Dua bulan kemudian.
Orchrad road terasa ramai, lalu lalang masyarakat yang beraktifitas dari dan menuju ke gedung perkantoran atau pusat belanja begitu menyita perhatian Rangga. Pria itu sudah satu malam berada di sana. Ia akan bertemu dengan salah satu investor di sana yang akan menyuntikan dana ke perusahaannya. Ghania, ia sudah wisuda dan sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Reno, sehingga tak bisa ikut menemani Rangga ke Singapura.
Pria itu berjalan dengan langkah tegap menuju ke salah satu hotel yang ada di sana, ia akan bertemu dengan koleganya di sana. Berada di antara masyarakat lokal maupun pelancong dari berbagai negara, membuatnya tak perlu repot menggunakan mobil sendiri, ia nyaman berbaur tanpa ada orang yang tahu siapa Rangga. Jika di Jakarta, akan susah, kondisinya berbeda.
Rangga mampir ke kedai kopi, bukan untuk membeli kopi, ia ingin memesan Ice greentea latte, cuaca cukup terik, setidaknya dengan memesan minuman itu
Rahasia. Tidak selamanya akan terus terkunci rapat, akan ada masanya hal itu terkuak muncul kepermukaan tanpa disadari. Hari ke tiga di negara itu, Rangga tak bisa menghubungi Aya, wanita itu mengganti nomor ponselnya.Tangan pria itu membuka tirai kamar hotel, di sesapnya kopi panas yang ia buat sendiri, kenangan akan Aya selalu saja menghampiri setiap hari, bahkan di saat momen-momen yang meminta kata ‘seandainya’ berperan cepat.Hari itu bertepatan dengan hari jumat, suasana kota tergolong semakin padat. Rangga memutuskan berjalan-jalan seorang diri, setelah merasa lega karena perjanjian dengan koleganya membuahkan hasil yang sesuai kesepakatan. Segera ia berganti pakaian, sejak subuh ia sudah mandi, sudah menjadi rutinitasnya. Sembari memilih pakaian, ia juga melakukan sambungan video call dengan Ghania yang ia titipkan Sean pada adiknya itu.“Abang, Bunda sakit,” ucap Ghania. Rangga tersenyum masam.“Suruh ke dokter,” sahu
“Bi… kamu yakin?” tanya Aya yang merasa ragu. Abi mengangguk. Aya lalu berjalan ke mendekat ke Abi, berlutut seraya menatap. “Kamu tahu kan, inti permasalahan aku sama dia apa?” tatap Aya lekat.“Tahu, Aya, makanya, aku mau kamu jalan sama Rangga, kalian harus ngobrol hati ke hati. Aku tahu ini nggak mudah, kalian juga sama-sama gengsi akuin perasaan masing-masing, kan?” godanya. Abi lalu mengusap wajah Aya pelan.“Aku nggak gengsi. Aku cuma jaga perasaan, Bi, aku takut terluka lagi, kamu juga tahu hal ini—““Aya. Dengar, kalau kalian berjodoh, sejauh apa pun menghindar, pasti akan bertemu lagi. Udah, sana jalan, udah cantik gini. Mama Papaku pasti juga seneng lihat kamu dan Rangga bisa bersatu lagi,” ucap Abi mengulum senyum.Aya bingung, ini ide Abi atau Rangga ia tak tahu, yang jelas, setelah makan siang bersama beberajam lalu, Rangga mendadak menghubungi Aya yang sudha pasti, tau
“Aku nggak bilang kita balikan, Rangga,” tegur Aya. Rangga mengangguk. Ia terus menggandeng jemari tangan Aya saat keduanya berjalan kaki menyusuri jalanan sekitar lokasi itu.“Sean tanyain kamu terus, Aya,” ucap Rangga. Aya mendongak, menatap Rangga yang juga menatapnya. “Sean kangen kamu… Papanya juga, sih,” ledek Rangga yang mendapat cubitan di lengannya dari Aya. Rangga tertawa.“Cinta aku nggak? Kamu belum jawab dari tadi,” tanya Rangga lagi.“Nggak,” jawab Aya yang terdengar seperti gumaman.“Nggak denger. Cinta nggak sama aku?” Rangga menghentikan langkah kakinya, keduanya berdiri berhadapan. Aya menatap lekat, kedua bahunya merosot.“Nggak tau, bingung…” jawab Aya dengan wajah menggemaskan, ia memejamkan mata lalu membuat lengkungan bibir ke bawah. Rangga terkikik geli.“Aku mau peluk kamu, ya,” izinnya. Lalu dengan cepat mem
Aya terkejut saat mendengar Sean memanggilnya dengan sebutan ‘Mama’, terasa janggal tapi ada rasa senang juga walau sedikit. “Hai ganteng,” sapa Aya sambil memeluk Sean dan menciumi puncak kepala bocah itu. Jani mendekat namun melirik ke arah Rangga yang senyum-senyum. “Sean udah makan belum?” Aya merapikan tatanan rambut lurus Sean yang tampak panjang. “Kok nggak cukur rambut? Gantengnya kurang dong,” ledek Aya. “Kata Papa nanti aja, mau lihat Sean gondrong,” jawab bocah itu. Aya tersenyum. “Sean anak laki-laki, jangan bergaya seperti perempuan, ya… rambut laki-laki itu pendek lebih bagus dan kelihatan rapi.” Aya mengusap wajah Sean yang mengangguk sambil tersenyum. “Kangen Mama Aya,” lirih Sean sambil memeluk Aya lagi. Kedua mata Aya menatap Rangga dengan tatapan tak percaya. Sedangkan pria itu hanya meringis sambil mengusap pelipisnya. Jani membuatkan Sean minuman es teh manis, bocah itu yang ternyata belum makan. Aya berjalan ke ka
Sean terkejuta, saat ia bangun tidur, ada di kamar lain, bukan kamar yang biasa ia tempati di rumah Rangga. “Papa…” panggilnya yang langsung terduduk di atas ranjang. Ia celingukkan. Kakinya menapak lantai, ia merapikan bantal juga selimut. Berjalan perlahan ke arah pintu, tangannya memutar membuka pintu kamar. Ia melihat Rangga masih tertidur pulas di sofa, lalu tampak Aya dan Jani berada di dapur.Senyum Sean mereka, ia nginap di tempat tinggal Aya. “Ma…” panggilnya pelan. Aya menoleh, lalu berjalan ke arah Sean.“Udah bangun? Sean biasa sarapan apa kalau pagi-pagi?” Aya berjongkok di hadapan bocah itu yang justru memeluk leher Aya. Ia memejamkan mata, merasakan bahagia karena pagi itu terasa beda.“Sean mau ke kamar mandi dulu, Ma,” dengan cepat Sean melepaskan pelukan lalu berlari ke kamar mandi. Jani terkikik. Ia lalu pamit berangkat kerja lebih dulu, ia pegawai baru, dan saat itu hari senin, tak
Mereka bertiga berjalan menuju ke pusara Naya, Aya dan Rangga sama-sama merasa hatinya seperti dipermainkan emosi yang selama ini terbendung. Sean menatap bingung dua orang dewasa itu. Ia digandeng Aya, sementara Rangga membawa plastik berisi bunga mawar merah.Tiba mereka di pusara dengan nisan bertuliskan nama putri mereka. Rangga bersimpuh lebih dulu, ia mengusap batu nisan itu lalu menunduk, berdoa yang pada akhirnya menangis. Di sebelahnya, Aya ikut bersimpuh, ia berdoa lalu menata bunga di atas pusara putrinya.“Ini siapa, Ma, Pa?” tanya Sean menatap bingung. Aya tersenyum, ia bingung harus jawab apa.“Ini Kakaknya Sean, Kak Naya namanya,” jawab Rangga.“Kakak? Sean punya Kakak?” bocah itu masih tak percaya. Aya hanya bisa menatap Sean yang begitu tak percaya.“Ini anak Mama Aya, kalau Sean manggil Mama Aya, Mama, berarti Naya Kakak Sean juga,” sahut Aya. Sean yang masih bingung memilih mengangg
Aya membuka pintu apartemennya setelah memasukkan kode kunci, tampak Jani sedang membaca majalan sambil duduk di meja makan. Di sisi kanannya tersedia mangkok berisi potongan buah.“Jani …” sapa Aya sambil meletakkan tas tangan yang ia bawa. Jani menatap, ia menatap bingung ke kakaknya yang baru pulang dari rumah Rangga.“Kenapa mukanya gitu, Mbak? Ada apa? Ketemu nenek lampir di sana?” godanya di akhiri kekehan sinis. Aya menggelengkan kepala.“Aku bingung.” Aya menandaskan air putih milik Jani. Pikirannya mendadak kacau saat ia di kereta tadi, banyak hal yang ia analisa selama perjalanan tadi. “Rangga bener-bener mau serius jalanin hubungan aku dan dia, Jani, tapi aku merasa takut, menurut kamu gimana?” tatap Aya dengan kening sedikit mengkerut. Jani menutup majalahnya. Lalu bertopang dagu menatap Aya yang duduk di hadapannya.“Hati Mbak Aya gimana? Sudut hati yang paling dalam?” J
(Hai… saya mau selipkan kisah Jani sedikit juga ya, terima kasih sebelumnya)_____Jani mematut dirinya di depan cermin kamar. Ia sedang merapikan penampilannya, sepulang bekerja nanti, ia akan dijemput oleh Haris yang juga sedang berlatih basket bersama teman-teman sekolahnya dulu. Ternyata, Haris merupakan salah satu alumni kampus ternama di kota hujan itu dan tergabung di klub basketnya juga.Tas kerja bertali panjang itu ia cangklongkan di bahu kanannya, tangan kiri Jani membawa map besar berisi design pakaian yang ia buat dan pola yang sudah ia potong-potong. Tangannya memutar knop pintu, lalu melihat Aya juga siap berangkat kerja.“Mbak, udah mulai kerja juga?” Jani meminum teh hangat buatan kakaknya itu.“Iya, cuma kayaknya Mbak harus ada di cabang Jakarta, deh, kamu nggak papa nanti kalau sendirian di sini?” tatap Aya yang sudah membawa beberapa pakaian yang ia rapikan di koper.“Santai, Mbak. Nah
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari