“Nggak! Sean harus sama Mita,” tolak wnaita itu tegas saat kedua orang tuanya memberikan penjelasan setelah bertemu dengan Rangga. Bahkan, sang papa begitu detil menjelaskan jika Rangga tak akan mencintai putrinya itu.
“Mita nggak apa-apa cerai, Pa, tapi jangan pisahin Mita dari Sean,” pintanya dengan mata berkaca-kaca.
“Mita, ini bukan selamanya. Rangga hanya mau Sean tidak selalu ada di bawah pengasuhan kamu, kamu juga bisa ikut Papa dan Mama ke Belanda, di sana kamu bisa kerja lagi, dan bangun karir kamu. Rangga juga membolehkan kamu untuk komunikasi setiap saat dengan Sean. Rangga, dia cuma mau kamu kasih dia waktu untuk mendidik Sean supaya tidak menjadi seperti dirinya dikemudian hari.” Papa menatap dengan penuh memohon. Mita sesenggukkan, ia takut jika Rangga mengambil Sean darinya. Ia tahu kesalahannya di lima tahun lalu, tetapi tidak begini caranya.
“Mita…, Rangga tidak mau Sean menjadi seperti dirinya ya
Rangga menunggu putranya berjalan keluar dari dalam rumah keluarga Mita, ia tak sudi masuk ke dalam rumah itu, malas bertemu Mita. Bocah lima tahun itu berjalan sembari menyeret satu tas koper sekolahnya bergambar spiderman dan tangan satunya digandeng mama mertua Rangga.Pintu pagar terbuka, Rangga menatap Sean, lalu berjongkok. Putranya tampak bingung dan kaku, tak tahu apakah papanya hanya sekedar memeluk lalu melepaskan lagi atau kali ini justru erat mendekapnya.“Pa,” sapa Sean. Rangga segera menggendong Sean, memeluk erat dengan mata terpejam.“Tinggal sama Papa ya, Sean,” lirihnya.“Papa nggak pulang malam terus, kan?” tanya bocah itu.“Nggak. Sean jangan khawatir,” jawab Pandu. Ia mencium punggung tangan wanita yang sebentar lagi tak menjadi ibu mertuanya.“Jaga Sean, ya Rangga, hati-hati kalian,” tampak kesenduan, namun Rangga segera menjawab dengan anggukan sembari berucap
Decitan suara sepatu bertemu dengan lantai lapangan basket indoor itu terdengar begitu serahutan. Rangga tampak ngos-ngosan, ia dan Reno sedang bermain basket sekedar membuat tubuh keduanya bugar. Sean terkejut hingga menganga saat melihat papanya selincah dan jago dalam olahraga itu.“Sean, kaget ya, lihat Papanya jago main basket?” senggol Ghania dengan bahunya ke bahu Sean yang duduk di bangku penonton.“Iya. Mama nggak pernah bilang atau cerita, kata Mama, Papa sibuk kerja terus.” Sean menoleh ke Ghania yang tersenyum. Ia tak mau membalas ucapan Sean. Biar itu menjadi urusan Mita yang banyak menutupi hal tentang Rangga.“Yuk! Udah pakai sepatunya, kan, Tante kenalin sama teman-teman seumuran Sean, ya. Ayo kita latihan basket….” Ghania menggandeng tangan Sean yang begitu senang. Rangga dan Reno melihat hal itu dari sisi lapangan lainnya.“Bang, Sean seneng banget diajak ke sini,” ujar Reno.
“Papa!” panggil Sean kencang yang kaget saat terbangun, ia berada di dalam kamar papanya.“Ya, Sean, Papa di kamar mandi…!” sahut Rangga. Sean menyibak selimut, ia berjalan ke arah pintu keluar, dilihatnya rumah sudah ramai dengan suara TV menyala, harum masakan juga tercium.“Bi…, Bibi,” panggil Sean sembari menuruni anak tangga.“Sean, udah bangun, ayok, ke kamar mandi dulu, dong, apa dulu kalau bangun tidur?” ujar Bibi membawa Sean ke kamar mandi di lantai satu. Sean melirik ke meja makan.“Bubur ayam?” tanya Sean.“Iya, yang suka lewat depan rumah, Sean kan, suka, Bibi beliin,” ujar Bibi sembari membantu Sean membuka piyama tidurnya.“Tapi kata Mama, kan—““Boleh, kan ada Papa. Papa izinin, kita sarapan di teras mau?” Rangga mengambil dua mangkok. Sean bingung lagi, ia mengangguk pelan lalu masuk ke dalam kamar mandi
“Kamu pura-pura lupa siapa aku, Aya?” suara Rangga terdengar berat saat keduanya berada di ruang rapat kantor. Aya diam, ia membaca surat perjanjian dan dokumen yang sudah disiapkan sekretarisnya.“Apa sepuluh miliar cukup? Karena perusahaan anda masih baru akan dimulai dan mencangkup pembiayaan untuk kalangan mahasiswa dan UMKM, kami tidak berani menyuntikkan dana di atas nilai tersebut, bagaimana?” tatapan Aya serius, ia tak menggubris pertanyaan Rangga sebelumnya. Rangga diam, ia lekat menatap Aya serius, tubuhnya ia sandarkan di kursi, perlahan jemarinya mengusap bibir atas hingga dagunya.“Faraya Cempaka…, Hmm… sejak kapan nama kamu ditambah ‘Cempaka’? Apa Pak Agung yang menyematkan nama itu?” Rangga justru membahas hal lain diluar apa yang Aya ucapkan.“Jadi, gimana Pak Rangga, bisa ditanda tangani sekarang? Atau perlu untuk membahas hal lainnya dahulu seb—““Aya!&
Arinda duduk di sofa ruang TV, Ia baru saja berbicara dengan kedua orang tua Mita, menjelaskan duduk perkaranya tapi, kedua orang tua Mita tak mau lagi percaya dengan apa yang diucapkan Arinda. Wanita itu menatap tajam layar TV, tangannya mengepal-ngepal kesal. Ia begitu marah dengan Rangga.Tak lama, muncul tiga orang temannya yang memang akan berkunjung ke rumahnya, membahas tentang liburan ke negara Eropa yang mereka selenggarakan.“Hai, Arinda… Oma cantik yang awet muda,” sapa salah satunya yang berambut sasak tinggi.“Hai…, sini duduk-duduk,” ucap Arinda sembari beranjak, bercipika-cipiki dahulu lalu kembali duduk.“Rin, tadi kita udah urus semua ke travel agennya, dan mereka udah info, kalau nanti semuanya fasilitas kelas atas,” lapor wanita lainnya lagi.“Kita jadi bayar masing-masing enam puluh juta, untuk liburan satu minggu tapi diluar kalau kita mau berkunjung ke restoran mewah, itu
Aya dan Abi sedang berada di toko perhiasan, keduanya tertawa bersama, merasa lucu dengan acara pertunangan mereka yang akan terselenggara beberapa hari lagi. Tangan Aya menghapus peluh yang mendadak muncul di kening Abi. “Thank you,” lirih Abi sembari mengecup pipi Aya. Wanita itu tersenyum, digamitnya lengan Abi, ia juga mengusap lengan pria itu. Abi diam, ia hanya bisa tersenyum mendapat perlakuan itu dari Faraya. Ia tak pernah memanggilnya Aya, selalu Faraya. Cincin sudah di dapat, keduanya segera pulang ke rumah keluarga Agung, karena kedua orang tua Aya juga sudah datang dari kampung. Aya tak sabar bertemu kembali, juga dengan Jani yang kini sudah dewasa dan tak kalah cantik dengan dirinya. “Aku yang nyetir, ya,” ucap Aya. Abi mengangguk. Ia duduk di kursi penumpang, memakai seatbelt, duduk bersandar, lalu melepaskan kancing jas yang ia kenakan, menarik napas dalam lalu menghembuskan pelan. Aya menoleh, lalu memeluk kepala Abi, diusapnya pelan. Abi terk
Cincin itu disematkan Abi di jari manis tangan kiri Aya, wanita itu tersenyum sembari menatap bergantian dari cincin, lalu ke wajah Abi yang tersenyum malu-malu. “Apa sih, Bi, malu-malu gitu?” bisik Aya dengan wajah mendekat ke arah Abi.“Cantik banget kamu, Faraya,” ucap pria dengan pakaian batik lengan panjang dari merek ternama itu. Faraya tertawa renyah, menunjukkan deretan gigi putih terawat dan bersih, membuat Abi segera mencium kening Aya lama dan lekat. Aya memejamkan mata, tapi tak tersenyum, ia justru diam dan mendadak berdebar tak karuan.“Terima kasih, Faraya,” bisik Abi sembari memeluk. Aya membalas pelukan Abi. Pria yang usianya dibawah ia dua tahun itu, begitu tampan dan membuat Aya segera membelai wajah tegas pria itu dengan tangannya.“Aku juga makasih, Bi,” jawabnya lirih. Keduanya saling melempar tawa, menghadap ke tamu dan kedua orang tua sembari memeluk mesra. Aya cantik dengan balutan kebaya w
“Sabar ya, Nak, biar diperiksa dokter dulu,” ujar Rangga yang memangku Sean sambil duduk di kursi saat menunggu giliran nama putranya dipanggil untuk diperiksa dokter spesialis anak.“Sean…” suara Arinda terdengar. Kepala Sean terloleh dengan gerakan lemas. Arinda segera mengambil alih Sean dan menggendongnya.“Cucu Oma kenapa?” Arinda yang tak merasa kepayangan atau susah menggendong Sean, memeluk lalu mengusap punggung cucu satu-satunya itu.“Pusing,” jawab Sean lemah.“Kangen Mama, ya,” sambung Arinda sembari melirik Rangga. Putranya itu hanya bisa membuang pandangan ke arah lain. Malas meladeni komentar bundanya.“Nggak, Mama udah telepon semalam, Oma,” jawab Sean lirih. Arinda diam, ia duduk di sebelah Rangga. Tak lama, ayah datang. Sean justru cengeng jika sudah melihat Opanya.“Waduh… sakit ya cucu Opa, yuk gendong sini,” ujar Adam.
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari