“Kamu dan Robin pacaran ya, Vi?” tanya Barry suatu kali. Mereka sedang berada di rumah, bersiap untuk sarapan. Vivian menangkap senyum terkulum di bibir Debby yang sedang menaruh roti bakar di atas meja.
“Nggak, Pa. Kami cuma temen. Harus berapa kali kuulangi supaya Papa percaya, sih? Supaya Tante juga nggak senyum-senyum penuh arti gitu,” protes Vivian sambil menatap ibu sambungnya dengan bibir cemberut.
Debby menarik kursi di sebelah kanan Vivian. “Papa kan cuma nanya, Vi. Jangan defensif gitu. Kalaupun pacaran, ya nggak apa-apa. Kayaknya Robin itu laki-laki baik. Keliatannya juga udah dewasa, nggak pecicilan kayak Allan. Padahal usia mereka pasti nggak jauh beda, kan?”
“Hmm, soal dewasa, memang iya,” kata Vivian, membenarkan. Namun, tentu saja dia tak membahas detail yang terjadi dalam hidup Robin kepada kedua orangtuanya. Pria itu sudah memercayakan rahasianya pada Vivian. Jadi, gadis itu takkan menggunakan itu
Namun, bicara memang jauh lebih mudah. Vivian tetap saja gamang selama berbulan-bulan. Tidak tahu bagaimana harus menghadapi perasaannya sendiri. Gadis itu mulai takut karena kehilangan kendali. Di sisi lain, Vivian memiliki keyakinan jika perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Meski dia tidak ahli membaca pikiran seseorang dan tidak memiliki jam terbang memadai untuk masalah itu.Interaksinya dengan Robin selama ini menguatkan firasatnya. Bukan cuma sekali dua cowok itu menunjukkan perhatian yang membuat Vivian merona sekaligus bahagia. Dan merasa istimewa. Dia juga berharap bahwa dirinya tak salah menebak. Sejak Robin mendatangi toko, tak terhitung saat-saat menyenangkan yang mereka bagi walau lebih banyak berada di Super Bakery.Suatu siang, Robin menelepon. Begitu mendengar suara Vivian yang serak karena sedang terkena radang tenggorokan, cowok itu berubah panik. Robin mengajukan sederet pertanyaan yang membuat Vivian tergelak.“Aku baik-baik aja.
Vivian tidak punya pilihan, kan? Dia terpaksa menekan dalam-dalam rasa penasarannya. Gadis itu menunggu waktu melaju dengan tidak tenang. Dia lebih banyak mondar-mandir tak tentu arah meski berusaha menyibukkan diri membantu Rima. Pikirannya pun melompat-lompat ke sana dan kemari. Entah berapa juta kali Vivian mereka-reka apa yang terjadi nanti malam, adegan demi adegan. Bukannya kian tenang, Vivian justru merasa makin merana dan tak sabar menunggu pertemuannya dengan Robin.Sorenya, Vivian berencana untuk pulang ke rumah sebentar, mandi dan berganti pakaian. Paling tidak, meski tak ahli berdandan, gadis itu ingin tampil lebih rapi dan wangi. Bukan beraroma roti yang baru dikeluarkan dari panggangan.Apalagi, ini kali pertama Robin mengajak makan malam dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Biasanya, cowok itu langsung datang ke Super Bakery. Setelah itu, mereka berdua akan berdiskusi untuk memilih restoran yang akan didatangi. Tak jarang mereka membeli makanan ya
“Halo, Mbak? Ada apa? Kangen sama aku, ya?” canda Vivian. Sebenarnya, saat itu jantungnya berdenyut dengan kecepatan tinggi. Dia cemas akan mendengar kabar buruk.“Cynthia bener-bener butuh bantuanmu, Vi. Bisa kamu lupain kejadian terakhir kemarin itu, kan? Ini kondisi darurat,” kata Sally tanpa banyak basa-basi.Vivian tak sanggup menolak permintaan dari Sally meski dia harus mengorbankan beberapa hal. Salah satunya, janji makan malam dengan Robin. Namun dia mengingatkan diri sendiri, akan menghubungi Robin secepatnya. Di sisi lain, Vivian juga berharap urusannya seputar Cynthia bisa segera selesai sehingga janjinya dengan Robin tak perlu dijadwal ulang.Setengah jam kemudian, Vivian dijadwalkan sudah berada di rumah Cynthia, untuk menghadapi puluhan pewarta yang ingin mencari tahu berita tentang kandasnya hubungan asmara sang aktris dengan Eric. Oskar menjemputnya di toko, mendandani Vivian di dalam mobil dengan tergesa-gesa.Viv
