Dina termenung sejenak saat melihat ponsel Danang, lalu ia memutuskan untuk mencoba membukanya dengan menekan beberapa kemungkinan sandi yang mungkin dipakai oleh Danang. Namun, segala usahanya tidak membuahkan hasil.
"Tidak juga," gumam Dina dengan sedikit kekecewaan setelah mencoba memakai tanggal lahir sang suami sebagai sandi ponsel.
Dengan rasa penasaran yang semakin menguat, Dina merenungkan kemungkinan sandi lain yang mungkin dipilih oleh Danang untuk mengunci ponselnya.
Dengan perasaan penasaran yang semakin besar, Dina tetap bertekad untuk mencari cara untuk membuka ponsel Danang. Dia mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa menjadi sandi ponsel Danang. Dina mencoba angka-angka yang memiliki makna khusus bagi mereka berdua, namun tetap tidak berhasil.
Setelah beberapa percobaan yang gagal, Dina merasa semakin frustrasi namun juga semakin bertekad untuk mengetahui kebenaran di
Setelah acara tahlilan berakhir dan keheningan mulai menyelimuti rumah, Danang dan Dina akhirnya mendapat kesempatan untuk berbicara berdua. Semua penghuni rumah sudah terlelap dalam tidurnya, menciptakan suasana yang tenang dan intim di antara mereka.Danang yang baru keluar dari kamar mandi terkejut melihat Dina memeluk bantal, "Mau ke mana, Din?" tanya Danang dengan ekspresi heran melihat Dina."Aku akan tidur di kamar bunda, kasihan bunda tidur sendiri," jawab Dina dengan lembut."Bunda tidur dengan Tante Anum, mas dengar Tante Anum bicara dengan Om Seno," jelas Danang, bahwa sang bunda tidak tidur sendirian."Duduk sini," ucap Danang seraya menepuk sisi ranjang di sebelahnya, mengundang Dina untuk duduk bersamanya.Dengan rasa terpaksa, Dina duduk di samping Danang, namun memberi jarak sedikit jauh antara mereka, menunjukkan batas yang ia tetapkan dalam interaksi merek
Danang berlutut di depan makam ayah mertuanya yang masih berselimut merah dari bunga-bunga yang bertaburan. Sementara itu, Dina berada di seberangnya, mengelus-elus makam ayahnya dengan penuh haru. "Ayah," gumam Dina dalam hatinya, merasakan kehangatan dan kehadiran ayahnya di sekitarnya. "Dina datang, Ayah," gumamnya secara perlahan, merenungkan kenangan indah dengan ayah tercinta.Air mata mulai mengalir dari mata Danang, penuh penyesalan dan kesedihan. Hatinya dipenuhi dengan rasa menyesal karena tidak bisa mengantar ayah mertuanya ke tempat peristirahatan terakhir. Dalam hati, Danang memohon dengan penuh penyesalan, "Maafkan aku, Ayah, bahwa aku tidak bisa mengantarmu ke tempat peristirahatan terakhir secara langsung. Aku merasa begitu kehilangan tanpamu di sini." Air mata mengalir tak tertahan dari matanya, menggambarkan rasa sedih dan penyesalan yang mendalam.Sementara Dina, dengan suara hati yang lembut, mengutarakan isi hatinya, "Ayah, aku merindukanmu setiap detik. Terima ka
Dina terdiam sejenak, merenungkan saran yang diberikan oleh Danang. Sebuah keputusan besar harus diambil, dan ia merasa berada dalam persimpangan yang sulit.Dina merenung dalam diam setelah mendengar saran Danang untuk menjual sawah dan pindah ke kota. Tercampur antara kekhawatiran akan masa depan dan rindu pada warisan keluarganya, Dina merasa dilema yang mendalam.Setiap sudut gubuk yang sederhana itu menjadi saksi dari pertimbangan besar yang tengah dihadapi oleh Dina. Di satu sisi, kehidupan baru di kota menawarkan peluang dan kemajuan, namun di sisi lain, kepergian dari rumah dan sawah yang telah menjadi bagian dari sejarah keluarga mereka membuat hati Dina terasa berat.Setelah beberapa saat merenung, Dina akhirnya mengangkat wajahnya dan bertemu pandangan Danang. "Aku mengerti alasan dan keputusan yang kau usulkan, Mas. Namun, sawah ini memiliki makna yang begitu dalam bagi bunda. Kita perlu memikirkannya secara
Ekspresi keheranan tergambar jelas di wajahnya Aini, menunjukkan betapa terkejutnya ia mendengar rencana penjualan sawah yang telah menjadi bagian berharga dari kenangan masa lalu baginya dengan sang suami. Tapi, ia diam, ingin mendengar kelanjutan apa yang akan dikatakan oleh Dina dan Danang selanjutnya.Aini diam, Deni mengekspresikan kekecewaannya dengan tegas, "Aku heran, kenapa kakak ingin menjual harta yang didapatkan dengan susah payah oleh ayah kita. Apa kakak tidak mempertimbangkan perasaan bunda? Lagipula, harta warisan tidak hanya milik ayah, di situ juga terdapat harta milik Tante Hanum," ucap Deni dengan suara penuh kekhawatiran.Danang menyadari pentingnya meluruskan pemikiran Deni yang masih muda. "Den, bunda nanti tidak akan bisa mengelola sawah itu. Tanah seluas itu ditangani oleh seorang wanita, sangat tidak mungkin, Den. Kasihan bunda," ucap Danang dengan nada yang penuh kehati-hatian, karena ia tidak ingin membuat Deni me
Deni dan Danang langsung terdiam, dan keduanya menundukkan kepalanya.Sedangkan Dina tersentak, mendengar kata-kata Bunda Aini, dan mulai bertanya-tanya dalam hati, "Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku ingin menjual tanah? Kenapa aku mengikuti saran Mas Danang?" Gumamnya dalam hati, merasakan kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam."Tunggu 100 hari ayah, baru kita bicarakan kembali," kata Bunda Aini dengan suara yang penuh penegasan. Ia menyudahi perdebatan yang terjadi, karena melihat kedatangan Hanum dan suaminya, Bunda Aini pun pergi meninggalkan ruang tamu.Deni bertanya kepada kakaknya dengan penuh kekhawatiran, "Apa yang ada dalam pikiran Kakak? Mengapa Kakak ingin menjual sawah milik Ayah? Walaupun aku sekolah di luar kota, aku akan ngontrak, Kak. Aku akan mencari pekerjaan. Masalah Bunda, kita bisa mengambil pembantu untuk menemaninya. Kita tidak perlu menjual tanah. Aku heran melihat Kakak. Ap
"Apa, Mbak? Coba ulangi," kata Hanum, karena ia merasa ragu dengan apa yang baru dikatakan oleh Aini.Aini menceritakan, "Dina menginginkanku untuk pindah ke kota," ucap Aini dengan suara yang sedikit gemetar.Kata-kata Aini tersebut mengejutkan Hanum karena keputusan untuk pindah merupakan langkah besar yang akan berdampak pada kehidupan mereka. Perasaan kaget dan kebingungan mencuat di wajah Hanum, mendengar apa yang baru disampaikannya.Hanum terkejut dengan kabar yang disampaikan oleh Aini tentang rencana untuk pindah ke kota. Dia merasa perlu mengajukan pertanyaan yang mendalam.Hanum terkejut mendengarnya, "Pindah ke kota? Mbak mau? Kehidupan kota tidak seperti di sini, Mbak. Apa Mbak sanggup meninggalkan desa ini dan meninggalkan Mas Abdi?" tanya Hanum dengan rasa khawatir dan kebingungan dengan pemikiran Dina.Pertanyaan Hanum mencerminkan pertimbangan yang dalam mengenai
Hanum, menambahkan. "Apalagi tidak ada pengalaman."Aini mencermati dengan seksama apa yang dikatakan oleh Hanum, karena dia menyadari bahwa Hanum tinggal di kota besar dan memiliki pengalaman serta pemahaman yang lebih mendalam tentang kondisi di kota. Dengan pemahaman ini, Aini mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan mempertimbangkan sudut pandang Hanum dengan serius."Ya, Hanum. Kamu tinggal di kota besar, pasti kamu tahu betul apa yang terjadi di sana. Pengalamanmu sangat berharga bagi kami dalam mengambil keputusan ini," ucap Aini serius.Kedua saudari ipar tersebut diam, ketika Seno, suami Hanum datang."Aku perhatikan dari kolam, serius sekali ngobrol. Sampai aku panggil, tidak dengar. Ngobrolin apa?" Tanya Seno."Ini lho, Mas. Mbak Aini ingin jual sawahnya," kata Hanum."Hah, jual sawah? Mbak butuh uang ? Pakai uang kami, mbak. Jangan jual sawah ," ka
"Boleh kakak masuk?" tanya Dina dengan lembut.Deni menjawab dengan ramah, "Masuklah kak."Dina memasuki kamar Deni dan Deni kemudian menutup pintu kamarnya. Dina melangkah mendekati meja belajar Deni, kemudian melihat-lihat meja belajar Deni."Kakak datang bukan untuk melihat buku-buku pelajaranku, kan?" tanya Deni."Ada yang mau kak bicarakan denganku? Kalau kakak ingin membujukku, maaf kak, aku tidak akan mengubah keputusan," kata Deni tegas.Dina memutar badannya, "Kakak tidak akan menjual sawahnya, Den. Jangan marah kepada kakak ya," ucap Dina dengan menatap wajah adiknya dengan lekat."Aku tahu itu bukan rencanamu, kak? Mas Danang yang mengusulkan kepada Kakak, kan ?" tebak Deni.Dina menganggukkan kepalanya, "Sudah kuduga," ucap Deni dengan sedikit lega, karena ia mengetahui rencana penjualan itu bukan d
Emosinya semakin memuncak. Dalam hati, Danang menyalahkan Dina atas keterlambatannya, meskipun ia tahu bahwa sebenarnya dirinya yang terlambat bangun. Namun, rasa frustrasi tidak memberinya ruang untuk berpikir jernih."Aku harus cepat! Aku tidak boleh terlambat. Ah... ada rapat pagi ini!" pikir Danang tiba-tiba, ingatannya muncul seperti kilatan yang semakin memperparah kekhawatirannya. Ia menambah kecepatan motornya, berharap waktu berpihak kepadanya."Dina, kau benar-benar membuatku kesal!" gumam Danang, suaranya menggeram penuh emosi. Meski jauh di lubuk hati, ia tahu bahwa kesalahannya sendiri yang membuatnya terlambat, bukan sepenuhnya salah Dina.Gas motor ditarik semakin kuat, Danang melaju dengan kecepatan tinggi, membelah keramaian jalan kota yang sibuk. Suara klakson kendaraan lain menyatu dengan deru mesin motornya, namun Danang tak peduli. Fokusnya hanya satu—mencapai kantor secepat mungk
Danang terbangun dengan terkejut saat sinar mentari yang terang langsung menerpa wajahnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangan yang masih buram. Pandangannya segera tertuju ke jam dinding, dan matanya melebar saat melihat angkanya."Sudah siang!" serunya dengan nada panik, hampir melompat dari tempat tidur. "Jam setengah delapan!"Ia bangkit dengan tergesa-gesa, satu tangannya menyisir rambut yang acak-acakan, dan wajahnya terlihat tegang. Sambil menghela napas frustrasi, ia berseru dengan nada sedikit meninggi, "Dina! Kenapa aku tidak dibangunkan?"Di dapur, Dina mendengar suara teriakan Danang. Ia menghentikan sejenak gerakannya yang sedang mengaduk secangkir kopi. Dengan ekspresi datar, ia mengedikkan bahunya santai, seolah tak peduli. "Emang aku pengasuh," gumamnya pelan, bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang tampak sinis. Tanpa mengubah langkahnya, ia kembali melanjutkan kegi
Dina tidak bisa menerima apa yang dilakukan oleh Danang. Tubuh dan pikirannya menolak sentuhan Danang. Pikirannya menyuruh Dina untuk mendorong tubuh Danang menjauhinya. Pelukan dan ciumannya, yang biasanya menjadi sumber ketenangan, sekarang terasa seperti sangkar, menjebaknya dalam labirin perasaan yang tak terucapkan.Kehadiran Danang, yang dulunya menjadi sumber kenyamanan, sekarang terasa seperti pengingat konstan tentang kebencian yang tak terucapkan. Dia adalah teka-teki yang tidak bisa dia pecahkan, melodi yang tidak bisa dia uraikan. Dan seiring berjalannya malam, Dina tahu bahwa satu-satunya cara untuk melarikan diri dari siksaan ini adalah dengan menghadapi kebenaran, menghadapi emosi yang menawannya, dan menemukan keberanian untuk mengucapkan kata-kata yang terjebak di hatinya. Tapi, Dina tidak ingin melakukannya, di saat dia begitu letih dengan apa yang dialaminya hari ini.Tubuh Dina tiba-tiba meronta, "Lepas!!" serunya dengan
Dina masuk ke dalam kamar dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam."Belum pulang juga," gumamnya. Dina kemudian merebahkan tubuhnya dan menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya. Matanya terpejam, tubuhnya lelah, dan pikirannya kosong. Ia tertidur tanpa menunggu kepulangan Danang, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Sekarang, ia tidak ingin melakukan itu lagi. Hatinya sudah penuh terisi dengan kekecewaan, tidak ada lagi nama sang suami di dalam pikirannya.Sejak pagi, Dina disibukkan dengan berbagai aktivitas. Ia berlari dari satu tempat ke tempat lain, berusaha menyelesaikan semua apa yang menjadi target masa depannya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk masa depannya. Dia ingin meraih kesuksesan setelah perpisahannya dengan Danang terjadi. Namun, di balik semua itu, ada rasa lelah yang tak tertahankan.Suara orang membuka pintu pagar. Dan suara motor juga tidak berhasi
Deni sedang asyik belajar dalam kamarnya. Buku-buku terbuka di mejanya, pena bergerak cepat menorehkan huruf di atas kertas. Cahaya lampu meja menyinari wajahnya yang kusut karena lelah."Den, jangan tidur terlalu larut, ya," ujar bundanya dengan suara lembut, penuh perhatian. Ia masuk ke kamar Deni dengan langkah tenang, membawa segelas susu hangat di tangannya. Ia meletakkan susu itu dengan hati-hati di atas meja belajar Deni."Minumlah, selagi hangat," lanjut bundanya, senyum hangat menghiasi wajahnya."Terima kasih, Bun," sahut Deni dengan senyum lebar. Ia mengambil gelas itu, meneguk susu hangat tersebut dengan lahap. Rasanya begitu nikmat, menghangatkan tubuhnya dan membuat perutnya terasa nyaman."Sudah malam, Den. Istirahatlah sebentar," kata bundanya sambil mengusap rambut Deni dengan lembut, penuh kasih sayang. "Besok kamu harus bangun pagi untuk sekolah.""Iya, Bun," j
"Sudah lama menunggu, Mas? Maaf ya, tadi boss masih sibuk kerja, jadi aku nggak bisa pulang lebih cepat," kata Sinta, suaranya lembut, penuh rasa penyesalan. Nada bicaranya yang tenang membuat hati Danang sedikit terasa nyaman.Danang tidak langsung menanggapi ucapan Sinta. Matanya tertuju pada rambut Sinta yang terlihat sedikit basah, menarik perhatiannya. Ia mengerutkan dahi, seolah mencoba mencari alasan di baliknya.Sinta menyadari tatapan Danang yang begitu lekat mengamatinya. "Ada apa, Mas?" tanyanya, penasaran dengan sorot mata Danang."Rambutmu basah? Kenapa?" tanya Danang akhirnya dengan nada ingin tahu, matanya tertuju pada rambut Sinta yang tampak lembap, sementara alisnya sedikit berkerut."Ah, tadi kehujanan sedikit pas keluar kantor. Ada urusan mendadak, dan aku lupa bawa payung," jawab Sinta sambil tersenyum tipis. Tangannya bergerak mengipas-ngipaskan rambutnya, mencoba
Begitu Dina tiba di rumah, Dina langsung membersihkan tubuhnya. Dina berdiri depan cermin dan menatap pantulan tubuhnya dalam cermin, "Pegal sekali," kata Dina sambil memijat pinggangnya yang terasa pegal. Lalu dia kemudian melihat ke arah jam dinding. "Sudah jam 5 sore, aku belum masak. Ahh... untuk apa masak, masak juga tidak ada yang makan," kata Dina."Beli makanan siap saja. Untuk apa capek-capek masak, tidak ada yang makan. Mulai hari ini, jangan pikirkan orang lain. Aku harus memikirkan diri sendiri. Untuk apa memikirkan orang, jika kita tidak dihargai."Lalu Dina mengambil ponselnya dan mencari makanan yang ingin dipesannya. Setelah mendapatkan apa yang ingin dimakannya untuk makan malam, Dina memesan dan kemudian meletakkan ponselnya.Tiba-tiba, Dina terpikir untuk mulai mengumpulkan syarat-syarat untuk mengajukan perceraian. "Aku harus mengumpulkan berkas-berkas untuk mengajukan perceraian. Aku harus mencari buku nikah, sebelum Mas Danang pulang."Dina kemudian melangkah men
Dina sibuk merencanakan masa depan setelah perpisahan dengan Danang terjadi, sementara di sisi lain, Danang tenggelam dalam pikirannya yang dipenuhi kegelisahan akibat permintaan cerai dari Dina. Ia terus mencari cara agar bisa membujuk Dina untuk membatalkan niatnya berpisah."Dina harus segera hamil secepatnya," gumam Danang dengan wajah penuh tekad, sambil melamun di ruang kerjanya, memutar otak untuk mencari solusi.Bagaimana bisa hamil, belakangan ini dia tidak mau aku sentuh. Hemmm... Apa aku beri dia obat, agar mau ku sentuh." Danang tersenyum memikirkan idenya yang cemerlang menurutnya."Tok tok " bunyi pintu ruang kerja Danang diketuk, diikuti dengan suara pintu yang terbuka perlahan sebelum Danang sempat memberikan izin. Danang mendongak dari meja kerjanya dengan wajah sedikit terganggu."Dan, sudah daftar untuk ikut family gathering?" tanya Yoga sambil melangkah
"Bagaimana kalau kita kembali untuk nego harga sewa?" kata Alma."Ya, baiklah. Aku mau coba nego lagi," kata Dina. Ia berharap bisa mendapatkan harga sewa yang lebih rendah."Kita coba aja, Din," kata Alma. "Yang penting kita berusaha dan tidak menyerah."Keduanya kemudian kembali ke toko milik Bu Linda. Dina mencoba mengumpulkan semua keberaniannya untuk bernegosiasi dengan Bu Linda.Tiba di ruko, Bu Linda masih berada di rukonya tersebut dan tersenyum ramah melihat kedatangan Alma dan Dina."Permisi, Bu," kata Dina. "Kami ingin menanyakan tentang harga sewa toko lagi. Apakah bisa dikurangi?""Ya, Bu. Kami mencoba menghitung biaya yang dibutuhkan. Dan ternyata harga sewanya sedikit tinggi untuk kami. Apakah bisa dikurangi sedikit?" tanya Dina."Hmm, kalau ambil setahun bisa saya berikan diskon 10%. Tapi kalau hanya sebulan, maaf ya, saya