Puncak konflik cerita ini bakal segera dimulai, bagi yang mudah ketrigger dengan isu-isu orang ketiga dan people pleaser, mohon mempersiapkan kesabaran sebanyak yang diperlukan. Hehe Thank You
Tidak ada lagi kalut dan terkejut di antara Raihan dan keluarganya tentang kehadiran tiba-tiba Zahra yang sudah dinyatakan meninggal 3 bulan lalu. Setelah penjelasan dari Pak Bakri dan keluarganya yang saat ini duduk sofa ruangan rawat ayahanda Zahra untuk meluruskan kebingungan mereka tentang keadaan putrinya.Yang ada dalam kepala Raihan saat ini hanyalah rasa bersalah dan lagi-lagi penyesalan. Mama Raihan hanya tertunduk lemas di ujung ruangan dan menahan tangis, dikuatkan oleh suaminya yang memegang erat pundaknya.Harusnya ini adalah saat-saat yang membahagiakan, karena orang yang sangat Raihan sayangi tidak jadi meninggal, dan sekarang sedang duduk tegak di hadapannya. Dia gadis yang sama yang pergi sementara membuat hidupnya mati rasa setelah sebelumnya menjadi sumber dari semua alasan Raihan hidup. Bedanya, setelah gadis itu muncul lagi kemarin di hadapannya, tidak ada senyum di wajah ayunya, apalagi setelah mengetahui fakta bahwa mantan calon suaminya itu sudah menikah denga
Ada gurat gusar yang nampak pada paras ayu wanita yang duduk di teras pondok kecil yang ia tempati hampir 1 bulan yang lalu itu. Bukan tentang pekerjaannya yang sudah selesai tadi pagi dan ia kena teguran karena sudah berkali-kali mangkir dari jadwal meeting luring.Kalau hal itu sudah jelas-jelas salah bos nya sendiri, biasanya dia tidak masalah karyawan-karyawan kerja dari manapun asal jobdesk mereka kelar, lalu tiba-tiba membumikan kelancaran komunikasi dan sebagainya padahal seluruh target bulan ini terlampaui. Apalagi posisi Airin yang ‘hanya’ seorang konsultan, yang terlibat hanya di awal proyek, cukup hanya dengan mengirim bawahan atau mahasiswa yang sedang magang untuk mewakilkan dia mengecek perkembangan.Kekhawatirannya kali ini adalah bentuk dari keresahan hatinya untuk pemilik kontak yang layar percakapannya hanya ia pandangi kosong sejak tadi. Iya, siapa lagi kalau bukan Raihan.Baru menyendiri kali ini, Airin masih sempat memikirkan orang lain. Di sebelum-sebelumnya, bo
Kali ini, Airin tengah berada di teras villa yang sedang ia tempati, lengkap dengan 2 koper besar yang tinggal di angkut ke dalam mobil.Kali ini, Airin membulatkan tekad untuk pulang lebih dahulu dari rombongan dr. Raya dan rekan sejawatnya. Bukan tanpa apa, tapi perasaan Airin kali ini benar-benar tidak tenang. Berhari-hari Raihan abai akan pesannya, terkadang pesan kemarin malam, baru dibalas 2 hari berikutnya. Padahal kontak laki-laki itu yang sebelumnya rutin mengirimkan pesan pada Airin, lalu tiba-tiba tidak mengirimkan pesan barang sebiji pada seminggu terakhir. Airin langsung beranggapan bahwa Raihan sudah lelah menunggu balasannya, dan dia tiba-tiba dirundung rasa bersalah. Raya sudah mengingatkan Airin, bahwa jangan terburu-buru mengambil keputusan, karena emosinya saat ini banyak dipengaruhi hormon ibu hamil. Wanita itu juga mengingatkan Airin agar tak gegabah dan memikirkan segala resiko yang ada, mengingat jarak mereka saat ini dan kediaman Raihan cukup jauh untuk ditem
Airin melewatkan perjalanan pulang dari tempat ‘menyendiri’ nya dengan Tito begitu damai. Sejenak ia lupakan masalah Raihan yang tak kunjung membalas pesan tentang kabar kepulangannya dari beberapa hari lalu itu. Selain karena ia tak mau menambah khawatir Tito dan juga dirinya sendiri, ia juga tak menginginkan makhluk kecil, who lives in her belly, merasakan guncangan khawatir berlebih seperti ibunya.Airin paham benar bahwa makhluk kecil yang ukurannya masih sebesar biji kacang hijau itu bisa dengan penuh merasakan emosi sang ibu sepenuhnya. Jangan salah, walau pikiran Airin hanya dipenuhi curiga semenjak Raihan selalu tak sempat membalas pesannya –padahal dia tau, bahwa Raihan tau benar jika Airin tak mau diganggu jika sedang ‘menyendiri–, wanita itu tetap memperhatikan dengan seluruh aten
Lihatlah sekarang ada 6 orang duduk di bangku tamu di teras rumah jadul keluarga Raihan. Rumah bernuansa hijau kalem dan putih tulang itu nampak serasi dengan hantaman kebun teh yang terlampau lebar mengelilinginya. Semua orang di daerah sana menghormati keluarga Raihan, selain karena mereka mempunyai uang dan kuasa, kebun hijau yang membentang luas itu telah berhasil menghidupi hampir seluruh kepala keluarga di desa itu dengan bekerja sebagai petani, supir, atau hal lain yang membantu kelangsungan bisnis kebun teh keluarga Raihan.Sayangnya, suasana hijau nan asri itu tak membantu Airin, wanita muda yang cepolan rambutnya sudah kacau dan menjatuhkan beberapa helai karenanya, ikut segar terbawa suasana. Dengan tas mahal seharga mobil dibiarkan tertidur di lantai marmer yang belum disapu, mungkin karena sang pemilik rumah baru saja diterpa badai yang tak membawa angin, hanya saja berpotensi merusak seluruh kehidupan manusia yang hidup di dalamnya.Satu dari 3 wanita yang ada disana me
Airin masih tak merubah posisinya sejak terakhir kali dirinya meletakkan tubuhnya tadi. Tidur dengan posisi badan miring ke kanan, sementara pinggangnya ia sanggah dengan guling agar kemiringan tubuhnya tak memberatkan posisi makhluk yang berada di dalam sana. Walau tubuhnya dari tadi tak menunjukkan perubahan sama sekali di dalam ruangan gelap itu, matanya sama sekali tak menunjukkan keinginan untuk menutup. Pikirannya terlalu berkecamuk untuk bisa tenang walaupun raganya tidur. Ada banyak pertanyaan yang ia butuh jawabannya sekarang juga.‘Ini aku harus gimana?’‘Kan emang mereka berdua yang harusnya jadi suami istri?’‘Kenapa aku jatuh terlalu dalam di hubungan ini?’‘Ini harusnya aku tinggal pergi aja kan?’‘Tapi udah terlanjur ada bayi di sini gimana’‘Aku juga udah nyuruh Farhan pergi dari hidup aku.’‘Siapa yang mau nerima aku habis ini?’Tes..Dibiarkannya lagi air mata itu menetes, membasahi bantal yang sejak tadi jadi saksi bisu tangisan diam-diamnya.Dipejamkan matanya er
“Aku nggak bakal ceraiin Airin.” Ucap Raihan di tengah keheningan yang terjadi karena penjelasan keputusan Airin tadi.“Lo gila? Mau jadi apa gue disini?” Airin kelepasan. Nadanya meninggi, melupakan dua orang yang lebih tua masih ada di sampingnya sekarang.Terlebih mama Raihan yang sedikit tersentak, karena wanita itu memegangi lengan Airin semenjak menantunya itu mengajukan perceraian tadi.Airin memang mengambil keputusan sepihak bahwa dia akan mengalah dan mundur agar tak lagi menjadi penghalang, padahal dari awal tempat ini memang bukan miliknya.Tapi Raihan juga merasa memiliki andil untuk mengambil keputusan juga. Diamnya selama seharian kemarin bukan karena apa selain mempertanyakan hubungannya dengan sahabat baik, yang sekarang menjadi istrinya.Iya, dia masih mencintai Zahra. Dia sangat bersyukur bahwa gadis itu masih hidup dan bisa ia lihat sewaktu-waktu.Tapi dirinya bukan sebangsat itu akan begitu saja membuang Airin yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya selama 3 b
Airin benar-benar menganggap serius perkataannya pada Raihan hari itu. She’s exactly ready to take the worst risk that might happen in her future. Keputusannya sudah bulat untuk memutus hubungan dengan sang sahabat dari status suami dan istri mereka.Airin bahkan sudah memikirkan skenario bagaimana hidupnya akan sepenuhnya berubah setelah ini. Ia tak lagi dapat mengandalkan Raihan dan keluarganya, di antara kerapuhan internal keluarga Airin sendiri, dia juga tak dapat lagi menjadikan Raihan sebagai sahabat yang sama, hubungan mereka akan berbeda, bahkan jauh lebih berbeda sebelum pernikahan dadakan mereka.Sebagai langkah pertama, wanita itu beranjak keluar dari rumah keluarga Raihan, barang-barang pribadi yang ada di kamarnya di rumah Raihan –dimana kamar itu memang dikhususkan untuknya– mulai dipindahkan ke apartemen pribadinya.Barang-barangnya yang ia bawa dari rumah Raihan ke apartemen pribadinya juga tak dikembalikan, membuat rumah Raihan kian sepi dari suasana Airin. Mengenai
Sepasang sahabat yang sudah saling mengenal selama 20 tahun, yang tanpa diduga dalam suatu hari, diiringi kejadian klise dan sangat tak bisa diterima logika kebenarannya, hanya berdiri mematung, saling berpandangan dalam diam. Tak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka walau pandangan mata mereka saling berebut dan mencoba untuk mengatakan banyak hal dari sana.Airin tak pernah memandang Raihan selama ini. Sejak dahulu, gadis itu enggan untuk menatap mata siapapun terlalu lama, kemalangan yang sering ia terima di sepanjang hidupnya membuat dia memiliki rasa empati berlebihan yang menganggap bahwa semua orang punya banyak masalah dan tak seharusnya menjadi penopang masalahnya. Tapi pada orang lain, dia melakukan kebalikannya.Kepada Raihan contohnya.Airin menjadi orang yang tahu betul bagaimana Raihan struggling menjalani hidupnya sendiri, yang baginya nampak lebih berat daripada apa yang ia rasakan. Menjadi korban perundungan hanya karena kondisi lahiriyah manusia, sungguh tida
“Harus banget, ‘mas yang nganterin?” Tanya Raihan kala sedari tadi pagi, Tito yang sejak kembali ke rumah seminggu lalu itu hanya mendiamkan dan sesekali mendengus sinis padanya, memaksa untuk mengikuti dirinya entah kemana.Pertanyaan Raihan tentang tujuan kemana sang adik hendak membawanya pergi sama sekali tak digubris. Pria muda yang gerak geriknya sangat jelas masih menaruh kesal pada sang kakak itu hanya mengatakan satu kalimat ‘hari ini ikut adek.’yang bagi Raihan terasa seperti perintah.Ia tak mampu menolak maupun mengabaikan permintaan sang adik, karena jujur, di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah karena membiarkan hal yang tak normal terus terjadi seolah tak ada apa-apa di sana. Melihat sang adik mau untuk setidaknya meminta suatu hal, walau tak jelas maksudnya, membuat Raihan sedikit bisa bernafas lega.“Aku nggak pernah minta apa-apa sebelumnya, ‘kan? Setelah ini, semuanya aku pasrahin ke mas, gimanapun mau mas Raihan.” Tito sedikit menambahkan clue setelah mereka s
Entah keberuntungan atau kemalangan yang menimpa Tito saat ini. Dia mendapat kesempatan untuk berdinas di pelabuhan di dekat rumahnya selama 2 bulan ke depan, harusnya dia bahagia karena tak lagi jauh dengan keluarga, tapi di sisi lain, dia harus terus menerus menghadapi fakta bahwa di hadapannya, kebingungannya tentang kepulangan Zahra dan kepergian Airin masih belum terjawab.Seperti hari ini contohnya. Walau Tito tahu pasti Zahra lagi yang akan menyambut kepulangannya, dia tetap saja masih terkejut dan terheran-heran, ditambah lagi dengan kelakuan sang kakak yang entah dia benar tidak peka atau pura-pura tidak tahu akan sikap risih yang jelas ditunjukkan di tengah keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.“Mas.” Sapa Tito tegas, saat ini secara kebetulan mereka datang bersama dari tempat kerja, dan hanya ada mereka berdua di tambah Zahra yang menyambut seperti biasa di daun pintu.Kali ini dengan berdalih melepas tali sepatu, Raihan masih seperti hari kemarin, selalu menghindar
Sepulang dari mengantarkan Airin kembali ke rumah 2 bulan yang lalu, Tito yang disambut dengan kabar mengejutkan akan kembalinya Zahra, sama sekali tak dapat hidup tenang di tengah penugasannya.Tito tak sempat meminta penjelasan apapun saat itu, karena ia harus buru-buru kembali ke pelabuhan sebelum kapal tempat ia bertugas kembali berlayar. Alhasil, dua bulan belakangan, pikirannya tak bisa fokus pada penugasan, karena dipenuhi akan banyak pertanyaan yang ingin ia segera temukan jawabannya. Apalagi saat itu, dia kembali ke penugasan dengan keputusan sang kakak ipar yang bersikukuh ingin berpisah, segera saat ia melihat Zahra berdiri di rumahnya.Tito yang mengetahui bahwa sang kakak kesayangannya itu tengah berbadan dua, tak tenang kala membayangkan bagaimana ia harus hamil sendirian karena bercerai, dan calon keponakannya lahir dengan kedua orang tua yang sudah berpisah.Pertanyaan itu yang paling menghantui kepalanya hingga sekarang.Tetapi, di luar dugaannya, dimana dia berharap
Kembalinya Zahra (dari sisi Raihan)Dengan kembalinya Zahra di tengah kehidupan kami, tak mengartikan bahwa keadaan akan kembali seperti semula, seperti hari-hari sebelum pernikahan.Tidak sama sekali. Jika ditanya apakah saya bahagia? Tentu, sangat bahagia. Gadis yang sangat saya cintai di lima tahun belakangan itu, yang sama sekali masih belum saya terima kepergiannya. Ketika ia kembali, dalam keadaan bugar, di hadapan saya, belum mati, tentu saja saya sangat bahagia.Hal itu seolah mengembalikan semua kebahagiaan yang menyingkir dari hidup saya sejak 3 bulan ke terakhir. Tak ada yang mampu saya katakan selain bersyukur dan merangkul dia dalam pelukan hangat, menenangkan Zahra yang sedang menceritakan keadaan pilu, yang berhasil ia lewati selama 3 bulan pasca kecelakaan tragis itu.Bagaimana saya tega dan tak terharu tentang bagaimana Zahra mungkin ketakutan, sendiri melewati masa kritis di tempat dimana tak satu orang pun mengenalnya.Zahra adalah anak tunggal kesayangan orang tu
Airin, (masih) dari sisi Raihan (II)Sudah saya bilang kan, bahwa saya yang bodoh disini. Saya yang menjadi saksi Airin tumbuh bersama luka, saya juga yang menabur garam di atas lukanya.Membuat panas dan perih luka lama, serta menimbulkan luka baru yang menganga basah.Airin mencoba untuk tetap membuat saya nyaman sebagai suaminya, saya sadar itu. Walau mimpi buruk masih dialaminya tiap malam, dia masih bisa tersenyum di pagi hari sembari menyiapkan sarapan, padahal saya tahu, Airin benci menyiapkan makanan untuk orang lain sebelum dia sendiri makan dan buru-buru berangkat bekerja pula.Dia juga yang menyadarkan saya akan eksistensinya, kala dengan bangsatnya saya memikirkan orang lain saat kami berada dalam peluh di atas ranjang, padahal itu adalah sarana pelampiasan segala emosi saya.Bodoh, ‘kan? Memang.Dosa? Jangan ditanya. Mungkin karma untuk saya sedang dibuat list nya sekarang.Tapi bodohnya lagi, saya tak menyesal. Hanya setelah berhubungan badan itu lah, saya bisa memeluk A
Airin, dari sisi Raihan Saya dan Airin bersahabat sejak lama. Lama sekali, 20 tahunan mungkin. Dahulu, Papa saya, seorang pamong di desa kami. Alasannya klasik, karena kami dari keluarga berada katanya. Saya waktu itu masih berumur 5 tahun, tidak paham apa yang mereka maksud dengan berada, mengapa mereka kekeh menjadikan papa saya pamong desa. Sampai akhirnya saya sadar, ada efek dari ‘ketergantungan’ disana. Fakta sosial yang baru saya pelajari saat menginjak remaja. Saya tau, bahwa sejak dahulu, papa membayar orang yang membantunya memetik pucuk teh, mencabut rumput yang menghalangi jalan, penyapu latar rumah menuju gerbang depan, juga kepada sopir mobil pick up yang membawa puluhan, hingga ratusan karung daun teh menuju ke distributor lain atau pabrik yang sudah mengontrak salah satu hasil tanah di kebun teh, bapak bahkan membayar orang yang membantu menimbang sebelumnya. Dari situ saya tahu, ada suatu bentuk ‘ketergantungan’ para warga kampung terhadap papa saya. Airin meru
Airin seolah hilang harapan kala percobaan keduanya untuk datang menemui Raihan dan menanyakan kejelasan hubungan mereka berdua kembali terhalang, saat pria itu bahkan tak muncul sama sekali di rumahnya. Wanita itu berusaha untuk menemui Raihan yang ia rasa selalu menghindarinya akhir-akhir ini. Hampir sebulan, sejak Airin terang-terangan meminta cerai dari dirinya, mereka sama sekali tak berbicara. Airin pikir mungkin karena dirinyalah yang meminta, jadi ia sendiri yang pergi untuk mendapatan surat pengajuan perceraian. Tapi setelah itu, tak ada lagi tindakan lanjut dari pihak Raihan. Sebulan lalu, saat dia mengangkut sedikit demi sedikit barang-barang pribadinya, baik dari rumah Raihan maupun dari rumah orang tuanya, pria itu masih membantu Airin, bahkan membantu menata barang di apartemen pribadi wanita itu. Namun lama kelamaan, Raihan seolah menghindari Airin. Dia mulai memotong pembicaraan Airin, tak lagi mengantar jemputnya bekerja seperti perjanjian awal mereka saat akan b
Airin benar-benar menganggap serius perkataannya pada Raihan hari itu. She’s exactly ready to take the worst risk that might happen in her future. Keputusannya sudah bulat untuk memutus hubungan dengan sang sahabat dari status suami dan istri mereka.Airin bahkan sudah memikirkan skenario bagaimana hidupnya akan sepenuhnya berubah setelah ini. Ia tak lagi dapat mengandalkan Raihan dan keluarganya, di antara kerapuhan internal keluarga Airin sendiri, dia juga tak dapat lagi menjadikan Raihan sebagai sahabat yang sama, hubungan mereka akan berbeda, bahkan jauh lebih berbeda sebelum pernikahan dadakan mereka.Sebagai langkah pertama, wanita itu beranjak keluar dari rumah keluarga Raihan, barang-barang pribadi yang ada di kamarnya di rumah Raihan –dimana kamar itu memang dikhususkan untuknya– mulai dipindahkan ke apartemen pribadinya.Barang-barangnya yang ia bawa dari rumah Raihan ke apartemen pribadinya juga tak dikembalikan, membuat rumah Raihan kian sepi dari suasana Airin. Mengenai