Ketika Robin mendapat kepastian bahwa Fida akhirnya diketahui keberadaannya –meski dalam kondisi tak bernyawa- cukup membuatnya lega. Karena itu berarti teman-teman dan keluarga gadis itu mendapat kepastian. Sehingga mereka tidak lagi bertanya-tanya tentang apa yang dialami Fida.
“Paling nggak, sekarang kita tau apa yang terjadi. Nggak terus bertanya-tanya di mana Fida. Menyakitkan tapi juga melegakan,” ucap salah satu senior Robin.
Dua minggu setelah dilaporkan hilang, seorang pekerja konstruksi menemukan jasadnya secara tak sengaja. Tubuh Fida dimasukkan ke dalam koper sebelum dikubur asal-asalan. Sepertinya ada hewan yang mengacak-acak kuburan dangkal itu hingga mencuat ke atas permukaan tanah. Namun keberadaan koper tampaknya sudah menghalangi hewan itu untuk memperparah kondisi jenazah Fida.
Sedianya, para pekerja area konstruksi yang diperuntukkan bagi sebuah pusat perbelanjaan itu akan melakukan pengecoran setengah bulan silam. Namun ter
Vivian merasa sesak napas karena begitu penasaran. Dia sangat ingin tahu apa yang terjadi dalam hidup Robin hingga cowok itu sudah menjadi pecandu alkohol sejak berusia sebelas tahun? Selain itu, dia juga hendak bertanya apakah sampai saat ini cowok itu masih kecanduan? Akan tetapi, tentu saja tidak etis mengajukan sederet pertanyaan saat mereka akhirnya menginjakkan kaki di titik Annapurna Base Camp.Sesi foto pun dimulai. Semua berlomba-lomba berpose di bawah papan-papan petunjuk yang menegaskan mereka sudah tiba di Annapurna Base Camp, dengan latar belakang gunung-gunung bersalju. Setelahnya, rombongan itu memutuskan untuk memasuki ruang makan luas milik salah satu tea house.Udara di luar begitu dingin hingga terasa menusuk ke tulang. Padahal, Vivian sudah melindungi sekujur tubuhnya semaksimal mungkin. Gadis itu mengenakan kaus tebal lengan panjang yang dilapisi down jacket serta sepasang sarung tangan. Juga topi dan penutup telinga. Dia memang t
Mungkin Robin kaget mendengar kata-katanya. Namun cowok itu tidak menunjukkan perasaannya di depan Vivian. “Oh, itu. Apa yang mau kamu tanyain?”Merasa mendapat angin, keberanian Vivian pun menggandakan diri. “Serius kamu kecanduan alkohol sejak berumur sebelas tahun?” tanyanya tanpa basa-basi. Suara gadis itu tetap direndahkan karena dia tidak mau ada yang mendengar pembicaraan mereka. Di sebelahnya, Robin mengangguk.“Iya, serius. Ngapain aku ngarang untuk hal kayak gitu? Bukan hal yang oke untuk dipamerin,” balasnya. Robin melipat tangannya di atas meja. “Pasti sekarang kamu jadi pengin tau apa penyebabnya,” dia menebak.Pipi Vivian mendadak terasa hangat. Namun dia mengangguk jujur. “Iya. Mau cerita?”Hanya ada jeda sekitar tiga detik sebelum Robin mulai buka mulut. Diawali dengan kematian ibunya yang mendadak sekaligus membongkar kenyataan bahwa ayah yang dikiranya sudah meninggal ternyata m
“Aku pengin tau apa aja yang kamu lakuin di tempat rehab. Boleh?” Vivian bicara lagi. Dia baru saja meneguk cokelatnya yang sudah hangat.Tawa Robin terdengar. “Dari tadi kayaknya kamu hati-hati banget mau nanya. Takut aku tersinggung atau apalah. Iya?”“Iya, dong. Takutnya kamu malah nggak mau cerita karena ngerasa aku terlalu bawel atau tukang ikut campur,” Vivian menyeringai. Kini, dia merasa lebih santai untuk mengajukan berbagai pertanyaan karena tampaknya Robin tidak merasa keberatan.Robin tidak langsung merespons karena Ben mengumumkan mereka akan kembali ke MBC maksimal satu jam lagi. Tidak ada yang mengisyaratkan keberatan. Sementara itu, sekelompok orang bergabung di ruang makan. Mereka membuat suasana kian riuh dengan obrolan tentang betapa indahnya tempat itu.“Di tempat rehab, para pecandu biasanya ngelakuin banyak hal. Dulu, aku ngejalaninya dengan setengah hati. Aku nggak pernah beneran pengin semb
“Pernah, berkali-kali malah. Tapi sampai sejauh ini aku bisa bertahan. Pokoknya, aku selalu berusaha menyibukkan diri. Supaya nggak punya waktu mikirin soal minuman lagi.” Cowok itu mengangkat gelas kopinya. “Lima tahun terakhir ini aku cuma minum macam-macam kopi.”“Wah, kalau gitu nanti kamu harus datang ke toko roti papaku. Kami juga nyiapin kopi aneka rasa. Kebanyakan idenya dari aku,” ungkap Vivian dengan bangga. Gadis itu tertawa geli karena kata-katanya sendiri. “Toko roti papaku namanya Super Bakery. Aku jamin, kami akan nyiapin kopi-kopi enak yang rasanya unik.”Robin memandang Vivian dengan penuh ketertarikan. Alisnya terangkat. “Serius?”“Apanya?” balas Vivian bingung.“Itu, kopi enak dan rasanya unik?”“Yup!” tegas Vivian, diikuti dengan anggukan mantap sebagai penegasan.Seperti kata-kata Ben, perjalanan pulang ke tea house d
“Nggak usah ngerasa bersalah, Bin. Tante Diana itu memang jahat, kok! Tega banget bikin anak umur sebelas tahun sampai kecanduan alkohol.” Gadis itu menghela napas. “Aku simpati sama kamu, bukan kasian lho ya. Jangan salah paham. Aku tau gimana rasanya ditolak sama orang-orang yang seharusnya jadi yang terdekat sama kita,” gumam Vivian.Gadis itu mungkin tidak akan tahu seperti apa penderitaan yang harus dilewatkan oleh Robin. Namun dia memiliki pengalaman yang bisa dibilang cukup mirip dengan apa yang dilalui oleh Robin di masa remajanya.Robin tertawa tapi terdengar pahit. “Oh ya? Memangnya kamu punya pengalaman buruk apa? Aku kok nggak percaya.”Vivian berhenti. Robin pun ikut-ikutan. Rudi dan Carlo melewati mereka, sibuk mengobrol tentang rencana untuk mendaki Rinjani akhir tahun ini. Gadis itu menatap Robin dengan serius. “Aku saranin, kamu harus percaya.”“Oh ya? Harus ada alasannya dong, Vi.&rdq
Tubuh gadis itu tergelincir dan akan terjerembap ke jalanan berbatu di depannya jika tidak bisa menemukan pegangan. Refleks, tangannya menggapai ke arah Robin. Begitu jari-jari Vivian menyentuh bagian depan jaket Robin, dicengkeramnya sekuat tenaga.Vivian memang tidak terpeleset karena Robin menyelamatkannya. Namun, posisi tubuh mereka menjadi sumber kehebohan baru. Saking takutnya terjatuh, gadis itu memeluk Robin dengan erat. Dia tidak tahu bagaimana cengkeraman di jaket bagian dada bisa berakhir dengan memeluk cowok itu. Sementara tangan kiri Robin melingkari bahu Vivian.“Ciee … ada yang bikin adegan klise sinetron berdua. Ceweknya mau jatuh, trus ditolongin, berakhir dengan posisi intim yang bikin deg-degan. Cuma Robin dan Vivian yang bisa kayak begitu. Setelah Nania nggak ada, kayaknya semesta makin mendukung.”Siapa lagi yang bisa seusil itu jika bukan Allan? Kalimat cowok itu masih dilengkapi dengan suitan nakal yang mengundang gelak.
Cowok itu memberi isyarat agar mereka kembali berjalan. Udara terasa makin dingin oleh tiupan angin yang cukup kencang. Sementara jarak dengan teman-teman mereka sudah kian jauh. Robin mendadak mengulurkan tangan kanannya.“Aku pegangi kamu ya, Vi. Jangan sampai kamu terpeleset lagi,” ucap Robin sembari melambankan langkah. Tawaran itu membuat Vivian menatap Robin sesaat.“Nggak usah dipegangin, kayak orang cacat aja. Aku bakalan lebih hati-hati,” janji Vivian. Namun Robin tampaknya tak sepakat.“Waspada itu penting. Karena aku nggak mau teman curhatku kenapa-napa. Kayaknya kita punya banyak hal yang bisa dibagi. Dan aku yakin, sesi berbagi cerita ala kita masih jauh dari selesai. Aku masih punya banyak kisah-kisah mengejutkan,” argumen Robin.Tanpa menunggu jawaban Vivian, Robin memegang tangan kanan gadis itu. Robin tetap tidak melepaskan tangannya hingga mereka tiba di tea house.*
Tatapan tajamnya dialihkan ke arah Vivian. Gadis itu merasakan kebencian yang berkobar-kobar di mata ibunya. Selama ini, tak pernah Vivian melihat sikap permusuhan sebesar itu yang ditujukan untuk dirinya.“Serena! Kamu nggak pantas ngomong kayak gitu. Jangan nyalahin Vivian untuk masalah kita. Kalau menurutmu aku yang salah dan punya segudang dosa, oke! Aku nggak keberatan. Tapi jangan tuduh Vivian jadi penyebab hal-hal buruk dalam hidupmu,” tukas Barry dengan nada tegas yang tak pernah didengar putrinya. “Dia sama sekali nggak bersalah. Justru dia yang menjadi korban karena punya orangtua egois seperti kamu dan aku.”“Jadi, kamu mau aku nyalahin siapa? Nyatanya, kamu dan Vivian memang jadi biang kerok untuk kesusahanku, kok!” Serena mengangkat dagunya dengan sikap menantang. “Kalau kamu nggak pernah bujukin Papa supaya nikahin kita, hidupku nggak akan kayak begini. Aku pasti bahagia bareng orang yang kucintai.”H
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat