“Pa, tidakkah ini keterlaluan?” tanya Zeus pada ayahnya. “Bayi itu baru kemarin dilahirkan dan sudah dipisahkan dengan ibunya?” “Kalau kau tidak berkeliaran diluar dengan berbagai macam wanita, ini tidak akan terjadi.” Zeus balik digertak oleh ayahnya. “Kenapa jadi aku yang disalahkan? Yang memaksa menikah kan Papa.” Zeus membantah. Tidak terima dirinya disalahkan. “Kalau kau tidak menghamilinya, Papa juga tidak akan memaksamu. Menurutmu pihak keluarga mereka tidak akan menuntut kita? Keluarganya juga bukan keluarga sembarangan.” Zeus hanya bisa terima diteriaki oleh ayahnya. Memang awal mula semua ini karena dirinya sendiri, tapi kenapa juga ayahnya harus sampai seperti ini. Bagi Zeus ini jauh lebih jahat dari dirinya yang selingkuh sana-sini. Zeus menyadari kalau kelakuannya tidak benar, tapi entah mengapa dirinya lebih memilih main di luar dan membiarkan istrinya sendiri di rumah. Mungkin karena masih merasa marah dipaksa menikah ketika dirinya sendiri belum siap. Zeus jug
"Bisa gak sih, lain kali kau mau sesuatu jangan histeris gitu?" tanya Harvie dengan helaan napas panjang. Star tidak menjawab pertanyaan Harvie. Dia justru mengulurkan kedua tangannya, meminta kantongan yang sedang ditenteng suaminya itu. "Thank you," gumam Star bahagia. Dia mulai membuka kantongan yang berisi sebaskon ayam siap saji. Yes. Star yang biasanya hidup sehat itu malah ngidam 'makanan sampah'. Dia bahkan langsung mencari bagian paha yang biasanya dihindari jika harus makan ayam. Star terlihat sangat bahagia mengunyah paha ayamnya. "Ingat ya. Jangan keseringan makan begituan." Bella menyela kebahagian Star dengan ocehan kedokteran yang sedikit banyak dia tahu. "Itu gak baik buat pertumbuhan janin, terutama karena kamu habis pendarahan yang lumayan banyak." Bella sengaja menakut-nakuti Star. "Ya, aku kan cuma mau makan sepotong. Mana mungkin juga aku habisin ini semua," keluh Star dengan raut wajah cemberut. Nafsu makan Star hilang seketika. Dia melempar paha ayamnya
“Astaga, Rin. Kan sudah kubilang jangan biarkan orang lain masuk.” Hera langsung berteriak begitu mendengar pintu ruangannya terbuka. “Ini aku.” Bukan asistennya yang menjawab, tapi Zeus. Suara suaminya itu membuat Hera yang sedang berbaring dengan mata terpejam, langsung bangun ke posisi duduk. Akibatnya Hera yang dari awal sudah pusing, makin pusing saja dengan gerakan tiba-tibanya itu. “Kalau pusing berbaring saja lagi.” Zeus dengan santainya duduk di sofa tunggal. Mengamati istrinya yang mau tidak mau harus berbaring lagi di sofa two seater yang ada dalam ruangan kerjanya itu. “Mau apa sih kau ke sini?” tanya Hera dengan lengan yang menutupi matanya. Zeus tidak menjawab. Dia justru berdiri dan memungut blazer milik Hera yang terjatuh di lantai dan mengembalikan benda itu ke tempatnya semula, menutupi area lutut dan kaki Hera yang hari ini menggunakan rok selutut. “Apa sih yang kau lakukan?” Hera melirik Zeus yang kini melepas jasnya. “Memangnya kamu gak dingin?” tanya
“Ehm, apa kalian janjian atau gimana sih?” Star melirik kedua orang tuanya yang entah kebetulan atau tidak datang bersamaan. Belum lagi pakaian mereka yang terkesan serasi, sama-sama berwarna Navy. “Tentu saja tidak.” “Tentu saja ya.” Hera dan Zeus menjawab bersamaan. Hera dengan nada ngegas dan ketusnya, Zeus dengan nada tenang. Dua jawaban yang kontras itu membuat Star saja tertawa. Jangankan Star Harvie, Helena dan Peter saja nyaris tertawa. “Maaf. Tapi kurasa kami sudah harus pulang.” Peter menarik istirnya untuk segera beranjak. "Eh, bukannya Papa baru tiba? Kok langsung pulang lagi sih?" Helena bertanya dengan nada bingung. "Kan Papa datang buat jemput Mama." Peter menggeram gemas sembari memberi kode lewat tatapan matanya. "Oh, iya. Mama lupa kalau ada arisan siang ini." Helena segera menyahut begitu mengerti maksud suaminya. Peter ingin memberikan waktu bagi orang tua dan anak itu untuk mengobrol. "Maaf ya. Kami duluan." Helena memberi senyuman terbaiknya. Hera da
"Aku bisa gila." Harvie mendesah pelan. Setelah kemarin mendapati istrinya dibelikan makanan cepat saji oleh mertuanya, sekarang Harvie harus menghadapi kenyataan harus tinggal di rumah mertua selama seminggu ke depan. Sejujurnya, Harvie tidak masalah dengan keputusan Star yang mau tinggal di rumah orang tuanya. Harvie juga tidak merasa keberatan ketika Star lebih memilih untuk bermanja-manja pada orang tuanya. Perubahan sikap Hera dan Zeus memang bisa dibilang terlalu tiba-tiba. Terutama untuk Zeus. Tapi Star juga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. 'Mumpung mereka lagi rukun.' Itu yang dikatakan Star. tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah, Star juga ingin tidur bersama kedua orang tuanya. Tentunya itu membuat Harvie sendirian di kamar asing dan membuatnya tidak nyaman itu. "Nasib. Nasib." Harvie menggerutu. "Mana mau ngapa-ngapain juga rasanya gak enak karena bukan rumah sendiri." "Makanya, Vie. Sapa suruh nikah sama anak kecil yang manja," gumam Harvie pelan
"Mau apa kau datang ke sini?" Irish mendesis ketika dia digiring ke ruang tamu oleh Karin. Selama beberapa minggu ini, Irish hanya ditahan di penthouse milik Star dengan penjagaan ketat. Selain Karin, total ada 5 pengawal yang berjaga bergantian. Dua berjaga tepat di luar pintu, tiga berjaga di dalam dan satu diantara mereka adalah perempuan. Yang perempuan akan membantu Karin mengawasi Irish dari dekat. Belum lagi yang berjaga di depan lift. Dengan penjagaan seketat itu, harusnya Harvie tidak perlu khawatir dengan keselamatan Star. Tapi baik dirinya maupun Zeus, ikut mengawal Star untuk menemui Irish. Hera juga ingin ikut, tapi keadaannya tidak memungkinkan. Setelah sepagian muntah, Hera menjadi lemas dan harus berbaring. Hamil diusia tua memang bukanlah hal yang mudah. Jangankan Hera, Zeus yang benar-benar terkena sindrom couvade juga sempat tumbang beberapa waktu lalu. Sekarang pun sepertinya Zeus sedang menahan perasaan mualnya di belakang Star."Tentu saja aku datang untuk m
"Tolong dijaga agar istrinya tidak terlalu stress. Tetutama di trisemester pertama yang lebih rentan ini." Dokter menatap Harvie dan Star bergantian. Baru sebulan hamil, tapi Star sudah dua kali ke rumah sakit. Dalam pikiran si dokter, jelas sekali terlihat kalau Harvie tidak mengurus istrinya yang masih muda ini dengan baik. Atau mereka memang tidak harmonis. "Sepelik apa pun masalah rumah tangga kalian, tolong diperhatikan agar Mbak Star tidak stres dan kelelahan. Apalagi dia masih sangat muda, ditambah dengan stres berlebihan akan berdampak pada kesehatan janin." Harvie hanya meringis mendengar nasihat dan penjelasan panjang lebar dari si dokter. Memang kesalahannya karena membiarkan Star bertemu dengan Irish. “Pastikan istri anda istirahat total selama beberapa hari ke depan. Kalau bisa selama seminggu. Usahakan dia senang dan tenang,” lanjut si dokter dengan lebih lembut. “Eh, tapi kuliah saya nanti gimana dong?” Star refleks bertanya. “Mungkin lebih baik cuti saj
"Mau ke mana?" tanya Harvie ketika melihat Star sudah sangat rapih di pagi hari yang cerah ini. "Aku mau shopping bareng Mama Hera dan Yvonne." Star menjawab dengan santai, sembari duduk di kursinya untuk mulai sarapan. "Star, bukannya Daddy mau ngelarang yah. Tapi kamu yakin sudah kuat jalan?" tanya Harvie lembut. Dia tidak mau Star sampai menangis lagi. "Aku kan sudah istirahat di rumah lebih dari seminggu, Daddy. Aku kuat kok. Lagian Mama juga lagi hamil dan gak bakal kuat jalan lama-lama." Star menjawab dengan entengnya. "Emang Mama kamu udah berapa bulan?" tanya Helena penasaran. "Kalau gak salah, cuma selisih sebulan denganku." Star mencoba untuk mengingat dengan akurat. "Oh, emang hamil kali ini berat ya buat Hera?" Helena bertanya lagi. "Kata Mama Hera sih iya. Katanya waktu hamil aku dulu mualnya gak separah sekarang. Udah mendingan sih, tapi masih lemas. Papa yang parah sekarang." "Papa? Maksudmu Zeus?" Kali ini Peter yang bertanya. "Ya. Papa Zeus juga munta
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas