Rindu menghela kecil di depan kaca yang di dalam walk in closet. Ia sudah memakai kemeja, serta celana jeans untuk berangkat ke kantor. Namun, hati serta pikiran Rindu kini dipenuhi dengan ucapan Dewa. Pria itu, tidak akan lagi merahasiakan hubungan mereka, dan juga menginginkan anak dari Rindu.Rindu rasa, ia belum siap untuk hal itu. Akan tetapi, mulut Rindu seolah tidak kuasa untuk mengatakan tidak, akan hal tersebut.Melihat menit jarum jam yang terus bergerak ke kanan, akhirnya Rindu memutuskan untuk mengesampingkan semua itu untuk sementara waktu. Ada pekerjaan yang juga menjadi tanggung jawab Rindu dan harus diselesaikan hari ini juga.Ketika Rindu keluar dari walk in closet, ada Eza yang ternyata sudah datang. Sang perawat itu, tengah memeriksa tekanan darah Dewa, dan Eza tidak lupa untuk menyapa Rindu.“Baru mau berangkat kerja, Rin?” tanya Eza ketika melihat Rindu sudah rapi dengan tas yang menyilang di depan dada. Tidak ada yang berubah dari style yang dikenakan Rindu. Masi
Pada akhirnya, hari itu Rindu kembali tidak masuk bekerja. Janji yang sudah diaturnya untuk menagih pembayaran iklan, akhirnya Rindu alihkan kepada rekannya. Tidak enak badan, hanya satu alasan itu yang dirasa sangat masuk akal jika hendak membolos dari kantor.Tidak hanya itu, Dewa pun pada akhirnya memutuskan untuk meliburkan Eza. Karena sudah ada Rindu dan Sri di apartemen, jadi Dewa tidak membutuhkan perawat tersebut sama sekali. Bagi Dewa, ada Rindu di sisinya saja, itu sudah cukup.“Kalau kamu butuh surat dokter, aku bisa minta Yoga buatkan dan nanti biar kurir yang antar.”Rindu yang bergelung di dada Dewa setelah menangis hebat beberapa saat yang lalu, tidak merespons. Ia masih ingin merasakan detak jantung Dewa, dalam ketenangan. Besarnya rasa sayang dan cinta Rindu yang melebihi rasa bencinya itu, sedikitnya membuat rasa bersalah di hatinya.Rindu merasa sangat bersalah, karena sudah memberikan hati kepada pria yang telah membuat ayahnya celaka. Karena itulah, dirinya tidak
Sudah beberapa hari ini, Rindu membatalkan kedatangannya untuk menemui Tiara. Bukannya tidak ingin mencari tahu semua hal yang terjadi di dalam keluarga saat ini. Namun, motor Lita yang selalu parkir di depan rumah, membuat Rindu mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam. Rindu enggan bertemu dengan Lita, karena banyak kekesalan yang masih memerangkap hatinya.Sementara itu, hubungan Rindu dengan Dewa pun masih jalan di tempat. Rindu masih butuh waktu untuk meredam semua gejolak di dalam dada, terkait takdir buruk masa lalu yang mengikat mereka. Kendati, bantuan psikolog yang didatangi Rindu cukup membuat banyak perubahan dalam emosinya, tapi, Rindu masih belum siap jika harus menjalani semua dengan Dewa.“Pak Reno? Dari atas?” Rindu menghentikan langkahnya ketika bertemu Reno di lobi gedung apartemen. Karena Rindu baru menyelesaikan janji temu dengan seseorang di dekat kawasan apartemen, maka ia sekalian mampir untuk makan siang bersama Dewa di unit pria itu.“Oh, Rindu.” Reno sediki
“Nggak usah nyalain AC, ya.”Rindu baru saja menutup pintu balkon kamar, karena hujan disertai angin yang cukup berhembus kencang. Setelahnya, ia kembali melompat ke atas ranjang dan duduk bersila. Melihat segelas susu di nakas, di sisi tempat tidur Dewa yang masih tersisa separuh.“Kenapa? dingin?”Rindu mengangguk, lalu menunjuk gelas di samping Dewa. “Kalau nggak mau, sini aku yang minum.”Dewa berpaling pada gelas yang ada di nakas. Meraihnya, lalu memberikan pada Rindu. “Habisin,” titahnya.“Hm.” Rindu menggumam setelah bibirnya menyentuh ujung gelas. Meneguk sedikit demi sedikit susu yang ada di dalamnya, tanpa melepas pandang dengan Dewa. Rindu bersyukur, karena pria itu bisa pulih dengan cepat dan tidak terlalu bersikap manja seperti kemarin-kemarin. Rindu jadi berpikir, apa merawat bayi yang sebenarnya, akan sama repotnya seperti merawat Dewa?Rindu hampir-hampir tidak bisa membayangkan hal tersebut.Akan tetapi, mengapa tiba-tiba Rindu memikirkan tentang seorang bayi? Ia pun
“Ayo keluar, Yang,”Dewa memicing, menatap Rindu yang tidak kunjung keluar dari mobil. Sedari awal, gadis itu sudah tidak setuju jika mereka harus pergi menemui Radit dan Tiara hari itu juga.Akan tetapi, dalam hal ini Dewa tidak sepemikiran dengan Rindu. Hubungan mereka harus segera dipublikasikan dan tidak lagi disembunyikan dari siapa pun. Jika sudah begitu, maka Rindu pasti tidak akan bisa pergi dari Dewa.“Ayo,” ajak Dewa sekali lagi sambil mengulurkan tangan. “Kita sudah sampai di depan rumahmu, nggak mungkin balik lagi.”Rindu hanya menepuk keras telapak tangan Dewa, tapi tidak meraih dan menggenggamnya. Kesal, karena sifat memaksa pria itu tidak kunjung hilang. Meskipun, sikap Dewa belakangan ini memang sudah sangat lembut kepadanya, dan sudah tidak pernah lagi menatap tajam, atau berbicara datar pada Rindu.Jelas saja Dewa tidak akan berani bersikap seperti dahulu kala. Pria itu pasti sudah menyesal dengan banyak dosa yang telah dilakukan pada Rindu. Terutama dengan kematian
Radit tidak melepas pandangannya sedikit pun pada sedan mewah yang terparkir di depan rumahnya. Hitam mulus, dan sangat terawat. Bak mobil-mobil pejabat yang kerap dilihatnya di televisi, atau yang kadang melaju dengan iring-iringan di jalan raya.Apa mobil yang ada di depan rumahnya itu, adalah milik pacar Rindu yang tengah berada di dalam sana? Karena Tiara mengatakan, bahwa Rindu pulang dengan membawa pacar untuk dikenalkan dengan orang rumah.Sungguh sulit untuk dipercaya!Atau, jangan-jangan pacar Rindu adalah supir orang kaya, dan saat ini sedang meminjam mobil majikannya.Sudahlah! Lebih baik ia masuk ke dalam dan bertanya langsung, karena Tiara tidak menjelaskan hal apapun lagi pada Radit.Begitu Radit menginjakkan kaki di ruang tamu, seorang pria dengan wajah oriental dan terlihat masih muda langsung berdiri dan menghampirinya. Pria itu menjulurkan tangan dengan sopan, bersama senyum yang membuat matanya semakin sipit.“Saya Dewa, Pak,” ujarnya memperkenalkan diri sekali lagi
Selagi Tiara dan Radit sibuk menemani Lita yang sedang mendapat penanganan intens, Rindu pun sibuk mengkhawatirkan Dewa yang mengeluh nyeri di bagian perutnya. Untuk itu, Rindu segera meminta Riko untuk mencarikan dokter agar Dewa juga bisa diperiksa. “Ngapain juga pake gendongin Lita segala,” hardik Rindu tapi tidak tega melihat wajah Dewa. Pria itu sudah berbaring di sebuah ruang VIP dengan privasi yang benar-benar terjaga. “Cemburu?” tanya Dewa masih sempat memberi sebuah senyum jahil pada Rindu. “Aku nggak cemburu!” Rindu kembali menghardik Dewa. “Aku lebih khawatir perutmu kenapa-napa, daripada ngurusin cemburu sama Lita.” “Cuma nyeri, Yang. Dengar sendiri, kan, tadi. Kata dokter nggak papa, cuma nggak boleh angkat yang berat-berat dulu. Aku harus istirahat.” Mungkin, Dewa sudah gila, karena ia menyukai ketika Rindu menghardiknya seperti sekarang. Dengan begini, Dewa benar-benar tahu perasaan Rindu kepadanya. Istrinya itu, cuma belum bisa mengungkapkan itu semua dan mencoba j
Rindu menghela kesal, tapi juga iba ketika melihat kondisi Lita. Wanita itu hamil tanpa suami, dan terlihat sangat frustasi. Jika tidak mengingat Tiara yang harus makan siang, maka Rindu tidak akan mau berada di dalam satu ruang dengan saudara tirinya.Sementara itu, Rindu meninggalkan Dewa yang masih beristirahat di ruangannya. Setelah nyerinya di perut pria itu reda, Dewa akan segera pulang dan melanjutkan istirahatnya di rumah.“Gue kira, lo, pinter. Ternyata bego!” Rindu bersedekap di ujung ranjang pasien. Menatap datar pada Lita. “Kalau, lo, mati, merdeka dong mantan pacar, lo, di luar sana.”“Daripada ngebacot, mending, lo, keluar!” usir Lita yang tidak bisa berbuat apa-apa. “Lo, nggak tahu rasanya jadi, gue!”“Gue emang nggak tahu, dan ogah mau tahu,” balas Rindu masih dengan datar. “Tapi Ta, kalau elo mati, mantan pacar, lo, di luar sana bakal cari pacar lagi. Dia ketawa ketiwi sama cewe barunya, terus, elo? Dimakan ulat di bawah sana, sendirian pula. Mana nanggung dosa seks b
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l