Hancur ke titik terendah, mungkin kalimat itulah yang paling cocok untukku saat ini. Air mataku meleleh tumpah jatuh ke sudut bibir dan membasahi jemari tanganku yang sampai saat ini masih dilingkari cincin pernikahan.Kupandangi benda itu, berkilau bertatahkan permata bening, kuputar perlahan agar mata cincin menghadap ke bawah, agar kilaunya tak lagi membuatku terpesona. Apalagi yang akan membuatku bahagia jika hubungan kami sudah hancur."Aku pergi dulu," ucapnya sambil menarik koper.Aku ingin sekali memohon agar dia tak meninggalkanku, tapi itu akan merendahkan harga diriku. Dia melenggang melewatiku yang lunglai ditinggal olehnya. saat itu aku tak yakin aku bisa bangkit dari luka, hatiku kelabu, linglung, bingung dan kehilangan arah layaknya layangan yang putus dari talinya."Hati hati," jawabku lirih.Dia yang baru saja melewatiku berhenti dan menatap diri ini."Tolong ikhlaskan aku agar hubungan kita tetap terjalin baik dan kita sama-sama bisa berbahagia di masa depan nanti.
Begitu si wanita menangis telpon langsung berakhir. Mas Albi meletakkan kembali ponselnya di meja sambil menelan ludah dan sedikit pucat. Dia nampak cemas dan takut.Apakah dia sekarang menjelma jadi suami takut istri? Entahlah "Kenapa Mas, kenapa wanita itu menangis?""Ti-tidak usah dipikirkan, ma-mari kita makan," jawabnya sambil mengusap muka.Kuraih lengannya lalu mengelusnya lembut. Dia yang tadinya khawatir, terlihat menyunggingkan senyum, tapi tetap saja tak bisa menyembunyikan bahwa perasaannya sedang tidak fokus bersama kami."Sayang, sudah banyak sekali momen yang terlewat sejak kau menikah. Kita lupa untuk saling menyayangi dan menjunjung satu sama lain karena lepas pernikahanmu kita menjadi sibuk dengan urusan masing masing.""I-iya benar," balasnya dengan wajah tak nyaman."Aku ingin ... kita mengulang kembali bahagia. Bila perlu kita memulai semuanya dari awal. Aku akan perbaiki diri untukmu dan kau juga berusaha berubah jadi lebih peduli pada kami? Apa kau bisa Bi?""I
Mengetahui bahwa diriku akan memiliki status baru dan mulai harus hidup mandiri maka aku kembali berusaha untuk menghubungi beberapa teman-teman dan orang-orang yang pernah kukenal di masa lalu, kuhubungi mereka untuk bertanya apakah aku punya kesempatan untuk ikut bergabung di tempat mereka bekerja atau mungkin beberapa teman bisa membantuku mendapatkan peluang untuk mencari nafkah.Kudapati nomor telepon Irma seorang teman masa sekolah yang merupakan pengusaha butik dan resto dari sahabatku Eva, kutelpon nomornya, kami saling menyapa, bercerita lalu aku memintanya untuk memberiku kesempatan bekerja. Gayung bersambut, temanku yang cukup baik itu kebetulan sedang mencari seseorang yang bisa mengawasi cabang toko yang baru dibuka miliknya."Kamu bisa kan bantu aku untuk mengawasi butik milikku yang aku buka di Jalan mutiara?""Tentu," jawabku."Baiklah, datanglah temui aku jam sembilan pagi di jalan Mawar nomor lima, butik Andaresta.""Baiklah.""Sepertinya ini memang rezeki kamu k
Sejurus, untuk beberapa menit kami benar-benar saling mendiamkan hanya suara ambar yang sesekali berceloteh dan tertawa kecil sambil menerima pelukan dan kasih sayang hangat dari ayahnya."Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa kau menganggap semuanya menjadi bisnis dan kau menjelma materialistis," keluhnya dengan suara lirih, aku hanya mendecih sambil tertawa. Mengeluh bisa-bisanya dia mengeluhkan tuntutanku setelah penghianatan yang dia lakukan. Sebesar luka yang telah diberikan saat mencampakkanku aku juga ingin dia belajar."Tolong ya, jangan menyinggung perasaanku sebelum aku juga menyinggung perasaanmu, Tidak pernah dalam hidupku ingin menyakitimu jadi jangan menyakitiku lebih dari apa yang telah kau perbuat," jawabku sambil meraih ambar dari pelukannya. Sungguh, Mas Indra tak mampu menyembunyikan kekecewaan saat aku merebut kembali anakku dan meletakkannya dalam gendonganku. Sengaja aku bersikap sibuk, mengambil ponsel dan kunci lantas menghubungi temanku Irma lalu berbi
Seminggu setelah bicara dengan Irma dan diterima bekerja di butik miliknya, aku merasa ada yang berbeda dalam hidupku. Hari-hari dan waktu putrasa lebih berarti dan aku lebih memaknai tentang mensyukuri hidup dan kesempatan yang diberikan tuhan. Aku bersyukur segala sesuatu berjalan dengan mudah serta Tuhan membantuku untuk memudahkan diri ini mencari rezeki. Alhamdulillah juga Irma sahabatku bukanlah tipe pimpinan yang pelit, dia tahu bahwa aku berada dalam kesulitan jadi dia memberiku sejumlah uang untuk ongkos pulang pergi setiap harinya ke cabang yang aku jaga untuknya.*Aku sedang membereskan rumah dan menikmati waktu sore saat tiba-tiba Mas Indra datang bersama dengan Intan. Aku sedang mengelap perabotan dan aksesoris yang ada di atas bufet ruang tamu saat dia masuk dan mengetuk pintu untuk mengalihkan perhatianku."Assalamualaikum."Aku tersentak kualikan tatapanku dan melihat wajah yang sudah lama tak ku temui itu memandangku dengan tatapan datar. Di belakangnya ada Intan yan
"Jangan katamu?" tanyaku dengan mata melotot kepada pria yang telah membersamaiku 4 tahun belakangan. Aku memikirkan Mata melihat ekspresinya dan benar-benar penasaran Apakah dia sungguh membenciku dan tergila-gila kepada Intan ataukah itu yang barusan terjadi hanya respon sesaat karena takut Intan terjatuh."Maksudku Jangan bersikap kasar seperti ini?""Kau melarangku untuk bersikap kasar tapi ketika wanita ini bersikap sombong dan arogan di dalam rumahku kau malah diam saja! jomplang sekali sikap dan perilakumu!""Aku berusaha netral.""Kalau begitu bersikap netral Sampai akhir. Diam dan lihat saja kami bertengkar hingga sampai saling membunuh, jangan melerai membela satu lalu meninggalkan yang lain, agar kau benar-benar terlihat netral.""Astaga bukan begitu juga caranya Nadira ....""Kau tahu dengan membawa wanita ini ke rumah, akan terjadi konflik yang besar dan tidak bisa dihindarkan, tapi kau tetap saja membawanya. Kau gila!" ucapku sambil memburu wanita yang kini berlindung di
"Oh-ouh, rupanya kau menjadi asisten di sini ya," ucap ibu mertua sambil bangun dan memperhatikanku. Melihat cara ia memandangku dengan cara berbeda, akunhanya bisa tersenyum miris sambil meremas tanganku. Dulu aku menempatkan ibu mertua di atas kepalaku, aku sangat menghormatinya dan mencintainya seperti Ibuku sendiri. Aku meletakkan semua kepentingannya di atas kepentinganku dan berbakti padanya. Tapi, semenjak ia memperlakukanku tidak adil semua rasa simpati dan cinta yang ada langsung menguap begitu saja, hilang bagai tetesan air yang tertimpa panasnya matahari. "Selamat datang," jawabku sambil mengangguk pelan "Ahahaha, aku tahu ini ini sulit bagimu, tapi kami adalah klien tetap butik ini jadi kuharap kau bisa bekerja sama dan tidak mendahulukan egomu di atas kepentingan jual beli dan bisnis yang kita lakukan." Intan mengatakan itu sambil melirik neneknya Ambar."Tentu saja, lagi pula butik ini bukan milikku, jadi aku akan bekerja sesuai prosedur, tenang saja.""Ya, memang har
Tanpa bisa ku jagain Mas segera menuju ke ruang depan untuk menemui kembali intan dan ibu mertuaku yang terlihat masih tertawa bahagia dan Santai dengan katalog yang ada di tangan mereka."Permisi ibu ...." Irma menyapa dengan senyum yang paling lebar sambil menggenggam kedua tangannya sendiri."Setelah saya lihat jadwal dengan konsultan saya dan melihat waktu pemesanan Anda sepertinya kami belum bisa menerima pekerjaan tersebut.""Lho kenapa?""Waktunya terlalu mepet sementara orderan kami juga menumpuk.""Tapi kami sudah buat janji jauh-jauh hari dan tadi katanya bisa kenapa mendadak tidak bisa sih Mbak tanya Intan dengan wajah yang sangat tidak senang?""Saya minta maaf sekali karena konsultan khusus kebaya akad berhalangan, Dia baru saja menelpon saya dan mengatakan bahwa hari ini dan sampai 5 hari ke depan dia tidak bisa masuk karena ibundanya sedang sakit jadi saya benar benar tidak berdaya dan minta maaf karena semua berjalan tidak sesuai harapan.""Ini aneh, Kenapa sih butik M
Alhamdulillah pesta berjalan lancar dan meriah, meski tadi sempat ada insiden seseorang ketumpahan sup, tapi tetap saja itu tidak menyurutkan euforia kebahagiaan pesta. Mungkin orang orang tidak terlalu terpengaruh atas musibah yang menimpa mantan maduku itu karena track recordnya yang jahat.Pada akhirnya dia sendiri akan menyadari bahwa perbuatannya selama ini menimbulkan kebencian dan kekecewaan banyak orang, bahkan bukan itu saja, orang orang mulai kehilangan simpati dan respect pada Intan.Buktinya tadi, tidak seorang pun memperdulikan intan meski mereka banyak berkerumun, hanya Mas Indra yang bantu membangunkan dia dan membawanya pergi, selebihnya para tamu kembali dengan kegiatan mereka larut dalam kemeriahan pesta.“Ayo pulang,” ucap Mas Radit menyadarkan lamunanku barusan, pesta sudah usai dan semua tamu sudah kembali, hanya tinggal anggota keluarga inti dan tim WO yang sedang membereskan sisa catering dan membersihkan tempat acara."Ayo pulang ke rumah kita," ujarnya, aku
Terlambat ya, kata yang paling tepat untuk Mas Indra menyadari semuanya, dia bilang aku berlian yang sudah dia tukar dengan batu biasa, kini berlian itu sudah akan jadi milik orang lain dan akan melanjutkan hidupnya dengan bahagia, memang sulit menerima kenyataan terlebih berdamai dengan kesalahan, tapi segala sesuatu memang harus diterima dengan lapang dada.*Minggu jam empat sore, sebulan kemudian.Keluarga Mas radit datang dengan iringan ramai dan tetabuhan rebana, mereka datang degan baju warna seragam dan paket hantaran yang tertata cantik dalam kotak akrilik yang dihiasi bunga dan pita. kami sekeluarga duduk saling mengelilingi dan beramah tamah akan rencana pernikahan kami yang harus sekali dalam waktu dekat.“Kami ingin segera tali pernikahan ini berlangsung agar kami bisa lega melihat radit dan Nadira bersatu, kami ingin anak anak hidup bahagia dan tenang sehiggga kita pun bisa ikut senang,” ujar ibunda Mas radit.“Bagaimana nadira?”“saya setuju.”“ALhmdulillah.” seluruh
"Jikalau kamu masih mengusik hidupku maka aku tidak akan segan-segan lagi untuk menyeretmu ke kantor polisi. Aku bahkan akan menghajarmu dan menelanjangimu di depan umum meski ada suamimu yang akan membelamu, aku sama sekali tidak akan takut dengannya." Katakan kalimat itu tadi pada wanita yang masih tersedu menahan pipinya yang sakit.Orang-orang terhenyak dengan apa yang terjadi, begitu pula dengan Mas Indra yang seolah kehilangan simpati pada istrinya. Jangankan untuk menolong membangunkan dan mengambil hatinya malah Mas Indra hanya berdiri saja sambil menatap wanita itu menangis tersedu.Sesudahnya, pulang diri ini dengan hati puas karena sudah mempermalukan intan sedemikian rupa. Lega karena dengan daying dua pulau terlewati, dengan satu pukulan dua sasaran dihempaskan. Satu masalah pada pekerjaan dan satu lagi masalah intan wanita gila itu.Heran sekali, karena sampai hari ini wanita itu tidak ada jera-jeranya menyakiti diri ini. Apakah dia lupa sewaktu aku mewakilinya dengan
"Mas, ayo kita ketemu," ucapku di telepon pada Mas Indra."Bertemu?" Pria itu terdengar ragu dan terdiam beberapa saat."Iya, ayo ketemu. Aku ada hal penting yang ingin kubicarakan," jawabku."Kenapa tidak bicara saja dari telpon?""Entahlah, aku ingin bertemu sekalian saja agar semua yang ingin kusampaikan itu terdengar jelas dan masuk akal.""Baiklah, kalau begitu tunggu jam pulang kerja, temui aku di resto seafood favorit kita dulu.""Baiklah," jawabku sambil mengakhiri panggilan.Sekitar pukul 05.00 sore aku sudah menunggu Mas Indra di restoran seafood yang kami bicarakan, sekitar 5 menit kemudian dia datang dan langsung menyambangiku yang sudah duduk di bangku paling sudut agar suasananya lebih tenang."Selamat sore, gimana kabarmu?""Baik Mas," jawabku pelan. Kuperhatikan dia, mengenakan kemeja abu abu dengan rambut yang dipotong dengan model baru, terlihat rapi dan tampan."Uhm, kira kira apa yang ingin kamu bicarakan?""Oh, begini, aku ingin jujur tentang apa yang terjadi bebe
Dua hari berlalu setelah kejadian Irma memarahiku. Suasana butik sedikit lengang tanpa canda tawa karena kami masih berada dalam ketegangan dan kekhawatiran bahwa Irma bisa saja melaporkan kami ke kantor polisi dengan tuduhan penggelapan dan pencurian.Entah kenapa suasana butik yang selalu ramai penuh canda tawa dan semarak berubah menjadi lesu dan semua orang hanya sibuk dengan kegiatan masing-masing tanpa banyak bicara. Keadaan sepi dan menegangkan. Aku sendiri masih berkutat dengan semua laporan keuangan dan memeriksa kembali hal-hal yang mungkin sudah terlewatkan. Nyatanya, memang tidak ada yang terlewatkan sampai akhirnya aku menemukan jawaban dari semua pertanyaan panjang ini.Tak sengaja diri ini pergi ke kamar mandi lalu melewati sebuah lorong kecil di mana ada mushola dan kamar tempat istirahat siang kami semua, di sana ada Mbak Vina yang diam-diam sedang menelpon dengan gestur yang mencurigakan, dia melihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keadaan lalu menelepon dengan
Melihatnya pergi secepat kilat, aku hanya bisa tertawa sambil merapatkan syal dan kembali masuk ke halaman rumah.*Seminggu kemudian.Tring ...Pukul tujuh pagi ponselku berdering, ternyata setelah kulihat itu adalah panggilan dari bosku Irma. Tumben sekali dia menelpon pagi-pagi begini biasanya Jika dia menghubungi itu artinya ada pesanan mendadak atau hal-hal yang harus segera dilakukan untuknya. Kutekan tombol hijau lalu menjawab panggilannya."Halo, assalamualaikum.""Walaikum salam.""Segeralah datang ke butik Karena aku telah mendapatkan laporan hasil audit dari akuntan pribadiku.""Oh, ada apa sebenarnya Bos?"Aku agak heran karena nada bicara temanku itu tiba tiba meninggi."Aku membutuhkanmu sekarang, jadi datanglah.""Siap."Aku agak kaget mendengar dia sedikit berteriak tapi aku berusaha untuk memaklumi bahwa mungkin bosku itu sedang pusing atau memiliki banyak masalah sehingga dia melampiaskannya sedikit kepadaku."Kira kira kenapa ya..." Ah, segera mengambil handuk unt
"Baiklah jika begitu, aku akan pergi," jawabnya.Meski pada akhirnya dia mengalah tapi aku tahu dia melakukannya dengan berat hati. Aku pun paham dia sudah datang kemari dengan mengumpulkan segala keberanian dan kemauannya, dia telah mengumpulkan keberanian untuk menghadapi ayahku dan semua perkataan pahit dari beliau, juga harus minta maaf pada Ibu. Kini aku sudah di kamar, menyibak tirai jendela sambil melihat Mas Indra yang membuka pintu pagar dan menjauh pergi. Kembali terbersit dalam benakku, andai segala kejadian pahit itu tidak pernah berlaku dalam hidupku, tentu aku masih bersamanya sampai sekarang. Andai Dia tidak berselingkuh dan memutuskan untuk memilih kekasihnya tentu sampai saat ini kita masih tidur di ranjang yang sama dalam posisi berpelukan. Hanya ada aku, dia dan anak kami."Tapi sayang tidak ada lagi yang bisa disesalkan."*Kunyalakan AC lalu merebahkan diriku di sisi putriku yang sudah tertidur pulas sejak tadi. Kuperhatikan wajahnya yang cantik, sebagian dirinya
*Di sinilah kami sekarang duduk di atas hamparan tikar dan menikmati pemandangan kota dari ketinggian, bukit yang hijau yang ditumbuhi bunga-bunga yang cantik membuat Ambar gembira serta antusias untuk bermain dan menikmati alam. Kubiarkan ia memetik bunga dan mengejar kupu kupu sementara aku dan Mas Radit duduk sambil menikmati tipuan angin sejuk dan matahari sore. Daun rumput bergoyang di tiup angin membuat suasana semakin semarak."Hmm, Kalau sudah seperti ini Aku merasa sangat tenang dan bahagia ucap Mas Radit sambil mengunyah roti yang ku bawa di keranjang piknik.""Aku juga Mas, Ingin rasanya setiap hari seperti ini setiap sore menatap matahari dan menikmati angin sepoi yang berhembus, suatu saat nanti melihat anak anak kita berkejaran gembira, sudah merupakan kesempurnaan untukku.""Hmm, benar," jawabnya sambil menepuk punggung tanganku. Lama berhubungan dengan Mas Radit tak sekalipun pria itu pernah ingin merangkul atau melakukan hal yang lebih dari sekedar menyentuh tan
Karena dia tidak kunjung menjawab juga perkataanku, akhirnya aku pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah karena khawatir Mas Radit dan ibu akan menyusul keluar untuk memeriksa keadaanku."Kalau begitu Aku masuk dulu Mas Ibu dan Ayah pasti akan mencariku kalau aku terlambat.""Baiklah. Tapi tidak bisakah jika lain kali aku melihat Ambar?""Hmm, lain kali saja ya, namun aku tidak berjanji dengan semua itu. Jika suatu saat kau tidak sengaja melihatnya maka itu adalah rezekimu, tapi jika aku harus membawanya padamu, aku sama sekali tidak akan sempat dan tidak mau melakukan itu karena bapakku pasti akan marah.""Tak kusangka akan sesulit itu.""Kenyataan itulah yang kau pilih Mas, jadi bertahanlah.""Aku pulang," ujarnya yang tidak mampu menyembunyikan rasa kesal dan kecewa. Di sisi lain aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk meredakan kekesalan dan kekecewaannya karena segala sesuatu yang terjadi itupun adalah keputusan dirinya.Usai memastikan Mas Indra pergi dari depan rumah a