Dua hari kemudian akhirnya facebook mengabulkan permintaan kami. Grup itu ditutup, dan dampaknya orang makin penasaran. Saatnya beraksi. Aku memerintahkan untuk membuka kembali komentar di situs perusahaan. Kubuat grup facebook baru, dan kutulis komentar secara anonymous untuk mengajak bergabung di grup baru tersebut. Setelah cukup banyak yang bergabung, komentar pun dihapus.
Aku mengikuti skema mereka yaitu menampilkan foto setiap setengah jam. Foto pertama yang kutampilkan mendapat ratusan view hanya dalam waktu beberapa menit. Demikian foto kedua dan ketiga. Setelah foto keempat jumlah view sudah turun. Demikian seterusnya sampai akhirnya foto-foto tersebut tidak lagi menarik.
Setelah dua hari, gosip di kantor pun mereda. Setiap kali ada perbincangan tentang foto-fotoku, komentar yang muncul adalah itu foto biasa. Apalagi obrolan dari karyawati yang fotonya
Jalan tol menuju Bandung di siang hari cukup sepi. Setelah melaju hampir setengah jam, kami sudah masuk tol cipularang. Aku menyetir mobil, sedangkan Mila menceritakan siapa diriku sebenarnya kepada Kang Asep."Ooo ternyata kamu beneran Si Boy toh. Dulu cuma pura-pura." Kata Kang Asep meledekku. Aku hanya tersenyum mendengarnya."Tidak sepenuhnya tepat kang," jawabku. "Waktu itu aku memang tidak memiliki apa-apa. Sekarang pun semua masih pemberian papa, termasuk jabatanku ini.""Tapi 'Aa pintar kok memimpin perusahaan. Semua karyawan sayang sama 'Aa." Mila ikut menimpali. Sepertinya dia keceplosan. Selain tidak menggunakan panggilan bapak, dia juga menggunakan kata sayang. Tak heran wajahnya jadi memerah."Mila juga sayang sama saya?" aku bertanya untuk meledeknya. Wajah
"Halo Mila." hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku tak tahu mau berkata apa lagi. Rasanya tidak ada kata yang bisa mengobati kesedihannya. Dia tidak menengok ke arahku, tapi ada butiran air mata yang menetes di pipinya. Akhirnya aku menggenggam tangannya dan perlahan mengecupnya. Dia tidak menolak. "Saya sangat menyesal Mila harus mengalami semua ini. Tapi jangan khawatir, mulai saat ini saya berjanji akan terus menjagamu." "Saya tidak bisa jalan 'A, saya tidak punya siapa-siapa. Saya harus gimana?" Mila berkata sambil terus memandang langit. Air matanya makin deras menetes di pipi. "Saya pernah tinggal di Geger Kalong. Banyak yang kondisinya seperti Mila, bahkan lebih parah. Saya yakin Mila bisa mengatasi kondisi ini. Untuk sementara Mila bisa tinggal di rumah Abah, na
Kantor imigrasi di hari minggu sangat berbeda dengan hari biasanya. Wajar saja karena hari minggu memang bukan hari kerja. Tapi aku dibawa oleh biro umroh untuk mengurus pasporku. Semua sudah diatur, katanya.Setelah urusan paspor selesai, aku masih harus mengurus visa umroh dan kartu vaksin. Ajaib sekali, semua sudah siap saat aku datang. Ini lebih cepat dibanding persiapanku untuk pergi ke Australia. Biro haji ini memang dapat diandalkan, pasti koneksinya ada di mana-mana.Yang terakhir adalah tiket. Ini adalah urusan yang paling mudah, bahkan aku boleh memilih maskapai yang kuinginkan. Aku tidak terlalu memikirkan merk, jadi kupilih saja yang jadwalnya paling dekat. Dan begitulah, senin pagi aku sudah berada di Jeddah. Di sana sudah ada yang menjemput untuk mengantarku ke tanah suci.Hotel tempat aku menginap dek
Esoknya sekitar jam 9 pagi Detektif Parkin mengabariku bahwa dia sudah menunggu di salah satu cafe dekat gedung kuliahku. Kebetulan sebentar lagi kuliah selesai. Atau jangan-jangan itu bukan kebetulan. Aku makin penasaran untuk melihatnya secara langsung. Saat kuliah selesai, aku segera pergi ke cafe itu. Detektif Parkin sudah menjelaskan posisi duduknya dan baju yang dikenakannya. Alangkah terkejutnya aku saat pertama melihatnya. Dia tidak seperti gambaran reserse yang kubayangkan. Tubuhnya kurus dan tidak tegap. Dia berdiri untuk menyambutku, dan ternyata dia lebih pendek dariku. Saat aku menyalaminya dia berkata. "Anda kelihatan terkejut. Maaf mengecewakan Anda jika saya tidak seperti hercules." Dia seperti bisa membaca pikiranku. Ternyata ini kelebihannya, wajar jika dia menjadi reserse yang handal.
Hari sudah menjelang sore. Biasanya di waktu ini, kampus sudah sepi. Wajar saja karena perkuliahan hanya sampai siang. Tapi kali ini ada yang berbeda. Masih banyak mahasiswa yang berkumpul di sini. Semuanya adalah mahasiswa tingkat akhir. Mereka berkumpul bukan karena ada kegiatan, tapi sedang menunggu pengumuman kelulusan. Aku adalah salah satu dari mereka.Tepat pukul empat sore, seorang petugas keluar dari dalam gedung administrasi. Dia membawa beberapa lembar kertas. Setelah kertas-kertas itu dipajang, papan pengumuman itu langsung diserbu. Karena malas berdesakan, aku hanya diam menunggu. Setelah agak sepi baru aku beranjak ke sana.Nama-nama mahasiswa yang lulus diurut berdasarkan abjad. Aku mencari namaku di deretan huruf A, karena yang kucari adalah nama Ahmad Mustofa bukan Galang. Setelah beberapa menit, akhirnya aku menemukannya. Nama Ahmad Must
Sabtu sore bagi mahasiswa adalah waktu yang menyenangkan. Kebanyakan mereka sedang berkumpul dengan teman-temannya lalu membahas kegiatan apa yang akan dilakukan nanti malam. Aku pun biasanya begitu, tapi tidak kali ini. Hari ini aku berada di ruang sidang. Di sebelahku ada mama, tapi papa duduk jauh dariku. Dia duduk di kursi pesakitan. Dia menjadi tersangka kasus percobaan pembunuhan. Di belakangnya duduk tunanganku, orang yang bertanggung jawab hingga papa ditangkap. Suasana ruang sidang hening karena hakim sedang membacakan keputusan. Semua yang hadir ingin mendengar dengan jelas apa keputusan hakim, tak terkecuali aku. "Memutuskan.... Bahwa tersangka terbukti bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan yang mengakibatkan kematian. Oleh karena itu dewan hakim memberikan hukuman dengan hukuman seumur hidup."
Selang beberapa menit, telepon kembali berdering. Kali ini pengacara papa yang ingin berbicara. Sepertinya dia ingin mengabarkan sesuatu, jadi dengan enggan kuterima panggilan telepon itu. "Halo." kataku singkat. "Selamat malam Nona Sisca. Kami ingin menginfokan bahwa penentuan lapas Tuan Sukoco sudah ditetapkan. Dia akan ditempatkan di Lapas Sukamiskin, di daerah Bandung." "Baik, terima kasih informasinya. Kapan papa akan dipindahkan ke sana?" tanyaku. "Rencananya beliau akan dipindahkan besok. Jika Anda ingin menjenguknya, Anda bisa datang lusa." Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi. Bandung tidaklah terlalu jauh, bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga jam. Seingatku Galang dan keluarganya tiap pekan pergi ke
Ruang kunjungan di LAPAS Sukamiskin didesain dengan baik. Setiap pengunjung bisa berbicara dengan tahanan tanpa merasa terganggu. Privasi sangat dijaga, bahkan petugas Lapas pun tidak ada yang standby di ruang kunjungan. Mereka menunggu di luar agar tahanan dan keluarganya bisa bebas berbicara. Aku tidak terkejut mendengar permintaan papa. Setelah apa yang Galang lakukan, pasti papa jadi sakit hati padanya. Dan aku tentu saja membalasnya dengan hal yang setimpal, hanya saja aku tak tahu caranya. "Bagaimana Sisca bisa membalaskan sakit hati papa? Apa yang harus Sisca lakukan?" "Mudah saja." jawab papa. "Anak itu sekarang menguasai perusahaan. Kau cukup mencari sekutu yang setia padamu, setelah itu kau ambil alih perusahaan itu lalu menyingkirkannya. Jika kamu berhasil, papa sudah cukup puas melihatnya kehilangan s
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi
Hana, Jakarta.Kamar rias pengantin adalah tempat yang sakral bagi mempelai wanita. Jangankan orang lain, bahkan mempelai pria pun tidak boleh memasukinya. Dan sebab itu sebagian besar wanita belum pernah berada di dalamnya. Termasuk aku, baru kali ini aku berada di kamar itu. Karena memang akulah sang mempelai wanita.Di luar sana, semua orang sibuk menyiapkan acara. Dimulai dari akad nikah, makan bersama keluarga, sampai acara resepsi. Pagi ini belum terlalu ramai karena memang hanya keluarga dan beberapa relasi dekat yang hadir. Tapi siang nanti, dua ribu undangan telah disebar dan biasanya mereka hadir membawa pasangan.Karena ayah sudah tiada, yang menjadi waliku adalah paman. Ketiga orang itu telah duduk di satu meja. Paman, Galang dan penghulu. Sebelum akad nikah, penghulu menjelaskan teknis acara. Agar suasana menjadi cair, penghulu itu mencoba bergurau."Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Pak Galang sudah pernah menikah?"Galang berpik
Mila, Bandung.Suasana kafe di salah satu sudut kota Bandung masih sepi. Sebenarnya kafe ini cukup banyak pelanggannya, tapi hari ini bukan akhir pekan dan waktu juga masih sore. Jadi wajar saat ini hanya ada aku, Galang dan dua orang pengunjung lain.Galang mengajak aku ke sini bukan tanpa alasan. Biasanya kami ke sini jika dia ingin mengobrol agak serius. Benar saja, setelah kami duduk dan memesan makanan Galang langsung mengutarakan maksudnya."Mila pasti sudah pernah mendengar bahwa aku bekerja sambil kuliah. Dan saat ini aku sudah lulus. Orang tuaku sudah menanyakan kapan aku akan menikah. Karena itu beberapa pekan lalu aku melamar Sisca." kata Galang membuka percakapan."Jadi, kapan kalian akan menikah?" Aku bertanya dengan suara serak saking gemetar menahan penasaran."Dia menolak lamaranku. Jadi bisa dikatakan kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Dan aku bebas memilih siapa saja untuk menjadi pendamping.""Saya rasa tidak
Hana, Jogjakarta.Kesibukan santri di akhir semester memang luar biasa. Selain mengikuti ujian, para santri juga harus menyetor hafalan yang menjadi target kami. Tidak heran jam tidur kami jadi jauh berkurang. Sering kali kami tidur setelah larut malam dan bangun sebelum ayam jantan berkokok.Bagi santri yang berlatar belakang pendidikan umum, kami harus berusaha lebih giat lagi. Selain karena kami harus mempelajari bahasa arab terlebih dahulu, jumlah hafalan kami juga kalah jauh dibanding santri lain. Akibatnya selama seminggu ini aku hanya tidur tiga jam sehari.Untunglah masa itu sudah selesai. Kini adalah masa liburan. Kebanyakan santri daerah pulang ke kotanya masing-masing. Tapi aku memutuskan untuk tetap di pesantren. Bisnis yang diwariskan ayah bisa dibilang sudah autopilot, jadi ibu tidak terlalu repot mengurusnya. Karena itu, ibu bebas jika ingin ke mana saja dan jadi sering menginap di tempatku.Berbeda dengan santri lain, aku tidak pe