“Cynthia kan paling anti sama orang yang datang telat. Dulu aku pernah terlambat lima menitan, habis diomeli sampai kupingku mau copot.”Jawaban Oskar membuat Vivian berjengit. “Nantilah kamu tanya sama Sally aja, ya? Siapa tau dia dikasih izin untuk memuaskan rasa penasaranmu itu,” canda Oskar. “Yang pasti, situasinya makin parah gara-gara penangkapan Eric kemarin.”“Hah? Eric ditangkap?” suara Vivian agak meninggi. “Ditangkap polisi kan maksudnya?” Vivian mendadak bodoh.Oskar tertawa pahit. “Ya iyalah, Vi. Masa iya ditangkap alien? Pokoknya, beritanya bikin heboh jagat dunia hiburan Tanah Air. Ujung-ujungnya, Cynthia juga yang dicari sama wartawan. Dia ikut-ikutan terseret kasusnya Eric,” desah Oskar.“Eric kenapa bisa ditangkap polisi? Kasusnya apa?”“Udah kubilang, nanti nanyanya sama Sally aja. Atau nonton tayangan infotainment. Atau baca berita
Vivian bukannya melupakan janji makan malam yang sudah disanggupinya. Akan tetapi, dia tak bisa meninggalkan rumah Cynthia karena masih ada wartawan yang menunggu di depan pintu gerbang. Sally melarang gadis itu untuk pulang dan meminta Vivian untuk menunggu. Namun Vivian optimis, dia dan Robin bisa makan malam tepat waktu.Rumah itu sepi, hanya ada asisten rumah tangga. Oskar langsung pergi setelah mengantar Vivian. Sally sibuk bicara di telepon sejak Vivian tiba. Sementara itu, sang aktris tidak terlihat di mana-mana. Padahal tadinya Vivian mengira jika Cynthia ada di kamarnya.“Maaf ya, Vi, kamu terpaksa nunggu sebentar. Ada beberapa urusan yang harus kuberesin. Kalau lapar, di dapur ada banyak makanan,” kata Sally sambil menunjuk ke arah telepon genggam yang menempel di telinga kanannya.“Nggak apa-apa, Mbak. Santai aja,” sahut Vivian, tak tahu harus merespons apa. Ini risikonya karena sudah bersedia memenuhi permintaan Sally untuk da
Menjelang pukul enam sore, Vivian akhirnya menelepon Robin dengan perasaan bersalah yang memberati kepala dan bahunya. Harapan untuk makan malam dan menghabiskan waktu istimewa bersama Robin, tampaknya harus dibuang jauh-jauh. Padahal, meski sejak siang suara jantung Vivian seakan memekakkan kedua telinganya, dia sudah menunggu untuk bertemu Robin.“Bin, aku minta maaf banget. Kita nggak bisa makan malam karena aku ada keperluan yang nggak bisa ditunda,” ujarnya begitu Robin mengucapkan salam.“Kenapa? Kamu lagi ada masalah?” tanya Robin cemas. Vivian mengulum senyum menangkap kekhawatiran di suara cowok itu.“Nggak, kok. Nanti deh aku ceritain detailnya.” Vivian mengusap tengkuknya dengan tangan kiri. “Maaf, ya. Padahal aku pengin banget ditraktir lagi sama kamu. Udah hampir dua minggu kamu absen bayarin makan malamku,” tambahnya, mencoba bergurau.Robin mendesah, merefleksikan kekecewaan yang juga dirasaka
Robin menatap ponselnya dengan perasaan mulas sebelum mengantongi benda itu. Sejak Vivian setuju untuk makan malam dengannya, Robin sudah berjuang mencari referensi restoran yang menurutnya pas untuk mereka. Dia bahkan minta izin untuk pulang lebih cepat hari ini. Untungnya Angie tak merasa keberatan. Perempuan itu bahkan tak mengajukan pertanyaan apa pun selain mengangguk, mengiyakan.Siapa sangka, sebuah janji makan malam saja bisa begini menyusahkan?“Kamu hari ini mau pulang lebih cepat? Ada urusan penting, ya?” tanya Ariel yang sempat mampir ke ruang kerja Robin.“Iya, Pa. Tapi, mohon maaf, aku nggak bisa ngasih tau Papa detailnya. Karena inilah yang disebut privasi,” gurau Robin sambil membereskan mejanya.“Ah, Papa juga nggak tertarik pengin tau, kok! Papa sudah pernah melewati momen itu,” balas Ariel. “Papa juga pernah muda lho, Bin.”“Momen apa? Papa sok tau,” komentar Robin. Dia
Seperti biasa, cowok itu harus mengisi buku tamu di pos satpam. Meski sudah puluhan kali menginjakkan kaki di tempat itu, semua relawan harus melakukan hal yang sama. Pengecualian hanya dibuat untuk para pendiri dan karyawan di Fit dan Bugar. Sementara para pecandu yang direhab tidak diperkenankan keluar dari kompleks bangunan yang cukup luas.“Halo, Bin. Ke mana aja? Kamu sekarang udah jarang ke sini. Sibuk banget, ya?” tanya salah satu satpam yang bertugas.“Lagi agak sibuk sama kerjaan, Pak,” sahut Robin.Fit dan Bugar menempati sebidang tanah yang dimiliki keluarga besar Tessa. Ada total dua puluh kamar yang diperuntukkan bagi para pecandu yang siap memutus ketergantungan dari alkohol. Juga ada semacam aula yang disulap menjadi gym. Panti rehabilitasi itu juga memiliki sebuah ruang pertemuan, tempat praktik dokter dan psikolog. Di halaman belakang yang luas, ada kolam renang dan lapangan bulutangkis.Tempat rehabilitas
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat