"Apa aku sudah cukup rapi?"Setelah panggilan video call dengan Harvie terputus, Star segera merapikan diri dan keluar ke ruang tamu untuk menunggu lelaki itu. Bahkan boneka beruang Star juga ditata ulang agar tidak terlalu mengganggu nantinya. Saat bunyi beep pelan terdengar dari pintu, Star segera berdiri dan menunggu tak jauh dari pintu. Keningnya berkerut ketika Harvie tidak kunjung masuk setelah dia menunggu sekitar dua menitan. Penasaran dengan apa yang menahan Harvie, Star memutuskan untuk membuma pintu. Betapa terkejutnya Star ketika menemukan Harvie tidak sendirian di depan pintu. Makin terkejut lagi karena ternyata itu adalah Irish dengan penampilan super seksi. Awalnya Star hanya merasa terganggu dan tidak suka dengan kehadiran Irish. Karena itu pula Star berusaha menghalangi Harvie memandangi Irish yang seksi (walau percuma saja, sebab Harvie jauh lebih tinggi). Namun rasa tidak suka itu berubah menjadi amarah ketika Irish menerobos masuk seenaknya. Dan tanpa bisa
Setelah kemarin malam ditenangkan oleh Harvie, pagi ini Star kembali terlihat ingin memakan Irish hidup-hidup. Bagaimana tidak? Star secara tidak langsung telah mengatakan keberatannya dengan pakaian Irish, tapi pagi ini gadis itu memakai pakaian seksi lagi. Kali ini sweater putih oversize yang sekaigus menjadi piyama Irish semalam. Yang jadi masalahnya adalah, Irish sepertinya hanya menggunakan celana dalam di balik baju kebesaran itu. Paha mulusnya terlihat jeas, karena bajunya hanya menutupi setengah paha. Kerah sweaternya melorot turun melewati bahu kirinya. "Guten morgen," sahut Irish santai dari atas bar stool, seolah tidak ada yang pernah terjadi semalam. Irish menatap Star seperti biasanya. Sebaliknya mata Star terliat mengobarkan api amarah dan mereka saling bertatapan intens. Irish baru memutuskan kontak mata ketika melihat Harvie keluar dari kamar yang sama dengan Star. "Kalian tidur bersama?" tanya Irish sedikit terkejut. Jangankan Irish, Karin dan Irina yang sedang
"Apa?" Tania berteriak tidak percaya mendengar kata-kata Star. "Apa anda tuli?" tanya Star makin ketus saja. Star yang mengembalikan kata-kata Tania pada Brian, membuat Brian kesulitan menahan tawa. Dan sialnya Tania mendengar dan berbalik memelototi Brian. "Aku gak tuli, tapi tidak mungkin Harvie punya tunangan. Apalagi yang jauh lebih muda. Berapa sih umurmu? Dua puluh ya?" Star mendengkus kesal. Dia sudah susah payah dandan begini dan hasilnya dia cuma terlihat dua tahun lebih tua dari usianya? Yang benar saja. Star tidak terima, tapi tidak mungkin juga marah karena alasan absurd. Hanya orang gila yang mau dibilangi tua dan Star adalah salah satu orang gilanya. "Delapan belas. Ada masalah dengan itu?" Bukan Star yang membalas, tapi Harvie. Itu pun dengan wajah kesal. "Seriouslly? Kamu ninggalin aku buat anak bau kencur gini?" tanya Tania tidak terima. "Aku ninggalin kamu gimana maksudnya? Setahuku aku gak pernah ninggalin orang tanpa pamit gitu." Harvie mengerti apa
"Apa yang kalian lakukan?" Star refleks mendorong Harvie menjauh dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dia tidak perlu berbalik untuk melihat siapa yang berbicara karena sudah mengenali pemilik suara itu. Ketahuan berbuat tak senonoh itu sungguh sangat memalkukan. Terutama karena yang memergokinya adalah orang yang dikenali Star. Kini dia tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan Helena, apalagi Peter. "Ada apa ini?" Peter melirik Harvie dan Star secara bergantian. Tidak mengerti kenapa dua orang ini harus berciuman di depan umum. Tadi Peter hanya sempat dengar selentingan dari asistennya kalau terjadi sesuatu di depan ruangan Harvie. Kebetulan saja dia memang mau mendiskusikan sesuatu dengan Harvie, makanya dia memutuskan untuk singgah, tapi siapa sangka akan menemukan pemandangan seperti tadi. "Itu, Pa. Anu ...." Harvie terbata-bata tidak tahu harus mengatakan apa. Senakal-nakalnya Harvie, baru kali ini dia kepergok bermesraan dengan seorang wanita. Tidak mendapat
Marcus membuka pintu ruang kerjanya dengan sangat kasar. Sampai-sampai sekretarisnya terkejut setengah mati. Belum lagi Marcus langsung menggebrak meja kerjanya dengan sangat keras. Tadinya Marcus hendak ke ruangan Harvie untuk membicarakan soal pekerjaan, sekalian membicarakan soal Nick. Siapa yang menyangka kalau di sana dia akan menonton pertunjukan yang membuatnya naik darah. "Sialan. Brengsek." Umpatan demi umpatan keluar dari mulut Marcus. Kelakuan Nick memang sangat kurang ajar, Marcus tidak menyukai kelakuan adiknya dan sudah menemukan hukuman yang lumayan. Tapi dia juga tidak suka Harvie dicium oleh Star seperti tadi. Sebut saja Marcus gila, tapi dia jatuh cinta pada Star sejak pandangan pertama. Tapi Harvie mendahului dirinya. Walau awalnya cuma sandiwara, Marcus melihat kalau Harvie mulai serius. Dan demi persahabatan, Marcus mencoba untuk melupakan Star. Namun ternyata hal itu sangat sulit. Terutama karena Star selalu berkeliaran disekitar Harvie. Sekuat apa
“Kamu di mana sih Star? Mama dari apartemen loh, tapi kamu gak ada. Katanya pergi sama Harvie ya?” Helena mengeluh lewat sambungan telepon. “Iya Ma. Saya sedang di kantor Kak Harvie,” jawab Star yang juga enggan memanggil Harvie dengan sebutan daddy ketika berbicara dengan Helena. Aneh rasanya. “Mama jemput ya. Kita main ke mall bareng dengan Yvonne.” “Okay.” Star sedikit ragu menjawab Helena. Sejujurnya Star masih mau tinggal di kantor Harvie dan belajar beberapa hal seperti yang dikatakan Peter. Tapi Star tidak sanggup juga menolak Helena, apalagi jika ada Yvonne. "Mama mau jemput," gumam Star sambil meletakkan kembali ponselnya ke tas. "Katanya mau ke mall bareng Yvonne. Gak apa-apa kan?" "Ya, gak apa-apa dong. Kan Daddy udah bilang, kamu mau ngapain aja terserah kamu." Star tersenyum manis mendengar Harvie. Lelaki itu memang nyaris tidak pernah membuatnya tidak bahagia. Kecuali waktu awal-awal kenalan tentunya. Tapi belakangan ini Star selalu merasa bahagia dekat dengan
"Mall lagi?" tanya Star dengan kedua alis terangkat naik. Makin hari Star memang makin sibuk. Bukan sibuk persiapan kuliah. Bukan juga sibuk bantuin Harvie, tapi sibuk nge-mal. Sejak Star mengatakan jadwal kuliahnya sudah keluar, Helena terus-terusan mengajaknya ke mall. Dia dibelikan banyak pakaian berbagai model yang sekiranya bisa dipakai ke kampus. Saking banyaknya, lemari di apartemen sudah tidak bisa menampung lagi. Terutama karena Star juga dibelikan tas, sepatu dan aksesoris. Terpaksa beberapa diungsikan ke rumah Helena. Hari ini Star berpikir dirinya akan bebas karena harus mengambil jas almamater dan barang lainnya, tapi Helena tidak membiarkannya lolos. Helena bersikeras mengantar Star ke kampus dan menunggunya, kemudian mereka akan ke mall lagi. "Apa Mama ikut jalan-jalan keliling kampus kamu aja ya? Sekalian ajakin Yvonne keliling, biar dia gak bosan." "Hah?" gumam Star kaget. "Tapi matahari lagi terik nih, Ma. Nanti gosong lagi." Jangan gila dong. Kalau Y
"Bagaimana Mama bisa ada di sini?" Star refleks berdiri dari kursinya. Panggilan Star itu membuat dua yang lainnya membelalak. Bagaimana tidak? Botanica Garden adalah jaringan gift dan flower shop terbesar yang pernah ada. Bisnis yang bisa dikembangkan dengan sangat baik oleh Hera Arwen, satu-satunya pebisnis wanita Indonesia yang pernah jadi cover majalah Forbes. Hera Arwen pernah jadi trending topik di berbagai lini media sosial dan media masa. Nyaris semua wanita mengenal dan menyanjungnya, termasuk Hillary dan Tere. "Boleh Mama bicara sebentar?" tanya Hera canggung sambil melirik dua sahabat anaknya sekilas. "Oh, iya. Silakan Tante," Hillary yang menjawab dan langsung disikut oleh Tere. Refleks Hillary menampar mulutnya pelan, seharusnya bukan dia yang menjawab. Star tidak mempermasalahkan jawaban yang diberikan Hillary. Toh di tempat umum seperti ini Star tidak bisa menolak Hera. Yvonne yang sudah terlelap setelah minum susu, segera dititipkan pada pengasuh yang j
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas