Max tidak bisa berdiam diri. Ia terus berjalan mondar-mandir sambil mencengkeram kepala. Sesekali, ia mendesah, berharap tekanan dalam dada dapat berkurang. Malangnya, ketakutan dalam benaknya malah semakin tergambar jelas.
“Max,” desah Gabriella yang tak tega melihat kerisauan suaminya.
Mendengar suara lirih wanita itu, sang pria akhirnya mengubah haluan dan berhenti di pelukan istrinya.
“Bagaimana ini, Gaby? Masih ada banyak hal yang harus kita bicarakan dengan Papa. Kita belum menceritakan tentang Pangeran Kecil, belum juga mengucapkan terima kasih. Aku bahkan baru satu menit memeluknya,” bisik Max menumpahkan kegundahan.
Mendapat pengakuan semacam itu, alis sang wanita berkerut semakin dalam. Dengan lembut, ia mengusap punggung suaminya. “Kita berdoa saja semoga Papa bisa bertahan, Max,” ucap Gabriella pelan. Wanita itu tidak tahu apakah kata-katanya berguna, tetapi ia tidak bisa diam saja.
“Aku seharusnya datang menemuinya lebih awal, Gab
“Jadi, hasil evaluasi medis saya memenuhi persyaratan, Dok?” tanya Max dengan alis terangkat maksimal. “Ya,” angguk sang dokter tegas. “Saya akan mempersiapkan operasi transplantasi untuk Tuan Herbert secepatnya.” Helaan napas lega sontak berembus ke udara. Sedetik kemudian, Max menoleh ke arah wanita yang masih menggenggam tangannya dengan erat. “Jangan khawatir, Gaby. Aku akan tetap baik-baik saja,” ucap pria yang mengetahui arti di balik lengkung bibir kaku sang istri. “Benar, Nyonya. Anda tidak perlu cemas. Suami Anda memiliki tubuh yang fit. Mendonorkan sebagian kecil dari hatinya tidak akan menimbulkan masalah,” tutur sang dokter meyakinkan. Dengan bibir yang agak mengerucut, Gabriella akhirnya melepas tekanan dalam paru-parunya. “Kuharap operasi ini akan berjalan lancar,” ucapnya kemudian. Max sontak membelai dan mengecup kepala istrinya. “Amin. Sekarang, bagaimana kalau kita mengunjungi Papa? Aku ingin menemuinya sebelum pulang dan ber
“Tenang saja, Gaby. Aku akan kembali menemuimu,” ujar Max kepada wanita yang sedang berjuang menahan air mata. Kasurnya sudah hampir tiba di pintu, tetapi sang istri masih enggan melepas tangannya. “Kau harus bangun seperti sediakala,” bisik Gabriella dengan alis yang terus berkerut. “Ya. Lalu, kita akan segera mengundang Pangeran Kecil,” timpal sang pria dengan senyum tipis. Ketika pintu menuju ruang operasi terbuka, Gabriella akhirnya mengendurkan genggaman. Dengan berat hati, ia menyaksikan sang suami didorong menjauh sampai pandangannya terhalang oleh pintu. “Nyonya, tidak perlu cemas. Tuan Max pasti akan baik-baik saja,” ucap Minnie sambil bergeser ke sisi sang wanita. “Entah mengapa, perasaanku tidak enak, Bi,” aku Gabriella dengan tampang kaku. “Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya. Anda terlalu mencintai Tuan sehingga kekhawatiran menjadi berlebihan,” celetuk Mia membantu ibunya menenangkan Gabriella. Melihat dukungan d
“Ada apa, Nyonya?” tanya Mia dengan kerut alis tak mengerti. Tanpa memberikan jawaban, Gabriella berjalan dengan membawa tas yang berisi banyak “senjata”. Namun, belum jauh ia melangkah, sang sekretaris telah menahan lajunya. “Nyonya mau ke mana?” tanya gadis itu masih dengan raut bingung. “Seseorang mengirimkan pesan aneh,” sela Minnie dengan tangan saling meremas. “Ya, dan aku harus menangkapnya,” celetuk Gabriella sebelum kembali mengayunkan kaki. Akan tetapi, baru satu langkah ia maju, sang sekretaris telah menariknya mundur. “Tolong jangan gegabah, Nyonya,” ucap Mia dengan kerutan kecil di pangkal alisnya. Sedetik kemudian, gadis itu merebut ponsel sang wanita dan memeriksa pesan yang dimaksud. Selang satu kedipan, helaan napas cepat berembus dari mulutnya. “Siapa lagi ini?” gumamnya sebelum menggertakkan gigi. “Itu pasti penjahat yang telah menyerang Max, Mia. Aku harus menghentikannya,” ujar Gabriella sembari men
“Benarkah?” seru Gabriella dengan nada gembira. Setelah mendapat konfirmasi dari seberang ponsel, wanita itu melirik ke arah sang suami dengan mata berbinar-binar. Selang beberapa saat, ia mendesah lega dan mengangguk ringan. “Baiklah, terima kasih, Bi.” Begitu sang istri menurunkan ponsel, Max langsung meraih tangan istrinya. “Apakah operasi Papa sudah selesai?” tanyanya penuh harap. “Ya. Operasinya berjalan lancar. Saat ini, Papa sedang dipindahkan ke ruang ICU. Jika hasil pemantauan untuk beberapa hari ke depan baik, Papa sudah bisa pulang,” terang Gabriella dengan lengkung bibir yang lebar. “Semoga saja tubuh Papa bisa menerima hatiku dan tidak ada komplikasi yang terjadi,” gumam Max memanjatkan doa. Sang wanita pun mengangguk, mengamini. Ia senang karena kekhawatirannya ternyata tidak terbukti. “Sekarang tidurlah. Kau butuh istirahat yang banyak,” ucapnya sembari membelai pipi sang suami. Tiba-tiba, ekspresi Max berubah datar. Sel
“Kau tidak perlu mengarang cerita, Mia. Aku baru saja menghentikan mobil di parkiran. Sebentar lagi, kau bisa melihatku berdiri di hadapanmu. Aku sudah bukan pengecut lagi, kau tahu?” celetuk Julian sebelum membuka sabuk pengaman. Mendengar respon sang CEO yang begitu santai, Mia semakin terdesak menuju keputusasaan. Dengan kerongkongan yang menyempit, ia berkata, “Ini bukan soal keberanian Anda lagi, Tuan, melainkan nyawa Nyonya Evans.” Meragukan pendengarannya, Julian pun bergeming dan mengerutkan alis. Samar-samar, telinganya mulai mendeteksi isak tangis dari ponsel seberang. “Saya mohon, selamatkan Nyonya, Tuan ...” desah sang sekretaris dengan suara bergetar. “Saya tidak mungkin memberitahu Tuan Max. Dia akan panik kalau tahu istrinya hilang. Saya hanya menemukan tas Nyonya dan pulpen yang telah berlumuran darah.” Mengetahui keseriusan sang sekretaris, Julian sontak menelan ludah. Dengan tangan mencengkeram erat roda kemudi, pria itu memaksa otak
“Tidak,” erang Julian sembari menekan perutnya. Dengan susah payah, ia berjalan menggapai pundak si penjahat. “Jangan ....” Merasa kesal, No Name pun berbalik dan menepis tangan Julian dari tubuhnya. “Ternyata, kau memang mementingkan perempuan ini daripada nyawamu, huh?” Tanpa sedikit pun iba, pria itu melayangkan tinju ke rahang si penghambat. Selagi lawannya terhuyung-huyung, ia kembali mendekati Gabriella. Merasa tenaganya banyak terkikis, Julian akhirnya menyergap si penjahat dengan kedua lengannya. Dengan segenap usaha, ia menyeret leher pria itu untuk mundur dari sang wanita. “Ternyata, kau gigih juga, huh?” ucap No Name dengan suara yang tak jelas. Sedetik kemudian, ia menyerang pinggang orang di balik punggungnya. Erangan tertahan sontak bergema, menggetarkan udara. “Apakah kau masih mau bermain?” tantang pria berbadan besar itu sembari kembali memutar gagang dalam genggamannya. Bukannya mengendur, Julian malah mengeratkan kun
“Kenapa Gabriella dan Mia lama sekali? Ke mana mereka pergi?” gerutu Max sembari terus menatap pintu dan jam dinding secara bergantian. “Apakah mereka sengaja membuatku menunggu sendirian?” desah pria yang tidak bisa menguraikan kerutan di alis. Sesuatu telah mengganjal dalam hatinya. “Atau jangan-jangan, terjadi sesuatu di luar sana dan mereka sengaja tidak memberitahuku?” Setelah menimbang-nimbang sejenak, Max akhirnya mengulur tangan ke arah meja. Takut jika lukanya kembali menganga, ia pun menekan perut dengan tangan yang lain. “Ah, kenapa Gaby meletakkan ponselku jauh sekali?” Sembari meringis, pria itu mencoba menggeser ponselnya dengan ujung jari. Tanpa sengaja, benda itu malah keluar dari garis meja dan jatuh ke lantai. Embusan napas kecewa sontak terlepas ke udara. Ia sedang tidak bisa membungkuk mengambil barang yang terjatuh. “Ck, kalau seperti ini, aku tidak punya pilihan lain,” gumam Max sebelum menarik napas panjang. Sedetik kemu
“Keluarga Tuan Julian?” tanya petugas medis dengan tampang serius. “Ya, Dok. Saya adiknya,” sahut Max di sela napas yang terengah-engah. Ia tidak tahu apakah laki-laki itu seorang dokter atau bukan. Yang penting, ia sudah memberikan jawaban yang benar. “Dokter spesialis sudah memeriksa. Ternyata, kerusakan dalam perut pasien cukup parah. Karena itu, beliau memutuskan untuk melakukan operasi reseksi usus. Jadi, semua usus yang rusak terpaksa harus dipotong.” “Apakah itu cara terbaik untuk menyelamatkan Julian?” tanya Max dengan alis melengkung tinggi. Tanpa berpikir ulang, pria berpakaian hijau itu mengangguk. “Ya, itulah satu-satunya cara untuk menghentikan pendarahan,” sahutnya tegas. “Kalau begitu, lakukan saja, Dok. Selamatkan kakak saya,” desah Max dengan penuh harap. “Ya, kami pasti melakukan yang terbaik. Sekarang, saya akan mengabarkan bahwa keluarga pasien sudah menyetujui. Operasi akan dilanjutkan.” Selang satu anggukan, pria
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb