Untungnya Nania menurut meski memasang mimik kaku yang membuat Robin gemas. Andai ada orang yang pantas merasa kesal saat itu, sudah pasti itu menjadi jatah Robin. Karena Nania sudah bersikap keterlaluan. Cowok itu sengaja berjalan menjauh dari toko karena tidak ingin ada yang mendengar percakapan mereka.
“Mobil kamu yang mana?” tanya Robin pada gadis di sebelah kanannya. Setelah Robin melepaskan lengan Nania, kini malah gadis itu yang sengaja menggandengnya. Kali ini, Robin sengaja membiarkan.
“Itu, yang warna silver,” tunjuk Nania ke satu arah. “Kita makan malam bareng, kan?” tukasnya dengan nada senang yang begitu kentara. Robin menahan diri agar tidak menumpahkan kata-kata negatif saat itu. Beberapa saat kemudian, gadis itu menyerahkan kunci mobil pada Robin.
“Kita nggak bakalan ke mana-mana,” kata Robin dengan nada setegas mungkin. Dia menolak menerima kunci mobil di tangan Nania, memberi isyarat deng
Kalimat Nania itu membuat Robin kehilangan semangat. Dia selalu menaruh respek pada orang-orang yang tak mudah menyerah. Namun tentu saja berbeda dengan apa yang diisyaratkan Nania saat ini. Gadis ini sedang berusaha memaksakan kehendaknya pada orang lain. Mendesak Robin agar menyambut perasaannya. Adu mulut selama lebih dari lima menit tak membuat Nania tersadarkan. Robin pun benar-benar merasa lelah.“Na, terserah kamu aja. Yang pasti, aku nggak mau ngeliat kamu datang lagi ke toko. Kalau kamu masih nekat, satpam yang bakalan ngusir. Maaf ya, aku nggak jahat atau kejam. Aku cuma bereaksi sama apa yang kamu lakuin. Apalagi, kamu sudah bikin aku terganggu. Kamu nggak bisa bersikap seenaknya di toko kayak tadi. Kamu juga nggak boleh marah kalau nomormu aku blokir.”“Hah? Kalau—”Robin tak memberi kesempatan Nania untuk terus menggangunya. “Kalau kamu beneran suka sama aku, bukan gitu caranya. Maaf ya Na, aku udah nggak mau kete
Selama ini dia sudah cukup bersabar menghadapi kakak-kakaknya. Kali ini menjadi pengecualian. Bersitegang dengan Nania saja sudah menguras tenaga dan semangatnya. Lalu ada Angie yang menuduhnya ini-itu tanpa mau mendengarkan penjelasan Robin. Wajar jika dia nyaris meledak, kan?Setelah meninggalkan Adiratna Maharani, Robin tidak punya tujuan tertentu dan hanya berputar tak tentu arah. Dia belum berniat untuk kembali ke apartemen. Meski sudah saatnya untuk makan malam, perut Robin malah terasa penuh.Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Hingga dia memasuki kawasan Kemang dan teringat bahwa lokasi Super Bakery ada di sana. Tanpa pikir panjang, Robin segera menepikan mobil dan menelepon Vivian. Suara antusias gadis itu membuat Robin segera berkendara menuju toko roti itu.Vivian sudah menunggu di depan pintu masuk dan langsung melambai begitu melihat Robin keluar dari mobil. Senyum lebar Vivian yang ditujukan untuknya membuat
“Silakan duduk, Bin. Kamu kutinggal bentar, ya? Aku mau bikinin kopi istimewa yang selalu kugembar-gemborkan selama di Nepal. Kamu jangan ke mana-mana,” pintanya.Gurauan Vivian membuat Robin tertawa geli. Ketegangan yang tadi meyekapnya secara tiba-tiba dengan cara yang misterius, mulai melemah. Robin menuruti anjuran gadis itu, menarik salah satu kursi rotan berbantalan empuk sebelum mendudukinya. Cowok itu menyapukan tatapan ke seantero toko.Di belakangnya, ada deretan etalase yang mengapit meja barista, kasir, dan semacam gang yang menjadi tempat lalu-lalang para pegawai. Agak jauh di belakang, ada sebuah pintu yang kemungkinan besar menuju ke arah dapur.Langit-langit toko yang tinggi dihiasi lukisan cantik bergambar piring-piring yang dipenuhi roti. Juga bergelas-gelas kopi yang masih mengepulkan asap. Bagian depan toko berupa kaca tembus pandang yang membuat orang-orang bisa melihat ke dalam dengan leluasa. Meja-meja berbentuk bundar dengan k
Vivian sengaja memotong kata-kata Robin karena sudah bisa menebak apa yang ingin diungkapkan cowok itu. Saat ini, dia tak mau mendengar kalimat bernada negatif. Meski Vivian memahami ketidakpercayaan diri Robin yang mendadak muncul. Gadis itu buru-buru berdiri, menunjuk ke arah pintu. Namun Robin tak beranjak dari tempat duduknya.“Kopinya gimana? Masa harus ditinggalin begitu aja? Sayang kalau nggak diminum,” Robin menunjuk dengan dagunya. “Gimana kalau kita pesan makanan aja dan dibawa ke sini?”Usul itu direspons dengan anggukan oleh Vivian. Gadis itu kembali duduk. “Ide bagus. Kamu mau makan apa? Kita bisa pesan.”“Hmmm, nggak pengin sesuatu yang khusus, sih. Asal rasanya enak. Aku belum makan nasi seharian. Tadi siang cuma beli burger tapi aku kelupaan. Pas mau dimakan, udah dirubungi semut,” ujar Robin tak berdaya. Tangan kiri pria itu mengelus perutnya.Vivian mengulum senyum. Entah kenapa, d
“Yakin cuma temen, Vi? Kok keliatannya kalian cocok, ya? Calon potensial lho, Vi!” goda salah satu staf di dapur, diikuti tawa geli yang lain.“Yakin, dia cuma temen doang,” sahut Vivian. “Aku titip temenku dulu, ya. Awas aja kalau digangguin. Apalagi sampai dirayu.”“Jiah, ada yang posesif. TTP, temen tapi posesif.”Selama mengantre di restoran gudeg yang selalu ramai itu, kepala Vivian dipenuhi berbagai pikiran. Dia menyadari ketertarikannya pada Robin, meski Vivian tak tahu bagaimana awalnya. Semua berjalan alamiah. Obrolan mereka terasa begitu menyenangkan dan membuat Vivian betah meski temanya kadang membuatnya merinding. Siapa sangka hidup Robin tak kalah rumit dibanding Vivian?Gadis itu sempat mengira dia takkan bertemu Robin lagi. Cowok itu tak pernah menghubungi Vivian setelah mereka kembali ke Jakarta. Entah berapa kali Vivian berinisiatif ingin mengontak Robin. Namun keberaniannya seolah musnah.
Pertanyaannya dijawab Robin dengan tawa geli. “Nggak, kok. Papamu ramah banget. Tadinya aku sempat takut kalau bakalan digalakin. Jujur, ini pengalaman pertama ketemu dan ngobrol sama papa teman cewekku. Ternyata nggak semenakutkan yang selama ini kubayangin. Malah karena ada papamu, jadi nggak kerasa lama nungguin kamu balik ke sini.”Pengakuan itu membuat Vivian nyaris melonjak kegirangan meski dia tidak yakin apa reaksi seperti itu tidak terlalu berlebihan. Namun tentu saja dia tak sudi menunjukkan perasaan terdalamnya di depan Robin. Vivian berusaha tetap santai saat berujar, “Kok bisa? Maksudku, soal pengalaman pertama yang kamu sebutin tadi. Memangnya selama ini kalau pacaran, kamu lebih suka backstreet?”Robin tampak malu, ditandai dengan wajahnya yang memerah. “Nggak backstreet, sih. Tapi juga bukan hubungan yang serius-serius amat. Eh, tapi jangan diartikan kalau aku cuma iseng doang, ya. Intinya, nggak pernah sa
Robin tampak tak nyaman tapi akhirnya berkenan memberi jawaban setelah menunda beberapa detik. “Yang mint. Karena aku memang nggak pernah suka rasanya. Segala yang mengandung mint, aku nggak doyan.”“Oh.” Vivian manggut-manggut. “Aku nggak tau kalau kamu nggak suka mint. Harusnya tadi kutanya dulu sebelum bawa bergelas-gelas kopi ke meja ini.”Robin malah menggeleng. “Nggak perlu tanya, Vi. Lagian, nggak apa-apa, kok! Justru jadi tau ada kopi rasa mint. Aku kan nggak suka nyoba-nyoba untuk urusan makanan atau minuman. Kurang punya nyali untuk bereksplorasi,” sahut cowok itu.Mereka menghabiskan waktu puluhan menit untuk membahas banyak hal. Robin bercerita tentang rancangan cincinnya yang ditolak karena dianggap tidak istimewa. Sementara Vivian membahas soal keinginannya untuk memanfaatkan media sosial semaksimal mungkin demi mempromosikan Super Bakery. Namun, perasaan senang yan
“Kamu dan Robin pacaran ya, Vi?” tanya Barry suatu kali. Mereka sedang berada di rumah, bersiap untuk sarapan. Vivian menangkap senyum terkulum di bibir Debby yang sedang menaruh roti bakar di atas meja.“Nggak, Pa. Kami cuma temen. Harus berapa kali kuulangi supaya Papa percaya, sih? Supaya Tante juga nggak senyum-senyum penuh arti gitu,” protes Vivian sambil menatap ibu sambungnya dengan bibir cemberut.Debby menarik kursi di sebelah kanan Vivian. “Papa kan cuma nanya, Vi. Jangan defensif gitu. Kalaupun pacaran, ya nggak apa-apa. Kayaknya Robin itu laki-laki baik. Keliatannya juga udah dewasa, nggak pecicilan kayak Allan. Padahal usia mereka pasti nggak jauh beda, kan?”“Hmm, soal dewasa, memang iya,” kata Vivian, membenarkan. Namun, tentu saja dia tak membahas detail yang terjadi dalam hidup Robin kepada kedua orangtuanya. Pria itu sudah memercayakan rahasianya pada Vivian. Jadi, gadis itu takkan menggunakan itu
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat