“Nggak pengen ngenalin cowok barunya, Rin?”
Bibir Eca mengerucut untuk menunjuk seorang pria yang baru saja dihampiri oleh Rindu. Pria yang sudah pernah dilihat Eca, datang ke kantor untuk menjemput Rindu beberapa kali.
Rindu menoleh pada Dani, orang suruhan Dewa yang baru saja masuk ke dalam mobil. “Bukan cowok gue, dia suruhan orang.” Rindu menyelipkan tangan ke siku Eca yang baru saja datang ke kantor lalu mengajaknya masuk ke dalam kantor.
“Suruhan?” Eca yang baru melewati pintu lobi itu berhenti, lalu berbalik. Memandang sedan hitam mewah yang baru saja berlalu melewati pelataran gedung kantornya. “Lah, kalau orang suruhannya aja bawa mobil begitu, gimana bosnya? Tajir melintir dong, Rin?” cecar Eca.
“Terus, kala
Devan hanya manggut-manggut ketika mendengar penjelasan Rindu. Di dalam penjelasannya, gadis itu juga mengutarakan sebuah permintaan pada Devan dengan sangat lancar, dan tanpa jeda sama sekali. Devan meresapi dengan seksama, dan pada akhirnya, ia menjawab semua penuturan yang dikatakan oleh bawahannya itu dengan satu kata. “No!” “Bapaak!” Rindu reflek merengek dengan wajah mengiba. “Kasihlah, Pak.” “No!” Devan kembali menjawab dengan kata yang sama. “Peraturan tetaplah peraturan. Kembali kuliah dan setelah lulus, silakan magang di redaksi.” Rindu berdecak tapi tidak bisa membantah. Usahanya, membujuk Devan agar menjadikan Rindu karyawan magang di bagian redaksi, hanyalah sia-sia belaka. Ternyata, hidup kaum jelata seperti Rindu, tidak bisa berjalan mulus seperti jala
“Sudah satu bulan lebih, Rik.” Dewa menutup pintu mobil yang baru dimasukinya dengan keras. Setelah mengikuti rapat kerja yang sangat menguras pikiran di dalam sana, akhirnya Dewa bisa keluar dan mendinginkan otak yang sedari tadi sudah mendidih. Riko yang sebelumnya diminta Dewa untuk menjemput pria itu, hanya bisa meringis datar. Riko menoleh pada Dewa yang duduk di sampingnya dengan serba salah. “Baru kali ini aku lihat kinerjamu lambat!” “Bukan lambat, Pak, Dewa,” ralat Riko sambil memasang sabuk pengaman dan menstarter mobilnya. “Tapi memang nggak ada yang harus dilaporkan. Kerjaan Rindu, ya, cuma begitu-gitu aja tiap hari. Ke kantor, keliling, dan nggak pernah ke klinik atau ke rumah sakti sama sekali. Apotek juga nggak.” “Yang MITV, apa ada perkembangan? Kenapa dia ke sana?” Riko menggeleng sambil terus berkonsentrasi dengan kemudinya. “Rindu ke sana karena ada urusan kerjaan.” “Panci?” “Panji, maksudnya?” tanya
Rindu berdiri beku di depan kamar hotel, yang pintunya baru saja dibuka oleh Dewa. Mengeratkan pegangannya pada tali tas yang menyilang di depan dada, sambil menelan ludah. Harusnya, Rindu sudah awas sedari, tadi ketika Dewa mengajaknya naik ke lantai atas.Ah, dasar Rindu saja yang bodoh, mau saja diajak Dewa hingga mereka sampai di depan kamar seperti ini.“Masuk, Rin.”Rindu menggeleng. Masih mematung dan tidak ingin masuk ke dalam kamar yang sama dengan Dewa. Rindu sudah tidak ingin melakukan apapun dengan pria itu, sampai kapan pun. Kecuali ...Melihat gadis itu menggeleng, Dewa kembali melangkah ke arah pintu lalu menarik paksa Rindu untuk masih ke dalam kamar.Rindu yang sudah jelas kalah tenaga
Rindu menyemburkan kekehan garing pada Dewa. Jantung Rindu memang langsung berdebar kencang, ketika Dewa mengucapkan kalimat tersebut. Namun, Rindu tidak ingin terbang melayang tanpa sayap seperti yang sudah-sudah, lalu jatuh terhempas sakit seorang diri.“Ogah.”“Ha?” Dewa tercenung tidak percaya, dengan apa yang telah di dengarnya barusan. Ia semakin menarik tubuh Rindu mendekat untuk lebih memastikan jawaban Rindu. “Ulangi sekali lagi.”“O … GAH!” Rindu berusaha mendorong Dewa sekuat tenaga, tapi tubuh tegap itu, bahkan tidak bergeser sama sekali. “Bapak, ih, udah jangan dekat-dekat gini.”“Kamu bilang apa tadi?” Dewa masih saja tidak yakin kalau Rindu telah menolak ajakannya untuk menikah.
“Kamu sudah gila, Wà?” Reno berujar pelan nyaris mendesis, karena mendengar kabar yang telah disampaikan oleh Riko beberapa saat yang lalu. Untuk memastikannya, Reno sampai harus mendatangi hotel tempat Dewa berada saat ini. Reno menyeret Dewa keluar dan mereka berdua tengah berbicara serius tepat di depan pintu kamar.“Mungkin.” Salah satu penyebab kegilaan Dewa saat ini adalah, ia tidak kunjung bisa menghamili Rindu. Di kepalanya, selalu saja berputar tentang kalimat Rindu yang meremehkan kemampuannya sebagai seorang laki-laki. Oleh sebab itulah, Rindu sampai sekarang tidak kunjung hamil meskipun Dewa sudah menggauli gadis itu berkali-kali.“Tante Maria? Om Abraham? Dan, kalian berani main rahasia begini? Buat apa?” cecar Reno lalu membuang napas. “Kalau kamu memang mau nikah sama Rindu, tinggal bawa tuh cewek
“Saya terima nikah dan kawinnya Rindu Anahita binti Herman Adiguna …” Pikiran Reno sudah tidak bisa fokus ketika mendengar nama ayah Rindu yang dikatakan sudah meninggal dunia. Reno sangat yakin kalau nama tersebut juga pernah didengar di telinganya. Namun, ingatan Reno itu tiba-tiba menjadi payah karena terlalu banyak yang telah dikerjakannya selama ini. Sampai, tanpa sadar satu kata ‘sah’ itu akhirnya terucap dari mulut Reno, bersamaan dengan tiga orang saksi lain yang berasal dari pegawai hotel setempat. Dengan ini, resmilah sudah Dewa dan Rindu menjadi sepasang suami istri, yang statusnya akan tetap menjadi rahasia sampai batas waktu yang belum ditentukan. “Semua orang sudah kembali ke tempat mereka masing-masing.” Dewa mengangkat kedua alisnya menatap Reno. Pria
Rindu terjaga seketika saat alarm subuhnya berbunyi. Membuka mata dan sempat terhenyak sesak, karena satu sisi tubuh Dewa kini menimpa tubuhnya. Dewa memeluknya dengan merebahkan sisi wajahnya pada bagian atas dada Rindu. Jadi jelas saja, kalau separuh tubuh Rindu kini terasa kram dan juga pegal.Rindu menarik napas dengan perlahan. Mencoba menggeser tubuh polos Dewa yang menempel padanya dengan sangat hati-hati. Kalau saja hari ini adalah hari libur, Rindu tidak akan mau repot-repot untuk bangun pagi seperti ini. Ia lebih memilih bergelung bersama pria tampan, yang saat ini sudah sah menjadi suaminya.Akan tetapi, semakin Rindu menggeser tubuh Dewa, tangan besar yang melingkar di tubuh Rindu semakin mengeratkan pelukannya. Dewa seolah tidak menginginkan Rindu pergi dari sisinya sepagi ini.“Pak Dewa, saya har
“Resign?”Fila melongo melihat Rindu yang cengengesan sambil menyodorkan sebuah amplop di atas mejanya. Padahal, kemarin mereka baru saja melakukan meeting, di sebuah hotel untuk mengadakan sebuah event kantor yang akan dilaksanakan bulan depan.“Kok mendadak, Rin?” tambah Fila lalu teringat sesuatu. “Kok, saya jadi curiga kalau ini ada hubungannya dengan pak Dewa, ya? Kalian sebenarnya lagi ada urusan apa, sih?”“Ha? Pak Dewa?” Rindu pura-pura terkejut ketika mendengar persepsi yang dimuntahkan oleh Vira. “Ohh, yang kemaren itu, ya! Pak Dewa nanya masalah iklan, kayaknya mau pencitraan lagi deh, Mbak, roman-romannya.”“Oh, dia mau nyalonin lagi?” selidik Fila.
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l