Share

12. Sang Penyair

Penulis: Bill
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-02 18:50:51

Askara berjalan tertatih-tatih, seluruh tubuhnya terasa sakit karena beberapa kali terpental mengenai batu. Bahkan tulang pinggangnya terasa bergeser karena ditindih bobot besar Dwara dan dipaksa merangkak.

Tak lama kemudian ia menemukan pohon yang rindang akan daun. Akar-akarnya banyak menjulur keluar tanah sampai bisa difungsikan sebagai dudukan. Askara duduk bersimbah disana, sepoinya angin membuai lelaki itu sampai mengantuk hingga mata terkatup-katup. Karena tak kuasa menahan kantuk karena efek kerasnya latihan pertama, Askara pun bersandar di pohon sembari memejamkan matanya dan tertidur.

Lelaki berkulit putih dengan hidung sedikit mancung itu memang terlihat manis dan lucu saat memejamkan mata. Bibir maju yang terukir seperti daun talas memang menjadi ciri khas saat lelaki itu tertidur. Kelopak matanya sedikit runcing dengan lipatan atas mata yang membuatnya terlihat sipit. Aura tatapan netranya pasti sangat indah jika Askara memi

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cindaku Sang Penguasa   13. Alam bawah sadar

    "Seka. Bukankah nama itu ..." Askara menggantungkan ucapannya. Pria yang mengaku bernama Seka itu dengan senang hati menunggu jawabannya. Selain senang karena bisa bertemu Askara, ia akan lebih senang lagi jika anak itu tahu dan mengenalinya. "Nama itu hampir sama dengan nama saudaraku! Shoka! Wah Paman, kau jadi mengingatkanku padanya," kekeh Askara sambil menggaruk kepalanya. Seka terdiam. 'Anak ini minta kupukul ternyata!' batinnya menggerutu. Ia mengira anak itu akan mengenalinya. Padahal saat masa dulu, nama Seka cukup terkenal dan dihormati di permukiman di kaki pegunungan Chakrabuana. Mustahil jika penduduk perkampungan sana tidak pernah mendengar nama itu. Apalagi Askara, sangat kurang ajar jika anak itu sama sekali tidak mengenalinya. Kecuali jika akal pikiran Askara sedikit geser, atau memiliki kendala soal mengingat ingatan lampau.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-03
  • Cindaku Sang Penguasa   14. Napak Banyu

    "Sesuai yang aku katakan tadi, latihan dasarmu dimulai dari berlatih napak banyu." Askara terlihat masih diam duduk di pinggir sungai. Mimpi didatangi seorang pria yang bernama Abiseka masih meninggalkan pertanyaan besar di benaknya. Disebut mimpi pun rasanya aneh, tempat kediaman dan wajah Abiseka sangat tergambar begitu nyata. Namun mengingat perkataan pria tadi memang bisa dijadikan acuan untuk percaya jika dirinya memang sudah membuka gerbang alam bawah sadar. "Aska!" seruan itu berhasil membuyarkan lamunan si pemilik nama. "I-iya, ada apa Sepuh?" "Kau dengar apa yang tadi kukatakan?" tanya Dwara. Berawal hening dan diam lebih dulu, di detik kemudian pemuda itu terkekeh sendiri lalu menggeleng. "Tidak, Sepuh. Maaf," katanya sambil menundukan kepala. Dwara menghela nafas panjang. "Kau ini, belum satu hari kuangkat kau jadi murid. Poin pelanggaranmu sudah lumayan."

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-07
  • Cindaku Sang Penguasa   15. Penguasaan Jurus

    Hampir seharian penuh Askara mencoba menapakan kakinya di atas air. Namun entah kenapa saat ia melepaskan energi, reaksi energi air itu tidak kunjung berlawanan sehinga kakinya itu tidak mampu mengambang, selalu saja tenggelam. Byur! Pemuda itu malah tercebur berkali-kali sampai sekujur tubuhnya basah kuyup dan mengigil kedinginan. Tak peduli apapun yang terjadi, Askara tetap menguji coba kakinya supaya bisa menapak di atas air. Meskipun terhitung beberapa kali dirinya berguling dan tersedak air. "Arrgghh! Kenapa susah sekali!" gerutu Askara seraya merangkak ke darat. Pemuda itu pun berakhir berbaring terlentang di pinggir kulah membiarkan paparan sinar matahari mengeringkan pakaiannya. "Padahal tadi pagi aku hampir bisa," gumam lelaki itu seraya membanting tangannya ke pinggir. "Konsentrasi." "Konsentrasi." "Konsentra ... Aarghh! Ternyata penguasaa

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-13
  • Cindaku Sang Penguasa   16. Pemahaman Jurus

    Askara membuka mata, gua-gua langit menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Ia berusaha untuk bangun, namun sekujur tubuh terasa sakit dan pegal. Terutama bagian kaki, ukurannya sedikit membesar dan juga membiru. Akhirnya pemuda itu berusaha untuk bangun dan duduk bersandar di bebatuan yang dijadikan ranjang tidurnya. Askara mulai ingat apa yang terjadi saat pelatihan sebelumnya. Ia terjun dari ketinggian sampai berakhir jatuh ke sungai dan mengacaukan area sana, saat itu juga Askara berhasil melakukan ajian napak banyu. Namun tenaganya hampir terkuras karena penggunaan mata biru dan tidak ingat apapun lagi setelah itu. Masih banyak pertanyaan di benak pemuda yang baru berumur enam belas tahun itu, soal bagaimana ia bisa terbang juga efek penggunaan mata biru yang ternyata menguras tenaga. Padahal sebelum itu sang sepuh pernah menjelaskan jika kekuatan mata diaktifkan, maka tenaga yang sempat terkuras akan kembali pulih.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Cindaku Sang Penguasa   17. Perbincangan Dwara

    Askara sangat sibuk hari ini. Pemuda itu bekerja keras mengguling-gulingkan bebatuan sungai yang sempat ikut meluap bersama air. Sesekali ia menyeka keringat di kening, saking luar biasa menyengat dan panasnya sang surya siang hari ini. Semua ini dilakukan tiada lain karena memegang tanggung jawab. Area sungai sampai porak poranda akibat pengaruh latihan kerasnya kemarin. Sempat beberapa kali istirahat melepas letih, ukuran batu yang di gulingkan bahkan ada yang sebesar lima kali postur manusia. Tangan pemuda itu juga terlihat meraba-raba pinggangnya yang mulai terasa pegal, bahkan lengan dan otot kaki pun perlahan terasa panas. Menurut penuturan Dwara, mengembalikan posisi bebatuan ke tempat asalnya adalah salah satu pelatihan otot supaya kemampuan tapak jurus semakin terasah. "Apa aku gunakan saja kekuatan mata biru?" Tertepis oleh pesan sang sepuh sebelumnya, kenyataan jika mata biru akan memberikan tambahan tenaga p

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Cindaku Sang Penguasa   18. Dalu Caka

    "Hiyaaa ... Akhirnya selesai!" sorak Askara berteriak kencang sambil berdiri di atas batu sungai yang paling besar. Suara teriakannya bercampur dengan bunyi aliran sungai yang deras. Setelah dua hari ini ia menggulingkan bebatuan yang sempat beterbangan ke segala arah karena ulahnya. Tak aneh Askara teramat bahagia saat berhasil menyelesaikannya. "Padahal kemarin sungai ini sedikit kering, sekarang pun tidak hujan. Tapi kenapa airnya bisa tiba-tiba deras seperti ini?" Askara langsung berkacak pinggang saat debit air sedikit naik dari sebelumnya. "Apa ada di daerah hulu sana sedang hujan?" tanyanya sambil menengok ke jalur hulu sungai yang membentang ke barat sana. Tak lama Askara menyadari sesuatu, pemuda itu sampai menepuk keningnya sendiri. "O Iya, aliran sungai kemarin kan sempat terbendung batu ini. Tak aneh jika airnya menyusut. Sekarang aku sudah menyingkirkan batunya, pantas kalau airnya jadi deras. Ya ampun, pik

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Cindaku Sang Penguasa   19. Saudara Senasib

    "Akulah Dalu Caka, penunggu curug kapakuda ini!" tegas anak muda itu seraya terlihat memegangi kening. Askara malah diam sambil menilik-nilik wajah lawan bicaranya. Ternyata ada benjolan biru yang membuat anak itu terus menutup keningnya. Bukan masalah besar, hanya saja nada bicara anak itu terlalu meninggikan dirinya sendiri. Tak mengimbangi luka benjol yang merias area wajahnya. Tentu saja hal ini membuat Askara geli hati menahan tawa. "Ppftt! Penunggu curug dengan benjolan imut? Uuuh sungguh aku takut ..." ejek Askara lantas terbahak-bahak setelahnya. Wajah anak kecil yang bernama Dalu itu pun seketika merah padam. Ia berkacak pinggang sambil mengoceh pelan sampai tak terdengar. Dengan pipi mengembung disertai kedua alis mata menjorok mendesak hidung mungilnya. Jengkel dengan Askara yang dengan renyah menertawainya. "Hei, jangan tertawa! Kau tidak tahu sekarang kau sedang berhadapan dengan siapa, hah?!" erang Dalu seraya menunjuk-nunjuk Askara.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-30
  • Cindaku Sang Penguasa   20. Napak Hawa

    "Jadi? Sampai sekarang kau masih belum menguasai jurus Napak Hawa ya?" Dwara berpangku tangan di dadanya, memandang muridnya yang sedari tadi hanya menunduk sambil terus menggaruk kepala."Begitulah, Sepuh." Askara membuang nafas gusar. "Aku tidak ingat bagaimana hari itu bisa melakukannya. Padahal sedang dalam pelatihan Napak Banyu."Dwara berdeham, ia tahu apa yang menjadi kendala Askara saat berlatih. "Konsentrasi. Itu kuncinya. Dari dulu kau selalu berputar-putar dalam masalah itu saja.""Ha? Apa iya aku kurang konsentrasi?" Askara menggulirkan matanya ke atas, tak yakin dengan ucapan sang guru. Ia sempat bertanya dalam benak sendiri, 'apa mungkin karena Dalu? Memang sih. Semenjak ada dia aku jadi susah konsentrasi.'"O ya, aku lihat ada anak kecil yang selalu menemani latihanmu. Siapa dia?"Askara terkejut, ternyata sepuhnya itu sudah tahu perihal Dalu. "Eung ... Dia anak terlantar, y

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-15

Bab terbaru

  • Cindaku Sang Penguasa   142. Salah Tingkah

    Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La

  • Cindaku Sang Penguasa   141. Jangan Pergi

    Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se

  • Cindaku Sang Penguasa   140. Keturunan Istimewa

    Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b

  • Cindaku Sang Penguasa   139. Menebus Dosa

    Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti

  • Cindaku Sang Penguasa   138. Tahap Pemulihan

    "Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?

  • Cindaku Sang Penguasa   137. Tanda Segel Pundak

    Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany

  • Cindaku Sang Penguasa   136. Raja Ghaib

    "Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting

  • Cindaku Sang Penguasa   135. Tanda Menjalar

    Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu

  • Cindaku Sang Penguasa   134. Perkelahian Sesama Rekan

    "Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam

DMCA.com Protection Status