"Mita." Ya ampun, baru juga aku keluar dari tempat persembunyian, kini langsung berhadapan dengan Roy yang mendadak mendekat. "Apa kabar?" Apa kabar, apa kabar? Kenapa dia harus menggunakan basa-basi seperti ini? "Sehat." Aku menjawab seadanya. "Aku dengar kamu jadi manajer Gun." "Seperti yang kamu lihat." "Aku senang kamu bisa langsung dapat pekerjaan setelah resign," katanya. Lalu dia menggaruk tengguknya yang tidak gatal. Roy Dihan bertubuh menjulang, berkulit sawo matang khas mas-mas pribumi, dia punya bentuk bibir yang selalu tampak melengkung seolah sedang tersenyum meski hanya diam, pembawaannya pun ceria, persis seperti laki-laki brengsek. "Kalau nggak ada yang mau diomongin, aku permi—" "Sebentar." Dia mencekal lenganku yang akan melewati tubuhnya. Bukan belagu, tapi secara refleks aku segera menepis tangan itu, Roy langsung melepasnya dan mengangkat kedua tangan di udara. "Sorry... aku cuma mau minta maaf soal pertemuan terakhir kita, kontrak kerja kita nggak berak
Aku pulang untuk menjemput Hiro dan Naga dalam keadaan mood berantakan kemudian disuguhi pamandangan mengenaskan di halaman rumah Mama. Barang-barangnya berserakan di luar, panci-panci, lemari, bahkan kasurnya tergeletak begitu saja di ubin. "Apa yang terjadi?" tanyaku pada si kembar yang duduk di teras, dengan kantung belanjaan yang siang tadi masih mereka nikmati. "Kenapa kalian di luar tengah malam begini?" "Nenek harus pindah." Naga menyahut. "Lebih tepatnya diusir." Hiro mengoreksi. "Dia belum bayar kontrakan lima bulan, jadi harus angkat kaki." Kepalaku mendadak pening, belum sempat aku mengatasi masalah dengan Gun, kini Mama...? "Terus sekarang Neneknya mana?" Hiro mengangkat bahu sambil mengunyah keripik kentang. "Entah, dia pergi tadi naik mobil." "Lama perginya?" "Dari jam lima." Naga menjawab. Mataku melotot, itu artinya sudah hampir enam jam Mama meninggalkan anak-anakku. "Jadi daritadi kalian sendirian di sini?" "Kami nunggu Mama jemput." Astaga, ini awal tahu
"Mama keterlaluan ninggalin anak-anak aku sendirian, seenggaknya kalau Mama mau kabur, Mama kabarin aku biar aku jemput mereka." "Nggak sempat, kamu tau Mba Kin itu udah keburu mau menyita tas mewah Mama, harganya aja lebih dari lima belas juta, mana sudi Mama biarin dia ngerebutnya gitu aja." "Iya tapi mobil aku nyaris jadi jaminan Ma, kalau memang tas Mama harganya mahal, kenapa nggak dijual buat lunasin kontrakan?" "Apa?" Mama terdengar kalut dari seberang telepon. "Enak aja, jangan dong, ini tuh buat Mama arisan, buat Mama kondangan, kalau Mama jual nanti gimana penampilan Mama di depan teman-teman?" serunya. "Mama nggak mau kelihatan kayak gelandangan." "Nah, sekarang Mama jadi gelandangan beneran karena nggak punya tempat tinggal." "Siapa bilang Mama nggak punya tempat tinggal? Turun, Mama di lobi apartemen kamu sekarang." "Apa?" "Buruan, kamu mau Mama masuk tanpa kartu akses dan bikin keributan?" "Mama ngancem?" "Kamu nggak punya pilihan, anak-anak kamu masih butuh Mam
Aku baru tahu bahwa semalam Gun memberikan kejutan selamat ulang tahun untuk Prily. Dan karena acara puncaknya baru akan dilaksanakan lusa, kado yang kupilihkan pun baru akan dikirim belakangan. "Buruan, mana nasinya, kalian mau membuat customer menunggu?" Kini aku sedang menyaksikan laki-laki itu meraung, suaranya memekakan telinga ke sepenjuru ruangan, mengatasi suara masakan, memberi perintah agar anak buahnya bergerak lebih capat. "Brengsek kenapa warnanya pucat?" katanya nyaris melempar kembali semangkuk risotto yang diulurkan asistennya. "Buat ulang, siapa yang akan makan masakan gagal seperti ini?" Mata perempuan muda itu tampak berkaca-kaca, wajahnya merah padam, seperti kombinasi lelah dan takut. Dengan pasrah dia mengambil kembali mangkuk tersebut dan berjalan ke panci. Sebuah pemandangan yang menyedihkan, tapi kitchen memang keras, bahkan lebih menakutkan dibanding medan tempur. Jadi karena tidak ada jadwal syuting, aku diarahkan Ed untuk menunggu di restoran Gun yang
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bahan-bahan yang sudah tidak layak digunakan bisa lolos quality control, dan itulah yang membuat Gun murka. Semua orang yang bertanggung jawab dalam penyimpanan persediaan kemudian dipanggil, bahkan ahli gizi, rasanya tidak ada bagian dari kitchen yang tidak terkena bentakannya. Kami beruntung karena makanan itu tidak jadi disajikan, meski pelanggan kecewa, tapi Gun langsung bertindak dengan meminta maaf secara face to face dan memberi kompensasi berupa menggantinya dengan menu lain yang lebih proper dan harga dua kali lipat. Kehadirannya yang langsung turun tangan tentu membuat pelanggan merasa puas, di antara mereka bahkan ada yang menggunakan kesempatan itu untuk meminta tanda tangan dan foto. Aku hanya bisa berdecak takjub, bahkan para old money pun mengidolakannya. Namun tidak cukup sampai di situ, jamur tersebut juga sudah digunakan pada masakan lain. Salah seorang customer mengeluh gatal-gatal, Gun bersedia untuk bertanggung jawa
Aku bukannya tidak suka diajak pergi bersama, tapi Gun terlalu dadakan, terlebih acaranya malam ini. Karena aku bahkan belum mempersiapkan gaun untuk dikenakan.Buru-buru aku kembali ke Lumeno Ent, meminta bantuan Mba Niken, beruntung dia punya selusin pakaian, jadi di sinilah aku akhirnya. Sibuk mencari gaun yang sesuai dari koleksinya."Kenapa nggak ngabarin dulu sih?""Lo pikir gue bakalan di sini kalau tau mau pergi ke pestany Prily Mba?""Masalahnya Mit, lo harusnya udah sadar kalau Gun itu suka yang dadakan macam tahu bulat. Kayaknya dia memang suka bikin manajernya repot.""Nah, itu lo paham Mba.""By the way, dia nggak marah sama gue soal insiden yang terakhir kali?"Aku meringis. "Sejauh ini sih dia nggak ngomong apa-apa nggak tau besok."Dia ikut meringis kemudian mengoper one shoulder dress bernunsa pastel, ketika dikenakan gaun itu membalut ketat tubuhku."Makasih Mba, lo memang selalu bisa diandalkan."Mba Niken memberiku jempol sambil nyengir lebar setelah membantuku men
"Ada masalah?" Ed mengulang pertanyaan, tangannya dengan kuat menahan bahuku. Aku buru-buru berdiri tegak merasa berterima kasih. Berusaha tenang dan tidak gemetar. "Di mana Gun?" tanyaku, karena tidak menemukan sosoknya. "Dia sudah menunggu di hotel." "Kamu—" "Saya di sini disuruh menjemput kamu." Oke, aku segera menuruti keinganannya dan masuk ke limousine yang pintu penumpangnya sudah terbuka. Ed segera memutar dan duduk di sisi lain. Perjalanan kulalui dengan perasaan gelisah, aku tidak habis pikir bagaimana Mama bisa berkhianat, terlebih dia tahu keuanganku sedang tidak baik-baik saja. Namun yang membuatku lebih khawatir adalah anak-anak. Mereka pasti terkejut menyaksikan rumah berantakan, dan sekarang mereka sendirian di apartemen. "Ada apa?" Seolah bisa membaca ekspresiku yang gusar Ed kembali bertanya. Tapi pantang untukku membagi masalah pada orang lain, terlebih kami belum terlalu dekat, jadi aku hanya meringis. "Apa tempatnya jauh?" "Kita akan sampai dalam dua j
Jika bukan sedang gusar karena anak-anak, mungkin aku akan salut dengan bagaimana cara Gun berkendara, dia gesit seolah jalanan Ibu Kota kini menjadi lintasan balap tapi tetap taat aturan dan berada di kecepatan yang masih diperbolehkan. "Mama akan di sana sebentar lagi, Naga, kamu sama Mas Hiro ya?" Pesan suara itu kukirim pada mereka selama perjalanan agar anak-anakku lebih tenang, meski sebenarnya akulah yang lebih perlu ditenangkan. Setelah Naga melakukan panggilan, aku belum sempat menjawab atau bertanya, sambungan langsung terputus dan saat aku mencoba melakukan panggilan ulang, ponselnya sudah dinonaktifkan. Kini pesan suaraku pun hanya ceklis satu, aku meremas benda pipih itu dengan gelisah, begitu sampai di gedung apartemen aku segera melompat dari mobil dan berlari menuju unit kami, bisa kurasakan Gun mengekori di belakang, dia berhenti di meja resepsionis, berbicara ringkas, meminta petugas untuk menghubungi pihak berwajib dan bersiaga akan adanya sesuatu yang berbahay
"Saya bukan mau menuduh kamu melakukan pencurian, tapi saya perlu melakukan konfirimasi apa yang kamu lakukan di dalam ruangan Gun." "Benar Pak, saya melihat dia keluar dari ruangan Chef Gun siang ini." Lusi tiba-tiba menyela, suaranya terdengar berapi-api. Pak punjab merentangkan tangan, meminta agar perempuan itu tidak memotong pembicaran. "Kita perlu memberikan Paramita waktu untuk menjelaskan." "Apanya yang perlu dijelaskan Pak? Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kok. Ketika saya tanya apa yang dia lakukan di sana karena Chef Gun sedang nggak ada. Mita sendiri kelihatan ketakutan, seolah dia baru kepergok melakukan sesuatu." Ya Tuhan. Tidak menuduh aku melakukan pencurian? Tapi jelas sekali kata-kata beliau justru menunjukkan yang sebaliknya. Aku bahkan tidak diminta duduk tanpa basa-basi. Di antara empat pasang mata, kecuali Gun, mereka menatapku menunggu jawaban. Punggungku panas dingin. "Apa maksud Bapak pencurian?" tanyaku, lidah terasa pahit saat mengatakan itu
Apartemen kami ternyata sudah rapi, tempat itu sudah tidak dipasang garis polisi. Dan ruang tamunya yang acak-acak dengan perabotan terbalik serta pecah belah sudah dibersihkan dan ditata seperti semula. Aku hanya perlu menyimpan barang-barang kami di kamar masing-masing, membujuk Hiro dan Naga untuk tidur kemudian istirahat. Walaupun aku sendiri insomnia. Bangun-bangun, kepalaku terasa berat, badanku sakit semua seperti habis digebuki. Aku mandi dengan menahan nyeri, kemudian menyadari aku melupakan jadwal pertemuan bersama Miss Clara. "Nggak pa-pa kok Mam, kalau memang masih sibuk, kami maklum. Silakan datang kalau Mama kembar nggak sibuk ya." Aku menggumamkan terima kasih untuk pengertiannya. Lalu meninggalkan anak-anak di kelas. Mengabaikan tatapan kepo dari trio Ibu Nuri, Yuli, dan Yuni. "Ibu-Ibu foto jalan-jalan kemarin sudah dikirim ke grup ya, silakan dicek. Ini saya juga punya bingkisan untuk Ibu-Ibu di rumah, tapi untuk yang ikut-ikut aja." Ibu Nuri mengumumkan di depa
Aku segera melompat bangkit dari kursi, jantung berdebar penuh antisipasi. Mata mendelik nyalang menatapnya. "Apa maksud kamu?" Gun menyesap air putih di meja, gerakannya begitu tenang terkendali, sikap judes yang selalu diperlihatkannya mendadak hilang digantikan sikap dingin, tak tersentuh dan tak terbantah. Seolah dia telah sepenuhnya berubah dari Gun yang dulu pernah kukenal, menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. "Kamu mengerti apa yang saya maksud," jawabnya lambat-lambat. Telingaku berdenging panjang, alarm tanda bahaya menyala. "Kamu bercanda kan, Gun?" "Do I look like I am joking?" Tapi ini sama sekali tidak masuk akal, bahuku merosot lemas, mundur selangkah. Gun bukan laki-laki pemaksa, aku tahu dia sangat galak, judes, dan sulit ditangani. Sebagai pengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD) Gun selalu menuntut kesempurnaan, dia tidak akan bisa bekerja sama dengan orang-orang lamban. Hanya saja, sepanjang kami berpacaran, tidak pernah sekalipun dia
Sesuai dugaan, aku memang tidak bisa begitu saja memutus kontrak menjadi manajer Gun, apalagi pindah dengan entengnya menjadi asisten chef. Stres. Aku merasa seolah baru saja dioper dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Tapi apa daya, aku cuma cungpret (kacung kampret) yang bisa disuruh-suruh. Gun bahkan tidak ambil pusing meskipun dia sepertinya kesal, namun raut wajahnya tetap santai tanpa minta maaf. "Sama saja kan, mau kamu jadi manajer ataupun asisten chef saya. Kalau nggak ada syuting kamu bisa balik menjadi asisten. Kalau ada syuting kamu bisa menemani saya. Fleksibel, semua aman." Gila, kenapa sejak awal dia tidak mengatakan ini? Dan justru membuatku terperosok dalam jurang? "Masalah libur gimana?" "Kita akan tetap pada kesepakatan awal Mita." Aku menahan diri untuk tidak mengumpat. Lemas sebadan-badan. Merasa baru saja dipermainkan. Apakah Gun sengaja melakukannya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi masalah lain yang lebih memdesak adalah posisiku pun terancam.
"Apa maksudnya ditolak Pak, bukannya Bapak sendiri yang menawarkan saya buat jadi asisten chef dan bisa pindah?" Aku merasa seperti terombang-ambing. Kemarin kami ke Lumeno tapi tidak ada hasil apapun. Hari ini, pagi-pagi sekali kami kembali lagi ke agensi itu. Tapi aku merasa seolah sedang dikerjai habis-habisan. Belum ada 2x24 jam aku menjadi asistennya, mendadak sekarang aku harus kembali menjadi manajer Gun. "Ini masalah birokrasi agensi. Kamu harus bayar pinalti kalau tiba-tiba mau pindah." Begitulah penjelasan Gun, karena secara teknis aku masih terikat kontrak bersama Lumeno Ent, dan kontrak itu berlaku sampai setahun ke depan, jika aku mengundurkan diri, maka akan ada konsekuensinya Demi Tuhan. Aku sadar masalah ini sejak awal, itulah kenapa aku sempat skeptis dengan tawaran tiba-tiba Gun. Namun dia membujuk dengan iming-iming gaji tinggi, libur, dan kelebihan lain, itu sebabnya aku menyerah. Tapi sekarang aku harus mendapati kenyataan kalau semua ini salah? "K
"Kamu bilang, mereka nggak bisa didakwa dengan tuntutan pengerusakan?" "Saya sudah bilang, kalau untuk menyerahkan semuanya pada Jerikho, dia sudah terbiasa mengurus kasus seperti ini." Jujur, aku merasa lega sekaligus bertanya-tanya. Sayangnya pertanyaan itu tidak bisa terjawab karena Gun tidak mengizinkan aku untuk menemui pelaku. "Setidaknya aku harus tau gimana orang-orang yang udah nyaris mencelakakan aku," kataku beralasan setelah kami beradu argumen. "Untuk apa Mita? Yang penting mereka sudah ditangkap, terbukti melakukan pengrusakan dan penyalahgunaan wewenang dengan bertindak semena-mena. Itu sudah lebih dari cukup." Gun membalas tegas. "Untuk apa kamu harus menemui mereka lagi? Hanya menghabiskan waktu." Gun benar, dan tidak benar di saat yang bersamaan. Aku kesal, ingin melihat bagaimana tampang seseorang yang sudah membuat si kembar ketakutan. Tapi pendapat Gun juga tidak salah. "Itu berarti, apa aku dan anak-anak udah bisa pulang ke apartemen sekarang?" Hiro dan Na
"Aku janji akan ajarin Dimas lagi, kalau dia udah bisa, aku akan suruh dia ngerjain tugas-tugas di buku cetak Chef Gun." Aku hanya bisa meringis ketika dengan semangat Naga membawa buku-buku milik Gun, lalu melompat turun dan berlari ke gerbang TK, sementara Hiro dengan santai mengekori adiknya. Di sisi lain aku senang mereka nurut, tapi perasaan was-was karena mereka berada di sekitar Gun semakin menggebu-gebu. Kuputuskan untuk cepat-cepat ke De Luca. Setelah semalam menolak Gun dengan terang-terangan, aku yakin mood laki-laki itu kini dalam keadaan berantakan. Maksudku, hei... dia kan punya Prily, bagaimana dia bersikap kurang ajar padaku sementara memiliki hubungan dengan perempuan lain? Mohon maaf, aku belum mau dicap sebagai pelakor. Dapur sangat hethic, baru masuk, aku langsung dilempar berbagai pekerjaan. Mulai dari membuat risotto, sampai harus gesit berada di sisi Gun ketika dibutuhkan. "Kurang seasoning," komentarnya ketika aku mengambil alih ravioli dan menyajikan maka
Kenapa identitas suamiku sangat penting untuk Gun? Beberapa waktu lalu dia menanyakan kapan dan kenapa suamiku bisa meninggal. Sekarang dia menanyakan masalah pekerjaannya. Lantas aku harus jawab apa? Masalahnya aku ngeri, menumpuk satu kebohongan di atas kebohongan lain, akan menimbulkan kekacauan. Jadi dengan sangat terpaksa aku lagi-lagi harus memutar otak mencari sebuah nama. "Mita? "Abi..." sebutku akhirnya. Memilih satu nama yang mudah. "Abi Las." "Abi Las?" Gun mengulangi, hidungnya mengernyit, seolah nama tersebut meninggalkan aroma tidak sedap di udara. "Kenapa kamu harus tanya ini Gun?" "Kamu nggak memberikan informasi ini di resume profil kamu." "Apa itu penting?" "Saya perlu memastikan dia memang ada dan bukan hanya sekedar halusinasi." Mulutku membuka menutup, tangan berkeringat. Apakah entah bagimana dia bisa membaca pikiranku? "Kamu pikir Hiro dan Naga anak siapa kalau aku nggak punya suami? Kamu nggak berpikir aku melendung sendiri, kan?" "Mu
Aku benci bagaimana Gun selalu punya dampak seperti ini tiap kali dia menyebutkan namaku. Tubuhku akan merespon dengan getaran halus, dan detak jantungku langsung melonjak. Masalahnya dia kini berdiri di depan pintu ruangan tempat menyambut Prily. Laki-laki itu masih menggenakan kacamata baca. Dengan pakaian yang sama. Selain kemampuan memasaknya yang di atas rata-rata, Gun juga suka sekali membaca. Aku ingat dia punya ruang khusus perpustakaan di apartemennya dulu. Laki-laki ini sebenarnya adalah seorang nerd, atau lebih tepatnya hot nerd. Kalau bukan karena harus serumah, aku pasti tidak akan memiliki kesempatan untuk melihatnya seperti ini lagi. "Ini baru mau tidur, Pak." "Kenapa kamu malah berkeliaran? Kamu tahu jam berapa sekarang?" "Saya abis temenin anak-anak ngerjain tugas sekolah buat besok." Alisnya terangkat, lalu perlahan berjalan mendekat. "Mereka sudah tidur?" "Iya." "Biar saya lihat." "Sebaiknya jangan." Gun mengernyit karena aku menahan knop pintu.