Cari yang lain! Aku tidak ingin wanita gila menjadi cucu menantuku!” “Kakek! Itu sangat keterlaluan!” untuk pertama kali Gavin meninggikan suaranya pada lelaki tua itu. Kakek Gavin tidak bisa menyembunyikan betapa marah dan kecewanya dia pada cucu laki-laki yang ia miliki. “Dia menderita Skiz
Setelah sebuah kaki jenjang menariknya dari kerumunan wartawan dan membawanya ke dalam lift, pandangan yang tadi buram kini mulai mendapatkan cahayanya kembali. Pria yang tengah merengkuh bahunya adalah Dava, pria tampan yang selalu ada saat dirinya butuh pertolongan.Arumi menundukkan wajahnya yang memerah, ia tidak harus menatap Dava jika tidak ingin benteng yang baru saja ia bangun runtuh.“Kamu tidak harus melakukannya begitu jauh. Kamu hanya perlu jujur padaku tanpa harus mengatakannya ke seluruh dunia,” kata Dava. Begitu ia mendapatkan telepon dari Gavin soal jumpa pers yang akan di adakan Arumi, ia langsung loncat dari tempat tidurnya.“Aku harus sedia payung sebelum hujan, identitasku yang sebenarnya pasti akan terendus media suatu saat nanti.”Dava kehilangan kata-kata, bagaimanapun yang di katakan Arumi adalah kebenaran. Tidak mudah menyimpan rahasia tentang siapa dirinya, ia adalah seorang artis dengan banyak pesaing bah