“Terima kasih banyak, Julian. Hari ini sangat menyenangkan,” ucap Katniss dengan senyum semringah.
“Sama sekali bukan masalah. Nanti, jika kau sudah memiliki waktu luang lagi, kabari saja di mana pertemuan ketiga kita,” timpal Julian, sukses membelalakkan mata gadis yang berdiri di sampingnya.
“Pertemuan ketiga?” batin Mia sembari menelan ludah.
Dadanya yang sesak kini terasa semakin tertekan. Jika saja ia tidak sedang menggendong bayi yang sedang tertidur, dirinya pasti sudah mengeratkan cengkeraman, menggenggam kekesalan yang tak mungkin diucapkan.
“Baiklah. Nanti kukabari. Mungkin, setelah summer fashion week putaran ini,” sahut Katniss dengan anggukan meyakinkan. “Atau ..., mungkin kau mau menemuiku di sana?”
“Dan melihatmu mengenakan bikini?” celetuk Julian sama sekali tanpa beban. “Tidak, terima kasih.”
Mia tidak sanggup lagi bergabung dalam pe
Gabriella mengerutkan alis saat melihat putranya menangis sembari merentangkan tangan ke arahnya. Dengan bibir mengerucut, wanita itu mengambil sang bayi dari tangan sang sekretaris.“Cup, cup, cup. Jangan menangis, Cayden. Mama di sini,” ucap Gabriella seraya menimang-nimang putranya.Namun, tiga detik berlalu, sang bayi masih terus menitikkan air mata. Sembari memutar pandangan, ia meraung, “Da ... da ....”Mendengar panggilan putranya, Max mempercepat langkah menuruni tangga. Begitu tiba di hadapan Gabriella, ia langsung menggendong putranya.“Kenapa kau menangis, Pangeran Kecil? Bukankah tadi pagi kau sangat bersemangat mengikuti Paman dan Bibi? Kau bahkan melambai dengan riang saat mobil membawamu pergi,” tutur Max dengan nada khas orang dewasa saat berbicara dengan anak kecil.Perlahan-lahan, air mata Cayden mulai surut. Selang beberapa saat, yang tersisa hanyalah mata merah dan bibir yang cemberut. Sambil
“Sepertinya, aku tahu apa yang membuat Mia marah.” Kalimat Julian itu sukses menaikkan alis wanita di seberang meja.“Apa?” tanya Gabriella sebelum melahap suapan pertamanya.Selang satu desah napas cepat, sang kakak ipar kembali menegakkan kepala dan menunjukkan tampang lesu. “Tadi, kami bertemu dengan seorang gadis kecil. Dia sangat mengagumi Katniss dan berimpian untuk menjadi model. Sang ibu terlihat sangat mendukung impian gadis kecil itu.”Mendengar jawaban yang di luar dugaan, Gabriella sontak bertatapan dengan suaminya yang juga mengerutkan alis.“Lalu, apa hubungan gadis itu dengan kemarahan Mia?” selidik Max yang tak bisa menahan kebingungan.“Bukankah itu sudah jelas? Mia pasti iri dengan gadis kecil itu. Impiannya tidak didukung oleh sang ibu.”Mendapat respon yang begitu tidak masuk akal, helaan napas tak percaya terlepas dari mulut Gabriella. “Itu terlalu kekanak
“Tolong jangan begitu, Bu. Kalau Ibu menentang hubungan kami lagi, masalah akan semakin rumit dan pikiranku pun bertambah kacau. Ibu tidak boleh membatalkan restu yang sudah diberikan kepada kami,” protes Mia dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Kesedihan, kekhawatiran, dan ketegangan telah bercampur aduk, memberi kesan aneh pada sorot matanya.“Kalau begitu, kau tidak harus berhenti berpikiran yang tidak-tidak. Kecurigaan dan kekhawatiranmu belum tentu benar, Mia. Saat ini, bisa saja kau hanya menghabiskan waktu dan tenaga,” tegas Minnie sembari memegangi lengan putrinya.Tak ingin perdebatan bertambah panjang, sang gadis akhirnya menghela napas dan merendahkan pandangan. “Baiklah, aku tidak akan mengeluh lagi. Maaf jika sudah membuat Ibu cemas dan pusing dengan sikap anehku ini,” ujar Mia sebelum meraih tas dan menyandangnya. Sedetik kemudian, ia melangkah menuju pintu.Melihat sang putri hendak pergi tanpa pamit, Minni
Dengan lengkung bibir melukiskan kebahagiaan, Julian membuka kotak bekalnya di hadapan sang sekretaris.“Lihatlah! Bukankah roti lapis ini sangat menggiurkan?” tanyanya sebelum menarik kursi dan duduk lebih merapat dengan meja. Sedetik kemudian, pria itu mendorong kotak mendekati sang gadis.“Ini roti gandum pilihan dengan isian telur kocok yang ditambahkan dengan irisan sayuran hijau, daun bawang, dan tomat. Coba kau perhatikan! Bukankah warna kuningnya sangat cantik? Ini karena telur ayam yang digunakan juga pilihan,” jelasnya sembari menunjuk isian roti yang tampak tebal.Dengan raut datar, Mia memperhatikan objek presentasi sang CEO. Entah mengapa, otaknya terus membayangkan Katniss beraksi di dapur Julian.“Lalu, perhatikan ini!” lanjut sang pria seraya menggeser telunjuk ke sisi lain dari kotak bekal. “Ini juga sayur dan buah pilihan. Semua komposisi dalam kotak bekal ini sudah diperhitungkan dengan matang,
“Tuan Herbert?” desah Mia tak percaya.“Ya,” angguk Julian canggung. Ia sadar bahwa pernyataannya memang janggal. Ia belum mengatakan bahwa dirinya sudah berdamai dengan sang ayah berkat Katniss. “Tapi, kau tidak usah khawatir, Mia. Aku bisa menangani semuanya dengan baik. Nanti, jika semua masalah telah terselesaikan, aku akan menceritakan semuanya kepadamu.”Mendengar penjelasan yang terkesan abu-abu tersebut, alis sang sekretaris semakin kusut. Ia tahu bahwa sang pria sedang menyembunyikan sesuatu darinya.“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan nada menggantung.Sambil menjaga lengkung bibir yang teramat kaku, Julian mengangguk. “Tentu saja,” ucapnya lewat pita suara yang terjepit.Tak tahu harus mengatakan apa lagi, sang pria pun menepuk lengan kekasihnya. “Ayo kita ke lift. Aku tidak mau membuat Papa menunggu,” ajaknya dengan alis terdesak kecanggungan.D
Selagi kamera tertuju pada sang bayi, Gabriella dapat dengan leluasa mengamati Mia. Gadis yang duduk di sampingnya itu tampak jelas sedang menggertakkan geraham. Tangannya gemetar mencengkeram kejengkelan, sementara napasnya tertahan membendung kekecewaan. Hati sang sekretaris belum pernah sepanas dan sepedih itu.“Hai, Pangeran Kecil! Apakah kau suka mainan barumu?” Katniss mengulangi pertanyaan.Dengan berat hati, Gabriella pun menjawab sambil meniru suara anak kecil. “Ya, aku sangat suka, Tante. Terima kasih banyak.”“Wah, syukurlah!” desah sang model sembari menyatukan tangan di bawah dagu.“Memangnya, apa yang kau berikan untuk Pangeran Kecil?” tanya Julian terdengar santai.“Mainan edukasi. Aku jauh lebih memikirkan masa depan keponakanmu dibandingkan dirimu, kau tahu,” sahut Katniss terkesan akrab, membubuhkan garam pada luka batin sang sekretaris.Menyaksikan Mia telah
“Kenapa Anda tidak menghampiri mereka, Nona? Bukankah jika Anda berada di sana, kecurigaan bisa diluruskan?” ucap sang sopir memperjelas pertanyaan.Setelah mengakhiri perenungan, Mia tiba-tiba mengembuskan tawa hambar. “Itu sia-sia, Pak. Kehadiran saya tidak akan mengubah apa-apa,” sahutnya sembari menggeleng samar.“Kenapa?” tanya sang sopir dengan nada menanjak.“Karena mustahil saya bisa mengalahkan perempuan itu. Dia terlalu sempurna. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia,” terang sang gadis sebelum tertunduk menyimpan penyesalan.“Apakah Anda dan wanita itu sedang bersaing?”Mendapat pertanyaan semacam itu, Mia kembali memelihara hening. Sambil berkedip-kedip, ia menerungkan kata-kata sang sopir.“Anda mengatakan tidak bisa mengalahkan wanita itu. Bukankah itu berarti, kalian sedang bersaing? Ataukah ... saya sudah salah memahami?” tanya pria tua itu la
Sekali lagi, Mia mengamati bunga biru di telapak tangannya. Seraya menyeka air mata yang menghangatkan pipi, gadis itu menghirup napas dalam-dalam.“Aku tidak seharusnya berkecil hati. Banyak orang menyayangi dan mendukungku,” gumam sang sekretaris sebelum menggeser pandangan menuju album foto di pangkuannya.Tanpa membuang waktu, Mia meletakkan surat dan resin di atas meja. Setelah itu, sambil tersenyum tipis, ia membuka album dengan perlahan. Begitu melihat foto dirinya dalam balutan gaun pengantin, tawa kecil sontak memecah keheningan.“Ibu pasti akan terkejut jika melihat ini,” gumam Mia sembari mengamati foto-foto ia dan Julian di hadapan Jack.Wajah-wajah yang diabadikan dalam gambar itu tampak sangat kaku. Orang yang tidak mengetahui kebenaran pasti akan menganggap mereka memang sepasang pengantin yang sedang gugup dihadapkan pada janji suci.“Astaga, kenapa Julian seperti ini? Jelek sekali,” gumam Mia, me