Dua detik kemudian, Gabriella keluar dengan tampang tanpa dosa. Sudut bibirnya sampai berkedut karena menahan tawa. “Ada apa, Tuan?” tanyanya sambil menaikkan alis.
“Air! Berikan saya air!” pinta pria yang masih kewalahan dengan sensasi terbakar di dalam mulutnya.
“Air? Bukankah saya sudah menyediakan segelas air?” timpal gadis yang hendak berjalan mengambilkan gelas.
Belum sempat Gabriella melangkah, tangannya sudah lebih dulu dicengkeram oleh sang CEO. “Berhenti mempermainkan diriku! Sekarang juga, cepat berikan saya air murni! Bukan air garam!”
Tanpa terduga, gadis bertampang lugu itu mulai tertawa. Ketika ia berhenti, ketegangan langsung melapisi wajahnya.
“Maaf, Tuan, tapi hanya itu yang bisa saya sajikan untuk Anda. Kalau Tuan ingin meminum air segar, sebaiknya Anda cepat pergi dari rumah ini dan belilah air di warung terdekat. Ck, andai saja warung di ujung gang itu masih ada, Anda dapat membeli air minum di sana. Sayang sekali, warung itu sudah menjadi puing-puing sekarang.”
Max tidak dapat lagi menahan marah. Napasnya telah bergemuruh dan tangannya ingin sekali mencengkeram kerah baju gadis di hadapannya. Ia belum pernah direndahkan seperti itu.
“Jadi, Anda tidak mau memberikan saya air?” tanyanya dengan nada rendah dan tertekan. Mata tajamnya sesekali melirik ke arah bibir sang gadis yang melukiskan penghinaan.
Gabriella menggeleng tanpa keraguan.
“Apakah Anda menderita? Seperti itulah rasanya saya menyaksikan tempat ini diratakan dan malangnya, saya tidak bisa mencari air seperti Anda.”
Helaan napas kesal lolos dari mulut Max. “Jadi, Anda ini orang yang pendendam? Baiklah, saya mengerti sekarang. Kita harus membalas perlakuan orang lain terhadap kita,” angguk pria itu dengan mata membara.
“Syukurlah kalau Anda paham. Sekarang, tunggu apa lagi? Bukankah Anda harus segera mencari air?”
Max menggeleng cepat dan mendenguskan tawa. “Apakah Anda tidak sadar? Saya sudah menemukan sumber air terdekat di sini.”
Mata Gabriella membulat. “Di sini? Di mana?” Gadis itu celingak-celinguk memeriksa kondisi sekitar. Seingatnya, ia telah menyimpan semua persediaan air minum di dapur.
“Di sini.” Sang CEO mengangkat dagu Gabriella agar dirinya bisa mengisap saliva dari sang wanita.
Napas Gabriella seketika tertahan. Pelupuknya bergeming sementara bola matanya bergetar. Sekujur tubuhnya tidak mampu digerakkan. Selama beberapa detik, gadis itu membiarkan lidah sang pria menguasai mulutnya. Begitu kesadaran kembali, barulah tangannya mendesak dada Max menjauh dan tak segan menampar laki-laki itu.
“Kau gila!” umpat Gabriella sembari mengelap bibir yang terasa kotor. “Beraninya kau menciumku!”
“Kenapa? Bukankah Anda yang meminta saya mencari sumber air terdekat?” timpal Max sambil mengangkat pundak dan tangan. Mulutnya yang sedikit menganga masih berdenyut-denyut karena rasa pedas.
“Menjijikkan! Aku bilang air, bukan kesempatan.” Sang gadis meringis dan melangkah menuju dapur.
Setelah pintu terbuka oleh anak kunci dari saku celananya, Gabriella mengambil segelas air lalu menenggaknya. Akan tetapi, hingga tetes terakhir pun, rasa terbakar masih bersisa di lidahnya.
“Sekarang Anda bisa merasakan penderitaan dari kopi dan air garam yang Anda buat sendiri.”
Mata sang gadis langsung tergerak mengikuti sumber suara. “Kenapa kau masih di sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu keluar?”
“Urusan kita masih belum selesai, Nona. Lagipula, Anda masih belum memberi saya air.” Max melirik ke arah gelas di tangan sang gadis lalu beralih ke galon air.
Mata Gabriella berkedip-kedip tak percaya. “Kau masih berani meminta dua hal itu kepadaku? Setelah apa yang kau lakukan padaku?”
“Bukankah saya sudah membayarnya?” ucap sang CEO dengan santai. Lawan bicaranya sampai tersentak oleh kebingungan.
“Saya sudah membayarnya dengan ini. Tamparan Anda sudah cukup kuat untuk membuat kita impas.” Telunjuknya mengarah ke cap lima jari di pipi.
“Tunggu dulu! Apakah Anda ini benar-benar karyawan di Quebracha Company? Orang yang tidak bermoral dan berotak dangkal seperti Anda mustahil bisa diterima bekerja di perusahaan sebesar itu.”
Desis di mulut sang CEO sontak berubah menjadi tawa hambar.
“Apa itu barusan? Anda mengatakan saya tidak bermoral dan berotak dangkal?”
“Ya! Kalau kau memiliki moral dan otak, tidak mungkin kau masuk ke rumah orang, menimbulkan keributan, lalu mencium gadis yang bahkan belum kau kenal.” Mata sang gadis mulai mengobarkan kemarahan.
“Maaf, Nona. Sepertinya Andalah yang berotak dangkal. Saya datang ke sini baik-baik, tapi Anda malah memancing keributan.”
Gabriella kini menggeleng-geleng tak habis pikir. “Susah sekali bicara dengan orang berotak udang seperti ini.”
“Benarkah? Bukankah Anda yang berotak udang? Mana ada orang cerdas memasukkan sebotol bubuk cabai ke dalam kopi?” Sorot mata Max tertuju pada wadah kecil yang sudah kosong dengan segel plastik masih berantakan di sampingnya.
Alih-alih merasa bersalah, Gabriella malah mendengus dan melipat tangan di depan dada. “Ck, seharusnya saya memasukkan dua botol ke dalam kopi tadi.”
Tiba-tiba, sang CEO melangkah cepat dan mendesak gadis itu hingga terpojok ke lemari dapur. Dengan mata yang membara, ia memangkas jarak pandang di antara mereka. Gabriella refleks menutup mulut dengan kedua tangan, takut jika pria itu kembali nekat menciumnya.
“Sepertinya, Anda ini wanita yang kurang berhati-hati, ya? Di rumah terpencil dan sepi ini, Anda berani menantang seorang laki-laki,” bisik Max dengan lengkung bibir misterius. Perubahan sikapnya itu sukses menundukkan kepala sang gadis. Namun, mata bulat Gabriella tetap mengintip.
“Apa yang mau kau lakukan? Jangan macam-macam!”
Max pun menyeringai dan memagari gadis itu dengan kedua tangannya. “Saya hanya meminta dua hal. Tanda tangan Anda di kontrak itu dan air. Anda tidak diam-diam berharap saya akan mencium Anda lagi, kan?” ucap pria itu mengintimidasi.
Belum sempat Gabriella memikirkan jalan keluar, tangan sang pria sudah lebih dulu menyentuh pinggangnya. Mata bulat gadis itu sontak memancarkan ketakutan. Dengan satu gerakan, ia mendesak gelas dalam jangkauannya ke dada sang CEO.
“Ini gelas favoritku. Jangan kau rusak!” ucapnya dengan suara tercekik.
Senyum Max perlahan kembali terbit. “Terima kasih.” Ia pun mengambil air dan minum sepuasnya.
Setelah Gabriella terbirit-birit keluar dari dapur, barulah pria itu leluasa mengamati dapur yang minimalis.
“Apakah dia memang tinggal sendiri?” batin Max ketika melihat hanya ada satu set peralatan makan di rak piring. Sedetik kemudian, ia memperhatikan gelas berbentuk beruang kutub di tangannya.
“Pantas saja ini gelas favorit,” cibirnya sembari meletakkan satu-satunya gelas yang terlihat itu di atas rak.
“Ini kontrak yang kau mau. Sekarang pergilah!” usir Gabriella setelah mendesak map ke dada sang pria.
Alih-alih mengangkat kaki, Max malah membuka map. Begitu melihat apa yang telah dilukis oleh si tuan rumah, senyum jengkel langsung tersungging di wajahnya.
“Anda benar-benar menganggap saya orang bodoh?” ujar sang CEO dengan penuh penekanan. Tidak ada lagi kesabaran yang tersisa dalam dirinya. “Anda pikir, saya percaya bahwa ini tanda tangan Anda?”
Dua bulatan kecil yang menyerupai mata dengan satu garis lengkung yang mirip senyuman kini dihadapkan ke depan wajah Gabriella.
“Ya, memang itulah tanda tanganku. Emotikon smiley.”
Darah Max seketika mendidih dan mengepul di kepalanya.
