Ki Durangga akhirnya terpaksa mengeluarkan ilmu pamungkasnya, dia mengambil sebuah pisau kecil dan pisau itu dia tancapkan di depannya.
Lalu secara ajaib pisau kecil ini melayang dan terbang secara cepat dan menghilang dari pandangan.
Ki Palo melolong kesakitan dan saat itulah nyawa dukun yang sangat meresahkan warga Kampung Badang melayang dari raganya, saat pisau kecil ini menembus dahinya dan dari dahi itu keluar darah merah bercampur putih, tanda pisau kecil menembus otaknya.
Setelah secara aneh dan ajaib pisau ini menancap ke dahi Ki Palo, pisau ini langsung terbang kembali melayang dan tak lama kemudian menancap di depan Ki Durangga, di mana sebelumnya pisau ditancapkan.
Ki Durangga menghela nafas dan mengambil pisau yang berlumuran darah itu, lalu merendamnya di sebuah bejana berisi air.
“Maafkan aku ya Allah…hari ini aku terpaksa membunuh seseorang, terpaksa kulakukan untuk menghentikan perbuatan jahatnya!” Ki Durangga me
“Sebaiknya…besok kalian menikah, untuk keselamatan kalian…karena ilmu Kesih sangat hebat dan aku pun kalau bertanding ilmu…berat mengalahkannya, bisa saja aku kalah!”Marhan kemudian meminta Radin dan Sherin istirahat, karena tak terasa malam makin larut dan denting jam menunjukan angka hampir jam 1 malam.Sherin diminta tidur sendiri di kamar dan Radin di kamar yang satunya, Marhan mengatakan mereka bukan muhrim dan jangan dulu sekamar.Untunglah Sherin bukan tipikal wanita penakut, dia tenang-tenang saja tidur sendiri di kamar yang sederhana dan bersih, rumah Marhan memilki 4 kamar tidur.Radin pun tidur dengan nyenyak, kelelahan di jalan membuat dia cepat terlelap, termasuk Sherin di kamar sebelah.Jam 5 pagi, di saat cuaca dingin menusuk tulang, sayup-sayup terdengar suara azan subuh. Radin terbangun dan bermaksud ingin kencing, saat itulah dia bertemu Marhan di depan kamar mandi.Marhan mengajak Ra
Setelah isi bbm full di sebuah POM mini yang ada di kampung itu, yang tentu saja harganya lebih mahal dari SPBU di kota kabupaten.Radin pun mulai menjalankan mobilnya melewati jalan kampung yang tak beraspal, untungnya jalanan tak berlumpur hanya lubang-lubang kecil dan besar tapi mampu dilewati dengan lancar.Sepanjang jalan Sherin dan Radin selalu bercanda ria, hingga perjalanan terasa menyenangkan, kini mereka benar-benar sudah masuk daerah hutan rimba yang lebat dan tak menemukan rumah warga lagi.Saat mereka melewati sebuah bukit dan matahari sudah bergeser, tanda lewat tengah hari, Sherin mengajak Radin berhenti dulu, karena dia ingin melihat pemandangan yang sangat indah dari sisi bukit yang mereka lewati.Begitu keluar mobil, Sherin langsung suka karena cuaca di sisi bukit itu adem cenderung dingin, ketika dia melihat di kejauhan halimun tipis yang menyelimuti pegunungan meratus, Sherin berseru woww, saking kagumnya.Radin yang ikut turun
Saat menoleh keluar hatinya langsung lega, karena melihat Radin sedang khusuk sholat subuh di samping mobil, beralaskan terpal. Cuaca mulai terang, karena sudah melewati subuh, Sherin melihat jam tangannya, waktu menunjukan pukul 5.15.Setelah Radin salam, Sherin keluar mobil dan mendekati Radin.“Kok shalat sayangggg…kapan mandi zunubnya, lupa ya kemarin sore kita lagi apa dan sampai kini belum mandi-mandi?”“Astagfirullahhh…abang lupa..!” Radin langsung menepuk jidatnya. Sherin langsung tergelak menertawakan ulah suaminya ini.Saat dirumah Marhan, Radin memang dinasehati orang tua itu agar sesibuk apapun, jangan lagi meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim, yakni sholat 5 waktu.“Ya udah dehh…terlanjur sholat, lagian kalo mau mandi, mandi di mana…ini kan hutan!” Sherin memandang hutan di sekitar mereka.“Coba dehh dengarin…kayaknya tak jauh dari sini ada bun
“Rumahnya agak jauh dari perumahan warga, tapi mobil bisa saja masuk ke tempat dia, tapi nanti mobil ga bisa langsung mampir ke rumahnya, Om harus jalan kaki kira-kira 30 menitan, baru sampai ke rumah si dukun itu!” Yopi lalu mencoret-coret di tanah dan menerangkan letak rumah itu.“Hati-hati Om…dari cerita kawan saya, dia jahat!” kali ini Oman menimpali lagi sambil bercerita kalau seorang temannya pernah sesat saat berburu dan mampir ke rumah dukun wanita itu.“Saat minum air di sungai dekat rumahnya, teman saya tiba-tiba sakit perut, lalu keluarlah wanita itu dari rumahnya dan bilang teman saya sakit perut karena telah lancang masuk ke sana tanpa izin. Setelah minta maaf bahkan harus memberi duit, anehnya perutnya langsung sembuh!”Oman bercerita panjang lebar, tentu saja sedikit ditambah-tambahi sehingga makin menciptakan kesan kalau si wanita tua itu menakutkan dan ada horor-horornya.Setelah meminggirkan mob
Radin kaget juga dengan fakta ini, pantes saja warga tak tenang dan curiga dengan setiap orang asing yang datang ke kampung mereka. Karena di antara mereka sudah terbelah dua, bahkan menimbulkan dua korban jiwa.“Warga kami juga terus diliputi kegelisahan, karena sering menerima teror-teror, bahkan ada yang di santet hingga perutnya bengkak dan kakinya lumpuh!” sambung pria lainnya yang duduk di sebelah Sugada.Radin mengangguk-anggukan kepala, benar-benar gawat juga kondisi warga kampung ini, hatinya mulai tertarik untuk ikut menyelesaikan masalah ini.“Pa Sugada…saya sebetulnya anak angkat pa Marhan, di kampung Badang, Marhan sendiri merupakan murid dari almarhum ayah saya, bernama Ki Durangga!” tiba-tiba saja Sugada dan dua orang itu kaget bukan kepalang, setelah Radin menyebut nama Marhan dan Ki Durangga.“Jadi kamu anak Ki Durangga!” Radin langsung menganggukan kepala, untuk menyakinkan Sugada, Radin mencabu
Radin kemudian mendatangi Sherin yang sedang berada di dapur membantu istri Sugada dan bilang akan ke sebuah bukit untuk menelpon.“Sherin ikutt…!”“Emank kamu tahan 1,5 jam jalan kaki, terus pulangnya jalan kaki selama 1,5 jam kembali?” Sherin langsung ragu dan akhirnya mengalah dan bilang ke Radin jangan lama-lama, karena dia masih agak kagok bergaul dengan warga kampung.Radin sengaja membawa 3 pasang sepatu, mulai dari septi, sport dan sneaker. Kini menggunakan sepatu septi yang ringkas dan ringan, diapun mengikuti jalan Ramon yang sudah terbiasa jalan di hutan.Ramon hanya nyeker alias tak pakai sendal, tapi kakinya sangat cekatan berjalan. Radin sering tertinggal di belakang, apalagi jalan menuju bukit itu selalu menanjak, nafas Radin agak ngos-ngosan juga mengikuti langkah cepat Ramon.Begitu sampai di bukit, Radin ambil nafas lega dan mulai menghidupkan smartphonenya, benar saja sinyal pun ada, walaupun hanya setengah kadang hanya segaris.Radin tak bisa menggunakan WA, kecual
“Pahlan Turangga…apa hubungan kamu dengan mendiang Dahlan dan kakek Turangga?” jawab Radin dengan tenang. Pahlan langsung kaget dan kini makin menatap tajam wajah Radin.“Siapa kamu sebenarnya?” Pahlan malah balik bertanya.“Dia dalah Radin Durangga, anaknya Ki Durangga!” Radin tak sempat lagi mencegah Sugada membuka identitasnya. Tiba-tiba saja Pahlan langsung menodongkan pistolnya ke kepala Radin.“Hahahaha…di cari-cari sampai saya harus gunakan jasa si dukun Kesih, kamu ternyata muncul di sini anak Ki Durangga cucunya Peter Jan Terling, kamu ternyata mengantar nyawa ke sini!”Saat itulah Pahlan menarik pelatuk pistolnya dan Radin yang sudah bersiaga sejak tadi, langsung merunduk dan berguling secara kilat dan dia berlindung di sebuah batu.Tembakan itu telak mengenai seorang warga yang berada di belakang Radin dan tak sempat menghindar.Warga tadi langsung berteriak ke sakitan
“Kamu tak usah heran siapa dia Tukur, dia adalah Radin, anak mendiang Ki Durangga, orang yang dulu pernah berjasa menolong warga kita, khususnya orang-orang tua kita. Jadi kamu jawab saja apa yang kamu tau, karena dia juga akan membantu persoalan di kampung kita ini!” Tukur langsung menganggukan kepala saat Sugada menerangkan siapa pria yang baru bertanya tadi.“Pahlan Turangga adalah orang kepercayaan pemilik perusahaan PT Energy Kalimantan Coal, yang katanya kantor induknya ada di Jakarta!”“Bapak tau siapa sebenarnya Pahlan Turangga?”“Saya tak tahu persis siapa dia sesungguhnya, dia hanya bilang tinggal di Jakarta tapi lama di Balikpapan, Kalimantan Timur. Namun saat pertama kali datang ke sini dan berkenalan dengan saya, dia pernah minta diantarkan ke rumah seorang dukun wanita, saya bersama Burga mengantarnya ke sana!” Radin mulai tertarik dan kini dia makin antusias bertanya. Tukur melanjutkan kisahnya, sesampai di rumah dukun itu dia tak ikut masuk ke dalam, dia menunggu di