Merasa tak nyaman berada di dekat Katniss seorang diri, Julian akhirnya mengayunkan kaki mengikuti jejak sang kekasih. Namun, bukannya tersinggung, sang model malah turut melangkah, mengimbangi kecepatan pria yang diam-diam mendesah.
“Saya dengar, Anda sedang menghindar dari Tuan Herbert. Apakah itu benar?” tanya Katniss dengan nada santai.
Merasa diinterogasi, Julian pun melirik dari bawah kerut alis. “Apakah ayah saya meminta Anda untuk menanyakannya?”
“Oh, tidak. Saya hanya penasaran saja. Jika memang kehadiran saya penyebabnya, saya ingin meminta maaf,” sahut sang wanita sembari menunjukkan lengkung bibir yang tulus.
Sadar bahwa Katniss Johnson mengetahui keberatannya selama ini, Julian sontak menghentikan langkah. Dengan tatapan yang menyempit, ia meneliti kejujuran dari sorot mata di hadapannya.
“Jadi, Anda sadar bahwa saya terpaksa menemui Anda?” selidik sang pria dengan kepala yang condong men
“Waaa ...” desah Cayden saat berdiri memegang pagar kayu. Matanya yang berbinar-binar tak lepas dari kelinci “raksasa” yang baru pertama kali dijumpainya.Menyaksikan kelucuan sang bayi, Mia pun tersenyum kecil. “Apakah kamu suka melihatnya?” tanya gadis yang tak pernah melepas tangannya dari Cayden.Tiba-tiba, telunjuk mungil sang bayi tertuju pada kelinci hitam yang berada di tengah kandang. Setelah memastikan Mia melihat arah yang ditunjuknya, ia membuka dan mengepalkan tangan secara bergantian.“Apakah kamu mau meraihnya?” tanya Mia seraya menaikkan alis.“Yayaya!” seru Cayden memanggil hewan itu untuk datang.“Maaf, Pangeran Kecil. Kita tidak boleh masuk ke dalam sana. Jadi, kita tunggu saja dia mendekat, hm?”Sembari membelai bayi yang terus berteriak, Mia melirik ke arah kekasihnya yang masih berbincang dengan sang model. Julian tampak sangat gembira. Sesekali, pr
“Omong-omong, setelah ini kau mau mengajak Cayden ke mana?” tanya Julian memecah keheningan yang mencekam hati sang sekretaris.“Entahlah,” sahut Mia tanpa menoleh. Ia tidak mau sang kekasih mendeteksi perasaannya yang sedang kacau.Alih-alih mempertanyakan gelagat aneh sang sekretaris, Julian malah meruncingkan telunjuk ke suatu arah. “Di situ ada tempat untuk memberi makan hewan. Pangeran Kecil pasti akan senang. Bagaimana menurutmu?”Hanya lewat lirikan mata, Mia memeriksa apa yang diusulkan oleh sang CEO. Setelah melihat kandang berisi kambing, gadis itu mengangguk tipis. “Ide bagus,” sahutnya datar, sembari menutup botol yang diserahkan oleh Cayden.“Apakah kau sudah kembali bersemangat?” selidik Julian sembari mendekatkan wajah pada keponakannya yang duduk di pangkuan sang sekretaris.“Jajajaja ...” oceh Cayden selagi Mia menyeka keringat di lehernya. Dengan mata yang ber
“Terima kasih banyak, Julian. Hari ini sangat menyenangkan,” ucap Katniss dengan senyum semringah.“Sama sekali bukan masalah. Nanti, jika kau sudah memiliki waktu luang lagi, kabari saja di mana pertemuan ketiga kita,” timpal Julian, sukses membelalakkan mata gadis yang berdiri di sampingnya.“Pertemuan ketiga?” batin Mia sembari menelan ludah.Dadanya yang sesak kini terasa semakin tertekan. Jika saja ia tidak sedang menggendong bayi yang sedang tertidur, dirinya pasti sudah mengeratkan cengkeraman, menggenggam kekesalan yang tak mungkin diucapkan.“Baiklah. Nanti kukabari. Mungkin, setelah summer fashion week putaran ini,” sahut Katniss dengan anggukan meyakinkan. “Atau ..., mungkin kau mau menemuiku di sana?”“Dan melihatmu mengenakan bikini?” celetuk Julian sama sekali tanpa beban. “Tidak, terima kasih.”Mia tidak sanggup lagi bergabung dalam pe
Gabriella mengerutkan alis saat melihat putranya menangis sembari merentangkan tangan ke arahnya. Dengan bibir mengerucut, wanita itu mengambil sang bayi dari tangan sang sekretaris.“Cup, cup, cup. Jangan menangis, Cayden. Mama di sini,” ucap Gabriella seraya menimang-nimang putranya.Namun, tiga detik berlalu, sang bayi masih terus menitikkan air mata. Sembari memutar pandangan, ia meraung, “Da ... da ....”Mendengar panggilan putranya, Max mempercepat langkah menuruni tangga. Begitu tiba di hadapan Gabriella, ia langsung menggendong putranya.“Kenapa kau menangis, Pangeran Kecil? Bukankah tadi pagi kau sangat bersemangat mengikuti Paman dan Bibi? Kau bahkan melambai dengan riang saat mobil membawamu pergi,” tutur Max dengan nada khas orang dewasa saat berbicara dengan anak kecil.Perlahan-lahan, air mata Cayden mulai surut. Selang beberapa saat, yang tersisa hanyalah mata merah dan bibir yang cemberut. Sambil
“Sepertinya, aku tahu apa yang membuat Mia marah.” Kalimat Julian itu sukses menaikkan alis wanita di seberang meja.“Apa?” tanya Gabriella sebelum melahap suapan pertamanya.Selang satu desah napas cepat, sang kakak ipar kembali menegakkan kepala dan menunjukkan tampang lesu. “Tadi, kami bertemu dengan seorang gadis kecil. Dia sangat mengagumi Katniss dan berimpian untuk menjadi model. Sang ibu terlihat sangat mendukung impian gadis kecil itu.”Mendengar jawaban yang di luar dugaan, Gabriella sontak bertatapan dengan suaminya yang juga mengerutkan alis.“Lalu, apa hubungan gadis itu dengan kemarahan Mia?” selidik Max yang tak bisa menahan kebingungan.“Bukankah itu sudah jelas? Mia pasti iri dengan gadis kecil itu. Impiannya tidak didukung oleh sang ibu.”Mendapat respon yang begitu tidak masuk akal, helaan napas tak percaya terlepas dari mulut Gabriella. “Itu terlalu kekanak
“Tolong jangan begitu, Bu. Kalau Ibu menentang hubungan kami lagi, masalah akan semakin rumit dan pikiranku pun bertambah kacau. Ibu tidak boleh membatalkan restu yang sudah diberikan kepada kami,” protes Mia dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Kesedihan, kekhawatiran, dan ketegangan telah bercampur aduk, memberi kesan aneh pada sorot matanya.“Kalau begitu, kau tidak harus berhenti berpikiran yang tidak-tidak. Kecurigaan dan kekhawatiranmu belum tentu benar, Mia. Saat ini, bisa saja kau hanya menghabiskan waktu dan tenaga,” tegas Minnie sembari memegangi lengan putrinya.Tak ingin perdebatan bertambah panjang, sang gadis akhirnya menghela napas dan merendahkan pandangan. “Baiklah, aku tidak akan mengeluh lagi. Maaf jika sudah membuat Ibu cemas dan pusing dengan sikap anehku ini,” ujar Mia sebelum meraih tas dan menyandangnya. Sedetik kemudian, ia melangkah menuju pintu.Melihat sang putri hendak pergi tanpa pamit, Minni
Dengan lengkung bibir melukiskan kebahagiaan, Julian membuka kotak bekalnya di hadapan sang sekretaris.“Lihatlah! Bukankah roti lapis ini sangat menggiurkan?” tanyanya sebelum menarik kursi dan duduk lebih merapat dengan meja. Sedetik kemudian, pria itu mendorong kotak mendekati sang gadis.“Ini roti gandum pilihan dengan isian telur kocok yang ditambahkan dengan irisan sayuran hijau, daun bawang, dan tomat. Coba kau perhatikan! Bukankah warna kuningnya sangat cantik? Ini karena telur ayam yang digunakan juga pilihan,” jelasnya sembari menunjuk isian roti yang tampak tebal.Dengan raut datar, Mia memperhatikan objek presentasi sang CEO. Entah mengapa, otaknya terus membayangkan Katniss beraksi di dapur Julian.“Lalu, perhatikan ini!” lanjut sang pria seraya menggeser telunjuk ke sisi lain dari kotak bekal. “Ini juga sayur dan buah pilihan. Semua komposisi dalam kotak bekal ini sudah diperhitungkan dengan matang,
“Tuan Herbert?” desah Mia tak percaya.“Ya,” angguk Julian canggung. Ia sadar bahwa pernyataannya memang janggal. Ia belum mengatakan bahwa dirinya sudah berdamai dengan sang ayah berkat Katniss. “Tapi, kau tidak usah khawatir, Mia. Aku bisa menangani semuanya dengan baik. Nanti, jika semua masalah telah terselesaikan, aku akan menceritakan semuanya kepadamu.”Mendengar penjelasan yang terkesan abu-abu tersebut, alis sang sekretaris semakin kusut. Ia tahu bahwa sang pria sedang menyembunyikan sesuatu darinya.“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanyanya dengan nada menggantung.Sambil menjaga lengkung bibir yang teramat kaku, Julian mengangguk. “Tentu saja,” ucapnya lewat pita suara yang terjepit.Tak tahu harus mengatakan apa lagi, sang pria pun menepuk lengan kekasihnya. “Ayo kita ke lift. Aku tidak mau membuat Papa menunggu,” ajaknya dengan alis terdesak kecanggungan.D
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb