Besok adalah hari pertunangan Bella dan Roy. Sebagai Boss, sekaligus orang yang menyelamatkan hidup Roy dari kemiskinan dan terlunta-lunta, Nathan bertanggung jawab penuh untuk semua biaya acara itu.
Meski awalnya semua biaya pertunangan akan di tanggung oleh Ayah Bella yang seorang miliarder, tapi Nathan dengan tegas menolaknya. Itu bisa menjatuhkan harga dirinya sebagai seseorang yang berada di pihak calon pengantin pria.
"Aku akan keluar siang ini, bersama Key dan Jihan. Kami perlu membeli gaun baru dan aksesoris untuk acara pertunangannya besok." Ucap Rachel pada Nathan saat mereka selesai sarapan, pagi ini.
"Ehem, jemana kalian akan pergi membelinya?" Tanya Nathan sedikit tidak suka membahas topik ini.
"Entah lah, sepertinya aku sangat ingin ke Word Fashion Mall. Melihat gaun-gaun di katalog-nya membuatku tak sabar ingin memakainya." Ucap Rachel dengan mata berbinar-binar.
"Momy, sejak kapan Momy menyukai gaun di Mall terkenal seperti itu
Nathan terdiam sesaat. Ia tau bagaimana terlukanya dan menderitanya Rachel saat ini. Dia merasa bersalah karena belum bisa menyingkirkan Celline dari kehidupannya. "Kalau begitu, kau tidak boleh kemana-mana. Aku tidak mengizinkanmu keluar tanpa pengawasanku atau pun Roy. Aku akan menyuruh pelayan untuk mengirim dan menyiapkan semua kebutuhanmu dan Key. Tidak ada penolakan!" Ucap Nathan dengan serius, lalu menatap tajam pada Rachel. Jelas sekali terpancar raut wajah penolakan itu. Dia tak menyangka, Nathan akan seposesif ini padanya. Ia merasa hidupnya saat ini sepenuhnya berada di bawah kendali Nathan. "Apakah kau menjadikanku tawanan disini? Kau ingin mengurungku? Tidak mengizinkanku berinteraksi dengan orang luar? Kau ingin aku terkurung dan menjalani seumur hidupku hanya di dalam mansion mewahmu ini?" Pertanyaan-pertanyaan itu keluar dengan sangat lancar dari bibir Rachel. Suaranya terdengar getir. Matanya menahan genangan di sekitar bola matanya itu
Waktu terlalu cepat berlalu. Hari ini, adalah hari pertunangan antara Roy dan Bella. Roy sudah siap dengan segala bawaannya. Tentu saja semua ini di bantu oleh Nathan. Nathan menyiapkan seserahan yang tidak sedikit jumlahnya. Ia juga mengurus segala keperluan Roy. Memang, Nathan sangat menyayangi dan peduli pada Roy. Dia sudah menganggap Roy seperti adiknya sendiri. Karena itu, ia tidak akan berpikir panjang dalam mengeluarkan biaya untuk acara pertunangan ini. Sementara itu, Bella sedang di rias di kamarnya. Di temani oleh Rachel, Jihan dan juga Key. Mereka sengaja datang pagi-pagi sekali, agar bisa mendampingi Bella. Rachel tidak ingin melewatkan momen bahagia sahabatnya ini. Meski Nathan sempat melarangnya, ia tetap pergi. Karena baginya, Bella adalah sahabat yang telah rela melakukan dan memberikan apapun demi dirinya. Maka, dia juga harus seperti itu. "Kau terlihat sangat pucat! Apa kau baik-baik saja? Kalau kau merasa tidak nyaman, beristirahat saja. Bi
Jujur saja, Rachel merasa sangat takut saat ini. Sepintas, ia membayangkan kejadian yang di alami Key. "Begini kah yang di alami Putriku? Seperti ini kah perasaannya waktu itu?" Ucapnya dalam hati. "Kenapa kau hanya diam? Apa kau sungguh tidak ingin tau alasannya?" Tanya pria itu lagi dengan tidak sabar. "Aku tidak perlu bertanya, aku juga tidak butuh penjelasan dari kacung sepertimu." Rachel sangat emosi mengingat alasan semua ini terjadi padanya. "Sialan." Plaaaakkk... Sebuah tamparan mendarat di pipi Rachel. Darah segar menetes dari sudut bibirnya. Jatuh mengenai gaun biru langit yanh dia kenakan. "Apa kau tidak memiliki isteri? Kau tidak memiliki anak perempuan, atau saudara perempuan? Bagaimana kau bisa melakukan pekerjaan hina seperti ini untuk menghidupi mereka? Orang tuamu pasti malu mengakuimu sebagai anak." Rachel mengatakannya dengan ekspresi yang menahan rasa jijik. "Diam kau!" Buuuukk.. Sebuah tenda
Satu minggu sudah berlalu. Rachel belum juga sadar dari koma. Setiap hari, Nathan menjaga dan merawatnya dengan baik. Key dan Jihan juga selalu ada disana, menemaninya. Sesekali Bella akan datang berkunjung bersama Roy. Seperti pada pagi ini. Bella datang di temani Roy. Nathan yang melihat Roy datang, tanpa basa basi langsung bertanya. "Bagaimana, Roy? Apa kau sudah mengurus semuanya?" "Semua berjalan sesuai rencana, Boss. Rumah Sakit yang di kelola Paul Adamshon sudah berada di ujung ke hancuran. Dia juga sudah di panggil oleh pihak ke polisian atas kasus dugaan percobaan pembunuhan delapan tahun silam." Jawab Roy panjang lebar. "Bagaimana dengan wanita berhati dan berkelakuan iblis itu?" Tanya Nathan lagi. "Anak buahku sedang mengejarnya. Dia bersembunyi di pulau twin yang berada di kota J. Dan pria yang mencelakai Nona Rachel, anak buahku sudah mengulitinya hidup-hidup di markas kota Q." Jawab Roy lagi. "Bagus, Roy. Kau melakukannya
Di dalam ruangan VVIP ini, selama satu minggu Rachel tidak sadarkan diri. Kini ia telah mendapatkan kembali kehidupannya. Dengan sabar Nathan membelai kepalanya, wajahnya, dan juga tangannya. Tak terungkap betapa besar rasa syukur dan bahagianya Nathan saat ini, melihat Rachel sudah kembali sadar dari komanya. "Berapa.. lama.. aku disini?" Tanya Rachel bersusah payah mengeluarkan suaranya. "Satu minggu." Jawab Nathan, dengan masih membelai dan mengecup punggung tangan Rachel. "Dimana.. Key?" Tanyanya lagi. "Saat ini, Key masih ada kelas. Nanti setelah selesai, Jihan akan membawanya kesini. Apa kau merindukannya?" Nathan menatap sedih pada wajah kekasihnya. Rachel hanya mengangguk pelan. Masker oksigen sudah di buka, di ganti dengan selang oksigen ke hidung. Namun Rachel masih belum bisa berbicara terlalu banyak, karena saat ia berusaha berbicara, napasnya terasa sesak. Jadi, diam adalah pilihan terbaiknya untuk saat ini. Dua jam sudah
"Dimana wanita itu di rawat?" Nathan bertanya pada Arnold. Nathan sengaja menemui Arnold di ruangannya. Untuk memastikan bahwa memang benar Celline di bawa ke Rumah Sakit ini. Dia juga ingin mengetahuai semua informasi mengenai keadaan Celline saat ini secara rinci. "Saat ini dia berada di ruang bersalin, karena kecelakaan itu, bayi yang di kandungnya meninggal di dalam perut. Tadi perawat sudah memberikannya suntik perangsang, agar bayi itu bisa keluar dengan alami layaknya persalinan normal. Meningat usia kandungannya sudah memasuki 8 bulan saat ini." Jelas Arnold panjang lebar. "Baik lah. Buat dia merasakan sakit yang luar biasa saat mengeluarkan bayi itu. Aku ingin membuatnya merasakan sakit yang sama dengan yang di alami oleh Rachel. Jangan memberikannya suntikan tenaga atau apa pun itu untuk mempermudah prosesnya. Ingat itu!" Perintah Nathan, membuat Arnold bergidik saat mendengar suaranya yang terdengar sangat kejam saat memberi perintah ini. "
Seorang perawat menggendong tubuh bayi yang telah dingin, ia bersiap untuk membawa bayi tersebut keluar. Karena mereka mendapat perintah untuk melakukan tes DNA pada bayi tersebut. Celline yang melihat bayinya akan di bawa, kembali histeris. "Hei kau, kemana kau akan membawa bayiku? Tinggalkan dia di sini. Aku yakin sebentar lagi dia akan bangun. Kau tau Nathan? Cepat telepon dia, bayi itu adalah anaknya. Dia anak Nathan. Nathan harus mengakuinya. Aku melahirkan anak untuk Nathan." Jeritannya semakin melemah, karena tenaga yang sudah terkuras habis. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk terus berteriak dan menangis histeris. Akhirnya dia terbaring dengan lemah. Air mata terus mengalir dari sudut matanya. Perawat membersihkan semua hal yang bersangkutan dengan persalinan Celline tadi. Lalu membawa semua itu untuk di segera di buang. Setelah semua perawat pergi, tinggal lah Dokter wanita itu yang menemani Celline. Saat ia akan memasang infus untuk Celline, Roy masuk
Nathan masih setia duduk di samping ranjang tempat Rachel berbaring. Kedua tangannya menggenggam sebelah tangan Rachel yang di hiasi selang infus. Cukup lama sudah Rachel tertidur. Tak sedetik pun Nathan meninggalkannya. Pintu kamar itu di ketuk. Tok... Tok... Tok... "Masuk." Jawab Nathan. Terlihat Roy membuka pintu, lalu melangkah masuk. Ia hanya berdiri si belakang pintu. Memberi salam dengan membungkuk kan badan. "Boss, semua sudah selesai. Tinggal menunggu hasil tes DNA keluar. Di perkirakan itu akan memakan waktu dua sampai tiga hari." Lapor Roy, setelah tadi ia menemui Dokter Bram dan Arnold menanyakan perihal tes itu. "Baik lah. Rachel akan pulang hari ini. Aku akan melanjutkan perawatannya di mansion. Tolong kau urus semuanya, Roy." Perintah Nathan. "Baik, Boss." Ucapnya, lalu undur diri. Keluar dari kamar itu. Nathan menatap lembut wajah kekasihnya. Dia ingin menjaga dan merawat Rachel sendiri di bawah pengawasan
Nathan telah selesai menghidangkan sarapan, yang mungkin lebih tepatnya ini makan siang. Karena, jarum jam sudah di angka sebelas. Rachel turun ke ruang makan, setelah selesai membersihkan diri dan berdandan dengan cantik dan rapi. Aroma tubuhnya membuat Nathan yang sedang asik membuatkan jus stroberi melirik dan tersenyum. Rachel mendatangi Nathan, dan memeluk tubuh kokoh itu dari belakang. "Terima Kasih, Sayang. Kau selalu menuruti apa kataku. Haruskah aku merasa bersalah karena sudah memintamu sibuk di dapur seperti ini?" Ucap Rachel sungguh-sungguh. "Tidak masalah, Sayang. Selagi aku mampu, akan kulakukan semuanya untukmu. Bahkan, jika aku sanggup akan kupindahkan Gunung Fuji ke depan mansion ini." Sahut Nathan dan membalikkan badan. "Konyol. Bagaimana itu bisa? Jangan membodohiku." Ucap Rachel menjewer telinga Nathan. "Aaaa... Sayang, kau ini laki-laki atau perempuan? Kenapa kau selalu menyiksa suamimu yang polos ini?" Nathan berdrama ria.
Setelah melewati malam pengantin yang penuh gairah, pagi ini Nathan masih memandang wajah Rachel yang masih tidur dengan nyenyak. Rachel memimpin permainan dengan sangat agresif dan liar. Nathan tidak pernah melihat Rachel menjadi wanita yang seperti itu selama hidupnya. Tentu saja saat ini dia lelah dan butuh waktu tidur tambahan. Mengingat, mereka melakukannya berulang-ulang kali semalam suntuk. "Kau sangat cantik, bahkan saat sedang tidur tanpa busana sekali pun, Sayang." Nathan bermonolg. Nathan sudah bangun lebih dari dua jam, namun ia tak berniat turun dari ranjang. Karena Rachel tidur dengan tangan mengalung pada tubuhnya. Nathan takut gerakannya akan membangunkan Rachel. Sebesar itu lah cinta yang Nathan punya untuk Rachel. Nathan kembali mengingat dan membayangkan tahun demi tahun yang telah wanita dalam pelukannya ini lalui tanpa dirinya. Sendiri membawa anak dalam kandungan, sendiri berjuang di ruang bersalin, sendiri bekerja keras banting tu
Mereka saling menatap dalam waktu lama. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya, Nathan dengan lembut mencumbu bibir Rachel. Cumbuan itu langsung dibalas oleh Rachel. Mereka saling melepaskan gairah melalui ciuman. Pemanasan yang cukup bagus. Mengingat, sudah lama mereka tidak melakukannya. Tangan Nathan mulai menjelajah bagian atas tubuh Rachel. Gaun yang seksi itu, memperlihatkan sedikit belahan dadanya. Tangan Nathan bermain disana, tanpa melepaskan lumatan bibirnya. Nathan mengelusnya dengan pelan, sehingga membuat deru napas Rachel tak beraturan. Dadanya naik turun, mengikuti permainan lidah Nathan dan tangannya yang semakin liar menyapu dada montok itu. "Hmmpp.." desahnya di sela-sela ciuman yang menggairahkan itu. "Mendesah lah dengan keras malam ini, sayang. Tidak akan ada yang mendengarnya selain aku." Ucap Nathan seraya berbaring di sebelah Rachel. Lalu ia memiringkan tubuh Rachel, agar bisa lebih leluasa
"Kenapa kau memanggilku dengan sebutan Tuan? Bukan kah sekarang, aku adalah Mertuamu?" Willy protes. "I-itu.. boleh kah aku memanggilmu Ayah Mertua?" Nathan bertanya dengan ragu. "Tentu saja. Aku Ayah mertuamu mulai saat ini." Willy menepuk bahu Nathan lambat. Frans dan Jeny sangat bersyukur, akhirnya Nathan mendapatkan kebahagiaan yang benar-benar dia harapkan sejak dulu. Jeny menyesal pernah menentangnya. Ternyata menantu yang sangat ia harapkan tak lebih dari wanita berhati iblis. "Nathan, Rachel, Mami dan Papi akan pulang sekarang. Lain kali kami akan berkunjung kembali, atau kalian bisa datang kapan pun ke rumah tua." Ucap Jeny ingin segera memberikan waktu untuk pengantin baru ini. "Mami benar, kami harus segera pergi. Karena kalian harus berusaha keras memberikan kami cucu kedua mulai sekarang." Frans pum tertawa dan beranjak dari kursinya. "Key, ayo ikut Nenek. Biarkan Momy dan Papi berdua saja beberapa hari ini." Ucap Je
Setelah pesta usai, kini hanya tinggal keluarga besar Nathan dan Rachel yang berada di mansion itu. Mereka duduk di satu meja bundar yang besar. Key terlihat sangat akrab duduk di pangkuan Willy. "Jadi, ketika kau baru saja lahir dlu, aku sengaja menitipkanmu pada kaki tangan kepercayaanku. Nana, Ibumu itu awalnya sangat menentang keputusanku. Tapi, setelah ia tau alasannya terpaksa dia menerima keadaan. Harus hidup layaknya sebagai suami isteri dengan Danu, yang notabane-nya adalah pengawal kami dulu." Willy membuka suara saat keadaan telah lama hening. "Apa alasanmu melakukan semua itu? Jadi, Ibu dan Ayahku..maksudku Danu itu tidak memiliki hubungan apa pun selama hidupnya?" Rachel tentu saja memiliki banyak pertanyaan untuk menanti penjelasan dari Nathan. "Ibumu rela melakukan semua itu, demi dirimu. Agar kau tidak kehilangan sosok ayah dalam hidupmu. Aku tidak berdaya saat itu. Aku dulu terlibat dalam satu gank mafia, jika lawan mengetahui keberadaan iste
"Apa maksudmu, Pak Tua? Siapa yang kau sebut sebagai putrimu? Katakan dengan jelas, dan jangan berbelit-belit." Tuntut Rachel tak sabar. "Kau... Putriku satu-satunya." Jawab Pak Tua itu. "Berikan aku bukti, agar aku bisa percaya." Pinta Rachel lagi. Rachel tidak terlalu terkejut, karena ia mengingat pesan dari mendiang neneknya. Sebelum meninggal, neneknya sempat berkata bahwa ayah kandung Rachel sebenarnya masih hidup. Apa pun alasannya meninggalkan Rachel, jangan pernah membencinya. Karena ia melakukan semua itu demi keselamatan hidup Rachel. Sebab itu Rachel bisa bersikap tetap tenang saat ini. "Siapa nama belakangmu?" Tanya Pak Tua itu. "Willona." Jawab Rachel. "Apa kau tau siapa namaku?" Tanya Pak Tua itu lagi. "Tidak, aku tidak pernah tau siapa namamu." Jawab Rachel. Pak Tua itu menyerahkan sebuah dokumen bukti kelahiran Rachel. Tertulis nama ayah kandung, Willy Horizon yang sama sekali bukan nama ayah yang membes
Setelah delapan tahu berlalu, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh Rachel dan Nathan sudah ada didepan mata. Saat ini keduanta tengah bersiap di kamar rias masing-masing. Mereka memilih mengadakan pernikahan di mansion mewah itu. Dengan bujuk rayu Rachel, tentu saja Nathan merelakan mansion itu di datangi ratusan umat Para rekan bisnis hadir semua. Bahkan tak sedikit dari mereka yang jauh-jauh datang dari luar negeri. Karena ingin menyaksikan langsung pernikahan mewah yang akan di gelar oleh keluarga Darke. Mungkin, lebih tepatnya oleh Nathan. Meski sebelumnya Nathan pernah menikah dengan Celline, namun tidak banyak orang yang tau dan menghadiri pernikahan tersebut. "Sayang, apa kau sudah siap?" Tanya Nathan saat membuka pintu kamar tempat Rachel dan Key sedang di make over. "Hampir selesai, hanya tinggal memakai sepatu kacaku." Jawab Rachel sambil berdiri. Rachel terlihat sangat cantik meski hanya dibalut gaun putih sederhana
Waktu terlalu cepat berlalu. Tak terasa, besok adalah hari pernikahan Nathan dan Rachel. Saat ini Rachel hanya duduk di atas ranjang kamarnya. Ada Bella dan Key juga bersamanya. Sementara Jihan tengah sibuk membuatkan persiapan makan siang untuk menjamu orang tua Nathan yang akan datang ke mansion ini untuk pertama kalinya. "Aku sungguh tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya hari bahagia ini datang juga dalam hidupku." Ucap Rachel dengan mata berkaca-kaca. Bella menatap sahabatnya dengan sendu. Dia tau, tidak mudah bagi Rachel untuk akhirnya sampai di titik ini. Dia bahkan melewati berbagai tindakan kriminal belum lama ini, kekerasan dan ancaman tak luput dari hari-harinya bersama Key. Melihat Rachel berjuang dan bertahan sejauh itu, hati Bella seakan ikut merasakan sakit. Saat ini, hari bahagia yang telah tertunda selama delapan tahun akhirnya akan tiba. Bella adalah orang pertama yang bersorak bahagia mendengar kabar ini. Dialah saksi perjuangan cinta Rache
Hari ini Rachel sudah kembali sehat dan bugar. Setelah dua hari dia tak pernah meninggalkan kamarnya. Pagi ini Rachel sangat sibuk menyiapkan diri. Nathan yang sudah menunggu lebih dari satu jam tidak sabar lagi dan mencoba bertanya. "Sayang, sebenarnya apa yang ingin kau pakai? Dari tadi kau hanya memegang semua pakaian itu tanpa mencobanya langsung." "Aku bingung, harus memakai pakaian yang mana. Aku ingin terlihat sebagai wanita yang cantik dan elegant di depan orang tuamu. Tapi aku juga harus memakai pakaian yang sopan." Rachel menjelaskan kegundahan hati yang sejak tadi menderanya. "Sayang... Apa pun yang kau kenakan, kau selalu terlihat canti dan berkelas." Nathan memegang kedua sisi bahu Rachel. "Semua laki-laki akan berkata seperti itu, karena mereka malas menunggu wanitanya berdandan." Rengut Rachel, lalu kembali dengan aktifitas pilih memilih pakaiannya. "Honey.. percaya lah padaku. Aku rela menunggumu berjam-jam asal kau tau.