“Jadi, Anda bersungguh-sungguh tidak ingin menandatangani surat ini?” tanya Max sambil menahan gemuruh napasnya.“Apa maksudmu? Aku sudah menandatangani surat itu,” sahut Gabriella dengan alis berkerut. Nada bicaranya tidak lagi sopan kepada pria itu.“Oke! Jangan salahkan saya jika hal buruk terjadi pada rumah Anda.”“Apa kau sedang menyumpahiku? Aku sudah menandatangani surat itu. Kalian tidak boleh mengusik rumah ini lagi.”“Selamat siang!” Max pergi usai melampiaskan kekesalannya lewat kata-kata. Tidak biasanya pria itu gagal mengendalikan emosi.“Perempuan itu tidak normal,” umpat sang CEO begitu masuk ke mobil. Laki-laki di balik kemudi langsung menoleh ke arahnya.“Tidak normal bagaimana?”“Bayangkan saja, dia memberiku kopi pedas dan air garam. Dia bahkan tidak memberiku air untuk mencuci mulut,” cerita Max dengan raut sebal.“Benarkah? Lalu, dengan apa kau mencuci mulut?”Kedipan mata sang CEO sontak tertahan. Lembutnya
“Apa yang akan dilakukan perempuan itu?” batin Max di tengah makan malam. Nasi di piringnya sudah hampir habis, tetapi perdebatan dalam benaknya masih belum berakhir.“Apakah dia akan melakukan hal gila yang lain? Ck, sebenarnya, siapa orang yang membayarnya untuk menjalani sandiwara ini?”“Maaf, Tuan. Ada telepon dari pos penjaga,” tutur seorang pelayan sembari menunduk dan menyodorkan ponsel.Alis Max spontan terangkat. “Pos penjaga?” tanyanya yang dijawab dengan anggukan si pelayan.“Apa mungkin ... perempuan gila itu datang ke sini?”Tanpa membuang waktu, sang CEO menjawab panggilan. “Ada apa, Pak?”“Ada seorang gadis memaksa ingin bertemu dengan Tuan.”Raut wajah Max seketika berubah kaku. “Siapa?”“Namanya Gabriella.”Helaan napas langsung lolos dari mulut sang pria.“Benar-benar di luar dugaan.
“Dasar tidak punya hati! Bukannya meminta maaf, kau malah menghina rumahku? Menghina kenanganku?”Gabriella menjambak rambut Max dengan brutal. Meski meringis, pria itu masih bisa berdiri tegak. Tangannya pun tak ragu untuk mencengkeram pergelangan sang gadis dan membekukan serangan.“Untuk apa saya meminta maaf? Saya tidak bersalah.“Tawa kesal Gabriella pun terdengar.“Kau tidak bersalah? Hah? Kau kira aku percaya? Bukankah kau sendiri yang pernah memberiku ancaman? Apa kau lupa?” sanggah sang gadis seraya menyentakkan tangan mencoba lepas dari genggaman tangan yang lebih besar.“Saya memang pernah mengancam, tapi itu hanya ucapan belaka. Bukan saya yang menghancurkan rumah Anda.”Gabriella mulai melompat-lompat menambah kekuatan pada tarikan.“Lepaskan! Aku tidak mau disentuh oleh pembual kejam sepertimu!”“Pembual? Kau menuduhku pembual?”Max memutar tubuh Gabriella dan menguncinya dari belakang. Dengan posisi tangan bersilan
“Kurang ajar! Kapan si peneror itu memasukkan obat ke dalam makananku?” pikir Max seraya mengisi bak dengan air dingin.Tanpa memedulikan air yang baru setinggi mata kaki, ia masuk begitu pakaiannya sudah ditanggalkan habis. Pria itu kini terpejam sembari berusaha mengatur napas.“Astaga! Aku bisa gila!”Sang CEO mengambil sabun dan melakukan permainan sendiri. Akan tetapi, gelora dalam dirinya terlalu besar untuk ditaklukkan. Bahkan setelah ia membasuh diri, panas yang menjalar dalam nadi tak kunjung padam, sementara rasa haus akan wanita malah semakin membara.“Aku tidak tahan lagi!”Max keluar dari air dan menyeka badan sekenanya. Tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, ia pergi menemui wanita yang masih tertidur lelap.“Maafkan saya, Nona .... Tapi, Anda sendiri yang datang ke rumah ini. Anda pasti sudah rela menyerahkan diri agar saya bisa melampiaskan rasa ini.”Max dengan tergesa-gesa melucuti pakaian Gabriella. Ia bahkan sama sek
Begitu keluar dari kamar mandi, sang CEO menatap Gabriella dengan tampang jijik. Sambil membuka lemari dan mengambil pakaian, laki-laki itu berkata, “Hentikan air mata buayamu itu! Tidak akan membuatku tersentuh.”Sang gadis tidak menjawab. Ia bergeming dengan mata melotot ke arah Max. Dirinya tahu bahwa apa pun yang keluar dari mulutnya tidak akan dipercaya oleh laki-laki itu. Jadi, diam adalah jawaban terbaik.“Kuberi kau satu kesempatan lagi. Katakan ... siapa yang membayarmu untuk semua kekacauan ini? Jika kau jujur, aku akan memberimu toleransi.”Hingga sang CEO selesai mengenakan pakaian lengkap, Gabriella tetap mengunci suara. Isak tangis pun ia telan agar dirinya tidak dianggap lemah. Selelah apa pun hatinya menghadapi tuduhan yang menyakitkan, dirinya harus tetap tegar.“Oh, kau masih memilih untuk diam? Baiklah, kalau begitu, jangan harap kau bisa keluar dari ruangan ini.”Setelah menyatakan ancaman, Max keluar dan mengunci pintu. Ekspresinya
“Gawat!” desah Max sembari memindahkan tubuh yang terkulai lemas itu ke atas ranjang.“Bibi! Bibi ...!”Sementara tangannya mencari kontak dokter, matanya sesekali memeriksa ke arah pintu. Begitu si kepala pelayan muncul, Max langsung memberi instruksi.“Tolong carikan pakaian untuk gadis ini, Bi. Ah ya ... dan bawakan sebaskom air hangat dan handuk kecil.”“Apakah Tuan mau saya membersihkan Nona ini?”Max menggeleng cepat. Ia takut bukti kebrutalannya semalam terlihat oleh si pelayan.“Tidak. Biar aku saja.”Kedipan mata wanita paruh baya itu berubah kaku. “Tuan yakin?”“Ya.” Max mengangguk sambil mempertahankan ekspresi. Si pelayan sampai terheran-heran mendengar jawabannya. “Baskom dan handuknya, Bi.”“Ah, ya. Tunggu sebentar, Tuan.”Begitu mendapatkan barang-barang yang diminta, Max segera menutup pintu dan menyeka wajah Gabriella. Ia tidak sempat memikirkan rasa enggan atau keterpaksaan. Otaknya terlalu sibuk menyingki
Max terbelalak saat pena itu jatuh dari genggaman Gabriella. Bukankah jemari seorang pianis biasanya stabil? Lalu, mengapa tangan gadis itu bergetar hebat sekarang?“Ada apa?” desah sang pria sembari mengangkat alis.“A-aku tidak tahu. Tanganku tidak bisa dikendalikan,” jawab Gabriella lirih.Setetes air mata mengalir saat mata gadis itu berkedip. Kecemasan yang besar telah terbit dalam hatinya.Setelah memutar otak sejenak, sang pria akhirnya mendesah. “Ah, sepertinya itu efek dari minuman yang kau minum kemarin.”“Apakah jemariku akan terus bergetar?” tanya Gabriella sambil menoleh dengan wajah yang sangat jujur. Hati sang CEO sampai terenyuh karenanya.“Tentu saja tidak. Itu hanya sementara. Kau hanya butuh makan dan istirahat. Besok pagi tanganmu tidak akan gemetar lagi,” terang Max dengan tampang datar. Ia merasa sedang bermuka dua sekarang. Sejak kapan dirinya melunak di hadap
“Kau pikir bisa kabur dariku, perempuan licik?” ucap Max dengan nada kemenangan. Kepala Gabriella spontan menggeleng menolak panggilan itu. “Aku tidak tahu apa-apa tentang pesan itu. Percayalah!” “Ssst! Tidak usah panik. Tenang saja! Kontrak yang telah ditandatangani tetap berlaku. Hanya saja, kau tidak akan bisa jauh dariku selama belum mengungkapkan siapa bosmu.” Sang gadis menghela napas lelah. “Aku serius, Tuan. Aku tidak tahu siapa orang ini. Dia sedang menjebakku.” Max mengangguk-angguk sambil mengerutkan sebelah sudut bibir. “Baiklah. Tidak apa-apa kalau kau masih belum mau mengaku. Masih ada beberapa hari sebelum kompetisi. Kau pasti akan memberikan nama orang itu kepadaku sebelum itu.” Gabriella terus menggeleng walau tak mengucap kata. Lidahnya terlalu kaku untuk digerakkan. “Silakan nikmati makan malammu. Aku mau tidur.” Max menggeser meja agak ke kiri lalu berbaring di sisi kanan ranjang. Tanpa memed
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb