Arinda duduk di sofa ruang TV, Ia baru saja berbicara dengan kedua orang tua Mita, menjelaskan duduk perkaranya tapi, kedua orang tua Mita tak mau lagi percaya dengan apa yang diucapkan Arinda. Wanita itu menatap tajam layar TV, tangannya mengepal-ngepal kesal. Ia begitu marah dengan Rangga.
Tak lama, muncul tiga orang temannya yang memang akan berkunjung ke rumahnya, membahas tentang liburan ke negara Eropa yang mereka selenggarakan.
“Hai, Arinda… Oma cantik yang awet muda,” sapa salah satunya yang berambut sasak tinggi.
“Hai…, sini duduk-duduk,” ucap Arinda sembari beranjak, bercipika-cipiki dahulu lalu kembali duduk.
“Rin, tadi kita udah urus semua ke travel agennya, dan mereka udah info, kalau nanti semuanya fasilitas kelas atas,” lapor wanita lainnya lagi.
“Kita jadi bayar masing-masing enam puluh juta, untuk liburan satu minggu tapi diluar kalau kita mau berkunjung ke restoran mewah, itu
Aya dan Abi sedang berada di toko perhiasan, keduanya tertawa bersama, merasa lucu dengan acara pertunangan mereka yang akan terselenggara beberapa hari lagi. Tangan Aya menghapus peluh yang mendadak muncul di kening Abi. “Thank you,” lirih Abi sembari mengecup pipi Aya. Wanita itu tersenyum, digamitnya lengan Abi, ia juga mengusap lengan pria itu. Abi diam, ia hanya bisa tersenyum mendapat perlakuan itu dari Faraya. Ia tak pernah memanggilnya Aya, selalu Faraya. Cincin sudah di dapat, keduanya segera pulang ke rumah keluarga Agung, karena kedua orang tua Aya juga sudah datang dari kampung. Aya tak sabar bertemu kembali, juga dengan Jani yang kini sudah dewasa dan tak kalah cantik dengan dirinya. “Aku yang nyetir, ya,” ucap Aya. Abi mengangguk. Ia duduk di kursi penumpang, memakai seatbelt, duduk bersandar, lalu melepaskan kancing jas yang ia kenakan, menarik napas dalam lalu menghembuskan pelan. Aya menoleh, lalu memeluk kepala Abi, diusapnya pelan. Abi terk
Cincin itu disematkan Abi di jari manis tangan kiri Aya, wanita itu tersenyum sembari menatap bergantian dari cincin, lalu ke wajah Abi yang tersenyum malu-malu. “Apa sih, Bi, malu-malu gitu?” bisik Aya dengan wajah mendekat ke arah Abi.“Cantik banget kamu, Faraya,” ucap pria dengan pakaian batik lengan panjang dari merek ternama itu. Faraya tertawa renyah, menunjukkan deretan gigi putih terawat dan bersih, membuat Abi segera mencium kening Aya lama dan lekat. Aya memejamkan mata, tapi tak tersenyum, ia justru diam dan mendadak berdebar tak karuan.“Terima kasih, Faraya,” bisik Abi sembari memeluk. Aya membalas pelukan Abi. Pria yang usianya dibawah ia dua tahun itu, begitu tampan dan membuat Aya segera membelai wajah tegas pria itu dengan tangannya.“Aku juga makasih, Bi,” jawabnya lirih. Keduanya saling melempar tawa, menghadap ke tamu dan kedua orang tua sembari memeluk mesra. Aya cantik dengan balutan kebaya w
“Sabar ya, Nak, biar diperiksa dokter dulu,” ujar Rangga yang memangku Sean sambil duduk di kursi saat menunggu giliran nama putranya dipanggil untuk diperiksa dokter spesialis anak.“Sean…” suara Arinda terdengar. Kepala Sean terloleh dengan gerakan lemas. Arinda segera mengambil alih Sean dan menggendongnya.“Cucu Oma kenapa?” Arinda yang tak merasa kepayangan atau susah menggendong Sean, memeluk lalu mengusap punggung cucu satu-satunya itu.“Pusing,” jawab Sean lemah.“Kangen Mama, ya,” sambung Arinda sembari melirik Rangga. Putranya itu hanya bisa membuang pandangan ke arah lain. Malas meladeni komentar bundanya.“Nggak, Mama udah telepon semalam, Oma,” jawab Sean lirih. Arinda diam, ia duduk di sebelah Rangga. Tak lama, ayah datang. Sean justru cengeng jika sudah melihat Opanya.“Waduh… sakit ya cucu Opa, yuk gendong sini,” ujar Adam.
Kedua orang tua Rangga, bahkan Ghania dan reno berada di rumah sakit, mereka ingin mengetahui kondisi Sean yang masih dirawat intensif di ICU. Rangga masih memakai pakaian yang sama, Ghania sudah membawakan pakaian ganti, tapi Rangga belum ingin beranjak dari ruang tunggu itu sejak semalam kecuali untuk ke toilet. “Rangga, kondisi Sean masih bisa dibilang kritis, kamu berdoa, ya,” ucap Adam – ayah Rangga – itu yang begitu terkejut saat mendapat berita tentang cucunya. “Mita udah telepon kamu?” tanya Arinda. Rangga mengangguk. Ia malas menyahut siapa pun yang ada di sana. Langkah kaki dua orang terdengar mendekat, Rangga beranjak karena itu dokter spesialis anak yang akan memeriksa kondisi Sean. “Pak Rangga,” sapanya. Rangga mengangguk. “Bisa bicara sebentar,” pinta dokter itu lalu mengajak Rangga ke dalam ICU, sebelumnya, ia sudah memakai pakaian khusus juga. Tampak Rangga menyimak penjelasan dokter, ia juga mengangguk beberapa kali, karena paham. Pan
“Sekarang Sean bobo, ya, udah kenyang, kan? Tante Aya pulang, ya,” bisik Aya. Sean mengangguk pelan, namun mulutnya terbuka seperti ingin mengucapkan sesuatu.“Besok Tante ke sini lagi?” tanyanya dengan suara pelan.“Mudah-mudahan, Tante harus izin Om Abi dulu,” jawab Aya.“Om Abi, siapa?” Sean mengerutkan kening.“Tante mau nikah bulan depan, Om Abi calon suami Tante, jadi… Tante harus bilang ke dia kalau mau ke mana-mana. Udah… Sean bobo, udah malam. Cepat sembuh ya,” lanjutnya sembari mengusap rambut Sean. Rangga hanya bisa tersenyum kikuk menatap ke arah putranya.“Papa antar Tante Aya ke depan dulu ya, Sean, susternya temenin Sean, kok,” sambung Rangga. Aya sudah berjalan lebih dulu, ia melepaskan pakaian khusus untuk masuk ke ruang ICU sebelum berjalan keluar.Langkah kaki Aya pelan karena ia sambil menghubungi seseorang, suara Rangga memanggilnya mem
Arinda mondar mandir di dalam kamarnya, Adam, suaminya hanya bisa tertawa sinis. “Kamu mau bikin rencana apa lagi? Kamu lihat sendiri, kan, Aya sekarang bukan sosok yang bisa kamu injak-injak seenaknya.” Adam menutup buku yang sedang ia baca. Menghela napas sembari menatap lekat istrinya. “Belum kurang, kamu bikin Rangga menderita dan Aya, harus diam saja kamu perlakukan buruk?” Arinda melirik tajam ke suaminya. Bersedap dengan begitu angkuh. “Saya kan sudah selalu bilang. Saya tidak akan suka dengan Aya sampai kapan pun. Sekarang dia bisa petantang petenteng seperti orang kaya raya. Tapi—“ Arinda tersenyum sinis. “Itu semua punya Agung dan Sari. Aya hanya diangkat anak dan sebagai balas budi, dia kelola perusahaan itu sampai sebesar ini dalam kurun waktu kurang dari lima tahun. Dan sebentar lagi go public. Nilai saham mereka juga mulai baik. Banyak investor melirik. Apalagi kalau bukan karena Aya yang dijadikan senjata dan boneka mereka. Murahan.” Geram Arinda. Ada
Ghania menyiapkan makan malam untuk Adam, tampak pria tua itu tengah duduk sembari menonton acara TV yang menyiarkan laporan nilai saham perusahaan besar. “Ayah, makan dulu, nanti Bang Rangga pasti ke sini, kok,” ujar Ghania sembari mengusap bahu ayahnya.“Iya. Ayah mau bahas untuk beberapa anak perusahaan kita yang mulai goyang, kita perlu rekrut orang yang lebih kompeten lagi. Rangga nggak akan bisa kalau sendirian, Ayah nggak tega.” Adam beranjak, berjalan ke arah meja makan. Ghania menghidangkan sop seafood dan juga bakwan jagung, ia membuatnya sendiri.Adam tertawa pelan sembari duduk di kursi. “Kamu bisa masak?” ledek pria itu.“Bisa, dong, Ayah aja yang selama ini nggak tahu.” Ghania menyeret kursi di sebelah ayahnya, lalu duduk.“Kamu, tuh, kelihatannya cuek, tomboy, hobi olahraga, tapi urusan kayak gini… ternyata mampu,” tangan Adam mengusap kepala Ghania. Wanita itu terseny
Aya duduk di kursi sebelah ranjang rumah sakit ditiduri Sean. Ia sudah bangun sejak setengah jam lalu, melihat ke arah Sean yang terlelap, begitu pun Rangga yang terlelap di sofa bed. Aya diam, menatap bergantian dua laki-laki beda usia yang tampak mirip. Sean tidur meringkuk, pun, Rangga.Wanita itu beranjak, ia berjalan ke arah meja tempatnya meletakkan ponsel, tas dan laptopnya. Ia merapikan rambutnya, ia kuncir tinggi, dan Rangga melihat hal itu. Posisi Aya memang membelakangi Rangga yang memerhatikan gerakannya itu. Senyum Rangga terbit, paginya jelas berbeda, ia bahagia, walau masih begitu berjarak dengan Aya.“Halo… Abi, udah bangun?” suara Aya berbicara dengan Abi terdengar. Membuat senyuman di wajah Rangga pudar seketika. Ia memejamkan kedua matanya lagi, tetapi telinganya juga masih mendengarkan semua yang Aya ucapkan seperti menanyakan Abi sarapan apa, hari itu ada rapat atau tidak, dan menyetujui saat Abi akan menjemputnya sore hari di ru
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari