Sebagai anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang tak akur dan setiap hari hanya ada pertengkaran dalam rumah tangga, Langit memiliki keraguan pada setiap hubungan percintaan yang ia miliki. Mama dan papanya yang sama-sama bekerja dan sukses tak membuat hubungan keduanya baik, justru malah semakin memanas. Papa yang seringkali dinas keluar dan menginap sampai beberapa malam membuat mamanya sering merasa kesepian karena hanya malam lah waktunya pulang ke rumah. Karenanya, mamanya juga berakhir ikut-ikutan jarang pulang ke rumah, menyisakan Gita dan Langit yang saling menghibur satu sama lain. Itu adalah awal mula drama berkepanjangan yang ada di keluarganya dan anehnya keduanya sama-sama tidak ingin melepaskan ikatan yang membelenggu mereka ini. Entah apa alasannya, mereka berusaha mempertahankan ikatan pernikahan padahal tidak ada lagi cinta di dalamnya.
Masa remaja Langit hanya berisi pelarian. Beruntung ada Gita yang terus berusaha menuntun Langit untuk tidak keluar dari jalur, sehingga ia bisa sampai sejauh ini. Kisah cinta Langit sendiri bukan kisah cinta yang mulus. Remaja itu dikaruniai wajah yang lumayan tampan untuk menarik perhatian para remaja perempuan di luaran. Dan untuk bergonta-ganti pasangan adalah cara yang paling mudah dilakukannya. Tapi, Langit memilih untuk menghindari itu semua. Ia memilih untuk memberi batas jelas untuk hubungan romansa. Karena meskipun ia kehilangan sebuah keluarga yang harmonis, di rumah, orang tuanya masih memberikan semua yang mereka butuhkan dan Langit sendiri masih diberikan cinta oleh ibu dan ayahnya.
“Dek, gimana kabarnya Tasya? Kayanya gua nggak pernah lihat dia lagi. Bahkan lo juga udah nggak pernah ngomongin dia lagi,” tanya Gita pada suatu hari. Gita yang masuk ke dalam kamar Langit langsung duduk di sebelah adiknya yang sedang tengkurap di ranjang. Saat itu, Langit masih sibuk dengan laptop dan rangkaian skripsinya. Ia sengaja pulang sebentar untuk mencari suasana baru dalam mengerjakan skripsi, dalihnya pada Gita. Tapi, Gita merasa ada yang mengganjal dari perilaku Langit yang lebih memilih untuk menyendiri di kamar. Bahkan ia yang biasanya berebut kulit ayam KFC dengan Gita mendadak menyerahkan kulit ayamnya dengan alasan sudah kenyang pada saat makan semalam. Sebagai kakak yang baik, wajar kalau Gita merasa perilaku Langit ini terlalu aneh. Maka dari itu ia mulai basa-basi dengan menanyakan kabar Tasya, pacar pertama Langit.
Bukannya menjawab, Langit malah langsung memeluk kakak perempuannya itu tanpa berkata. Gita tahu betul kalau Langit sedang memiliki masalah. Yang menjadi salah satu masalah Gita juga adalah Langit pernah berjanji tidak akan menangis lagi di depan Gita. Dan kini pemuda itu tengah menepati janjinya dan menahan tangisannya.
“Nangis aja nggak papa lo, Dek. Kalau ada masalah, luapin aja. Gua di sini nemenin lo. Gua nggak mau lo malah mendem semuanya gini,” ucap Gita lembut. Ia mengelus kepala adiknya dengan perlahan. Di dalam pelukan kakaknya itu, Langit menggeleng pelan.
“Nanti ya, Kak. Kalo gua udah ngerasa enakan, baru gua ceritain. Kalo sekarang masih belum bisa.”
Gita menghela napasnya perlahan. “Ya udah. Terserah gimana yang menurut lo terbaik. Jangan lupa kalo lo nggak sendiri. Gua ada di sini nemenin lo.”
Gita tak ingin memaksa Langit untuk bercerita. Karena apabila ia mau bercerita, ia akan langsung menceritakannya pada Gita. Seperti yang sudah-sudah.
Langit sudah melepaskan pelukannya. Gita kemudian beranjak dari kasur Langit untuk keluar dari kamarnya. Tak lama kemudian, ia masuk lagi dengan membawa sebuah novel yang ia ambil dari kamarnya. Bersampul warna biru dengan gambar jam di depannya.
“Nih, coba baca. Kali aja bisa nangis. Ini dari salah satu penulis yang gua kenal. Gua juga editornya.” Gita menyerahkan buku itu ke Langit. Langit menatap kakaknya ragu, kemudian ia mengambilnya dengan perlahan. Ia membolak-balikkan buku tersebut, kemudia membaca judul yang tertulis di sampulnya.
“Mungkin Waktu Yang Menjadi Obat. Ini novel, Kak?
Gita mengangguk. “Iya, itu novel. Kisahnya tentang seorang anak yang sedang mencari jati dirinya. Di sana dia bertemu dengan kehilangan, pertemuan, perpisahan, canda tawa, pokoknya bagus. Tapi emang lebih ke banyak sedihnya. Makanya gua rekomendasiin. Gua suka banget sama penggambarannya. Bahkan waktu gua baca ulang dari masa mau terbit sampe udah terbit gini, gua nggak pernah nggak nangis. Meskipun nggak kejer kaya waktu pertama kali baca.”
Langit membaca di bagian bawah sampul novelnya. Di sana ada tulisan ‘Oceana Biroe’, nama pena dari sang penulis. Kemudian membuka-buka sekilas dalamnya.
“Oke, nanti gua baca. Gua juga lagi mentok sama skripsi ini. Pusing, nggak bisa fokus.”
Gita kembali mengangguk. Kemudian menambahkan, “Nanti kalo udah selesai baca, lo kasih review ke gua. Nanti gua terusin ke penulisnya.”
“Oke. Gampang. Dah, sana keluar! Gua mau menyendiri lagi ini!” usir Langit ke kakaknya. Gita terkekeh. Ia mengelus kepala adiknya.
“Ya udah, gua keluar dulu. Jangan lupa makan siang. Tadi gua udah beli nasi padang. Keburu nggak enak nanti. Niatnya gua masuk juga sekalian manggil lo makan.”
“Boleh minta tolong bawa ke sini nggak, Kak?”
Gita tak menjawab apa pun. Ia langsung keluar dan kembali masuk dengan membawa sebungkus nasi padang di atas piring dengan dilengkapi sendok. Meskipun makan nasi padang paling nikmat pakai tangan, tapi kakak beradik ini lebih nyaman memakai sendok. Alasannya karena mereka malas cuci tangan.
“Nih. Kalau makan jangan di atas kasur tapi. Gua taro di atas meja aja. Lo ke sini kalo mau makan.”
Langit hanya mengangguk. Matanya sudah mulai fokus pada halaman pertama di novel yang ia baca. Fokusnya sudah mulai bermain ke dalam alur yang tersaji dari setiap kata. Tanpa disadari, ia sudah menutup lembar terakhir novel itu. Dengan air mata yang entah berapa kali keluar, dan kini, ditutup dengan tangisan sesenggukan. Sekalian menumpahkan semua kesedihannya yang sebenarnya sudah lama menumpuk di dada. Gita yang mendengar adiknya menangis dari luar kamar memilih untuk membiarkannya terlebih dahulu. Setidaknya sampai Langit sudah lebih baik. Nanti, saat pemuda itu sudah keluar kamar, ia akan membuatkan susu coklat hangat kesukaannya setiap merasa tidak baik-baik saja.
Benar saja. Tak lama kemudian Langit keluar dengan mata yang sembab. Gita yang sengaja duduk di ruang tamu untuk menanti Langit langsung beranjak ke dapur. Ia langsung membuat susu coklat hangat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, lalu diserahkan ke Langit yang sudah duduk di tempat Gita duduk tadi. Perempuan itu duduk di sebelah adiknya yang tengah menyesap susunya dengan perlahan. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Gita.
“Kak, boleh gua lihat penulisnya? Lo pasti punya fotonya, kan?”
“Kenapa emang?”
“Nggak papa. Gua penasaran aja. Soalnya karyanya bagus banget. Tulisannya cantik.”
Gita mengambil ponselnya yang tadi ia letakkan di meja. Langit sudah meminum susunya setengah, lalu ia letakkan di atas meja. Setelahnya, ia kembali menyender ke sang kakak
“Kan lo ada g****e. Kenapa nggak lihat g****e aja?” tanyanya heran.
“Nggak mau. Kalo ngeliat di g****e rasanya kaya seolah tak tersentuh. Vibesnya beda. Gua mau liat yang sama lo aja. Kan kapan lagi liat foto kakak sama orang terkenal? Kalo nggak kaya gitu, nanti gua nggak pernah ngeliat sebuah keajaiban itu.”
Gita mencubit perut adiknya. Langit mengaduh sembari tertawa tanpa mengangkat kepalanya. Ia masih bersandar di tubuh kakaknya,
Beberapa lama Gita menggulirkan layar dengan jarinya di album foto, akhirnya ia mengklik sebuah foto. Di sana ia dan Biru berpose peace dengan latar sebuah pantai. Rambut keduanya diacak-acak angin, tapi tak menjadikan hasil fotonya aneh. Justru malah semakin estetik dan indah.
“Kayanya lo sama dia deket kalo diliat dari foto, Kak.” Langit berceletuk.
“Yoi. Gua sama dia udah jadi sohib dari awal kita orang jadi partner. Dia anaknya asik. Makanya gua suka.”
“Kalo deket, kok nggak banyak foto kalian berdua? Malah scroll nya tadi sampe jauh banget. Malah banyakan foto lo sama Bang Dika.”
“Jadi sohib nggak harus banyak foto,” Gita menjeda seolah memikirkan sesuatu. Kemudian ia melanjutkan, “Terkadang lo kalo udah sama orang yang lo anggep sahabat, waktu kebersamaan itu bikin lo lupa untuk megang hape, apalagi foto-foto. Gua sama dia cuma foto kalau ke tempat baru, atau momen yang kiranya perlu diabadikan. Itu pun paling banyak sepuluh foto, sisanya bener-bener kita habisin buat seneng-seneng. Kadang kalo nggak kemana-mana, cuma berdua ngobrol, emang sesekali kita orang main hape. Tapi ya itu kalo udah habis topik atau capek ngobrol.”
Langit mangut-mangut. Benar-benar berbeda dengan yang ia alami selama ini.
“Kok nggak pernah dipost?” tanya Langit lagi.
“Dia nggak terlalu suka dipost. Ya tapi gua kadang ngepost kok kalo bareng-bareng. Lo aja yang nggak merhatiin.”
“Di akun Biru?”
Gita menggeleng. “Biru nggak pernah upload fotonya sendiri. Kadang kalo upload di akun pribadi yang diprivasi sama dia. Yang akun publik cuma foto novel-novelnya aja.”
Langit manggut-manggut. Pantas saja sempat ia mencari i*******m Biru dan hanya ada novelnya saja. Bahkan di g****e saja itu Langit tidak tahu foto Biru dari tahun berapa yang dipajang.
“Kak, kayanya aku jatuh cinta sama seseorang.”
Gita yang terkejut mendengar pengakuan adiknya langsung menatapnya heran.
“Sama siapa? Bukannya lo masih sama Tasya?”
“Tasya memang masihh menyisakan bagian, Kak. Tapi luka yang dia buat terlalu besar sampe ngehapus semuanya. Sekarang gua kayanya jatuh cinta sama Biru.”
“Masih kecil nggak usah cinta-cintaan dulu. Lagian Biru lebih tua dari lo. Mana mau dia sama berondong.”
Langit langsung menegakkan tubuhnya. Ia menggenggam tangan kakaknya erat.
“Dengar, kakakku tersayang. Perempuan mana yang nggak klepek-klepek sama pesonaku? Pokoknya aku pasti bisa bikin dia jatuh cinta sama aku.” Langit mengatakannya dengan percaya diri. Gita yang tahu bagaimana Biru hanya bisa tersenyum kecil.
“Yah, good luck aja, deh! Lagian dibilang lo masih kecil, jangan mikir cinta-cintaan. Setelah lulus, baru lo pikirin gimana deketin Biru. Mungkin kalo lo udah lulus dia bakal terkesan? Siapa tahu, kan. Semangat, Bocah!”
“Kakaaaakkk!!!”
“Biii, besok keluar, yuk!” ajak Langit dari seberang telepon. Biru yang masih menyicil pekerjaannya mengapit ponselnya dengan bahu. Kedua kakinya ia naikkan ke atas kursi dengan salah satu kaki menekuk ke arah depan, satunya bertekuk seperti sedang bersila“Besok kapan?” tanya Biru. Tangan kanannya meraih potongan brownies yang ada di atas piringnya di sebelah laptop. Mulutnya mengunyah brownies cokelat yang lembut nan lumer itu. Lidahnya seolah dimanjakan dengan kenikmatan yang menyebar di seluruh mulutnya.“Malem Minggu. Gua pengen jalan-jalan sama lo. Dah lama juga nggak jalan-jalan di kota kelahiran.”Biru berpikir sejenak. Ia kemudian membuka whatsapp di laptopnya dan membuka salah satu chat yang ada.“Sayangnya malem Minggu gua udah ada janji keluar.” Langit terdiam sebentar seolah ia sedang berpikir. “Sama Kak Gita?” tanyanya.Biru menggeleng. Tapi ia sadar kalau Langit tak akan tahu gelengannya itu akhirnya menjawab, “Nggak. Sama Alfa.”“Alfa siapa?”“Masa lupa. Pas a
Kedekatan Biru dan Alfa semakin berlanjut. Hampir setiap hari mereka berdua saling mengirim pesan, baik chat maupun telepon. Seperti hari ini. Alfa tiba-tiba mengajaknya mencari makan malam. Pilihan mereka akhirnya jatuh pada sebuah rumah makan yang buka belum lama. Mereka berniat saling berbincang sembari menikmati makan malam mereka.“Gimana sama novel kamu sekarang?” tanya Alfa dengan nada yang cukup manis masuk telinga.“Alhamdulillah lancar. Soalnya beberapa juga udah tinggal antre nerbitnya selain yang memang udah dikontrakkan seriesnya.”Alfa mengangguk. Ia menyeruput lemon tea yang ada di depannya. Suasana rumah makan ini cukup ramai meskipun tidak yang sampai penuh sesak. Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar di penjuru rumah makan, pun dengan meja keduanya.“Genre kesukaanmu apa emang?” Alfa meletakkan kembali lemon teanya di atas meja.“Aku paling suka fantasi, thriller, tragedy, hmm, apa lagi, ya? Ah, horor juga suka. Kamu paling suka baca apa?” tanya
Langit berjalan dengan cepat masuk ke dalam rumah setelah turun dari motor dengan buru-buru, melepas sandalnya sambil berlari. Bahkan helm yang masih di kepala ia lepas sambil berlari dan diletakkannya begitu saja di atas rak sepatu. Ia langsung masuk dan mendapati kakaknya sedang berdiri di sudut ruangan dan Biru yang sedang duduk dengan raut wajah yang pahit. Tangan biru sibuk pada ponselnya, sementara Gita yang berdiri sedang berbicara dengan seseorang di seberang ponselnya. “Bii, are you oke?” tanya Langit yang sebenarnya jawabannya dengan jelas ia ketahui. Biru tidak baik-baik saja. Benar-benar tidak baik-baik saja. Langit langsung duduk di sebelah Biru tanpa menunggu jawaban Biru karena ia tahu pertanyaannya tak perlu dijawab. Ia juga mengeluarkan ponselnya, menghubungi sosok yang mungkin bisa ia mintai tolong. Gita yang sudah selesai dengan urusannya langsung kembali mendekati Biru dan duduk di sebelah gadis itu. Kini Biru sedang diapit oleh dua orang kakak beradik. “Biru, bo
“Gua tahu di sini gua yang salah. Tapi gua nggak mau minta maaf. Karena percuma, toh lo nggak bakal maafin gua.” Rahang Biru mengeras. Tangannya menggenggam tangan Gita dan Langit di bawah meja dengan sangat keras. Mereka berdua tidak berbicara apa-apa, begitu pun Biru. Keduanya masih terlalu speechless dengan ungkapan Alfa dan khawatir kalau mereka bertiga membuka suara saat ini, belum sempat lelaki itu menjelaskan semuanya sudah habis karena dihajar mereka bertiga akibat emosi yang lepas kendali. Melihat tidak ada tanggapan dari mereka bertiga, Alfa akhirnya melanjutkan ucapannya. “Kenalin, ini Pak Hilmi, pengacara pribadi gua. Niat kami datang ke sini buat kasih kompensasi atas karyanya Biru yang sekarang udah beralih nama. Gua masih punya perasaan, jadi gua masih mau bayar lo buat ide sama tulisan lo. Jadi seenggaknya lo nggak rugi banget.” “Wah, manusiawi sekali. Kalo emang lo masih ngerasa lo manusia, lo nggak bakal mungkin nyuri karyanya Biru! Sialan emang. Siapa, sih, di be
Seorang laki-laki paruh baya memegang gesper dengan wajah yang merah padam. Aroma alkohol menguar dari mulutnya, dengan mata yang memerah dan omongan yang meracau. Beberapa kali tangannya menyabetkan gesper itu ke tubuh seorang perempuan yang sudah lemah. Ia tak mampu lagi menangis. Di sudut ruangan, seorang anak perempuan dengan tangan dan tubuh penuh lebam yang bajunya baru saja dibuka karena habis mengobati luka di punggung tengah menggenggam tangannya kuat-kuat. Air matanya mengalir menetes dari sudut mata yang sebenarnya diusahakan untuk tidak keluar. Suara isakan kecil terdengar sebagai upayanya menahan tangis.“Wanita jalang! Di mana kau sembunyikan uangmu, ha? Kalo suamimu ini minta uang, kamu kasih! Bukannya malah disembunyiin, lalu berbohong! Sudah berani sekarang bohong, ya?”Lagi. Lelaki itu menyabet ke istrinya yang entah sudah berapa kali ia mendaratkan sabuk kulit itu ke kulit sang istri dengan ayunan yang kuat. Dapat dipastikan kalau di punggungnya akan tersisa lukan
“Kalo gua boleh tahu, lo takut badai malem-malem karena mimpi lo ini?”Biru menggeleng. “Sayangnya bukan. Itu cuma alasan gua nggak bisa nangis aja.”Gita terdiam. Ia tidak ingin bertanya lebih jauh kecuali Biru sendiri yang menjawabnya. Biru menerawang ke depan dengan pandangan yang kosong. Ia kembali menyesap teh chamomile di gelas, lalu menarik napasnya panjang. Biru sedikit bangun dari kasur untuk meletakkan gelasnya di atas meja. Kemudian, ia duduk bersila, menghadap Gita lekat.“Langit ajak ke sini sekalian aja.” Gita mengangguk. Ia memanggil Langit dengan sedikit mengeraskan suaranya. “Langit, sini dulu!”Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Langit masuk dengan mata sayunya. Sepertinya ia tadi tertidur di sofa depan yang tak jauh dari kamar Biru. Rumah Biru memiliki satu lantai dengan dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Jelas kamar mandi luar kamar. Sebuah ruang tamu yang sekalian bergabung dengan ruang keluarga. Sebuah rumah yang cocok untuk orang yang t
Sedih itu cuma untuk sebentar. Bagi Biru, tangisan cukup habiskan di satu malam, lalu besoknya seperti tidak terjadi apa-apa. Pada pagi harinya, Biru langsung kembali seperti semula dan itu menghilangkan rasa khawatir Gita. Gadis itu juga dengan santai menghitung uangnya, membagi-baginya dalam beberapa bagian, lalu kembali menyatukannya tanpa rasa takut akan dicuri atau ditilep orang. Biru memasukkan uangnya dalam brankas yang memang ia punya di lemarinya setelah sebelumnya menyisihkan beberapa lembar untuk ia gunakan.“Langit, Gita!” panggil Biru dari kamar. Gita dan Langit yang masih memakan nasi uduknya langsung masuk ke dalam kamar Biru. Tak perlu khawatir telurnya akan dibawa kucing karena dari awal pintu rumahnya sudah Gita tutup lagi setelah membeli nasi uduk di penjual yang tak jauh dari rumah Biru. Nasi uduk langganan mereka untuk dimakan sarapan. Milik Biru juga masih terbungkus rapi di meja makan karena memang gadis itu sejak tadi sibuk di kamar. Setelah acara tangis-tangi
Langit sebenarnya bukanlah seorang yang penakut. Semasa dia kuliah, dia juga santai menempati kamar kosnya sendirian. Dia tidak takut meskipun itu mati lampu dan ia sendirian di kosan itu. Hanya karena kos-kosannya tidak jauh dari kuburan, yang untungnya terletak di pinggir jalan. Langit tidak takut. Bahkan ia harus pulang malam-malam sendirian, ia masih berani meskipun merasa was-was, tapi itu semua perasaan was-was kepada manusia dibanding entitas lain. Akan tetapi, beda cerita dengan menonton film horor. Apa pun jenisnya. Entah itu horor yang hantu dan setan, atau pun horor karena makhluk lain seperti zombie atau monster yang berdarah-darah, maka Langit akan dengan senang hati menolaknya. Karena, sebenarnya ia percaya pada sosok entitas lain. Ia percaya mereka ada, mereka yang berada di alam lain. Ia mempercayainya. Akan tetapi, ia tidak takut pada mereka karena ia tidak bisa melihatnya secara langsung. Beda cerita jika ia melihatnya dengan langsung sekalipun itu hanya rekayasa. Ala
Jarum jam baru menunjukkan pukul 8 pagi. Langit yang merasa lapar kemudian sarapan di atas meja makan dengan makanan yang dimasak kakaknya. Berhubung ini hari Minggu, Gita tidak berangkat kerja, jadi ia masih santai di rumah. Kalau Dika kebetulan ada perjalanan bisnis sejak kemarin dan baru akan kembali nanti malam. Sementara Langit baru akan keluar pukul sepuluh nanti. Pemuda itu makan dengan lahap makanan yang dimasakkan sang kakak. Ia makan sendiri karena Gita kebetulan sudah sarapan tadi pagi karena merasa lapar.“Lo udah jadian sama Biru, Ngit?” tanya Gita tiba-tiba. Langit yang saat itu sedang sarapan tersedak mendengarkan tembakan Gita yang begitu.“Pake aba-aba kenapa, Kak. Kaget gua mendadak ditembak gini,” sahut Langit setelah ia menelan yang sedang ia kunyah.Gita terkekeh. Ia duduk di sebelah adiknya dan menghirup segelas teh hijau yang ia seduh tadi. Ia kemudian meletakkan tehnya di atas meja, lalu menumpukan dagunya dengan tangan seraya menatap Langit dengan senyum penuh
Biru menonton film di depannya dengan serius. Sesekali ia menyuapkan popcorn ke mulutnya dan mengunyahnya dengan perlahan. Di momen seru, ia terlihat menahan napasnya dan segera tertawa sembari bertepuk tangan saat karakter favoritnya berhasil menambah poin. Bahkan Biru juga terlihat kecewa saat karakter favoritnya gagal mencetak poin dan justru karakter lawan yang menambah poin mereka. Semua itu terekam jelas di mata Langit. Dibandingkan dengan menatap layar di depan, Langit lebih tertarik dengan ekspresi Biru yang begitu lepas. Ia juga memperhatikan bagaimana mulut Biru yang penuh berisi popcorn terlihat seperti tupai yang menyimpan biji di pipinya.Film selesai tanpa Langit sadari. Terlihat wajah Biru yang cerah sembari bersenandung kecil. Gadis itu juga menatap beberapa cosplayer karakter ‘Tsukishima’ dengan intens.“Mau aku fotoin sama Tsuki?” tanya Langit yang mulai mengenal setiap karakter. Biru menggeleng.“Nggak usah. Gua udah tua buat ikut euphoria anak remaja,” jawab Biru.“
Sore itu, Biru dan Langit berniat untuk berkencan. Kencan pertama mereka setelah saling membuka hati untuk lebih menerima satu sama lain. Mungkin, lebih kepada Biru yang menerima kehadiran Langit.Karena anime kesukaannya ada yang difilmkan, Biru dengan semangat mengajak Langit untuk menonton dan menjadi salah satu tujuan mereka dalam kencan mala mini.“Lo pernah nonton anime ini?” tanya Biru saat mereka sedang menunggu teater dibuka. Mereka berdua memilih menunggu sembari menikmati makanan di foodcourt di luar bioskop karena waktu tayangnya masih agak lama.“Hmm, jujur aja, aku kurang ngikutin anime, Bii. Jadi ya nggak tahu banyak selain anime tentang voli,” jawabnya. Biru yang sedang memakan rice bowl-nya menyunggingkan senyum. Ia mengangguk-angguk dan mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang ia letakkan di atas meja. Biru kemudian meletakkannya terbalik, memperlihatkan sebuah gambar karakter anime berambut kuning berkacamata dan juga headphone yang digantung di lehernya.“Ini hus
Hidup ini terkadang berjalan dengan sangat cepat. Saking cepatnya, Biru merasa baru kemarin dia mulai puasa, tapi tiba-tiba saja takbir bergema di seluruh penjuru. Ramadan kali ini tidak ada yang spesial. Ibadah, kerja, main, sesekali bukber. Hanya itu yang dapat Biru lakukan. Bahkan, intensitas pertemuannya dengan Langit bisa dibilang semakin berkurang selama Ramadan ini. Setelah acara berbagi kemarin, mereka sempat berbuka bersama beberapa kali, setelahnya benar-benar tidak bertemu satu sama lain. Alasan pertama, Biru dan Langit sama-sama sibuk. Alasan kedua, Biru menganggap kalau ia juga perlu tahu bagaimana kebenaran dari perasaannya. Apakah ia benar-benar mencintai Langit atau hanya sekadar kagum pada pemuda itu. Karenanya Biru memilih menjaga jarak sebisa mungkin.Beberapa musola mengadakan takbir keliling dengan arak-arakan yang kebetulan lewat di depan rumah Biru. Gadis itu duduk di depan pintu sembari menyaksikan ramainya arak-arakan tersebut. Ia memperhatikan bagaimana seman
“Git, mau ikut, nggak?” tanya Biru melalui pesan singkat di aplikasi hijaunya. Tak lama menunggu, pesan balasan masuk dan segera dibuka oleh Biru.“Apaan?”“Singkat banget, sih,” cibir Biru.Ia kembali mengetikkan jarinya ke keyboard ponsel dengan kecepatan yang sangat cepat, lalu mengetikkan ikon pesawat untuk mengirim pesan.“Aku mau bagi-bagi makanan untuk buka puasa di jalanan. Mau ikut?”Bahkan dengan cepatnya ketikan Biru di ponselnya tidak membuatnya salah ketik alias saltik. Mungkin karena gadis itu benar-benar telah khatam dengan huruf dan keyboard.“Oh, bilang dong dari tadi.”“Gua ikut.”“Mau masak, atau beli aja?”“Kalo masak gua dateng ke tempat lo. Kalo beli, gua kirim duitnya sekarang. Nanti kita pakai mobil gua.”Biru menghela napas membaca pesan yang diketikkan Gita. Gadis itu terkadang mengirim pesan sepotong-sepotong seperti ini. Sebagai orang yang mudah merasa greget, Biru jelas gemas dengan kelakuan kawannya ini. Bahkan ia sampai tidak sadar kalau dirinya sendiri
Sesuai dengan kesepakatan, Biru dan Langit telah siap untuk pulang di keesokan harinya, pada pagi hari di puasa hari pertama mereka. Layaknya seorang ibu yang akan ditinggal anaknya kembali merantau, Bunda membawakan banyak sekali makanan untuk mereka berdua. Alasannya untuk berbuka nanti dan sahur keesokannya. Opor ayam yang dimasak bunda kemarin sudah habis untuk makan kemarin. Gantinya, bunda memasakkan Biru ayam semur dan juga beberapa kue lain untuk dibawa. Diam-diam, Biru merasa tidak enak karena hingga kini ia belum berhasil menjebol tembok untuk bundanya agar bisa benar-benar ia anggap ibu.“Biru berangkat sekarang ya, Bu, Pak. Nggak enak kalau kelamaan izinnya,” pamit Biru sembari menyalimi bunda dan ayah.“Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Sayang banget kamu sebentar doang di sininya.” Bunda menepuk-nepuk kepala Biru. Gadis itu tersenyum. Setelah Biru, Langit ikut menyalimi mereka berdua. Arakata yang ikut berdiri di sebelah bunda dan ayahnya juga turut salim guna melepas kebera
Panasnya kota Jakarta lumayan membuat peluh menetes deras. Beruntungnya level panas ini tidak jauh beda dengan di Bandar Lampung, alhasil Biru dan Langit tidak terlalu merasa gerah. Kedua manusia ini sedang berboncengan ke arah rumah Bundanya, Bu Puji.Biru dan Langit sebelumnya hendak mampir untuk mencari makan dulu. Tapi, saat ia berkata akan mampir ke rumah Bunda setelah makan siang, Bunda malah melarangnya makan di luar. Bunda bilang, beliau akan memasakkan untuk Biru dan Langit. Kalau keduanya makan di luar, dikhawatirkan makanan yang akan dimasak Bunda ini tidak dimakan. Alhasil Biru dan Langit membeli beberapa makanan ringan dan buah-buahan untuk buah tangan. Biru juga sempat membeli seporsi siomay karena sudah terasa lapar. Toh gadis itu memiliki nafsu makan yang besar. Seporsi siomay tidak membuatnya kenyang sama sekali.Sesampainya di rumah Bunda, Bu Puji dan Arakata menyambut keduanya di depan rumah. Pak Abdi sendiri masih kerja dan akan pulang nanti sore. Hari ini kebetula
Pernikahan Gita dan Dika hanya berselang seminggu dari hari puasa ditentukan. Sore itu, Biru melamun memandangi laptopnya dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Sidang isbat akan dilakukan petang ini, yang berarti penentuan apakah besok sudah melakukan puasa atau belum adalah malam nanti. Gadis itu merasa rindu ingin mengunjungi makam ibunya sebelum puasa. Entah mengapa melihat pernikahan Gita dan Dika kemarin membuatnya tiba-tiba merindukan ibunya. Padahal Biru tahu benar kalau dalam pernikahan Gita kemarin juga tanpa ada orang tuanya. Tak ada pemicu untuk membuatnya ingat orang tuanya.Beberapa waktu ia berpikir, akhirnya gadis itu memutuskan sesuatu dengan impulsif. “Pokoknya kalau besok puasa, gua ke Jakarta kalau mau lebaran. Tapi, kalau puasanya lusa, malam ini juga gua gas ke Jakarta buat ke makam ibu,” gumam gadis itu.Dengan ponsel yang memutar siaran ulang dari laporan-laporan terkait pengamatan hilal, Biru menggerakkan jari-jarinya untuk mengetik susunan kata demi kata d
Acara yang sudah selesai seharusnya tidak mendapatkan tamu lagi, terlebih tamu yang tidak diinginkan sekalipun undangan dikirim untuk nama mereka. Langit dan Gita menegang saat melihat sosok orang yang paling tidak ingin mereka lihat telah berdiri di depan pintu seraya mengucap salam.“Ngapain kalian ke sini?” ketus Langit. Ia bahkan tidak ingin menyembunyikan raut wajah ketidaksukaannya.“Gua ke sini karena kakak gua nikah. Emang salah, ya? Kan gua juga udah dapat undangannya,” jawab orang itu santai.Langit hampir meledak kembali kalau saja tangan kakaknya tidak segera meraih lengan pemuda itu. Biru sendiri hanya menonton karena ia tidak tahu ada masalah apa antara kakak beradik itu dengan orang yang baru saja tiba. Bahkan ia tidak tahu, siapa gerangan orang yang baru saja sampai dan membuat rusuh tersebut.Gita yang sudah berganti baju menjadi dress yang lebih sederhana dengan riasan yang masih menempel di wajahnya berjalan menghampiri seorang anak laki-laki yang mungkin baru berus