Din din din !
Bunyi suara tlakson dari luar di barengi dengan ponselnya yang tak berhenti berdering, membuat Sayyidah tergesa-gesa memasangkan sepatu flat di kedua kakinya.Sayyidah segera beranjak usai berhasil mengenakan keduanya.“Bi, Sayyidah pergi dulu!” serunya. Wanita yang sedang menyapu lantai itu berlari mengejar langkah gadis itu.“Neng Sayyidah mau pergi kemana? Jangan sama—.” Wanita paruh baya itu menghempaskan nafasnya kasar.“Mau di larang bagaimanapun kalau udah cinta, ya, susah!” ucap Bi Sari mendengus kesal saat melihat wajah laki-laki di balik mobil yang menanti Sayyidah.“Nggak lama kok Bi, nanti Sayyidah balik lagi, assalamuallaikum,” tandas Sayyidah, tangannya melambai seiring mobil yang di tumpanginya melaju meninggalkan pekarangan rumah.“Bu!” pekik suara laki-laki yang tak asing di telinga Bi Sari. Pak Rahman berjalan menghampirinya.“Kalau NengDi tempat yang lain Setelah berhasil menemukan kedua orang tuanya di ruang tunggu, tangan Sofyan segera di tarik oleh papinya. Laki-laki berjas hitam itu melirik sekilas ke arah Sayyidah, lalu menuntun putranya duduk menunggu jadwal penerbangan tiba. “Kenapa musti bawa wanita sih Sof?” bisik wanita bergincu merah di telinga anak laki-lakinya. Sayyidah melihat keduanya seraya menebak mungkin itu sosok mami dan papinya Sofyan. “Jangan sembarangan main cewek! Nanti kamu bikin repot papi lagi kaya gini, harus pindah, ngeluarin banyak duit buat nutupin aib kamu,” tegur Papi kepada Sofyan. “Hmmmm.” Putranya hanya pasrah mengiyakan setiap ucapan kedua orang tuanya. “Ya udah Sofyan pamitan dulu sama Sayyidah Mam, Pih!” pinta Sofyan seraya menengok ke arah gadis yang masih berdiri tak jauh darinya. “Ya sudah, jangan lama-lama!" tutur papinya. Mami Sofyan menghela nafasnya seraya mengusap bah
“Ini sudah cukup lama, bukan hanya satu, dua hari, bahkan sampai berbulan-bulan ‘kan?”Abbas menganggukkan kepalanya.“Abuya khawatir sama ente Nak, jiwa dan bathin ente tersiksa. Kalau memang butuh, menikahkan!”Abbas melebarkan pupilnya mendengar ucapan Abuya.“Abuya punya pandangan buat ente.”“Kalau boleh tau siapa Abuya?” sahut Abbas.“Ente sudah siap menikah atau tidak? Untuk masalah ente sudah bercerai atau belum Abuya rasa ente sudah faham hukumnya.”“Seorang suami sah jika menikah lagi dengan izin sang istri maupun tanpa izin darinya," jelas Abbas.Abbas menghela nafasnya panjang.“Apakah Sayyidah bisa menerima? Aku tidak bisa membayangkan kesedihannya, jika ia mengetahui aku menikah lagi, tapi ... apa dia masih mau bersamaku lagi?” batin Abbas merasa bimbang.“Jika
Beberapa hari berlaluAbuya dan beberapa santri mengantar Abbas mengunjungi rumah Halimah di kawasan Jakarta Selatan.Suasana begitu khidmat di dalam ruangan tamu rumah itu. Sederhana, akan tetapi begitu sakral di rasa.“Kami selaku orang tua setuju menerima lamaran dari Abuya untuk ananda Muhammad Abbas kepada putri kami Halimah Assya’diyah karena sebelum ini kami sudah bermusyawarah dengan putri kami yang bersangkutan berserta keluarga besar," tutur Abah, orang tua dari Halimah dan juga Zahra.“Alhamdulillah.” Ucapan syukur terdengar dari setiap mulut yang hadir di sana.“Insyaallah akan kami proses segera untuk akadnya, mudah-mudahan di permudah,” ujar Abuya di iringi anggukan oleh keluarga Halimah.“Baik, kami rasa sudah cukup. Maaf tidak bisa berlama-lama, Kami ada hajat yang lain. Terima kasih atas semuanya.”“Kami yang banyak b
Sayyidah diam terpaku, ia merasakan perbedaan kehidupannya yang sangat jauh saat tinggal bersama Abbas.Laki-laki itu tak pernah menyinggung apapun tentang seks, yang ia ucapkan selalu benar, jelas dan sopan.Tak pernah Sayyidah mendengar kata-kata kotor yang keluar dari mulutnya.“Meskipun begitu aku selalu mengatakan Abbas mesum! Padahal jika di banding dengan Sofyan ....”“Ish! Kenapa sih jadi banding-bandingin gini! Lo bener-bener plin-plan Sayyidah!” Gadis itu mentonyor kepalanya sendiri.Tangannya melepas hijab yang melekat di kepala. Sekilas ia pandangi kain berwarna hijau botol tersebut.“Malu rasanya mengenakan penutup, tapi gue seolah-olah nggak punya rasa malu. Wanita murahan yang mudah di rayu! Ya salaam ....” Sayyidah mengibaskan hijabnya begitu saja.“Zahra!” Sayyidah segera meraih benda pipih yang ia banting sebelumnya. Ia bergegas menek
“Zahra!” pekik Sayyidah. Setelah memutuskan untuk mendatangi kafe langganannya dan Zahra, Sayyidah menemukan sahabatnya itu berkumpul dengan beberapa gadis yang sangat ia kenal. “Dia lagi ngapain sama Tasya, Celline dan Rani?” Ia segera bersembunyi di balik dinding seraya memperhatikan mereka. Sayyidah masih merasa segan untuk mendekat atau berbincang dengan mereka, apalagi sikap Zahra yang akhir-akhir cuek kepadanya. “Gue pernah denger nasehat dari guru Kaka gue, katanya 'mencintai bukanlah sebuah kesalahan. Namun, ketika cinta di tunggangi oleh hawa nafsu saat itulah terjadi kesalahan'." "Maaf, ya, gue bahas di luar konteks pacaran ... dalam islam ada empat kriteria dalam memilih pasangan. Harta, tahta, rupa, agama," jelas Zahra seraya menunjukkan jari-jemarinya satu persatu. "Akan tetapi dari keempat kriteria itu yang paling bagus adalah nomer empat, sebab itu kalau pilih pasangan lihat dulu agamanya, baru rupa, ha
Ketiga wanita di sampingnya merasa bingung menanggapi Sayyidah, mereka saling bertatapan satu sama lain. Mereka tahu betapa hancur perasaan gadis di hadapannya itu. “Gue minta maaf sama lo Ran, Cell ... dengan bodohnya gue berharap bisa merebut hati Sofyan dari kalian," ungkap Sayyidah penuh penyesalan. “Udah Say, semuanya nggak berguna sekarang. Kita harus bersatu menjadi teman dan saling merangkul untuk mengingatkan serta membantu sesama teman yang membutuhkan,” ungkap Celline. Sayyidah manggut-manggut menanggapinya dengan ekspresi sendu. *****Sepanjang perjalanan ke rumah dengan sebuah taksi online, Sayyidah menggelengkan kepalanya berulang kali seraya mengerjapkan mata, ia berusaha menyadarkan diri ... mungkin saja yang ia alami hanya sebuah mimpi buruk yang terjadi. “Aww!” jerit Sayyidah saat mencubit lengannya sendiri. “Kenapa Kak?” seru pengemudi taksi kepadanya dengan panik. “Nggak papa P
Seorang laki-laki yang sedang bertransaksi dengan seorang pedagang tiba-tiba konsentrasinya buyar.“APA Bi?!” Abbas tersentak kaget saat mendapat kabar tentang istrinya dari Bi Sari.“Baik Bi, saya akan berusaha mencarinya. Terima kasih banyak.”“Assalamuallaikum.”Klik!“Maaf Pak, saya tinggal dulu. Tolong sisihkan kain yang saya perlukan, ya?!” pinta Abbas.“Ohgitu ... oke Mas.” Penjual kain yang biasa berlapak di pasar Tanah Abang tersebut mengiyakan.Lagipula Abbas sudah menjadi pelangganan barunya beberapa bulan ini, setelah pemuda itu memutuskan terjun dalam berbisnis di bagian pakaian muslim.Setelah mematikan teleponnya, Abbas buru-buru pamit kepada sang penjual yang sudah bekerjasama dengannya. Ia segera mengemudikan mobil yang ia bawa.“Ya Allah ... mungkin ini salah satu hikmah membeli beberapa kain
“Huft!” Sayyidah mendengus kesal, ingin rasanya ia memprotes sikap dingin Abbas kepadanya, akan tetapi untuk moment seperti ini tidak baik rasanya ia langsung menunjukkan jati diri setelah berpisah beberapa bulan lamanya. Beringsut Sayyidah membaringkan tubuhnya di atas ranjang. “Apakah aku akan menjadi wanita seutuhnya untukmu, Bas? Apa kamu akan tetap menduakanku? Atau malah kamu hanya kasihan kepadaku,” gumam Sayyidah menerka-nerka. Kedua netranya tak berkedip menatap dinding yang kosong. “Sayyidah, ayo minum dulu biar hangat!” Gadis itu membeliak mendengar suara berat sang suami di sisinya. Sayyidah segera memutar tubuhnya, rupanya Abbas telah membawa dua gelas yang mengepul di atas nampan. “Wedang jahe, biar lebih hangat setelah hujan-hujanan.” Abbas menyodorkan satu gelas dengan tatakan piring kecil di bawahnya kepada Sayyidah. Tubuhnya mendarat di samping sang istri, perlahan ia menyeruput sed
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt