Aya menyiapkan kotak bekal makan siang Sean, ia akan mulai mengantar jemput putra Rangga itu. “Ma, Sean hari ini pulang jam sebelas, mau ada praktek musik,” ucap bocah kecil nan tampan itu.
“Oke. Eh iya, Sean, ada kiriman dari Mama Mila, Sean mau bawa buat bekal ke sekolah, nggak, biskuit almond?” tanya Aya sambil menuju ke lemari tempat penyimpanan camilan.
“Mau, Ma,” jawab Sean sambil memakai kaus kaki. Rangga keluar dari kamar, pakaian kerjanya masih tak rapi, ia bangun kesiangan karena semalam baru saja perang badan bersama istri tercintanya lagi. Tak tahan, hanya itu yang bisa Rangga ucapkan.
“Pagi,” sapa Rangga sambil mengusap kepala Sean lalu mengecup pipi Aya.
“Pagi,” balas Aya dan Sean kompak. Rangga duduk di kursi meja makan, menyesap kopi susu yang Aya beli dalam botol dua liter di kedai kopi terkenal. Rangga bilang itu favoritnya, maka
Sejenak, Aya juga Rangga melupakan polemik yang terjadi dengan Arinda. Rangga yang tau pertemuan bunda dengan istrinya itu semakin tak habis pikir dengan tindakan memberikan sejumlah untuk Aya supaya menjauhkan dari putranya, mengganti arah fokus pikiran keduanya dengan persiapan ulang tahun Sean. Aya dan Rangga membuat cara ulang tahun Sean di taman bermain yang ada di mal besar Ibu kota. Aya tak tanggung-tanggung menggelontorkan dana untuk membahagiaan putra sambungnya, Rangga melarang, tapi Aya bersikeras, ia ingin mencurahkan kebahagiaannya untuk Sean. Usianya masuk enam tahun, tahun depan masuk SD, Aya merasa jika Sean pantan mendapat hadiah besar ini sebelum mulai fokus serius belajar.Rangga dan Aya terkejut saat melihat Mita yang mendadak muncul di rumah mereka saat keduanya sedang merapikan goody bag untuk bingkisan anak-anak. Aya yang baru berjumpa secara langsung dengan Mita tak tau harus berekspresi apa selain bahagia menyambut wanita yang sudah melahirkan Sean.
Ballroom hotel itu tampak cantik dengan hiasan serba warna hijau. Aya sudah bersiap bersama Rangga untuk mendampingi Jani di ruang mekap, menunggu aba-aba untuk berjalan ke meja akad nikah. Jemari tangan Jani dingin saat Aya menggenggamnya, lalu tangan Jani satunya mengusap perut Aya yang ada janin berusia enam minggu di dalamnya. Rangga tersenyum melihat istrinya sudah dipastikan mengandung buah cintanya, pun bahagia melihat kakak dan adik ini bisa menemukan kebahagiaan dengan jodoh masing-masing. Pintu ruang mekap terbuka, Aya beranjak, pun Jani yang mengatur napasnya supaya tak terlalu tampak grogi. Rangga berdiri di sebelah Aya, perlahan mereka bertiga berjalan ke ballroom tempat akad nikah diselenggarakan.Semua mata menyorot ke pengantin yang berjalan anggun, lalu duduk di sebelah Haris yang belum apa-apa sudah menangis bahagia bisa bersanding dengan Jani yang belum lama ia kenal tapi begitu kuat ia yakini sebagai pasangan hidupnya. Aya dan Rangga duduk
Sudah lima bulan berjalan pernikahan Rangga dan Aya, kehamilan wanita itu juga sehat dan baik-baik saja. Setelah berita artikel busuk itu berhasil diredam tim dari keluarga Agung, bahkan orang-orang Rangga juga turun tangan, keduanya semakin berpegangan erat juga menunjukkan jika rumah tangga mereka baik-baik saja. Sean sedang di ajak Ghania ke acara ulang tahun keponakan Reno yang tinggal di Lembang, Bandung. Rumah hanya terisi Rangga dan Aya karena bibi juga sedang mudik. Suami istri itu memanfaatkan dengan saling menghabiskan waktu bermesraan, di mana pun dan kapan pun. Rangga sedang menggosok tubuh belakang istrinya dengan sabun, lalu kedua tangannya mengarah ke depan, mengusap perut buncit Aya. Tak lupa, Rangga memberikan kecupan di leher juga bahu telanjang Aya. Wanita itu menyandarkan tubuhnya pada dada bidang suaminya. “Cewek atau cowok kata dokter?” bisik Rangga lalu menghisap leher istrinya hingga membuat titik
Arinda tampak tenang, ia sedang melakukan pemeriksaan MRI setelah rangkaian pemeriksaan lainnya. Kembali ia datang seorang diri, tanpa ada yang menemani karena memang itu kemauannya. Hasil pemeriksaan kesehatannya juga tak langsung di dapat hari itu, menunggu hingga empat hari paling cepat. Saat ia diminta beristirahat setelah melakukan MRI, ia termenung, mendadak rasa getir mampir dihatinya. Bukan karena hal lain, tapi, karena saat ia sakit, kedua anaknya tak ada yang bersamanya. Air mata perlahan turun, namun dengan segera ia menghapusnya dengan punggung tangan. Kembali ia mengatur napas lalu menunjukkan sisi kerasnya yang sekuat batu. Jemarinya mengusap layar ponsel, ia membaca satu pesan masuk dari Ghania. Ghania : “Bunda. Ghania mau kasih kabar, Ghania hamil, udah masuk tujuh minggu. Doain semoga kehamilan Ghania sehat, dan lancar sampai lahiran nanti.&rdqu
Rangga menghadiahkan Aya acara tujuh bulanan yang diadakan di rumahnya, sanak saudara dan teman dekat diundang hadir. Acara berlangsung ramai dan penuh rasa bahagia, hanya minus Arinda yang sudah pasti tak akan muncul. Banyak hadiah diberikan untuk Aya dan calon bayinya yang fix, berjenis kelamin perempuan. Dekorasi di halaman rumah itu serba warna pink dan putih, foto-foto hasil USG empat dimensi bergelantung indah, membuat tamu yang hadir begitu senang melihatnya. Bapak dan Ibu untuk sementara diminta Aya tinggal bersamanya, menempati kamar Sean, Sean sendiri senang bisa tidur bersama kakek dan neneknya. Ibu mengusap perut Aya, terasa bergerak pelan. “Aktif, ‘Nak,” ucap ibu. Aya mengangguk. “Aya, Bapak dan Ibu apa nggak kelamaan kalau di sini, kamu lahiran masih dua bulan lagi, kan?” Ibu yang tak enakan padahal
Arinda mengamuk saat suaminya berkata jika Rangga dan Aya akan menemuinya. Wanita itu menjerit disertai sumpah serapah untuk anak serta menantunya. Adam miris, ia bahkan mendadak menangis atas kondisi istrinya. Kenapa hatinya sekeras itu. Tanpa disadari keduanya, di depan pintu kamar rawat, Rangga dan Aya saling menggenggam, merasa sedih mendengar penolakan Arinda, namun Rangga, merasa memang bundanya keterlaluan. Bukannya sadar diri dengan kondisinya yang sudah sakit, dengan murkanya Arinda menolak kehadiran anak dan menantunya. “Ayo, sayang, kita pergi dari sini. Aku udah bilang kamu, kan, kalau Bunda tetap keras kepala mau sebaik kita menunjukkan sikap dan sekeras apa usaha kita.” Rangga menggenggam jemari Aya sambil berjalan ke arah lift. “Rangga…, tapi dia Bunda, Ibumu, kita nggak bisaa—“ Rangg
Aya sedang merapikan pakaian bayi ke dalam lemari yang sudah disiapkan. Memasuki usia kehamilan minggu ke empat puluh, membuat ia tak bisa aktifitas keluar rumah. Rangga melarang, pun kedua orang tuanya."Ma… ini, Nenek bawain susu kurma untuk Mama," ucap Sean sembari menyerahkan gelas. Aya duduk di tepi ranjang, Sean mengusap perut Aya sembari ia ciumi. "Aurora kapan lahirnya, Ma?" Sean mendongak menatap Aya lekat."Secepatnya. Sean udah nggak sabar mau ketemu Adek, ya?" Jemari tangan Aya menyugar rambut Sean."Iya, Ma. Ma… Sean berangkat les bahasa inggris, ya, ditemenin Kakek. Pak Bagus udah nunggu di depan." Sean meraih tangan kanan Aya, lalu menyalimnya. Tak lupa, Sean mencium pipi Aya."Hati-hati, ya, Nak, i love you, Sean gant
Rangga dan Aya bersuka cita menyambut putri cantik mereka. Sean yang datang bersama kakek begitu bahagia saat melihat Aurora tertidur di gendongan Aya. Sean menciumi lembut wajah adiknya. Rangga ikut duduk di atas ranjang rumah sakit, memangku Sean yang sangat semangat dengan kelahiran adiknya.Pintu kamar rawat terbuka, sosok Adam masuk sembari membawa hadiah terbungkus kertas kado. Rangga menduduk Sean di atas ranjang, ia berjalan cepat memeluk ayahnya yang juga membalas pelukan tak lalah erat."Selamat sudah menjadi seorang Ayah, Rangga. Impianmu berumah tangga, memiliki anak dengan Aya, terwujud." Adam melepaskan pelukan. Rangga mendekat ke ranjang, mengambil alih Aurora supaya ayahnya bisa menggendongnya. Bayi mungil itu berpindah ke lengan Adam yang mendadak mengharu biru.
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari