Fandra menggendong Vana untuk membawanya ke kamar. Dari ballroom, menaiki anak tangga yang tak sedikit, melintasi ruang dan lorong, dari ballroom ke gedung selatan itu cukup jauh jaraknya tapi Fandra tampak santai saja seolah dia tak sedang membopong tubuh Vana yang sebenarnya berat.Vana sendiri masih diam, tangannya melingkari leher Fandra yang pandangannya lurus ke depan. Kedekatan itu membuat Vana menahan napasnya, apalagi ketika dia mendapati kesempurnaan pahatan wajah Fandra yang rupawan. Garis rahangnya terlihat begitu tegas bila di lihat dekat seperti itu, kelopak mata dan bulunya membuat tangan Vana kembali mengepal, gatal sekali ingin menyentuh mata itu yang sorotnya sesekali menunjukan kekosongan.“Kau harus bernapas,” kata Fandra tiba- tiba sambil melirik Vana di gendongannya. Dia cukup menundukan wajah.“Ya? Ah!” Vana salah tingkah dibuatnya dan mulai mengambil napasnya.Wangi maskulin dari Fandra menyeruak ke hidungnya membuat Vana terbatuk tapi itu otomatis membuatnya
Beberapa saat di posisi itu. Fandra membalas pelukan Vana, mencengkram pinggang gadis itu lembut. Tangan Vana masih bergerak di punggungnya mengusap dengan lembut penuh perasaan menenangkan pria itu.Setelah merasa sudah cukup, kedua tangan Fandra bergerak menjauhkan tubuh Vana darinya kemudian meraih kedua tangan gadis itu.“Terima kasih,” ucapnya pelan tanpa menatap wajah gadis itu.Vana sendiri tidak mengatakan apa pun, perhatiannya tertuju pada wajah Fandra yang tertekuk, dia merasa masih ada yang disimpan Fandra tapi dia tak akan mendesak pria itu untuk mengatakannya. Vana ingat dengan janjinya kalau akan berusaha membuat Fandra membuka hatinya tapi dia tak akan menjaminnya sebab bila diperhatikan, pria itu bukanlah seseorang yang akan dengan mudah membuka hati setelah terluka.“Kau lelah,” kata Vana masih menatap wajah Fandra di remangnya cahaya senja.Tangan Fandra terangkat untuk menyentuh pipinya dan mengarahkan pandangan pada gadis itu.“Aku baik-baik saja. Kau istirahatlah,
Apa yang baru Vana ketahui itu membuatnya termenung sambil berendam di air hangat. Pikirannya berkelana mencari percakapan yang mungkin mengarah pada alasan mengapa kekasih Fandra tidak di sini, dan mengapa nenek ingin Vana menjadi tunangan Fandra alih-alih bersama kekasihnya.Menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Vana tidak tahu mengapa dia begitu serius memikirkannya padahal dia di sana bukan untuk peduli akan kehidupan atau masa lalu Fandra, tapi dia di sana untuk menepati beberapa janji yang pernah dia buat, salah satunya adalah atas janjinya pada Kakek Alatas.“Huft! Apa peduliku coba? Udahlah. Itu urusannya,” kata Vana pada dirinya sendiri lalu dia menenggelamkan kepalanya di bak.Kilasan tentang sikap aneh Fandra dari mulai pagi dan sore setelah pulang kerja bahkan beberapa saat lalu sebelum Vana masuk ke kamar mandi, kilasan itu terulang dalam benaknya membuat Vana memunculkan kembali kepalanya ke permukaan dan megap-megap lalu mengusap wajahnya perlahan.“Ini sunggu
Hening. Tidak ada yang bicara dan Fandra kembali sibuk dengan kaki Vana membalutnya perlahan.“Sebenarnya, sudah tidak terlalu sakit,” kata Vana begitu Fandra selesai membalukan kain di kakinya.Fandra menumpukan tangannya di lutut lalu menatap Vana.“Meski begitu, tetap pakai itu untuk beberapa hari. Kulihat bengkaknya masih ada. Kakimu masih sedikit sakit,” katanya. Tapi Vana mengakui apa yang Fandra katakan itu memang benar.Jam menunjukan pukul enam sore, saatnya makan malam. Pelayan Mega masuk dan menyampaikan pesan nenek untuk segera turun. Fandra hanya menolehkan kepalanya tanpa menatap pelayan itu dan masih di posisi jongkoknya, sedangkan Vana di kasur menatap pelayannya.“Hampir semua sudah hadir. Nenek menunggu Nona dan Tuan Muda untuk turun,” katanya menyampaikan.“Baiklah. Kau bisa pergi. Aku akan membawanya turun,” kata Fandra.Vana menatapnya. “Aku bisa berjalan sendiri,” sela gadis itu.Membayangkan Fandra kembali membopongnya dari kamar ke lantai satu ruang makan yang
Makan malam itu berlangsung seperti biasa. Vana juga tak banyak bicara, begitu pun dengan nenek juga orang tua Fandra dan pria itu sendiri. Namun, Vana mencuri pandang pada Fiona, sedikit ragu untuk mengatakannya. Sampai mereka beralih tempat ke ruang keluarga, Vana tak berhasil mengatakannya pada Fiona dan tak ada yang menyadari hal itu.Di ruang keluarga itu mereka sibuk mengobrol dan tertawa mendengarkan cerita Fiona tentang kesehariannya di sekolah, dan menonton tayangan komedi di TV yang membuat semua orang terfokus ke layar datar itu, rupanya nenek menyukai tayangan itu, seluruh keluarganya juga. Mereka tahu kapan tayang. Sedangkan Fandra, apa lagi yang dia lakukan selain diam di tempatnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Perhatiannya teruju pada TV juga, tapi dia menahan tawanya.Vana berpikir, apa susahnya untuk tertawa? Dia dan pria itu lagi-lagi tersekat Fiona. Gadis kecil itu duduk di antaranya, tertawa begitu keras sampai membuat Vana menatapnya dan ikut terta
“Ini kamarku,” ujar Fiona begitu sampai di kamarnya. Dia membuka pintunya lebar. Vana mengintip. Dekorasi kamar Fiona masih seperti pelajar. Warna fastel mengiasi dinding. Gadis kecil itu menyukai warna hijau dan terdapat boneka Keeropi. Rupanya Fiona menyukai karakter kartun itu, bahkan seprai, tirai, dan bantal gulingnya berkarakter sama, hanya selimut hijau yang bergaris. “Ayo masuk sini,” ajak Fiona meraih tangan Vana. Sedikit takjub karena warna yang memenuhi ruang kamar gadis itu lebih banyak hijau. Luas kamar Fiona sama seperti luas kamarnya dengan sofa, rak TV, rak buku, meja belajar, dua pintu di dalam kamar, itu adalah kamar mandi dan ruang pakaian. Bedanya, kamar Fiona tidak ada sekat apa pun, seperti kamarnya. “Duduk sini,” katanya mengarahkan Vana yang berjalan tertarih ke sofa. “Tunggu sebentar, aku akan segera kembali,” lanjut gadis itu lalu melesat keluar dari kamar. &
Jam menunjukan pukul dua belas lewat sepuuh menit, tapi Vana sama sekali tak bisa memejamkan matanya. Dia hanya diam di atas tempat tidur Fiona yang cukup besar tanpa bergerak. Perhatiannya terpusat pada langit- langit kamar yang di tempeli bintang- bintang yang bercahaya ketika gelap. Hanya ada remang dari lampu hias kecil di dekat TV.Vana mengerjapkan matanya, pikirannya sibuk menerka berbagai hal, mencari potongan puzzle dari setiap cerita yang dia dengar tentang Fandra. Kekasihnya pergi meninggalkannya ketika dia membutuhkan seseorang untuk tetap berada di sampingnya saat masa terburuk di tinggalkan sang kakek.Usai bercerita Fiona tidur, tapi Vana sama sekali tak bisa memejamkan matanya.“Kekasih mana yang tega melakukan itu?” gumam hatinya.Fiona berkata kaau semua keluarga tahu apa yang di lakukan gadis itu tapi Fandra menolak mempercayainya sebelum dia melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang salah dari kekasihnya itu.“Namanya Asheila Tamara. Sisi baiknya, dia pintar,
Fandra memperhatikan punggung Vana yang diam di tempatnya.“Aku pernah ke sana, ke pondok itu,” kata Vana memecah hening.Apa yang dia katakan itu semakin membuatnya menatap Vana.“Ke pondok?” Fandra ingin tahu bagaimana Vana bisa ke sana.“Ya. Bersama Nenek,” aku Vana seilas menoleh pada pria itu sambil tersenyum kecil dan sesaat Vana bisa melihat keterkejutan dari ekspresi wajah Fandra.Dia kemudian melanjutkan.“Tapi, Nenek bilang tidak bisa masuk karena kuncinya ada padamu,” katanya sambil menoleh pada Fandra lagi dan tersenyum. Kini dia menghadapkan wajahnya pada pria itu yang masih diam di tempatnya. Entah mengapa Fandra lega mendengar apa yang Vana sampaikan terakhir itu, bahwa dia tidak masuk ke pondok tersebut. Membalik tubuhnya menghadap Fandra dan menyantarkan bahunya di pingkai jendela, Vana memperhatikan ekspresi wajah pria itu dalam keremangan cahaya yang begitu minim. Dia tahu Fandra sedikit gelisah. Vana menduga Fandra tidak suka bila ada yang mendekati pond
Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend
Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng
Vana tampak kelehan, dan berbaring di ranjang yang berantakan.Entah berapa tempat yang mereka jamah, dan memberantakannya bahkan kamar mandi pun tak luput dari mereka.“Kau akan kesakitan saat bangunan nanti.”Vana merespon pelan.“Aku tahu. Tapi, aku tidak bisa … kenapa kau di sini?” tanya Vana lemah.“Aku tidak mungkin meninggalkanmu dengan masalah besar, bukan?”“Ya. Namun, bagaimana kau?” Vana tampak tak berdaya, dia lemah sekarang setelah energinya terkuras habis untuk bergelut dengan pria itu.“Kau akan tahu saat sadar sepenuhnya. Jadi sekarang, tidurlah. Kau pasti lelah,” katanya sambil mengusap kepala Vana dan mendaratkan kecupan di dahi gadis itu.“Kau akan pergi bukan?”“Ya, setelah ini,” jawabnya.“Cepatlah kembali. Aku akan menunggu.”“Tentu. Istirahatlah di sini. Sahabatmu akan menjemput besok. Ibu akan menjagamu sampai aku kembali. Jangan pernah keluar lagi dengan pria lain.”Vana mengangguk. Kedua matanya tampak berat untuk terbuka tapi dia masih mengenali suara itu.“
“Fandra?” Vana memanggil sambil mencari pria itu.Fandra muncul tak lama kemudian.“Ya?” Fandra menyahut. “Ada apa?”“Tidak. Aku pikir kau ke mana. Bukannya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, apa itu?” tanya Vana kemudian sambil menatap pria itu yang justru menghindar.“Kau mau melihat sekitar?” tanya Fandra, mengalihkan.“Nanti,” jawab Vana sadar kalau Fandra menghindarinya. “Katakanlah, selagi aku bisa mendengarkannya dengan baik,” kata gadis itu mendesak Fandra.Meskipun ragu, pria itu akhirnya menatap Vana.“Aku akan pergi dinas,” ungkap Fandra akhirnya.Vana tak merespon, membiarkan Fandra kembali menyampaikan sisanya.“Ke Jepang, selama dua minggu,” lanjutnya dan masih menatap Vana, mengawasi ekspresi gadis itu.“Itu saja?” tanya Vana tampak tenang.Kedua alis Fandra terangkat, sedikit heran dengan tanggapan yang gadis itu berikan. Fandra berpikir Vana mungkin akan marah, sedih, atau hal lainnya lagi. Namun ternyata, gadis itu cukup tenang untuk merespon.“Ya,” jawab Fandra si
Setelah hari pertunangan itu Asheila menemui Arzal di tempat pria itu sering berada. Asheila mencari tahu lebih dulu tentang pria itu sebelumnya, dan kini duduk anggun di salah satu kursi café milik Arzal.Dengan senyum puas menghiasi bibir, dan rencana yang telah disusun. Asheila yakin semua akan berhasil sesuai dengan prediksinya bila bekerjasama dengan Arzal. Ashelia pikir bisa mengendalikan pria itu, dan membawa ke sisinya lalu menggunakannya untuk merebut Vana dari Fandra, maka dengan begitu Fandra akan kembali padanya.“Maaf membuatmu menunggu,” suara Arzal membuat Asheila menolehkan kepala.“Tidak apa-apa. Aku sudah menunggumu, duduklah,” ujar Asheila.Sesaat Arzal diam, firasatnya tak enak, menatap wanita di depannya beberapa saat. Tentu saja, Arzal sedikit mengenali Asheila yang ditemuinya di acara Vana dan Fandra tapi Arzal tidak tahu hubungan antara wanita itu dan Fandra.Masih tetap membentuk senyuman di bibir, Asleila menunggu respon dari Arzal dengan perasaan tak sabar.
Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum