Robin masuk ke kamarnya menjelang pukul sepuluh malam waktu setempat. Rudi yang menjadi teman sekamarnya sudah terlelap dan mendengkur lumayan keras. Di luar, masih banyak bule yang duduk-duduk di halaman sambil mengobrol. Tampaknya, udara dingin tidak membuat mereka bergegas masuk ke kamar. Sebagian hendak menuju Annapurna Base Camp, sisanya sudah hampir menyelesaikan pendakian.
Perjalanan hari pertama itu –bisa dibilang- belum menyuguhkan pemandangan menakjubkan. Sesekali mereka memang melihat puncak Machapuchare atau dikenal juga dengan nama Fish Tail Montain. Bahkan dari jauh pun gunung itu terlihat begitu angkuh sekaligus agung. Sayang, Machapuchare terlarang bagi para pendaki karena menjadi tempat suci dalam agama Hindu. Para pemeluk agama tersebut meyakini bahwa puncak gunung itu adalah tempat tinggal Dewa Siwa.
Setelah membaringkan tubuh di atas ranjang single yang cukup nyaman, barulah Robin benar-benar menyadari rasa pegal yang mendera kakinya.
Esok paginya, mereka melanjutkan perjalanan tepat pukul setengah delapan. Satu hal yang baru disadari Robin, orang-orang Nepal sangat tepat waktu dan memiliki disiplin yang tinggi. Juga sikap ramah yang ditunjukkan tanpa henti, membuat para turis merasa diterima dengan tangan terbuka. Sapaan “Namaste” yang kadang diikuti dengan kedua telapak tangan ditangkupkan di depan dada, cukup sering diterima Robin dan teman-temannya.Tampaknya, tidak ada yang merasa heran melihat sikap manja Nania yang tak jua berkurang. Serta keluhan-keluhan yang mulai terdengar saat mereka hendak sarapan. Ben dan Pravin sepertinya sudah berdiskusi panjang untuk menghadapi Nania yang terlalu sering meminta waktu beristirahat. Itu dugaan Robin. Karena tepat sebelum mereka mulai melakukan trekking, Ben membuat pengumuman.“Kemarin kita terlalu lambat karena sering berhenti. Alhasil nyampe Jhinu Danda aja udah gelap. Hari ini, target kita bisa nginep di desa yang namanya
“Makasih, Vi,” kata Robin dengan suara kaku. Dia berdeham pelan untuk mengatasi kecanggungan yang mendadak membuat dirinya merasa tak nyaman.“Barusan kamu kayak hantu, tau! Sunblock nemplok di sana-sini,” canda Vivian. “Kamu nggak bawa topi, Bin? Kalau ada, pakai topinya. Sunblock aja nggak cukup untuk ngelindungi kulit. Tuh, Allan pun kulitnya terbakar padahal udah pakai topi juga. Dia malah bolak-balik pakai sunblock. Tapi tetap aja.”Robin belum sempat memberi respons karena Ben mengumumkan bahwa mereka sudah bisa melanjutkan perjalanan. Kini, rombongan itu harus menyusuri jalan menurun yang cukup jauh. Hingga mereka melewati jembatan gantung dengan air berwarna toska.Robin menyusul Vivian, Carlo, dan Rudi yang tadinya berjarak beberapa meter di depan cowok itu karena mereka harus berhenti selama beberapa menit di ujung jembatan. Pasalnya, dari arah seberang ada beberapa ekor keledai yang bersia
Dua setengah tahun lalu.Robin menjadi salah satu orang paling panik saat Fida tak muncul di kampus selama berhari-hari. Cowok itu tak bisa melupakan hari terakhir dia bertemu dengan Fida. Hari itu tanggal 17 Mei, Robin dan semua mahasiswa yang mempelajari tentang sidik jari, berada di salah satu fasilitas pelatihan Sydney Forensic Sciences University.Universitas menyediakan sebuah bangunan berukuran cukup besar dengan berbagai ruangan. Rumah itu digunakan untuk mempelajari aneka pengetahuan demi mendukung ilmu forensik. Kali ini, Robin dan teman-temannya akan mencari tahu lebih detail tentang sidik jari.Cowok itu masih bisa mengingat dengan jernih pakaian yang dikenakan Fida. Kaus merah berleher tinggi serta celana jins berwarna krem. Saat itu, Robin curiga bahwa temannya sedang menyembunyikan “sesuatu” di lehernya lagi. Namun dia tidak punya kesempatan untuk menginterogasi Fida karena harus berkonsentrasi pada penjelasan dosennya.“I
Hari kedua pendakian, mereka menginap di Bamboo yang berada di ketinggian 2300 mdpl. Vivian dan teman-temannya tiba di desa itu sekitar pukul setengah lima sore. Medan yang berat antara Chomrong-Bamboo membuat mereka menghabiskan waktu di jalan lebih lama dibanding hari sebelumnya.Sepanjang perjalanan, Vivian banyak mengobrol dengan teman-temannya. Terutama Robin. Cowok itu mungkin tidak sesupel Allan atau seiseng si kembar. Robin terkesan agak serius, malah. Namun Vivian merasa nyaman berinteraksi dengan cowok itu. Bisa jadi karena mereka punya sejarah pertemuan yang cukup menarik.“Aku beneran masih penasaran soal kerjaanmu, Vi. Jadi ‘pengganti’ untuk Cynthia Pasha,” kata Robin tadi. “Sesulit apa kerjaanmu?”“Ssst, jangan dibahas lagi. Aku nggak bisa jelasin detailnya,” jawab Vivian, meminta pemakluman. “Maaf ya, Bin.”Cowok itu tersenyum rikuh. “Aku yang minta maaf karena malah banyak n
“Ya iyalah, Vivian lebih pas sama Robin ketimbang Rafli,” Allan menambahkan tanpa perasaan. “Ada komen, Bin? Mau bantah atau udah punya cewek? Baik yang masih diincar atau udah jadian?”Vivian menahan napas. Allan sengaja memancing perang. Sejak kemarin, cowok itu memang mengeluhkan sikap Nania yang menurutnya berlebihan dan mengganggu kenyamanan yang lain. Denny pun tampaknya berpendapat sama. Sementara yang lain memilih untuk tidak terlalu frontal mengungkapkan opininya.“Kalian serius mau nyomblangi kami?” Robin malah menoleh ke arah Vivian sambil menyenggol bahu gadis itu. “Gimana menurutmu, Vi? Aku memenuhi kriteria cowok idamanmu nggak, sih?”Vivian mengaduh dalam hati. Dia sengaja menggeleng samar, mengirim pesan kepada Robin bahwa kalimat cowok itu hanya membuat semuanya kian parah. Beruntung Ben memberi aba-aba agar mereka melanjutkan perjalanan, sehingga Vivian tak perlu merespons pertanyaan yang menyusah
Seperti tea house pada umumnya, tempat mereka menginap tergolong sederhana. Namun kondisinya bersih, mulai dari kamar-kamar hingga toilet. Air panas selalu tersedia meski para pengguna harus membayar dengan harga tertentu. Semakin dekat dengan Annapurna Base Camp, semakin mahal pula tarif air panas dan penginapan. Namun tampaknya tidak ada yang merasa keberatan karena tetap saja tergolong murah. Belum lagi keramahan para warga lokal yang mengesankan.“Waktu aku ke Tibet tahun lalu, kondisi tea house-nya beda banget sama di Nepal,” simpul Allan yang memang sudah cukup sering bepergian ke tempat-tempat eksotis. Cowok itu sepertinya terobsesi dengan area sekitar pegunungan Himalaya. “Toiletnya di Tibet yang paling parah. Sama kayak di China, meski nggak di semua tempat, sih. Nyari air susahnya minta ampun. Udah kayak keajaiban dunia ke sebelas.”Rafli buru-buru menambahkan. “Iya, kakakku juga ngomong gitu. Dia pernah ke Indi
“Perasaan itu nggak bisa dipaksa, Nania. Mati-matian pun kamu usaha, kalau pihak sono nggak punya rasa apa pun, ya bakalan gagal. Dan kalau udah kayak gitu, tolong jangan nyari kambing hitam. Mungkin aja Robin enek karena kamu terlalu over atau agresif. Introspeksi diri itu penting.” Dia menarik napas. “Sementara soal apakah aku suka atau nggak sama Robin, nggak ada kaitannya sama kamu. Jadi, aku nggak perlu ngasih jawaban apa pun.”Ketika meninggalkan kamarnya, Vivian merasa kata-katanya sangat jahat. Namun dia menahan diri agar tidak berbalik dan meminta maaf pada Nania. Sesekali, gadis itu harus belajar untuk menerima kenyataan. Sayang, perasaan bersalah Vivian menyiksanya tatkala esoknya Nania dipastikan tidak bisa melanjutkan trekking karena terkena AMS.“Jadi, Nania bakalan nunggu kita di Deurali?” tanya Rudi pada Ben.“Nggak, Nania bakalan turun. Mungkin nanti kita akan ketemu dia lagi di Pokhara. Pravin
Robin tahu, semestinya dia tak boleh merasa senang karena Nania terkena AMS. Namun, nyatanya, dia merasa kebebasannya kembali karena gadis itu takkan melanjutkan trekking. Artinya lagi, selama sisa perjalanan yang masih berlangsung empat hari lagi, Robin akan terbebas dari gangguan Nania.Setelah berdiskusi panjang yang membuat mereka semua baru meninggalkan Deurali telat setengah jam dibanding jadwal yang seharusnya, Ben membuat pengumuman. Bahwa Pravin terpaksa tak bisa menemani mereka melanjutkan perjalanan. Karena sang guide bertugas mengantar Nania ke Kathmandu. Pasalnya, gadis itu memutuskan untuk pulang ke Jakarta lebih dulu.Nania sempat ditawari untuk dievakuasi dengan helikopter tapi dia menolak. Gadis itu beralasan dirinya masih sanggup untuk berjalan kaki. Robin, yang tidak ahli berpura-pura, hanya bicara beberapa patah kata pada Nania. Menunjukkan simpati karena gadis itu tidak bisa menuntaskan trekking-nya.“Hati-ha
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat