Kami bertiga membicarakan kebodohan Sally di kantin tadi siang ketika berjalan limbung ke rumah Cindy karena kami saling merangkul.
Aku tak tahu mengapa seseorang seperti Sally diperbolehkan sekolah di sini dan bukannya sekolah khusus.
Maksudku tidak jahat, tapi ada kalanya kemampuan Sally tidak cukup.
Apalagi orang-orang bodoh semacam Brittany dan Lacey senang mempermainkan orang lain. Aku tak paham mengapa Brian berpacaran dengan cewek semacam itu.
"Hei, Cindy," sapa suara yang akhir-akhir ini begitu familiar di telingaku. Nanda menatapku sebelum menambahkan, "Hei juga, Cath."
Aku tidak melepaskan pandanganku darinya. Memerhatikan Nanda duduk di sofa dengan laptop dan buku berhamburan di meja persis di hadapannya.
Yang membuatku tersenyum adalah senyum di balik kacamatanya.
Itu pertama kali aku melihatnya dengan kacamata.
Lebih manis.
Sebelum aku sempat membalas, Lithia lebih dulu menginterupsi.
"Namaku Lithia, Nan. Atau Lith, terserah saja. Tapi jangan pernah melupakan keberadaanku."
Nanda tertawa.
"Maaf, Lith. Lain kali, aku tak akan melupakannya."
Kami melepas sepatu dengan tergesa, sebenarnya aku yang terlalu tergesa sehingga agak kesulitan. Cindy lebih dulu selesai.
"Tidak perlu merengek, Lith. Bukankah Brian cukup mengingat keberadaanmu hingga dia selalu berpacaran di dekatmu."
"Jangan lupakan dia yang tak pernah menganggapku ada," tambahku tak lupa ikut mengejek.
Lithia memerah, tapi tidak menghiraukan kami. Dia berdiri mendekat pada Cindy.
"Sepertinya kau sudah cukup akrab dengan Cath, Nan."
Kali ini gantian aku yang memerah, aku selalu lupa untuk tidak pernah bilang orang yang kusuka pada mereka.
Lagi pula, kenapa hari ini sepatuku jadi sulit dilepas.
"Sepertinya kau memberitahuku kedatanganmu bukan hanya sekedar karena ingin bertemu denganku." Cindy juga ikut mengejekku.
Oh, tentu saja mereka melakukannya.
"Mungkin saja," balas Nanda tersenyum.
Membuatku merah padam.
Untung saja sepatuku sudah lepas—sepatu terkutuk.
Nanda mengarahkan wajahnya kembali pada meja di hadapannya.
"Aku ingin meminta bantuanmu dengan kertas-kertas ini."
Cindy menarik Lithia berjalan meninggalkanku.
"Aku dan Lith benci menyentuh buku. Kau dan Cath saja."
Sebelum aku sadar maksud Cindy, Nanda lebih dulu mendesah dan menanyakanku untuk membantunya.
Aku berhasil menjaga mimik wajahku ketika sadar tujuan Cindy, tersenyum tipis.
"Selama tidak ada yang mendeskripsikan darah, zombi atau semacamnya."
"Tidak akan."
Kakiku melangkah mendekatinya dan duduk di seberangnya. Memerhatikan lembar-lembar kertas yang diletakkan di hadapanku.
"Yang perlu kau lakukan hanyalah membacanya, dan menandai tingkah laku tidak wajar orang-orang di dalamnya."
Aku mengangguk, mengambil pulpen yang tergeletak di atas meja juga kertas-kertas yang disodorkan padaku.
Mataku menangkap sosok Nanda yang sedang serius mengetik, sesekali menoleh buku di sampingnya.
Aku tak tahu seseorang yang serius juga terlihat manis.
"Apa ini semacam mengidentifikasi penyakit apa yang diderita orang-orang ini?"
"Yup. Kurang lebih.”
Nanda mengangkat wajahnya, mata kami bertemu.
"Kau tau, Cath. Kau tak perlu melakukannya, jika tidak ingin. Aku akan meminta Cindy membantuku lagi nanti."
Aku memutuskan pandangan kami dan melihat tulisan di kertas. Ternyata lumayan banyak.
"Aku yang memutuskan akan tetap membantu atau tidak."
Pandanganku fokus pada tulisannya, setidaknya bahasanya tidak berbelit-belit. Penggambaran isinya pun mudah dipahami.
"Lagian, sepertinya bacaan ini didesain seperti novel," tambahku, kembali mengangkat wajahku.
Mendapati Nanda yang masih menatapku bimbang, jadi aku kembali berbicara.
"Jika aku lelah membacanya, pasti aku bilang."
"Baiklah. Thanks, Cath."
Nanda tersenyum lalu menundukkan wajahnya kembali menatap laptop.
***
Kami tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Bacaan ini menarik untuk dibaca, aku tidak keberatan. Kebanyakan berkaitan dengan halusinasi. Aku juga tahu beberapa penyakit mental jadi aku menuliskan nama penyakit yang kutahu. Setidaknya membantu Nanda sedikit agar tidak perlu membuang tenaga membaca semua buku ini. Saking asyiknya membaca, aku hampir lupa bahwa Nanda duduk di seberangku. Jika bukan karena Lithia berbicara, aku sudah berada di dimensi lain. "Cath, ibuku menyuruh pulang." Aku mengangkat tanganku, melihat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh lebih sedikit. Lengank
"Kau bertahan pada temanmu sejak awal." Aku menyipitkan mata, menatapnya curiga. "Dari mana kau tahu?" "Cindy. Dia membicarakan segala hal padaku, termasuk kau dan Lith." "Karena mereka selalu menarikku bersama mereka," ungkapku. Aku akhirnya berhasil menenangkan diri, otakku kembali bekerja dengan normal dan kemampuan observasiku juga kembali seperti biasanya. "Tau-tau, itu menjadi kebiasaan." Aku mengamati sekitar. Rumah-rumah dengan cahaya, jalanan yang gelap. Aku hafal daerah ini. Sebentar lagi kami akan sampai.
Keesokan paginya, aku berangkat lebih cepat dari biasanya. Ibu dan adikku berada di meja makan ketika aku keluar rumah. Aku tidak pernah suka bertatap muka dengan ibu, yang ada kami selalu bertengkar. Aku tak ingin membuat keributan di pagi buta, tidak di depan adikku yang nantinya malah akan memperparah masalah yang sepele itu. Kami bertiga ini tidak seharusnya tinggal dalam satu rumah, sangat berbahaya. Aku tidak memakai apapun untuk ke sekolah, rumahku tidak sejauh Cindy atau pun Lithia. Cukup berjalan kaki. Ketika sampai aku hanya meletakkan tasku di kelas dan berjalan menuju kafetaria. Sarapan itu penting. Terutama hari ini. Kelas pertama adalah kalkulus, aku tidak ingin terlihat bodoh di depan Mrs. Nessie. Dia sangat sulit dibuat senang dan aku tidak ingin mengulang pelajaran ini. Roti isilah yang terpilih sebagai sarapanku hari ini, belum termasuk roti bakar dan susu hangat. Aku berusaha menjaga tingkah lakuku ketika Brian dan Britt memasuki kafetaria. Aku sada
"Kudengar kau menolak cowok yang disukai Cindy." James mencegat samping mejaku setelah kelas Mrs. Nessie selesai. Aku hanya diam duduk di kursi, sama sekali tak mengindahkannya. Gosip itu ternyata memang cepat tersebar dan menyampaikan fakta yang salah. Maksudku, jika orang lain tidak tahu tentu mereka juga berpikir yang Cindy maksud adalah cowok yang disukainya. Tentu saja Cindy menyukai Nanda, tapi dalam artian yang berbeda. James menggeser kursi untuk duduk di dekat mejaku. "Aku tau kau memang agak kurang ajar. Tapi yang ini kau terlalu kurang ajar." Aku menatapnya datar. Memerhatikan setiap sudut wajahnya, tak mengerti mengapa aku pernah menyukai cowok ini. Dia memang tampan, tapi dia tidak setampan Nanda. "Coba saja kalau kau berani mengadu tentang Lith padaku nanti." James tersenyum padaku, dia kelihatan agak konyol. "Maaf, aku salah omong." Lanjutnya, tak lupa menghapus senyum bodoh itu dari wajahnya. "Tapi benar kau menolak cowok yang disukai Cindy?" Aku
"Apa-apaan, sialan?!" Aku mengumpat sambil memberontak melepaskan diri. Tapi James lebih kuat jadi aku tetap terseret bersamanya. Dia membawaku ke restoran cepat saji di seberang sekolah. "Aku traktir," katanya. Kemudian seenak jidat memesan makanan untukku. "Aku tidak mau makan." Sampai kapan kau mau melakukan ini .... "Kau belum makan siang," katanya tak mengindahkanku. Dia menyeretku duduk dan membawa makanan ke meja. Kalau dipikir-pikir, sudah lama aku tidak makan di sini. Walau hanya di seberang jalan. Biasanya aku memilih makan di kafetaria atau di rumah Cindy pesan antar. "Sudah kubilang aku tak mau berteman denganmu." James menyodorkan hotdog padaku tapi aku tak mengambilnya. Lalu dia memaksaku, seperti Cindy. Dia selalu memaksaku. "Aku tahu kau tidak akan makan sampai besok pagi di kafetaria, jadi aku akan menemanimu makan siang ini. Makan, Cath." Jadi aku menggigit hotdog-nya sekali. "Cindy sudah cerita padaku," katanya lagi. "Dia memintaku memastikan k
Sebuah sentuhan membuatku menoleh. Petugas perpustakaan menyodorkan tasku, juga tas yang tidak kukenal. "Ini tasmu dan tasnya." Aku tidak berkata apa-apa selain menerima kedua tas itu dengan tangan gemetar. Aku ikut masuk ke dalam ambulans. Archer dibaringkan di kasur dan petugas ambulans sibuk memasang alat pernapasan, juga menghentikan pendarahannya. Tanpa sadar aku menggenggam tangannya dengan tanganku yang masih gemetar. Archer masih dalam keadaan sadar, karena aku merasakan tangannya yang kaget akibat genggamanku. "Kau akan baik-baik saja," kataku pelan. Aku bisa merasakan genggamannya, walau begitu lemah. Pikiranku tidak fokus, tapi kuusahakan agar tidak tampak di wajahku. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan. Sangat banyak. Aku bahkan tak peduli alasan perasaan aneh ini membawaku pada Archer. Aku tak bisa peduli dalam keadaan ini. Aku menemani Archer di ruang darurat. Menjawab pertanyaan dokter yang bisa kujawab. Aku juga mencoba menghubungi
Lithia mengangkat panggilanku dan memberikan sapaan dengan pertanyaan tanpa habis. Aku tak menjawab satu pun pertanyaannya. "Pinjamkan aku baju, Lith. Tolong antarkan ke rumah sakit." 'Rumah sakit? Apa yang kau lakukan di sana?' "Akan kujelaskan di sini," kataku lalu memutuskan panggilan. Aku kembali memerhatikan tanganku yang berdarah. Ini darah Archer. "Kau berhutang cerita padaku," kataku, menatap Archer yang menutup matanya. Aku tahu dia tidak benar-benar tidur. Aku berjalan menuju toilet untuk membersihkan darahnya dariku. Aku tidak ingin membuat Lithia heboh karena penampilanku. Tidak terlalu lama hingga Lithia datang bersama pakaian bersih. "Apa yang terjadi?" tanyanya berusaha untuk tidak histeris. "Kau berdarah." Aku tersenyum. "Bukan darahku." Aku mengganti seragamku dengan kaos navi polos dan rok putih selutut. Aku ingin protes tentang rok ini, tapi aku mengurungkannya. Setidaknya diriku yang sekarang sudah layak dilihat. "Apa yang terjadi?" tanya Lithi
Aku kembali ke ruangan Archer. Aku telah mengecek wajahku di cermin sebelum kembali, setidaknya aku tidak terlihat seperti telah menangis. Dia masih terlelap di kasur, membuatku merasa lega. Aku berjalan perlahan agar tidak membangunkannya. Lalu duduk di sampingnya. Jemariku perlahan memeluk jari kelingkingnya, takut membuatnya terbangun. Aku memerhatikannya untuk beberapa saat, kemudian tersadar jika badanku juga lelah. Aku merebahkan kepalaku di sisi kasurnya yang kosong, jemariku masih menggenggam kelingkingnya. Tak lama hingga aku ikut terlelap. Saat aku bangun, kurasakan ada kain yang menutupiku.
Yang memenuhi pandanganku hanyalah baju biru polos yang menutupi punggung bidang Brian. Aku bisa mendengar mereka berdebat dengan kalimat memutar-mutar karena Brian yang terus-terusan mengalihkan topik. Bukan berarti Archer tak paham maksud Brian, mereka berteman bertahun-tahun, mustahil jika Archer tak mengenal Brian dengan baik.“Kita tak memerlukan itu.”“Kau tak pernah dengar tentang darling, Arsh?”“Tidak ada makhluk yang omnipoten, menyingkirlah.”“Sepertinya—”Brian berhenti bicara saat aku mengetuk punggungnya dengan telunjukku yang tak berdarah beberapa kali. Dia memalingkan wajahnya dari Archer dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu.“Tak perlu melakukan itu.”Brian mengangkat sebelah alis sesaat, jika aku tak sedang mengamatinya aku akan kelewatan detail itu. Dia diam beberapa sebelum bergeser dari hadapanku sambil berujar, “Kau yang bilang.” Aku tak lagi menanggapinya karena sibuk mengelap mulutku yang berdarah dengan ujung lengan bajuku. Entah kenapa bau amis yan
“Apa kau pikir kami akan mengikuti keinginanmu begitu saja?” “…Tidak.” Tentu saja tidak, dia pikir aku gila? Aku tak pernah sekali pun punya niat begitu! Yang terakhir kuingat tentang mereka itu aku hanya kelahi dari mereka dan mereka menjauhiku! …Atau begitu adanya dari ingatanku. Brian menimpali sambil melirikku. “Dia bahkan berani mengambinghitamkan Uriel.” Aku ingin membantah tapi instingku berteriak keras untuk tidak melakukannya, jadi aku menutup mulutku rapat-rapat bahkan ketika Archer mengalihkan topik dan mulai membahas tentang Pseudotopia. “Kau sama sekali tak mau cerita?” Aku mau… Tidak! Aku tak mau. Meskipun aku tahu mereka tahu apa yang terjadi secara garis besar, mendengarnya langsung dariku tetap saja… Aku tak mau mereka tahu. Beberapa helai rambutku tertiup angin dan nyaris menyakiti mataku, untung saja aku segera merapikannya sambil menatap Archer lurus. Ini pertama kalinya aku benar-benar melihat wajahnya semenjak dari rumah sakit beberapa bulan lal
Aku duduk tegak seperti murid teladan. Sambil menjelaskan apa-apa saja yang kuingat pada dua orang yang terdiam semenjak aku mengutarakan kecurigaan yang sebelumnya kubahas dengan Tahoka. Mereka tahu sekarang separah apa masalah yang sedang aku hadapi—bukan, kita hadapi. “…Karena itu, meski pun ingatanku kacau balau. Jangan beritahu aku, jangan koreksi ingatanku yang salah. Sepertinya ‘aku’ berpikir kemampuanku tak boleh dipakai, setidaknya sampai Ragnarök berakhir.” “Kau pikir mungkin ada seseorang yang memakai visi untuk menebak semua tindakanmu.” Aku mengangguk setuju pada komentar Brian ketika Archer sekali lagi menusukku dengan pertanyaan tajamnya yang sama sekali tak kusangka.
“Kenapa malah kau yang marah?” Aku tertawa, berpikir bahwa pria bersisik di hadapanku saat ini terlihat sangat menggemaskan. Ah, membuatku teringat pada Cindy… Jadinya aku tertawa sambil merengut. “Aku tak suka, hng … valkeri.” Tahoka menatapku curiga. “Kenapa ekspresimu, hng … begitu?” “...Kau terlihat menakutkan saat marah.” “Tentu saja, hng … keturunan hidra harus, hng … terlihat menakutkan!” Tapi kau terlihat menggemaskan? Nyaris saja aku keceplosan mengatakannya melihat mata
Tahoka menepuk meja pelan sambil mengunyah kue kering yang saat ini tinggal setengah. “Ayahku, hng … bilang dunia berwujud, hng … segalanya. Aku tak paham, hng … apa, hng … kau paham?” Aku menggumam mengulang perkataan Tahoka. “Berwujud segalanya…” Mataku berkilat saat bertanya, “Bagaimana orang tuamu bisa tersesat masuk Pseudotopia?” “Katanya, hng … mencari pintu masuk, hng … Shangri-La.” “Pintu masuk? Bukannya satu-satunya cara menyebrang ke Shangri-La itu melalui gerbang dimensi di Lemuria?” “Bukan itu, Cath. Hng … Tapi pintu yang, hng … mengabaikan aturan, hng … hukum Shangri-La.” “Pintu seperti itu benaran ada?” Aku tak percaya. Mengabaikan aturan hukum dunia itu sama saja seperti pencipta semesta dan pencipta semesta itu adalah mitos. Itu sudah seperti rahasia umum. Aku tak paham kenapa orang tua Tahoka senang sekali bepergian dan meninggalkan anak kesayangannya jadi tukang pungut mayat begini. Yang membuatku tak bisa berkata-kata, Tahoka menyukai kegiatannya i
Tahoka merengut. Dia mengamatiku dari atas sampai ke bawah sebelum bertanya yang terdengar seperti menuduh.“Apa yang kau lakukan, hng … hingga tubuhmu, hng … kacau begini?”Aku mengangkat bahu. Dia masih sama, kebiasaannya membuang napas nyaring di tengah-tengah kalimat. Kupikir dia sudah berhenti melakukan itu, ternyata tidak. “Kita bicara di bahteramu saja.”Tahoka membawaku ke kapalnya sambil mengomel. “Berapa kali kubilang, hng … namanya Vila, hng … bukan bahtera.”Aku pura-pura tak dengar, mengikuti di belakangnya sambil mengamati kapal yang sekarang sudah berubah eksterior lagi. Lupakan vila, melihat kapal yang besarnya keterlaluan ini, lebih baik namanya istana saja sekalian. Lihatlah kilauan perak di dindingnya.Saat pertama kali aku masuk ke dalam kapal ini, kupikir interiornya akan serupa dengan kapal pesiar mewah yang sering kulihat dalam iklan. Tapi kenyataan itu kejam.Selain ruang pribadinya yang memakan tempat sekitar seperempat kapal, sisanya merupakan tempat
[BAB V] BERALUR DEMI MENELUSURI RUANG_______________“Hei, Juffrouw! Apa yang kau lakukan di sini? Ini kawasan terlarang.”Seseorang yang kuyakini adalah satpam menepuk bahuku sambil menunjuk papan tanda peringatan. Aku yang sedari tadi fokus mencari fluktuasi gelombang gerbang sambil mengeluh dalam hati menoleh pada satpam itu. Aku tak suka diganggu jika sedang fokus.“Aku tak melihatnya… Kunci kendaraanku terjatuh di sekitar sini. Meneer bisa membantu saya mencarinya juga supaya saya bisa keluar secepatnya?”Kemampuan bicara omong kosong sepertinya ada di dalam darahku. Tapi aku tak peduli. Aku merasakan gerbang yang kucari ada di sekitar sini, hanya tak tahu posisi tepatnya di mana.Dan aku sedang tergesa-gesa karena Brian mungkin saja menemukanku. Tadi saja aku keluar dari rumah sakit diam-diam dan berjalan agak lari menuju stasiun pusat.“Benarkah? Apa ada gantungannya? Deskripsikan seperti apa.” Tapi intuisiku mengatakan yang sedang mencariku bukan Brian. Mau tak mau aku
Lagi, aku melamun tanpa memikirkan apa-apa setelah Nanda pergi dengan alasan menemui pasiennya. Entah berapa lama, saat ponselku berbunyi barulah aku berhenti melamun.Telepon dari nomor tak dikenal.Aku mengangkatnya sambil bersandar ke sandaran kasur. “Ini Cath.”‘Juff Catherine Brunner?’“Benar.”‘Apa Juffrouw terhalang sesuatu sehingga tak bisa ke sekolah?’“Ah…” Aku baru ingat itu. “Maaf, saya lupa mengabari sekolah.”‘Tidak apa-apa. Juffrouw bisa mengabari secara formal maksimal seminggu setelah hari yang tak bisa Juffrrouw hadiri. Telepon ini hanya pengingat secara informal saja.’“Begitu ya… Saya saat ini sedang berada di rumah sakit. Berkas pembuktiannya akan saya kirimkan ke sekolah dalam beberapa jam.”Aku mematikan telepon beberapa saat setelah itu. Intinya aku perlu memberitahu ketika tak bisa ke sekolah agar tak mempengaruhi rapor akhirku.Sekolah yang aneh… Itulah pendapat jujurku karena mendapat telepon seperti ini hanya karena sehari bolos. Aku tak tahu apa itu
Catatan untuk pembaca sebelum memutuskan membaca cerita ini: Akhirnya 30k kata tercapai juga… Karena itu aku buat catatan ini sebagai panduan dalam bentuk QnA untuk pembaca, cerita macam apa sih “Cara Berhenti Menyukai Gebetan dalam 1 Bulan” (CBMGSB) ini. _______________ Q: Kenapa judulnya CBMGSB padahal sampai bab 40an lebih ML-nya aja masih belum ketahuan?! A: Aku gak bisa kasih tau ‘kenapa’ karena itu spoiler di chapter mendatang tapi CBMGSB itu dikutip dari plot yang akan datang yang aku gak yakin kalian masih sanggup nunggunya karena romansanya baru mulai muncul di chapter … sangat jauh. Jadi kalian yang mau baca cerita ini karena tertarik romansa ringan, mikir-mikir dulu deh. Q: Ini kenapa tiap mau menyentuh konflik cerita, MC-nya malah pindah dan ganti konflik lagi? Cerita macam apa ini?! A: Gimana ya ngejelasinnya… Anggap aja cerita yang biasa kalian baca itu kaya garis lurus dengan dua titik, awal dan akhir. Dari awal perkenalan atau langsung konflik lalu bergerak menuju