Lebih dua jam aku terperjara dan tidak berkutik di salon ini, mengikuti dua perempuan yang paling kucintai dan aku harus terima diapa-apain. Kuku yang sering luput dari perhatianku karena sibuk bekerja pun dibersihkan. Duh, aku tak tahu nama-nama perawatannya dan lebih baik tidak tahu. Kalau aku sampai ahli tentang urusan yang digandrungi para wanita ini, aku bisa diledek teman-temanku. Biarlah aku bagian urusan mencari modal ke salon.Wajahku berminyak tapi bukan karena minyak sawit. Rambutku juga klimis karena sering kuolesi minyak goreng. Selain hemat, juga agar lalat tergelincir. Semuanya semakin aduhai setelah dianu-anuin. Dan yang paling menggelikan, aku khusus diservis seorang laki-laki bergaya perempuan. Biar gak dosa kalau bersentuhan secara sengaja maupun tidak disengaja, kata Emak.Aku sangat deg-degan karena takut saat Emak juga menyuruhnya untuk memijitiku. Duh, jangan sampai deh dia khilaf melihat
Hampir setengah jam kuhabiskan bertapa di toilet warung yang katanya kafe itu. Asli, toiletnya bersih dan dilengkapi cermin besar di depannya. Astaga! Perutku tidak begitu sakit sih, tapi karena nenggunakan toilet duduk sambil bercermin, aku gak mau melihat raut wajahku yang berkurang ketampananya. Kuusahakan agar wajahku tetap menawan walaupun sedang buang air besar. Alhasil, Rika sampai menggedor pintu toilet ini. Hmmm ... sepertinya dia khawatir dengan keselamatan kekasih hati, belahan jiwanya ini."Bang! Abang baik-baik saja, kan?" seru Rika. Aku mempercepat gerakanku tanpa melihat kaca itu lagi. Perempuan hamil tidak boleh cemas berlebihan. Kusudahi ritual kali ini dan keluar dengan menggunakan kaki kanan duluan. Keningku mengernyit karena melihat keberadaan istriku di depan toilet yang rusak."Rika! Abang di sini!" seruku. Rika berputar dan berjalan cepat ke arahku.
Sepulang dari mesjid, menunaikan ibadah sholat isya, mataku bersiborok dengan mobil yang sama yang dipakai oleh Ari dan Nifa waktu itu. Adik sama adik iparku tidak pengertian sama sekali. Udah tahu kalau aku punya Emak yang usil, ditambah lagi mereka ngerusuh. Kalau Rika udah lahiran, aku bakal dianggurin lama loh.Aku pun mengucap salam dan masuk dengan hati yang berkecamuk. Awas saja kamu Nifa, aku akan mencubit telingamu. Kalau Ari, kutonjok saja nanti bajunya. Ya, sesama laki-laki yang tertindas, kami harus saling support. Kalaupun dia mau kesini, pasti karena perintah istrinya, Emak atau maminya.Aku melihat Emak dan Rika sedang sibuk di dapur. Dari gelagatnya, bukan Emak yang menyuruh adik perempuanku itu kemari. Kalau udah tahu sebelumnya, mereka sudah menyiapkan makanan sedari tadi. Rika dan Emak di dapur, kalau gitu yang sedang berdoa itu pasti Nifa.Aku berjinji
Kamar ini sudah harum dan rapi, tapi semuanya sia-sia setelah aku melakukan kesalahan yang tak terduga. Rika sudah cape membereskan isi lemari, sedangkan aku dalam sekejap telah merusaknya. Kasihan istriku tercinta. Aku akan mencoba membereskan lipatan baju ini biar terkesan sebagai suami yang sayang istri.Selepas sholat shubuh, aku tidak ikut nimbrung dengan para perempuan itu, sedangkan Papi Bendi memilih main game. Orang tua edan. Astaga! Semoga saja aku tidak seperti itu bila sempat memiliki usia sampai menua.Aku mengeluarkan satu pintu isi lemari yang merupakan baju-baju Nyonya Hadi Wijaya. Yang penting pakaiannya dulu, kalau bajuku tidak terlalu penting. Astaga! Bagaimana cara melipatnya ini?Aha! Google. Aku mulai melihat cara melipat pakaian dan ternyata gampang saat ditonton tapi sulit diaplikasikan. Aku mulai memisahkan pakaian yang masih bagus lipatannya dan
"Kapan mertua Nifa itu pulang, Mak? Hadi mau kerja loh," gerutuku. Emak mencubit perutku pelan dan akan memulai ceramahnya."Kamu ini ya, gak sopan banget. Kalau tamu datang, harusnya kamu bersyukur masih ada orang yang mau berkunjung ke rumah sederhana kita. Akan menyedihkan kalau orang takut bertamu. Baru semalam di sini, kamu udah nanya kapan balik," cerocos perempuan yang memakai daster lengan panjang ini. Ini masih hal biasa yang harus kudengarkan jika melakukan kesalahan.Aku tahu kalau bertamu lazimnya tiga hari, tapi aku heran saja dengan tingkah keduanya yang datang tiba-tiba. Padahal, anak menantu dan cucunya tak ikut. Apa segitu kangennya mereka pada Emak? Atau Emak punya daya magnet untuk menarik kedua besannya."Mereka gak dengar kok, Mak," kilahku. Kedua tamu kami sedang menonton serial drama korea dan sibuk membaca terjemahan dengan bantuan kaca mata. Duh, enggak bange
"Abang pulang dulu, Santo! Kamu urus semuanya," seruku dan berlari ke motor. Aku tak memedulikan pertanyaan Santo lagi yang kayak wartawan. Walau dalam keadaan khawatir, aku harus menormalkan detak jantungku dan membaca doa sebelum berkendara. Semoga Emak baik-baik saja.Jarak yang tidak terlalu jauh serta jalalan yang lengang membuatku bisa cepat sampai ke rumah. Aku mengernyitkan kening melihat sang permaisuri menghentikanku."Abang! Kamu sudah datang?" tanya Rika dengan santainya. Pertanyaan unfaedah. Suaminya udah di depan mata, tetap aja ditanya apa sudah pulang. Istriku memang telah terkontaminasi keanehan sifat mertuanya."Udah, Dek. Mana Emak, Dek? Ada apa dengannya?" cecarku karena Rika menghadangku di dekat pagar. Apa Emak sakit dan dibawa ke rumah sakit? Tapi kenapa ekspresi wanita hamil ini biasa saja?"Ayo, antar Rika ke toko Maem
"Kenapa rupanya kalau bros, hah?" seru Emak dan mencubit perutku. Kedua tangannya beraksi. Gak terlalu sakit sih, tapi aku harus bisa bersikap berlebihan agar Emak mengasihi sekaligus mengasihani anaknya yang malang ini. Aku memasang wajah kesakitan yang teramat dalam."Perempuan suka perhiasan, kan, Mak? Ini hadiah untuk Emak. Jangan lampiaskan kekesalan Emak pada suami dari menantu kesayanganmu ini!" seruku dan merogoh kantong. Sebuah kotak kecil berwarna merah kuperlihatkan dan mengambil isinya."Cincin ini terlihat menyedihkan saat di toko perhiasan. Sekarang, cincin ini terlihat indah setelah dipakai Emak. Dia tersenyum lebar, Mak," kelakarku. Perempuan yang tadinya naik tensi itu jadi semringah dan menoyor kepalaku dengan rasa sayang.Emak menaik-naikkan alisnya ke arah yang lain seolah membanggakan anaknya ini. Dulu, Emak memberikan cincinnya untuk kuberikan pada menantu
Aku menatap langit yang tiada mendung sama sekali. Sepertinya, doaku tidak diijabah oleh Yang Maha Kuasa. Apa aku bukan termasuk golongan orang yang teraniaya?Aku mengambil dua plastik yang Rika letakkan di dekat kakiku. Astaga! Aku bagai kuli panggul Mak Eda saja. Aku memandangi Emak untuk mengasihani anaknya yang malang ini. Namun, Emak malah tersenyum dan menepuk-nepuk bahuku seolah mentransfer kekuatan super.Tiada harapan lagi, aku harus mengiringi gadis tua yang juga menyebalkan itu. Mana ada sih orang yang mau godain. Udah keriput, cerewet pulak. Eh? Aku kok malah kayak lagi ngatain mertua Rika? Maafkan hamba ya, Allah!Setelah berpamitan, aku mengikuti Mak Eda yang berjalan duluan. Perempuan yang nampak muda kalau dilihat dari belakang itu ternyata berjalan dengan gesit. Aku sampai ngos-ngosan mengejarnya karena harus membawa dua plastik buah-buahan.A
"Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma
"Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m
Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam
"Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg
"Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T
"Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.
"Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes
Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara
Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb