Satu minggu setelah percakapannya dengan Seto perihal rumah tusuk sate. Malam ini mereka berempat akan mendatanginya dan membuat konten. Setelah mengantongi izin, keempatnya sepakat akan pergi jam sepuluh malam setelah menutup distro.
Awalnya Bagas menolak, karena sebelumnya mereka sudah menentukan tempat yang menurutnya tak semenyeramkan rumah tusuk sate. Namun, karena jaraknya yang cukup jauh dan ditro ramai. Mereka memutuskan untuk ke rumah tusuk sate saja yang lebih dekat.
"Pastiin udah dibawa semua, jangan sampai ketinggalan," ucap Mahes mengingatkan saat membawa tas kamera ke dalam mobil.
Bagas dan Asep menunjukkan jempolnya sebagai tanda bahwa semuanya sudah siap dan tak ada yang tertinggal. Sementara Taksa baru saja keluar dari rumah dan menguncinya. Ia menjinjing tas kecil berisi air mineral dan beberapa makanan ringan.
"Kita satu jam aja untuk konten, estimasi waktunya paling lama sampai jam satu, ya," ujar Taksa mengingatk
Terima kasih sudah membaca. Cerita ini hanya fiksi semata. Salam sayang dan jangan lupa berikan vote dan komentar :))
Suasana canggung terasa di pagi hari setelah kemarin Bagas dan Asep berdebat. Bagas enggan menyapa, bahkan terbilang menghindari. Asep bersikap acuh tak acuh terhadap Bagas. Meski begitu ia masih tetap ceria dan humoris, tetapi tidak terhadap Bagas. Menurut Taksa keduanya salah, cuma ia memilih membiarkan mereka dahulu. Meredam keras kepala mereka berdua. Agar saat penyelesaian mau sama-sama disalahkan. Bagas salah karena pandangannya, begitu pun Asep salah memaksakan pendapatnya kepada Bagas sebelum menjelaskan tetang sosok itu. Karena manusiawi Bagas menolak karena takut. Mahes ikut bersikap sama seperti Taksa, toh memang sejak lama Asep dan Bagas sering bertengkar. Bahkan sejak di bangku sekolah dulu. Jadi, ia biasa saja dalam menghadapi pertengkaraan kali ini. Lihat saja, seminggu lagi juga akan kembali seperti semula. Tak usah menunggu satu minggu, tiga atau empat hari keduanya akan kembali seperti biasa dan melupakan pertengkaran itu. Namun, jika permasal
Angin malam ini berembus cukup beraahabat, tetapi tidak dengan hawa dinginnya. Hawa dingin kali ini menusuk kulit, meski Mahes sudah menggunakan jaket, rasanya masih saja terasa dingin. Ia mengendarai kuda besinya cukup kencang. Agar ia bisa segera pulang dan beristirahat, lagi pula suasana malam ini tak bersahabat untuk berada di luar ruangan. Jam yang melingkar di pergelangan tangan Mahes menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia pergi sejak pagi, niatnya akan pulang cepat, tetapi keadaan membuatnya pulang malam. Memang pekerjaannya selesai siang tadi, tetapi karena sekalian keluar rumah. Ia menghampiri seseorang yang spesial dalam hidupnya. Ditambah ia mampir ke rumahnya untuk mengecek keadaan keluarganya. Belakangan, semenjak ia tahu bahwa ada musuh yang mengancam nyawanya Mahes lebih sering pulang ke rumah atau menepon orang rumah. Beberapa waktu belakangan Mahes gencar mendekati seorang wanita yang pernah menjadi adik kelasnya semasa SMA. Keduanya cukup d
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Taksa memasak nasi goreng karena perutnya kembali merasa lapar. Ia tak hanya membuat satu porsi, tetapi empat porsi. Takut-takut ia akan nambah atau Mahes pulang. Aroma harum nasi goreng membuat perut Bagas berbunyi. Cacing-cacingnya kembali bangun karena aroma itu. Sebenarnya ia malas keluar karena ada Asep di sana. Namun, cacingnya memberontak dan menginginkan makanan. Dengan malas Bagas keluar kamar setelah mengganti pakaiannya dengan celana kolor hitam dan kaos oblong merah tua. Saat ia membuka pintu matanya beradu tatap dengan Asep yang juga menatap ke arahnya. Anehnya yang saat pagi Asep berekspresi datar kini menunjukkan senyumnya. Membuat matanya sedikit menyipit dan bibirnya membentuk lengkung senyum. Bagas sendiri tak membalas perlakuan itu. Ia hanya menatapnya sekilas dan menuju dapur. Mata Asep mengikuti ke arah perginya Bagas. Saat melihat arahnya ke dapur ia sedikit lega. Ternyata ide Taksa
Setelah tahu dari Mahes bahwa Angkoro Darso mencari mereka. Keempatnya lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Mahes memberikan ciri-ciri Angkoro Darso. Seperti selalu berpakaian rapi, rambutnya hitam sedikit bervolume, ada kumis tipis dan kerutannya masih amat sedikit. Terlihat masih sangat-sangat muda. Padahal perkiraan mereka usianya sekitar delapan puluh tahun. Wajahnya terlihat seperti empat puluh tahunan. Bahkan badannya masih sangat segar dan bugar dibandingkan usianya. Sudah pastilah bahwa ia melakukan ritual untuk awet muda. Setidaknya itu yang mereka simpulkan. Melihat bahwa ia memiliki ilmu rawarontek dari yang Mahes lihat tempo hari. "Kalian harus menyiapkan diri. Setidaknya pagari diri kalian. Jangan lupa pelajari ajian yang ada dalam buku yang sudah didapatkan," ujar Pethak kepada keempat pria yang sedang duduk di ruang tengah sebelum mereka memulai pekerjaan. Setelah sarapan mereka mendapat wejangan dari Pethak. Sehin
"Item, gede, tinggi, besar?" celetuk Taksa membuat Rian dan Asep menoleh menatapnya. "Lo juga bisa kayak Asep?" tanya Rian. Taksa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia kelepasan berbicara. Dengan cengiran yang jarang ia perlihatkan berharap bisa menutupi apa yang baru saja ia bicarakan. "Enggak. Cuma nebak, dari konten yang gue tonton biasanya wujudnya gitu," jawabnya sekenanya. "Lo ngerasa apa? Panas?" tanya Asep mengalihkan Rian dari ucapan Taksa tadi. Rian mengangguk serasa menunjukkan bagian pojok ruangan. Di mana ada meja yang sering sekali barang di atasnya terjatuh dengan sendirinya. Ia juga mengajak keduanya melihat ke toilet atau pun bagian belakang kosnya. Di mana ada sedikit lahan untuk menjemur pakaian. Di belakangnya terdapat kebun warga yang ditanami singkong serta terdapat pohon asam yang cukup besar. Asep memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas ke pohon asam tersebut. Meski malam dan minim
Akhirnya seluruh penghuni rumah tahu bahwa kini mereka hidup berdampingan dengan Melati. Bagas yang bisa melihat dan berbicara dengannya menjadi lebih baik. Sekarang sudah sedikit ramah. Meskipun masih terlihat belum bisa menerima sepenuhnya. Rian yang menginap di sana bergidik ngeri. Ternyata isi rumah itu lebih menyeramkan. Namun, akan lebih menyeramkan jika ia kembali ke rumah kosnya. Malam itu mereka tidur cukup larut. Rian tidur di ranjang Asep. Sementara Asep ia tidur seranjang dengan Taksa. Meski sempit keduanya tidur dengan pulas. Kokok ayam membangunkan Taksa. Sudah kebiasaannya untuk bangun pagi dan memasak untuk yang lain. Saat memasak ia merasa lebih tenang. Namun, tidak dengan pagi ini. Pethak membuatnya gelisah. Ia berpamitan untuk pergi selama beberapa hari untuk memulihkan kekuatannya. Asep yang sudah bangun terlihat panik. "Lo mikir apaan, sih," geram Asep. Sebab hampir saja Taksa membuat rumah itu terbakar. Ka
Setelah percakapan tadi. Asep meminta Taksa menjelaskan lebih detail tentang perjanjian yang ia maksud. Karena pengetahuan Asep sebatas perjanjian dengan dukun dan pesugihan kelas rendahan. "Jadi kakek moyang gue buat perjanjian dengan raja ular. Dulu keluarga gue miskin, dipandang rendah, dan diinjak-injak. Atas dasar sakit hati dan dendam kakek moyang gue membuat perjanjian itu. Dengan syarat semasa hidupnya harus memberikan tumbal agar perjanjian itu terus berjalan. Kalau tidak, mereka akan menjadi tumbal itu. Dan saat meninggal mereka akan dijadikan budak di kerajaan." Mendengar penjelasan Taksa Asep terkejut bukan main. Ternyata zaman dulu benar-benar mengerikan. Dan memang, hawa nafsu selalu menjadi penyebab kehancuran seorang manusia. Harta, ingin dipandang tinggi, dan tidak dihina membuat orang gelap mata. Namun, tak akan ada asap tanpa ada api. Manusia lainnya juga harusnya menjaga ucapan dan tidakan terhadap orang lain. Jika tidak mereka akan menjadi
Asep tak memedulikan perkataan Taksa. Ia tetap memandang pria itu. Matanya menatap sinis. Ia tak suka bila ada yang seperti itu di lingkungannya. Taksa yang menyadari itu hanya mendengkus. Sepertinya kali ini Asep akan bertindak sesuai kemauannya. Saat pasangan itu ke meja kasir, Asep semakin merasakan rasa tak nyaman. Dan benar, saat tak sengaja bersitatap Asep mengetahui dengan benar bahwa pria itu memiliki jimat dan memelet perempuan yang digandengnya. Asep menatapnya tajam, sementara pemuda itu biasa saja. Bahkan heran mengapa Asep menatapnya demikian. Enggan memusingkan hal tersebut setelah membayar mereka pergi disusul pasangan yang masuk bersamaan. Namun, sebelum pasangan kedua pergi Asep sempat mengajukan pertanyaan. "Anak mana yang barusan keluar?" tanyanya santai agar tak dicurigai. "Yang mana, Bang? Yang cewek?" Asep diam sejenak. Mungkin akan lebih baik jika dia bertemu perempuan itu saja dan menyelamatkanny
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men
"Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber
"Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal
Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip. Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis. Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya. Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar. Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan. Ia menyerngitkan dahi
Asep pulang dari rumah Rengganis setelah mengatakan akan membantu mencari orang yang bisa menyembuhkan Mayang. "Sa, lo kenal Ki Broto?" tanya Asep saat baru memasuki distro. Pertanyaan Asep membuat dahi Taksa berkerut. Ia seperti pernah mendengar nama itu. "Enggak asing. Tapi gue lupa," jawab Taksa tetap melanjutkan pekerjaannya yang sedang memeriksa catatan barang masuk. Suasana distro sepi. Karena karyawan sedang istirahat siang dan Bagas serta Mahes ada di rumah belakang. Tersisa Taksa dengan pembukuannya. "Sa, bukannya lo pernah bilang tentang dia?" Asep merasa Taksa pernah bercerita tentang Ki Broto. Cuma ia lupa kapan Taksa pernah bercerita. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Taksa. Ia juga mencoba mengingat-ingat. Kemudian mata Taksa membulat. Ia ingat nama itu. Nama yang tak sengaja ia dapat dari kemampuan prekognisionnya. "Lo
Rengganis kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia marah karena Taksa tak mau menolongnya. Namun, ia juga mengerti alasan Taksa tak mau. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang ada di lantai dua. Ia membuka pintu dan melihat Mayang tengah terlelap. Ada perasaan lega saat melihat Mayang masih baik-baik saja. Ia menutup pintu pelan dan turun. Rumah Rengganis terdiri dari dua lantai. Rumah minimalis bergaya modern itu terlihat luas karena hanya ada Rengganis yang menempati. Saat ada Mayang pun rumah itu masih terasa luas. Ada pembantu yang membantu Rengganis mengurus rumah, tetapi hanya datang saat pagi dan pulang saat sore hari. Rengganis juga sebenarnya tak terlalu membutuhkan pembantu. Namun, saat banyak pesanan ia kerepotan. Rengganis memiliki toko bunga di pusat kota dan membuka toko bunga baru tak jauh dari rumahnya sekarang. Berawal dari kesukaannya merangkai bunga, ia mencoba membuka toko bunga dan berjalan baik.&n
Bagas membelalakkan mata. "Maksud lo ini pegangan gue?" Taksa mengangkat kedua bahunya. "Belum tentu juga." Bagas mendengkus. "Gimana, sih, lo." Taksa terkekeh. Amat sangat mudah membuat Bagas kesal memang. Ia berbalik dan kembali ke distro setelah mengambil air dingin dalam lemari es. Setelah perginya Taksa Bagas segera menganti baju dan menyusulnya. Lagipula sekarang jadwalnya membantu. Saat membuka pintu yang menghubungkan antara rumah dan distro Bagas melihat ada Asep di sana. Ia terlihat sedang berbicara serius dengan Taksa. Raut wajahnya terlihat khawatir, begitupun dengan Taksa. Mereka berbicara berdua di dekat pintu masuk distro. Sementara Mahes masih sibuk dengan gamenya. Karyawan melayani pembeli yang berdatangan. Bagas masih setia memperhatikan Asep dan Taksa. Karena tak biasanya Asep seperti itu. Ia coba mendekati Mahes. Berharap Mahes mengetahui apa yang didiskusikan oleh kakak
Sarapan pagi itu tampak sedikit canggung. Hal itu dipicu dengan adanya Mayang. Sebenarnya Mayang bersikap seramah mungkin, tetapi tak begitu kenyataannya. Selepas sarapan, Mayang yang awalnya ingin segera pulang dihentikan oleh interupsi Taksa. "Ada baiknya lo minta tolong sama orang lain. Jangan libatkan Asep dalam masalah ini." Ucapan Taksa sangat dingin. Mayang terdiam membeku. Selain karena nada bicaranya, wajah datar Taksa juga membuatnya takut. Asep yang akan mandi terkejut mendengar ucapan Taksa. Ia mengurungkan niat mandinnya. "Lo apaan, sih, Sa. Tenang aja, gue enggak bakal kenapa-napa. Lagian ada lo sama yang lain yang bisa bantuin gue kalau sampe ada hal-hal yang bahaya," ujar Asep dengan kekehan. Ia sengaja mengucapkannya dengan santai. Sebab bila serius, itu bukan cara Asep. Mayang hanya diam. Ia bingung sekarang. Karena tak berani, dirinya menunduk melihat kakinya yang terbalut kaus kaki berw
Setelah beberapa hari dari pertemuan terakhir Asep dan Mayang. Mayang tiba-tiba datang pagi hari sebelum mentari meninggi. Kabut masih ada, tetapi Mayang sudah berada di depan pintu rumah Asep--rumah yang di belakang distro. Ia menggedor pintu dengan tergesa. Taksa yang sedang memasak di dapur menghentikan kegiatannya sejenak. Ia melihat jam saat berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang bertamu pagi-pagi sekali. Saat melihat jam ternyata pukul enam pagi. Asep mengerutkan kening saat melihat ternyata yang bertamu seorang wanita. Ditambah wajah itu menunjukkan kegelisahan. "Nyari siapa?" tanya Taksa dingin. Taksa memang seperti itu. Ia akan bersikap dingin kepada wanita. Apalagi jia itu orang asing. Kenangan buruk di masa lalu tentang wanita membuatnya seperti itu. "Asepnya ada?" Taksa mengangguk sebagai jawaban. Ia memandang kursi di terasnya. Mayang mengerti, ia duduk di sana sementara masuk memanggil