Beranda / Romansa / Cincin terakhir istriku / 54. Bertemu Bunda lagi

Share

54. Bertemu Bunda lagi

Penulis: Rianievy
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-17 22:51:27

Pagi itu, Rangga sudah bersiap dengan dirinya yang akan membawa Aya bertemu Ibunya, tepat pada acara kumpul keluarga menjelang pernikahan Ghania dan Reno. Rangga sudah menjemput Aya di apartemennya sejak pukul enam pagi. Sean di bawa Ghania menginap dengan adik Rangga itu, sehingga ia bisa lebih memantapkan apa saja yang akan Aya lakukan juga bicarakan saat ada di antara keluarga besarnya, terutama Arinda – bundanya.

Rangga duduk sambil menunggu Aya bersiap, sudah tiga kali berganti pakaian dan itu membuat Rangga tertawa geli. “Udah cantik, Sayang, mau pakai apa aja juga cantik,” goda pria itu beranjak sambil mematikan TV dengan remot. Ia mendekat ke Aya yang berdiri di depan pintu kamar, mengenakan dres sebetis warna peach, yang juga menggerai rambutnya. Rangga mengecup kening Aya.

“Baju ini aja, kamu cantik dan anggun, Aya,” bisiknya lalu meraih jemari tangan Aya, di gandengnya erat. Rangga berdebar, ia begitu bahagia melihat Aya yang se

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Indah Hayati
ayok.. aya semangat dapatkan hati bunda rangga aku yakin kamu bisa jangan menyerah dan rangga selalu kasi semangat calon isteri mu dtunggu kelanjutan nya thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Cincin terakhir istriku   55. Pernikahan Ghania

    Hari bahagia Ghania tiba, semua tampak sibuk sejak pukul lima pagi, terutama sang pengantin wanita yang sudah berada di kamar hotel bintang lima itu yang perlehatan besarnya, akhirnya, di adakan di sana. Aya datang bersama Jani, sejak semalam, keduanya sudah berada di hotel itu juga, Ghania sengaja memesan kamar lebih untuk calon kakak iparnya itu.“Cantik, nggak?” tanya Aya yang mendadak grogi. Bagaimana juga, ia akan tampil bersama Rangga dan dipekernalkan sebagai calon istrinya. Siapa yang tak berdebar?“Cantik, dong. Kakakku sempurna. Mas Rangga pasti terkejut juga senang lihat Mbak Aya secantik ini,” ucap Jani sambil merapikan alat mekap. Aya memang tak mau ikut di mekap bersama keluarga besar Rangga lainnya, ia malu, lagi pula, jemari ia di tambah dengan dirinya sendiri yang pintar berdandan juga, sudah menghasilkan tampilan yang cantik, mewah, tanpa terlihat norak atau menor.Suara bel kamarnya berbunyi, Jani yang sudah memakai keb

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-21
  • Cincin terakhir istriku   56. Tetap Menolak

    Acara itu selesai pukul dua siang, Aya juga sudah kembali ke kamar hotel itu bersama Jani. Rangga dan Sean ada di kamar sebelah mereka. Bel pintu berbunyi lagi, Aya membuka pintu, ia sudah tampil sederhana kembali walau mekap di wajah belum sempat ia hapus. Pintu terbuka, dan…PLAK!Satu tamparan mendarat tepat di wajah cantiknya. Arinda melakukan itu lagi. Kepala Aya terhempas ke arah kanan, pedih, rasa tamparan itu bahkan membuat telinganya sedikit berdengung.“Bu Arinda! Kenapa pukul Mbak Aya!” teriak Jani kencang. Ia memeluk kakaknya yang masih diam.“Bilangin sama Kakak kamu ini! Jangan harap akan bisa menikah dengan Rangga. Sekali saya tidak akan merestui, akan tetap begitu.” tunjukkan begitu murka. “Bahkan sampai saya ma-ti!” bentaknya. Arinda berjalan meninggalkan kamar itu dengan cepat, sebelum Rangga muncul. Jani mengusap wajah Aya yang merah. Kakaknya itu hanya diam, lalu tersenyum masam.&ldquo

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-22
  • Cincin terakhir istriku   57. Melamar

    Kepala Aya menoleh ke arah jok belakang mobil, Sean tertidur pulas, masih dengan pakaian lengkap selepas dari acara pernikahan Ghania. Rangga ngotot minta bertemu kedua orang tua kandung Aya di desa. Aya sudah bilang, kalau Jani dan Haris yang sedang merencanakan pertemuan itu, karena Aya tidak mau membuat adiknya merasa diselip dirinya dan Rangga. “Nggak, pokoknya aku juga mau ngomong ke Ibu dan Bapak,” ucapnya tegas. Aya bisa apa, keras kepala Rangga memang seperti itu, dan Aya mengerti. “Rangga, kita mampir ke swalayan itu sebentar, kasihan Sean nggak bawa baju ganti, kita pasti nginap di sana, sekarang aja udah jam tujuh malam, Jani dan Haris juga masih di sana, mereka juga nginap,” pinta Aya. Rangga mengangguk, mereka memang sudah memasuki wilayah daerah kampung halaman Aya, hanya ada swalayan kecil, tapi menjual baju-baju. “Pakai ini buat bayar, jangan uangmu,” ucap Rangga sembari menyerahkan dompet, Aya mengangguk. “Sebentar, ya,” pamit Aya yan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-26
  • Cincin terakhir istriku   58. Ucapan menyakitkan

    Aya dan Rangga sedang duduk di teras rumah pria itu, sekembalinya dari rumah kedua orang tua Aya, keduanya semakin serius membahas banyak hal terkait rencana rumah tangga mereka. Sean asik bermain di rumputan, bocah itu sudah tidak lagi merasa jijik terhadap sesuatu yang berbau alam. Rangga memang rajin memberikan hal itu sebagai pelajaran bagi anak laki-lakinya, malas juga jika menjadi anak laki, tetapi jijik terhadap sesuatu yang belum tentu kotor. “Kita tinggal di sini? Apa Bunda nanti nggak coba untuk…,” ucapan Aya terhenti. “Kamu jangan khawatir kalau Bunda mendadak terror kamu atau ancam kamu, Aya, Bunda nggak senekat dulu. Sekarang, Bunda harus jaga imagenya, kan, akan repot kalau teman-teman sosialitanya tau.” Rangga tersenyum. Aya masih menatap ragu.“Rangga, kalau seumur hidup, Bunda nggak restui kita, gimana?&rdq

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-01
  • Cincin terakhir istriku   59. Dipermalukan

    Aya kembali ke tempat tinggalnya di kota hujan itu, sejak pagi, ia sudah repot membuat makanan yang rencananya, akan ia bawa ke rumah Arinda. Seminggu sebelum ia dan Rangga menikah, Aya mau mencoba rencananya untuk meluluhkan hati Arinda, bagaiamapun juga, ia akan menjadi istri putra wanita itu.Tangan Aya terambil mengaduk adonan bolu ketan hitam, sambil menunggu matang lasagna yang sudah ia panggang. Jani berjalan mendekat, adik perempuannya itu duduk di kursi meja makan, menatap heran ke kakaknya yang sangat berusaha membuat senang hati Arinda. “Aku sangsi, kalau Bunda mau terima, Mbak,” ujarnya sembari meneguk air putih. Aya tersenyum, tangannya memegang loyang bulan berdiameter dua puluh senti itu mengetuk-ngetuk supaya di dalam adonan tak ada gelembung udara yang membuat kue jadi berongga.“Usaha dulu yang penting, Jani,” jawab Aya.“Terus, kalau nggak berhasi?” Adiknya itu bersedekap, menatap Aya yang meliriknya sekilas

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-06
  • Cincin terakhir istriku   60. Pemilik cincin

    Hari pernikahan tiba, Rangga, Ayah, Reno dan Ghania, hanya mereka yang berangkat ke rumah Agung dan Sari, Sean dan bibi sudah lebih dulu berangkat karena Aya yang meminta Sean supaya menginap di rumah kedua orang tua angkat, untuk lebih mengenal dekat. Aya mematut dirinya di cermin, ia cantik dengan baju pengantin model dres panjang hingga telapak warna putih tulang dengan payet dan itu hasil disain Jani. Rambut Aya di sanggul modern, Jani menyelipkan bunga mawar merah sebagai hiasan di sanggulnya. Begitu manis di lihat. “Mbak, ada bulan madu, nggak?” tanya Jani sembari memoles lipstick warna merah sebagai sentuhan akhir. “Nggak, cuma Rangga mau ajak aku ke satu tempat, katanya udah lama dia bangun dan jadi tempat healing dia selama ini,” jawab Aya. “Sean nggak ikut, ‘kan? Kalian harus nikmatin waktu berdua setelah selama ini berpisah. Aku yakin, Mbak, Mas Rangga degdegan banget pasti. Akhirnya b

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-07
  • Cincin terakhir istriku   61. Forever

    Aya terengah, dadanya kembang kempis karena ciuman panas mereka, Rangga menatap lekat kedua mata istrinya yang sudah menatap sayu, dengan bibir membengkak namun mencoba terus tersenyum. Keduanya saling melepaskan apa yang terpakai di tubuh, hingga sama-sama tampak polos, Rangga mendekat, ia kembali menggendong wanita yang begitu ia cintai, membawanya duduk di atas ranjang sambil kembali berpagut mesra. “Aku masih nggak percaya kita begini, Aya,” bisik Rangga tepat di depan wajah istrinya. Suara deburan ombak sore hari itu, menjadi lagu latar keduanya yang saling tak kuasa menahan hasrat di dalam diri. Aya tersenyum, mengangguk, lalu Rangga menahan erangan saat ia berhasil melakukan penyatuan dengan posisi duduk memangku Aya, desahan lolos dari bibir wanitanya, Rangga dan Aya sama-sama mulai bergerak, perlahan dan semakin lama semakin menggila. Kamar begitu panas, peluh bercucuran, dan hal itu mereka biarkan, p

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-07
  • Cincin terakhir istriku   62. Mata-mata Arinda

    Rangga dan Aya sudah kembali dari bulan madu, keduanya sibuk pindahan untuk menempati rumah barunya. Sean begitu bahagia, karena rumah yang dibeli Rangga tak terlalu besar seperti rumah sebelumnya, cukup minimalis, karena Rangga ingin aktifitas anggota keluarga sehari-hari bisa ia pantau, tak terkesan lowong juga.Satu mobil box besar dari jasa pindahan tiba di depan rumah dengan cat putih itu, Aya segera mengarahkan pekerja pengangkut barang untuk menata barang-barang di dalam rumah. Seseorang datang menghampiri Rangga, tampak seperti pekerja kebersihan, keduanya berbicara, Aya hanya melihat sejenak sebelum kembali fokus dengan barang-barang yang diangkut pekerja.“Mbak Aya, kamar Bibi yakin, yang ada di sebelah kamar Sean? Apa nggak terlalu besar?” Bibi agak sungkan, Aya merangkul bahu wanita yang setia ikut ke mana Rangga pergi, juga yang tau Rangga sejak remaja. “Nggak, Bi, di atas kamar ada

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08

Bab terbaru

  • Cincin terakhir istriku   81. Cincin terakhir istriku

    Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe

  • Cincin terakhir istriku   80. Satu kata maaf

    Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah

  • Cincin terakhir istriku   79. Kebahagiaan yang tertunda

    Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per

  • Cincin terakhir istriku   78. Pengakuan

    Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg

  • Cincin terakhir istriku   77. Vonis kehidupan

    Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka

  • Cincin terakhir istriku   76. Keyakinan Aya

    Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd

  • Cincin terakhir istriku   75. Hati yang tulus

    Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi

  • Cincin terakhir istriku   74. Terabaikan

    Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari

  • Cincin terakhir istriku   73. Tak menyesal

    Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari

DMCA.com Protection Status