"Mall lagi?" tanya Star dengan kedua alis terangkat naik. Makin hari Star memang makin sibuk. Bukan sibuk persiapan kuliah. Bukan juga sibuk bantuin Harvie, tapi sibuk nge-mal. Sejak Star mengatakan jadwal kuliahnya sudah keluar, Helena terus-terusan mengajaknya ke mall. Dia dibelikan banyak pakaian berbagai model yang sekiranya bisa dipakai ke kampus. Saking banyaknya, lemari di apartemen sudah tidak bisa menampung lagi. Terutama karena Star juga dibelikan tas, sepatu dan aksesoris. Terpaksa beberapa diungsikan ke rumah Helena. Hari ini Star berpikir dirinya akan bebas karena harus mengambil jas almamater dan barang lainnya, tapi Helena tidak membiarkannya lolos. Helena bersikeras mengantar Star ke kampus dan menunggunya, kemudian mereka akan ke mall lagi. "Apa Mama ikut jalan-jalan keliling kampus kamu aja ya? Sekalian ajakin Yvonne keliling, biar dia gak bosan." "Hah?" gumam Star kaget. "Tapi matahari lagi terik nih, Ma. Nanti gosong lagi." Jangan gila dong. Kalau Y
"Bagaimana Mama bisa ada di sini?" Star refleks berdiri dari kursinya. Panggilan Star itu membuat dua yang lainnya membelalak. Bagaimana tidak? Botanica Garden adalah jaringan gift dan flower shop terbesar yang pernah ada. Bisnis yang bisa dikembangkan dengan sangat baik oleh Hera Arwen, satu-satunya pebisnis wanita Indonesia yang pernah jadi cover majalah Forbes. Hera Arwen pernah jadi trending topik di berbagai lini media sosial dan media masa. Nyaris semua wanita mengenal dan menyanjungnya, termasuk Hillary dan Tere. "Boleh Mama bicara sebentar?" tanya Hera canggung sambil melirik dua sahabat anaknya sekilas. "Oh, iya. Silakan Tante," Hillary yang menjawab dan langsung disikut oleh Tere. Refleks Hillary menampar mulutnya pelan, seharusnya bukan dia yang menjawab. Star tidak mempermasalahkan jawaban yang diberikan Hillary. Toh di tempat umum seperti ini Star tidak bisa menolak Hera. Yvonne yang sudah terlelap setelah minum susu, segera dititipkan pada pengasuh yang j
"Babe?" panggilan Harvie membuyarkan kekagetan semua orang. "Daddy?" gumam Star bingung. Sejak keluar dari rumah, Star belum menghubungi Harvie. Begitu juga sebaliknya, jadi bagaimana bisa Harvie menemukannya di mal? Dan terlebih dengan keadaan seperti ini. "Kok bisa ada di sini?" tanya Star bingung. "Kamu gak angkat telepon. Makanya telepon Mama dan dia bilang ninggalin kamu di sini. Aku gak ganggu kan?" Harvie merangkul pinggang Star dengan mesra. "Gak kok. Kita juga sudah selesai. Iya kan, Ma?" Pertanyaan Star segera dijawab dengan anggukan kepala Hera. "Okay. Kalau gitu giliran kita yang kencan. Kami pamit dulu ya, Ma." Harvie tersenyum manis saat pamit dengan Hera. Hera cukup terkejut dengan panggilan Harvie padanya. Walau begitu, Hera berhasil menyunggingkan senyum. Senyuman Hera sudah dianggap persetujuan dari wanita itu, dan Harvie segera menggiring Star yang sedang memperbaiki posisi Yvonne dalam gendongannya. Memasuki usia enam bulan, Yvonne sudah bisa menega
"Harga saham kita menurun." Brian memberikan laporan pada Harvie. "Kok bisa?" tanya Harvie bingung. "Pak Harvie belum lihat berita yang keluar pagi tadi?" "Yang mana?" tanya Harvie makin bingung. "Yang soal Anda dan Nona Star," jawab Brian dengan helaan napas panjang. Bagaimana bis atasannya ini terlihat begitu santai. "Oh, yang itu. Kamu urus saja deh." Harvie terlihat tidak khawatir dan tidak ada niatan sama sekali mengurusinya. Bukan karena Harvie tidak peduli, tapi karena baginya, itu bukanlah hal yang penting. Yang penting bagi Harvie saat ini adalah bagaimana nanti dia harus melamar Star? "Pak, ini bukan hal yang bisa saya selesaikan sendiri. Para pemegang saham meminta rapat dadakan." "Mau apa lagi orang-orang itu?" tanya Harvie cuek. "Gosip soal anda yang punya anak diluar nikah membuat semua orang gusar. Itu isu paling kencang berhembus diluar." Brian menjelaskan. "Biar Papa yang urus deh. Aku ada urusan yang jauh lebih penting," Harvie benar-benar t
"Untung saja kemarin kamu nginap di sini, Star. Dalam waktu dekat jangan ke mana-mana dulu ya. Banyak wartawan." Helena memberi nasihat pada calon meanantunya. "Tapi bagaimana kalau Star udah masuk kuliah minggu depan?" tanyanya bingung. "Gak akan sampai minggu depan juga kok. Paling lama juga pas acara kantor lusa udah kelar masalahnya." Helena meyakinkan. Star sebenarnya tidak ada masalah. Toh dia masih bisa keluar rumah dengan menyamar, tapi jika Helena meminta untuk tidak keluar, memang lebih nyaman tinggal di rumah ini. Setidaknya lebih banyak hiburan di sini dibanding dengan apartemen. Selain ada Yvonne, di rumah besar ini ada kolam renang dan gym. Jadi Star bisa menghabiskan waktu dengan lebih produktif dan sehat. "Tapi, omong-omong. Star gak keberatan kan kalau misalnya pernikahannya di majukan?" "Gak masalah kok, Ma. Star ikut saja." Star tersenyum tipis ketika menjawabnya. Jujur saja, bayangan tinggal serumah dengan Harvie membuat Star senang. Apalagi kala
Derum halus mesin mobil membuat Star yang duduk di ruang tamu segera beranjak keluar. Nyaris berlari dengan mata berbinar. Namun binar di mata Star segera menghilang begitu melihat siapa yang datang siang ini. Tadinya Star berpikir itu adalah Harvie yang pulang makan siang dan pergi menyambutnya di teras. Tapi ternyata itu adalah Marcus. "Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Marcus dengan kekehan riang. "Tidak ada apa-apa," jawab Star ketus. Star yang memang tidak berniat menyambut Marcus, segera berbalik masuk kembali ke dalam rumah. Padahal dia berharap Harvie berubah pikiran dan akan makan siang di rumah."Loh, kok tiba-tiba masuk sih?" Marcus mengejar Star ke dalam rumah. Star tentu enggan menjawab Marcus. Untung saja Helena datang segera mengambil alih pembicaraan dengan cepat. "Tumben ada Marcus di sini siang-siang bolong. Gak kerja?" "Saya datang buat cari Harvie, Tan. Katanya dia mau pulang makan siang," jawabnya santai. Jawaban Marcus membuat Star refleks menoleh. Per
"Babe? Masih marah?" tanya Harvie mengelus pelan puncak kepala Star sebelum bergabung di meja makan pagi ini. "Saya gak pernah marah," jawab Star dengan tenang. Oke. Star memang masih marah. Dia barusan kembali menggunakan sapaan formal dan Harvie menyimpulkan gadis itu sedang marah. Padahal Harvie sudah menjelaskan kronologisnya dengan sedetil mungkin. Meyakinkan Star kalau tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Derina. Derina memang menggoda Harvie. Tapi sebelum Harvie sempat bereaksi, dia segera menyingkirkan Derina dan keluar dari ruangannya secepat kilat. Meninggalkan Derina yang tersungkur di lantai. Harvie yang kebetulan melirik Helena, mendapat kode mata dari ibunya itu. Helena meminta penjelasan lewat kode mata dan Harvie hanya mengedikkan bahu. Dia tidak ingin orang tuanya tahu. "Star ikut Daddy ke kantor ya." Harvie mencoba bertanya pada Star. Harvie berniat untuk membawa Star ke kantor dengan maksud untuk membiarkan Star mengawasinya. Untuk meyakinkan Star kalau d
Setelah sarapan tadi Star yang cemberut. Maka waktu makan malam sekarang ini, Harvie yang cemberut. Star sampai melirik Harvie takut-takut karena lelaki itu terlihat menyeramkan. Suara dentingan sendok yang terjatuh di atas piring membuat Star tersentak. Kali ini bukan hanya Star saja, tapi semua orang melihat Harvie. "Kamu kenapa sih, Vie? Kelihatannya suntuk banget," Peter akhirnya bertanya. "Harvie mau ke kamar." Bukannya menjawab, Harvie malah melarikan diri tanpa menghabiskan makan malamnya. Bahkan dia nyaris tidak menyentuh makanannya sama sekali. Padahal ada sambal nanas buatan Star yang biasanya akan dihabiskan oleh Harvie seorang diri. "Kalian kenapa sih? Pulang bukannya baikan malah tambah parah." Helena menyeletuk asal, membuat Star makin kepikiran. "Biar Star nyusul Kak Harvie." Star bergegas menyusul Harvie tanpa peduli panggilan Helena. Harvie yang baru saja berbaring sebentar, menghela napas mendengar ketukan di pintu kamarnya. Dirinya sudah bisa mend
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas