HAri ini 3 bab gengs
"Mau ke mana?" tanya Harvie ketika melihat Star sudah sangat rapih di pagi hari yang cerah ini. "Aku mau shopping bareng Mama Hera dan Yvonne." Star menjawab dengan santai, sembari duduk di kursinya untuk mulai sarapan. "Star, bukannya Daddy mau ngelarang yah. Tapi kamu yakin sudah kuat jalan?" tanya Harvie lembut. Dia tidak mau Star sampai menangis lagi. "Aku kan sudah istirahat di rumah lebih dari seminggu, Daddy. Aku kuat kok. Lagian Mama juga lagi hamil dan gak bakal kuat jalan lama-lama." Star menjawab dengan entengnya. "Emang Mama kamu udah berapa bulan?" tanya Helena penasaran. "Kalau gak salah, cuma selisih sebulan denganku." Star mencoba untuk mengingat dengan akurat. "Oh, emang hamil kali ini berat ya buat Hera?" Helena bertanya lagi. "Kata Mama Hera sih iya. Katanya waktu hamil aku dulu mualnya gak separah sekarang. Udah mendingan sih, tapi masih lemas. Papa yang parah sekarang." "Papa? Maksudmu Zeus?" Kali ini Peter yang bertanya. "Ya. Papa Zeus juga munta
"Sayang. My Baby Boo? Ngapain sih?" Harvie terus-terusan memanggil Star dengan manja, tapi tak kunjung juga mendapat perhatian istrinya. Kecupan beruntun di perut Star juga tidak membuatnya mendapat perhatian. Star masih menatap layar ponsel sambil sesekali cekikikan. "Lagi baca apaan sih? Kok seru bannget?" Harvie beranjak menempelkan pipinya ke pipi Star, ikut melihat apa yang dilakukan istrinya. Kening Harvie langsung berkerut menemukan sang istri sedang membalas chat dari seseorang. "Siapa itu Julian?" Tanpa permisi, Harvie langsung menyambar ponsel Star dan melihat isi percakapan istrinya dan Julian ini. "Ih, Daddy apaan sih?" Star berusaha mengambil ponselnya. "Balikin." Bukannya mengembalikan ponsel Star, Harvie malah makin menjauhkan benda itu. Dia dengan tidak sopannya membaca semua pesan yang dikirim oleh Julian-Julian ini sejak sejam lalu. Oh, bahkan dari semalam. "Selamat tidur peri cantik?" Harvie melotot melihat tulisan itu. "Sweet dream? Mimpiin yang manis
Star sedikit tersentak merasakan pipinya dipukul lumayan keras. Matanya yang terpejam perlahan membuka. Menemukan wajah Yvonne tepat di depan wajahnya. Bayi yang sedang berbaring itu sedang memukul-mukul pipi Star yang juga sedang berbaring miring dengan ceria. Melihat keceriaan Yvonne, mau tidak mau Star ikut tersenyum. Dari posisinya, Star bisa melihat warna langit diluar sudah berbah menjadi jingga. Itu berarti dia tidur cukup lama dan melewatkan jam makan siang. Tadi dia mengunci diri di kamar Yvonne hampir selama dua jam, menunggui Hera yang terjebak macet. Begitu ibunya datang, Star segera berlalu pergi dengan membawa Yvonne begitu saja. Bahkan tidak pamit pada siapa pun juga. "Enak ya jadi anak bayi. Gak ada yang perlu dipikirin." Star bergumam lirih, mengelus pipi Yvonne dengan punggung tangannya. Yvonne yang senang dapat perhatian dari ibu angkatnya, memekik bahagia dan makin memukul pipi Star. Star tidak keberatan jadi samsak si kecil Yvonne. Itu justru membantun
"Kamu kok manis banet sih, Babe."Harvie tersenyum melihat wajah lelap Star yang tertidur dalam dekapannya, lengkap dengan Yvonne yang ikut meringkuk dan menempel padanya. Pemandangan yang indah untuk Harvie. Ini terlihat seperti gambaran keluarga harmonis yang ada dalam pikirannya. Semalam Harvie cukup terkejut dengan Star yang tiba-tiba menerjangnya. Untungnya Harvie masih bisa menahan beban tubuh mereka berdua dengan cukup baik. Setelahnya Star menghabiskan waktu dengan menangis sampai tertidur. Bahkan untuk makan saja harus disuapi Harvie. Jadilah kemarin malam Harvie mengurusi dua bayi yang menangis keras. Satu Yvonne dan yang satunya lagi Star dan Harvie tidak keberatan melakukannya. Bagi Harvie keduanya terlihat sangat menggemaskan. “Good morning My Baby Boo.” Harvie berbisik begitu melihat mata Star mulai terbuka. “Good morning,” balas Star serak dan mata bengkak. Saking bengkaknya mata Star, dia jadi sulit untuk membuka mata. Ekspresi Star terlihat sangat lucu, membua
"Saya tidak tahu apa yang anda maksud tadi, tapi saya rasa anda salah paham. Saya tidak pernah menggoda istri orang." Julian langsung berbicara, bahkan sebelum Harvie atau Brian memintanya duduk. Demi kenyamanan dan kesopanan, Harvie mengajak Julian ke kantornya. Tapi sebenarnya itu sudah terlambat. Ada cukup banyak orang yang tadi tidak sengaja mendengar kata-kata provokatif Harvie. "Kamu datang ke kantor saya dan mencari istri saya. Kalau bukan menggoda itu apa?" Julian baru mau membuka mulut untuk menjelaskan, tapi Brian membuka pintu dan sekretaris Harvie masuk membawa nampan. Julian menunda kata-katanya sampai si sekretaris keluar, tapi nyatanya Brian malah masuk ke ruangan. "Kamu juga kan yang duluan mengirim pesan buat istri saya. Dan setahu saya, kamu juga yang duluan minta nomor telepon." Harvie melanjutkan tanpa ragu. "Maaf, tapi bisakah asisten anda tidak ikut dalam pembicaraan ini?" Harvie menatap Julian dengan dagu terangkat dan sedikit bingung. Tidak suka sama
Hari ini Harvie dan Star akan bertemu dengan Julian dan adiknya. Mereka sudah membuat kesepakatan untuk tidak melibatkan orang tua terlebih dahulu, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Julian membawa ayah dan ibunya. "Bukankah kesepakatan kita tidak seperti ini?" Harvie menggeram marah. Status kasus ini saja belum jelas, tapi dia sudah harus direcoki oleh orang tua Julian yang tidak tahu diri. Mereka langsung datang dan menampar Harvie bahkan nyaris menjambak Star dan memakinya sebagai pelakor. "Hei, aku bertanya padamu." Harvie mengulang pertanyaannya karena Julian tidak kunjung menjawab. "Oh, maaf." Julian tersentak mendengar suara Harvie yang sedikit meninggi. Sedari tadi tatapannya tidak berpindah dari Star yang bersembunyi di belakang Harvie. "Dan tolong berhenti melihat istri saya seperti itu. Harusnya kamu bisa menelepon adikmu untuk segera datang. Istri saya tidak nyaman dengan kehadiran kalian semua." "Eh, yang benar saja dong. Perempuan ini yang jadi pelakor kenapa
"Apa-apaan sih?" Harvie berusaha mengelak, tapi Jenny malah makin lengket. Star tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapan tajamnya itu bahkan bisa melubangi besi baja. Itu cukup untuk membuat Harvie panik. Apalagi Jenny cukup sulit ditangani. "Eh, ngomong-ngomong aku belum kenalan sama adek yang ini. Namaku Jenny." Perempuan itu mengulurkan tangan ke arah Star yang duduk di hadapan Harvie. Mata Star membelalak mendengar panggilan Jenny untuknya. Adek? Yang benar saja. "Callista Carlton," desis Star meraih tangan Jenny dan menggenggamnya sedikit lebih kuat. "Oh, wow! Genggaman tanganmu lumayan ya." Jenny mengibaskan tangannya yang sedikit sakit. "Tadi aku kira kamu ponakannya Mas Harvie loh. Gak taunya adek ya?" Jenny bertanya dengan wajah ceria. Sepertinya saat berpamitan dengan keluarga Jenny, gadis itu tidak mendengar panggilan Harvie untuk Star karena sibuk tertawa. Jelas saja ini membuat Star makin murka. Apalagi dengan panggilan 'mas' itu. Saking marahnya, Star bahkan tidak
Salah paham yang terjadi akibat Jenny diselesaikan dengan baik. Keluarga Jenny bahkan sudah datang untuk minta maaf secara langsung. Bahkan Julian pun sudah menyatakan dirinya akan mundur sebelum mulai berperang. 'Aku tidak tahu kalau kamu sudah menikah dan aku berharap kalian bisa hidup bahagia.' Star tidak bisa melupakan kata-kata Julian yang satu itu. Doa yang sangat sederhana, tapi sangat berarti bagi Star. Karena dia sangat mencintai Harvie. "Daddy." Star yang masih berbaring mengucek matanya sambil membangunkan Harvie. Paggilan lemah lembut itu tentu tidak bisa membuat Harvie terbangun, terutama setelah kemarin malam mereka 'lembur.' Akhirnya setelah 'puasa' beberapa lama, Harvie bisa mengajak Star lembur malam lagi. Walaupun semuanya harus tetap dilakukan dengan sangat hati-hati. "Lima menit lagi, Sayang," gumam Harvie terdengar setelah Star menepuk wajahnya cukup keras. Harvie menggeliat dan mengeratkan pelukannya pada pinggang Star yang masih belum tertutupi apa
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas