Maria segera melompat dari paha Abraham ketika pintu ruang kerja sang suami terbuka tiba-tiba. Sambil membenarkan kancing dressnya, Maria berdecak dengan melotot menatap Dewa.“Mama besarin kamu pake sopan santun,” ketus Maria sambil berjalan melewati meja Abraham, menuju sofa yang terletak di salah satu sisi ruang. “Bisa ketuk pintu dulu, kan, sebelum masuk.”Dewa mencoba tidak acuh, atas pemandangan yang baru saja dilihatnya. Memang hanya beberapa detik, tapi, hal tersebut cukup mengganggu kinerja otaknya. Mana Dewa tahu kalau sang mama ada di ruang kerja Abraham, dan sedang ….Tahu begini, Dewa akan mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke ruang kerja pria tua itu. Namun sudahlah, anggap semua yang ada barusan tidak pernah terjadi.“Jadi, mau bicara apa?” Abraham tetap duduk di kursi kebesarannya, dan tidak terlalu peduli dengan apa yang sudah dilihat putranya. Dewa bukan anak kecil lagi, yang harus diberi penjelasan mengenai kegiatan yang baru saja dilakukan kedua orang tua
“Jangan takut, jangan cengeng, jangan takut, jangan cengeng ….” Kalimat yang sempat diutarakan oleh Dewa, terus saja dirapalkan oleh Rindu di kepala. Ia tidak boleh memasang wajah takut, pun dengan wajah cengeng di depan Maria, jika tidak ingin dibantai oleh sang mertua.Namun, bagaimana bisa, jika jantung Rindu saja sudah menghentak tidak karuan di dalam sana. Apalagi, ketika wanita yang benar-benar masih terlihat cantik di usianya itu, sudah duduk di sisi yang berlainan dengan Rindu. Maria duduk bersebelahan dengan Abraham. Sementar Rindu, berpegangan erat dengan tangan Dewa tanpa sadar.“Jadi, kalian ke sini mau minta restu?” Ucapan Maria tidak ketus, tapi juga tidak ramah, Sedari tadi, Maria sibuk memperhatikan penampilan Rindu yang begitu sederhana. Tidak jauh berbeda, ketika Maria pertama kali bertemu dengan gadis itu.Harusnya, Rindu bisa merubah penampilannya. Mengingat, banyaknya uang yang bisa diberikan Dewa kepada gadis itu. Namun, mengapa Rindu masih saja terlihat seperti
Rindu mendorong, menepuk, juga memukul, untuk menjauhkan tubuh Dewa yang terus saja menyerangnya. Begitu keduanya masuk ke dalam unit, Dewa langsung menghimpit tubuh Rindu ke dinding dan tidak henti menjatuhkan pagutan pada bibir manis itu. Kedua tangan pria itu pun, sudah masuk dan bermain dengan lincah di dalam kemeja Rindu.“Akummph …” Dengan susah payah Rindu hendak berbicara di sela ciuman Dewa, “Kantmp … Yang!” Karena kesal tidak diacuhkan, Rindu menginjak kaki Dewa dengan keras.“Arrg!” Dewa hanya menjauhkan wajah, tapi kedua tangannya masih memegang tubuh Rindu dari dalam kemeja. “Apa?”Rindu mendorong tubuh Dewa dengan sekuat tenaga, tapi pria itu tetap bergeming di tempatnya. “Aku mau ke kantooor.”“Bolos aja lagi.” Dewa kembali menghimpit tubuh Rindu, tapi hanya menatap wajah cantik itu. Tidak melakukan apapun, atau … belum melakukan apapun. “Temani aku di apartemen hari ini. Bu Sri sudah aku liburkan, jadi kita bisa—”“Nggak bisa,” putus Rindu tidak bisa bergerak ke mana p
“Aku tinggal sebentar,” ujar Dewa setelah memagut bibir Rindu begitu dalam. Setelah puas memadu kasih, Dewa segera bangkit untuk membersihkan diri secepat mungkin. Ada masalah pribadi yang harus Dewa selesaikan, sebelum kembali menjalankan tugas sebagai pejabat negara.Sebagai seorang istri, Rindu sebenarnya masih merasa curiga dengan gelagat Dewa sejak pria itu menerima telepon. Bagaimana tidak curiga, jika penampilan Dewa jauh dari kesan formal. Pria itu memakai celana jeans, dan kaos polos hitam yang membuat penampilan Dewa jauh lebih menggoda daripada biasanya. Sekali melihat, gadis-gadis di luar sana bisa saja langsung menjatuhkan hati pada Dewa.Namun, Rindu berusaha percaya, bahwa yang menelepon Dewa beberapa waktu lalu adalah Riko. Bukan seorang wanita seperti yang tengah berkutat di kepala Rindu.“Aku disuruh izin dari kantor, tapi kamunya malah pergi.” Rindu merungut, dan enggan bangkit dari tempat tidur. Tubuh polosnya saja masih bergelung di dalam selimut. Rindu terlalu le
“Dewa?”Pria itu berusaha menutupi wajah tegangnya. Mecoba menarik senyum, walau ingatannya langsung tertuju pada sebuah revolver, yang kala itu terselip di pinggang pria yang berada di samping Dewa. Sebuah pikiran buruk, seketika itu juga langsung membuatnya menelan ludah.Dewa yang baru masuk ke dalam ruang yang tidak terlalu besar tersebut, hanya tersenyum kecil. Terus melangkah tegap, tanpa membalas sapaan terkejut dari pria paruh baya yang telah menjadi ayah mertuanya. Meskipun Radit bukanlah ayah kandung Rindu, tapi, status pria itu di masyarakat tetap akan menjadi ayah mertua Dewa.“Silakan duduk, Pak Radit.” Akhirnya, Dewa membuka suara saat dirinya sudah duduk pada kursi direktur di perusahaan tempat Radit bekerja. Bukan perusahaan besar, pun dengan ruangan serta perabotan kantor yang seadanya. Bersih, tapi tidak estetis layaknya kantor-kantor pejabat pemerintah dan perusahaan dengan skala luas. Perabot yang ada, hanya dibeli dan letakkan sesuai fungsinya saja.Radit yang tad
Rindu keluar kamar dengan canggung. Menghampiri Dewa yang sudah menunggunya di tengah sedari tadi. Kali ini, rasa percaya diri Rindu mendadak merosot jatuh karena pilihan pakaian yang tidak biasa.Rindu memakai sebuah dress merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Dress yang dikenakannya saat ini, merupakan buatan Kiara pada saat bobot tubuh Rindu cukup ideal kala itu. Sedikit longgar, karena bobot tubuhnya memang belum kembali seperti dahulu kala. Karena itulah, Rindu merasa sangat tidak percaya diri ketika mengenakannya.“Ehm!”Gumaman Rindu seketika membuat Dewa mengangkat wajah. Mengalihkan pandangan, dari ponsel yang sedari tadi tidak lepas dari tangan. Dewa tercengang, ketika melihat tampilan Rindu yang berbeda dari biasanya. Bahkan, kedua kelopak itu enggan berkedip karena ingin terus melihat sang istri tanpa jeda sama sekali.“Jelek, ya? Make up-ku ketebelan, ya?” cecar Rindu menyentuh pelan kedua pipinya. “Kayak mau ngelenong nggak sih? Tapi, bedakku nggak tebal-tebal a
“Kenapa aku nggak dibangunin, sih!”Dewa yang baru keluar dari kamar mandi terdiam sejenak. Melihat tubuh polos Rindu berlari cepat melewatinya, lalu menutup pintu kamar mandi dengan keras. Dewa memutar tubuh dengan tatapan heran. Setiap harinya, Rindu memang selalu bangun telat daripada Dewa. Namun, gadis itu tidak pernah menghardik Dewa seperti barusan.Tidak … bukan hanya pagi ini. Akan tetapi, istrinya itu mulai uring-uringan sejak tadi malam. Tidak bisa salah ucap, atau salah bersikap sedikit saja, maka Rindu akan membeo seketika.Apa salah Dewa sebenarnya?Atau, jangan-jangan Rindu telah mengetahui pertemuan Dewa dengan Radit. Namun seteleh dipikir lagi, rasanya tidak mungkin si pengecut Radit rela kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Jadi, untuk sementara ini Dewa menyimpulkan, emosi Rindu yang tidak menentu itu bukan karena Radit.Namun … karena apa? PMS, kah?Semakin dipikirkan, Dewa semakin tidak menemukan jawabannya.Mungkin, setelah mandi pagi ini, maka otak serta tubuh
“Lita baru aja tidur.”Mendengar hal tersebut dari sang ibu, Rindu langsung berbalik badan lalu keluar menuju ruang tamu. Merebahkan tubuhnya di sofa, lalu menutup mata.Tiara segera menyudahi kegiatannya membersihkan dapur. Dengan segera, ia menyusul Rindu yang terlihat lelah.“Kalau ngantuk, pindah ke kamar Fandy, atau di kamar Ibu.” Tiara duduk di samping sofa yang ditiduri Rindu. Meletakkan telapak tangannya, untuk merasakan suhu tubuh gadis itu. Siapa tahu, Rindu pulang ke rumah karena merasa tidak enak badan.“Aku nggak ngantuk, cuma capek aja habis keliling.”“Kenapa nggak berhenti kerja aja?” tanya Tiara lalu menyandarkan tubuh pada punggung sofa. “Dewa, kan, orang kaya, Rin. Hidup kamu sudah terjamin ke depannya. Daripada capek-capek gini.”“Mas Dewa nggak ngelarang aku kerja. Jadi, selama aku masih pengen kerja, ya udah, aku kerja aja.” Rindu lalu membuka mata. Mendongak sebentar untuk melihat sang ibu. “Lita kapan kontrol ke dokter lagi?”“Haduuh, ngapain ke dokter, buang-
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l