Setelah Predi pulang tadinya aku hendak menenangkan ibu terlebih dahulu, meredakan tangisannya serta menceritakan kembali detail ceritanya.
Aku tidak tahu bagaimana versi Abay menceritakan masalah ini pada ibu. Setahuku, Abay pasti menceritakan versi dirinya sendiri yaitu mengatakan bahwa dirinya lah yang tersakiti.
Abay tidak tahu bagaimana sakitnya hatiku saat ditinggalkan oleh dirinya dan dia lebih memilih pergi bersama Tasya. Jadi pasti dia tidak menceritakan pada ibu bagaimana sakitnya aku.
Aku takut ibu marah dan menganggap aku yang egois. Maka dari itu, aku akan berusaha menjelaskan segala perinciannya. Aku tidak tahu ibu akan percaya pada siapa, tapi tidak pernah ada yang salah dengan yang namanya mencoba.
"Bu?" Ujarku lirih sambil memegang bahunya.
"Hmm? Oh, ibu belum shalat. Ibu shalat dulu ya."
Baru saja aku duduk didekat ibu, ia sudah beranjak dan masuk kekamar dengan alasan
"Kenapa Deb?"Aku hampir saja menganggap yang berbicara itu adalah Abay, tapi ternyata itu adalah Predi.Predi masih setia menggantikan profesi Abay yakni mengantar dan menjemputku untuk pergi kesekolah dengan mobilnya dan tanpa dibayar.Sebelumnya aku sudah pernah mengatakan kepadanya bahwa aku tidak mempunyai uang untuk membayarnya dan akan lebih baik kalau aku naik angkot saja. Tapi Predi mengatakan bahwa itu bukanlah masalah dan ia masih tetap ingin dan akan mengantarku kesekolah meski tidak dibayar.Lagipula, kostan Predi tidak terlalu jauh dari rumah ku, jadi sekalian saja. Ditambah lagi karena Predi masih saudaraku.Ah, aku hampir lupa akan satu hal. Aku hampir lupa bahwa Predi adalah saudara sekaligus guruku. Tapi aku malah memperlakukannya seperti teman yang biasa. Harusnya aku lebih sopan dari itu. Tapi Predi sendiri sih yang selalu menolak enggan di perlakukan formal olehku."Ngakpap
Aku tidak sepenuhnya memperhatikan pelajaran yang duberikan oleh bu Nita. Aku malah sibuk melamun, menggambar dan sesekali melihat ke arah Abay.Abay juga tampaknya sama sepertiku. Ia tampak seperti gusar dan gelisah. Matanya juga tidak fokus pada bu Nita. Sesekali tangannya bergerak kesana kemari menuliskan sesuatu. Pasti Abay sama denganku, yakni menggambar.Berbeda dengan Tasya yang dari tadi fokus memperhatikan.Ada yang aneh dari Tasya, senyumnya itu tidak pernah pudar. Aku selalu berpikir, apa ia tidak lelah dan pegal? Kalau aku sudah pasti pegal terus tersenyum seperti itu sepanjang hari. Atau mungkin hal tersebut disebabkan karena wajah Tasya yang memang berseri sehingga membuat dirinya seperti tersenyum?Dua jam sudah berlalu, pelajaran Matematika yang diajarkan oleh bu Nita sudah usai. Ini saatnya kami menyerbu kantin. Sebenarnya, aku tidak terlalu lapar karena tadi aku sarapan banyak masakan ibu. Aku me
Aku tidak akan berhasil menyusul Ina jika Ina tidak memghentikan langkahnya sendiri.Jujur,lari Ina sangat kencang. Mungkin karena badannya yang kurus, jadi ia tidak memiliki beban berat saat berlari.Ina berhenti tepat di koridor depan madding. Ia memegangi lututnya karena kelelahan. Nafasnya juga terengah-engah."Ina." Aku menepuk pundaknya pelan. Tapi Ina tidak terkejut, mungkin ia sudah tahu akan kehadiranku.Ina beralih menatapku dan aku terkejut melihat mukanya. Ina menangis, matanya bahkan langsung merah, keringat nya sudah bercampur dengan air mata.Saat itu juga, saat aku masih menatapnya, Ina langsung ambruk dipelukanku. Setelah ia memeluk ku, Ina kembali menangis dan lebih parah dari sebelumnya.Aku tidak bertanya apa alasan Ina menangis, aku sudah tahu apa penyebabnya. Apalagi kalau bukan perkataan Abay ta
Setelah puas menangis, menjambak rambut dan mengeluarkan segala keluh kesahnya kini akhirnya Ina tidur terlelap di kamarku.Aku tidak ikut tertidur dan lebih memilih meninggalkannya. Ina pasti lelah, jadi aku biarkan saja dia sendiri dan berharap semoga ia mendapatkan ketenangan.Hari sudah mulai sore dan ibu sebentar lagi akan pulang. Sekolah ku juga pasti sudah bubar. Setelah ini aku pasti akan mendapat kabar buruk yaitu dicap kabur dari sekolah.Tapi itu bukan apa-apa. Ada yang lebih buruk, yaitu pandangan dan perlakuan anak-anak pada Ina. Aku juga takut mereka menjadi jauh dari Ina atau bahkan memperlakukan Ina dengan buruk dan memusuhi Ina.Bagaimana caranya menghadapi mereka? Bagaimana rasanya dijauhi oleh banyak orang karena sebuah kesalahan masa lalu yang tidak pernah kita inginkan untuk terjadi? Pasti sakit sekali.Aku memutuskan untuk duduk dikursi kayu diluar dan menunggu kedatangan ibu. Se
Sore telah berlalu dan malam telah tiba. Menanti untuk dinikmati sampai matahari esok pagi menjelang datang.Predi sudah pergi tadi sore setelah menjelaskan berbagai hal dan menyeruput habis teh manis yang kusuguhkan.Ina juga sudah bangun dari tidurnya dan bahkan kini ia sudah mandi dan sudah kembali segar. Ina memang anak yang kuat dan tegar bahkan mungkin lebih tegar dariku.Kata Ina, kehidupanlah yang membuatnya menjadi setegar itu.Jika tidak tegar, maka penderitaan dan kesedihan akan menguasainya sehingga membuatnya kesusahan untuk merasakan arti kebahagiaan.Ina juga berkata bahwa ia harus menjadi berani agar tidak ada yang memperlemahnya, yang membullynya maksudnya.Memang benar, untuk mendapatkan kebahagiaan, kita harus melupakan kesedihan.Bagi Ina, kehidupan hanyalah hari ini dan nanti. Tidak ada masa lalu. Sayangnya, Abay sudah berhasil membawa masa lalu Ina ke masa kininya dan membuat Ina kembali mengenang masa-masa sedih
Setelah kejadian semalam, aku semakin benci dan bahkan jijik kepada Abay. Menurutku, hal tersebut adalah hal paling memalukan yang pernah terjadi antara aku dan Abay.Selain tidak punya malu, Abay juga sepertinya tidak merasa bersalah sama sekali.Abay tahu bahwa Ina ada disini,dirumahku, tapi ia tidak bergegas pergi, padahal Ina jelas-jelas tidak menginginkan kehadiran Abay, buktinya ia langsung masuk kamar dan tidak keluar-keluar lagi sampai Abay pergi.Aku tidak habis pikir apa yang Abay pikirkan dan apa yang akan ia lakukan malam tadi. Yang jelas, aku tidak menyukainya. Begitupun juga ibu. Setelah sesaat Abay pergi, ibu makan dengan muka yang sedikit murung. Bahkan sesekali beliau menarik nafas berat.Sepertinya organ-organ tubuh Abay sudah rusak saat ia mengenal dan bertemu Tasya lalu menjauh dariku. Hatinya menjadi hitam, urat malu nya sudah putus, dan tubuhnya sudah seperti robot yang bisa digunakan o
Pas sekali. Setelah kami selesai menyantap sarapan, terdengar suara deru mobil Predi.Alih-alih menyalakan klakson, Predi justru turun dari mobil dan menjemputku dengan masuk kedalam rumah.Tapi aku tahu bahwa ia memang sengaja turun karena ingin bersalaman dengan ibu terlebih dahulu. Tidak sopan menurutnya kalau main pergi begitu saja sekalipun aku, anaknya yang dibawa."Kalau ibu tidak mau bekerja. Mendingan ibu tidak usah bekerja, biar aku yang menelefon tante Juwita dan bilang kalau ibu sedang tidak enak badan." Ujarku. Aku masih mempertahankan pendapatku agar ibu tidak bekerja dulu di rumah Abay. Meski tadi ibu sudah mengatakan bahwa dirinya sanggup dan kuat.Ibu masih terlihat kebingungan memilih diantara harus bekerja ke rumah Abay atau sebaiknya dirumah saja setelah aku kembali memaksanya.Seperti yang aku perkirakan sebelumnya, ibu memang pastinya sakit hati kalau mengetahui kelakuan Abay yang seperti ini, Abay
Kami berhenti disekolah dengan memasang muka yang kebingungan seperti orang yang salah jalan.Ina, ia tampak geram sesekali tersenyum sendiri seolah memiliki sebuah rencana yang enggan diberitahukan kepada kami. Maksudku aku dan Predi.Predi, Predi terlihat tidak fokus menyetir. Ia seperti memikirkan sesuatu untuk membantuku membongkar identitas Tasya yang tidak jelas itu.Dan aku sendiri, alih-alih memikirkan soal Tasya. Aku malah memikirkan soal Predi, Ina dan juga Abay.Dalam hidupku, aku tidak pernah berpikir akan memiliki sahabat seperti mereka berdua yakni Predi dan Ina. Apalagi Ina, dia padahal masih memiliki masalah sendiri. Tapi dengan begitu antusias ia ingin membantuku menyelesaikan masalahku dan dengan suka rela ingin membuat Abay kembali menjadi milikku. Maksudku kembali menjadi temanku.Predi, padahal kami sudah lama tidak bertemu. Sekalipun kami berdua adalah saudara tak dekat, tapi hubungan kekeluargaan kami tida
Aku kembali pulang ke rumah dengan diantar Max. Ia benar-benar baik. Baik di depan Ibu nya maupun di belakanh Ibu nya, ia selalu murah senyum dan seseoali mengajak ku berbicara, tidak ada kecanggungan diantara kami berdua."Gak usah repot-reoit nganterin, gue bisa pulang naik ojek." Aku menghentikan langkahku sesaat untuk sekedar menolak tawaran Max, aku hanya takut merepotkan dirinya."Gakpapa. Gue yang bawa lo kesini maka gue juga yang harus bawa lo pulang.""Gakpapa kok. Mungkin lo mau nemenin tante Puji aja?" Tanyaku padanya."Gakpapa, Mamah lagi istirahat. Gue mau nganterin lo aja."Sebuah keputusan yang tidak bagus untuk dibantah. Karena itu akhirnya aku menyetujui usulnya untuk mengantarkanku pulang karena ia sendiri yang mau dan merasa tidak direpotkan.Kami tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, hanya sesekali saja Max mengajak ku berbicara."Leyka?" Tanyanya dengan setengah berteriak."Ya?' Jawabku."K
"Bay?""Hmm?""Cuek gitu.""Masalah?""Ya nggak sih."Dari tadi aku terus memperhatikan Abay makan tapi ia sama sekali tidak memperhatikanku hingga aku jera sendiri."Gue cuman mau ngomong nanti siang jangan ke rumah."Setelah berkata begitu, barulah ia menghadapku dan menghentikan aktivitasnya memakan gehu."Kenapa?" Tanyanya dengan alis yang mulai meruncing."Gue mau pergi sama Max.""Kemana?""Rumah sakit.""Oh."Tidak hanya kata saja yang dingin, ia juga ternyata enyah dari hadapanku beserta mangkok bakso yang menjadi menu makan siangnya.Sejauh ini aku masih belum nengerti pada tingkah aneh mereka berdua. Maksudku Predi dan Abay.Disaat aku sedang fokus memikirkan apa yang menimpa Abay dan Predi, orang yang menurut Ina penyebab kebakaran ini terjadi datang. Ya, dia adalah Max.Tanpa izin lagi, dia duduk disampingku dengan membawa dua mangkok mie.Kini sem
"Wihh pake parfum banyak banget gitu." Ibu datang dan langsung mengkritik ku yang memang menggunakan parfum hampir setengah botol."Iya hehe." Aku tidak ada kata lain selain cengengsan."Yang pria kemarin itu siapa Ley?"Aku menghentikan aktivitas menata diriku dan mencoba mengingat siapa pria yang Ibu maksud."Ohh yang itu, Leyka ingat. Namanya Max bu, temen baru Leyka."Aku dan Max sudah berjanji tidak akan memberitahukan pasal hubungan palsu kami pada Ibu. Bukan apa-apa, aku takut Ibu tidak setuju kalau kami berbohong mengenai hubungan kami, sementara kalau aku mengatakan bahwa aku pacar nyata Max aku takut Ibu malah menyuruh Abay untuk menyelidiki Max lebih jauh karena kami belum saling mengenal dalam jangka waktu lama.Maka dari itu ada baiknya jika aku hanya diam saja dan mengatakan bahwa Max hanya sekedar berteman denganku. Tidak lebih dan mungkin tidak akan pernah lebih."Ohh. Anak nya sopan yah, Ibu suka."Prasangka ku
Pagi-pagi sekali Ibu sudah membangunkanku lebih pagi dari biasanya. Kulirik jam dinding dimana waktu masih menunjukan jam 7 pagi hari. Ini asalah hari sabtu atau tepatnya hari libur. Setelah selewai shalat shubuh tadi, aku kembali merebahkan diri diatas kasur dengan tubuh dirungkupi selimut tebal yang membantuku memberikan kehangatan."Ada apa sih, Bu?" Tanyaku dengan mata yang masih tertutup dan nyawa setengah sadar."Bangun dulu tuh ada temen nya."Bukannya bangun, aku semakin merapatkan tubuhku dan mempererat pelukanku pada guling kala mendengar nama 'teman' disebut. Teman mana pula yang datang sepagi ini di hari libur."Paling Abay kan? Suruh pulang aja bu, semalam Leyka gadang masih mau tidur.""Oh yaudah."Ibu pergi setelah gagal membangunkanku, selimut yang tadi sempat tersibak kembali kutarik untuk melingdungi diriku dari dinginnya udara pagi.Baru juga aku kembali terlelap dalam mimpi, suara Ibu sudah terdengar ny
"Lo kenapa sih Deb?"Abay menghentikan langkahku ketika kami hendak pergi ke kantin."Apanya yang kenapa?" Tanyaku dengan kening yang mulai mengerut."Kayak orang lagi banyak masalah tapi berusaha disembunyiin gitu."Aku menatap Abay tidak percaya, mataku bulat sempurna. Aku tidak menyangka bahwa Abay ternyata mengetahui wajah asli dibalik topeng yang sedang ku pakai ini.Aku salah, aku salah ketika aku berpikir bahwa berpura-pura bahagia itu ternyata mudah. Ternyata salah, salah besar dan itu sangat susah.Tidak perduli seberapa kencang aku tertawa, selebar apa aku tersenyum, sesibuk apa pekerjaan yang kulakukan masalah tetaplah masalah yang senantiasa muncul kapan saja dan dimana saja lalu sulit untuk disembunyikan begitu saja."Whoa ya enggak dong! Gak bisa bedain orang yang lagi bahagia sama orang yang lagi sedih?" Meski sudah ketahuan, aku masih berusaha untuk terus beralibi."Bisa. Bisa banget bedain orang yang senyumnya
"Hallo guys."Impianku mendapatkan pria dan cinta yang kuinginkan tidak terwujud setidaknya aku tetap bahagia.Aku menghampiri Ina, Daffa, Abay yang saat ini sedang duduk di satu kursi di kantin sana."Heboh banget lu, pake guys guy segalanya." Tukas Ina, ia memang sewot kalau aku sewot."Woiya dong. Kalau orang lagi happy kan heboh."ujarku.Tanpa dipersilahkan, aku langsung duduk dengan begitu anggun dan mengibaskan rambut ku sehingga terbang ke belakang."Tuh rambut lu terbang, awas gak balik lagi." Ujar Daffa, sama nyinyirnya dengan Ina."Iya dong. Rambut gue terbang gara-gara hati gue terbang." Ujar ku sambil cengengesan dan tersenyum sangat lebar.Bagaimana? Langkah awal ku berpura-pura hebat kan? Orang mana yang saat ini tahu bahwa aku sedang sedih? Tidak ada kan?"Bu Susum, gehu 10, nasi goreng satu piring pake acar 3 kantong terus risol 10 sambal nya jangan lupa sesendok ya terus bakso 3!"Aku memesa
Pertanyaan Abay barusan seperti mesin waktu yang dapat menghentikan waktu untuk sesaat.Kami diam mematung. Ada yang melihat Abay, melihatku dan juga melihat Predi.Aku sendiri tidak habis pikir. Maksudku, jika memang benar ciri-ciri nya mirip denganku, haruskah Abay menanyakannya sekarang? Kita memiliki waktu yang banyak untuk bersama saat di luar sekolah nanti. Abay bisa mengatakan wakru twrsebut.Kecuali ada sesuatu yang ia maksud dari pertanyaannya itu."Kenapa diam? Pertanyaannya cukup sulit ya?" Tanya Abay lagi dengan bertambah lantang."Ekhem. Maksud Anda Debi yang mana? Siapa? Ada begitu banyak nama Debi di muka bumi ini." Tanya Predi."Nama lengkapnya adalah Leyka Mutiara Anatasya, nama panggilannya Debi. Gadis 17 tahun yang kini sedang duduk di samping saya."Mata Abay tertuju padaku, begitupun mataku. Aku masih menatapnya tidak percaya."Oh itu haha. Bagaimana Anda bisa mengira itu dia?" Tanya Predi sambil sala
"Debi?!" Tanpa sadar, ternyata Abay sudah memanggilku sedari tadi. Aku terlalu sibuk melamun hingga tidak sadar akan seruannya."Eh iya?" Ujarku gelagapan."Kenapa sih? Kok ngelamun mulu kayak nya?"Aku tersenyum, lalu dengan lantang aku nengatakan."Bay, kita udahan aja." Ujarku seperti sedang memutuskan seorang pacar."Udahan apa nya? Kan belum nyampe. Lo kebelet, terus mau berhenti di jalan?" Aku tahu bahwa Abay akan salah tangkap."Eh enggak deh."Tidak. Meski aku akan menyudahi oengorbanan dan perjuangan ku sebagai seseorang yang akan membahagiakan Abay, aku tidak boleh memberitahu nya.Sebagaimana keadaan yang memberitahu ku, aku juga akan membiarkan keadaan yang memberitahu perubahan ku.Perlahan tapi pasti, Abay pasti akan menyadari perubahan yang terjadi pada diriku. Perubahan diriku yang mulai menjauhinya.Meski aku akan berhenti mencintainya, bukan berarti aku bisa menyakitinya. Dengan menga
Aku menata diriku, mengenakan baju seragam sekolah dan memasukan buku-buku yang akan digunakan untuk hari ini. Sebelum beranjak pergi, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa hari ini aku harus bahagia. Tidak boleh ada kesedihan apapun, tidak boleh menangis. Tidak boleh terluka karena Abay. Aku bisa mendapatkan kebahagiaan yang tidak hanya bisa diberikan oleh pria. Lewat teman, aku juga bisa bahagia. *** "Pagi Deb." Pagi-pagi sekali Abay sudah datang menjemputku. Aku tidak menyangka bahwa dirinya yang akan datang, kupikir akan Predi yang datang. Tapi tidak masalah. Siapa yang datang lebih awal, maka ia yang pergi denganku. Yang terpenting aku bisa sampai disekolah. "Bareng gue yuk." Ajaknya padaku. Aku mengangguk, tidak ingin ada penolakan pagi ini. Abay rupanya belum selesai dengan sepeda motornya, ia masih menggunakan itu. Mungkin dirinya nyaman. "Deb?" "Hmm?" "Maaf." Gumamny