Semoga gak bosan karena kebanyakan narasi.
Star tersentak ketika mendengar suara tembakan. Namun kesadarannya segera kembali dengan cepat begitu mengingat Harvie. Star segera mendongak mencari suaminya dan menjadi pucat melihat kaca mobil sport berwarna merah itu sudah rusak karena peluru. Ketika si penjahat yang disebelahnya kembali mengarahkan pistol pada mobil Harvie, Star menahan tangan pria itu. Tapi jelas usaha Star sia-sia, karena lelaki yang satunya menangkap Star dan menguncinya. "Daddy pergi. Jangan datang ke sini." Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Star ketika peluru demi peluru, menghantam bodi mobil sport itu adalah menangis dan berteriak. Teriakan itu makin menjadi ketika mobil Harvie menabrak pembatas di pinggir jalan, bermanuver, menabrak mobil yang ditumpanginya dan akhirnya terbalik. Mobil suv hitam itu terguncang cukup hebat. Dua penumpang di depan yang tidak menggunakan safety belt sudah bercucuran darah. Penumpang yang dibelakang pun sama saja. Di dalam mobil itu hanya Star saja yang masih sa
Entah apa yang ada dipikiran Derina saat ini, tapi dia memesan taksi dan kembali ke rumah sakit. Rasa bersalahnya makin besar pada Harvie dan Star. Mungkin itu yang membuatnya kembali ingin mengunjungi kamar Harvie. "Star ayo makan dulu, Nak." Derina bisa mendengar suara membujuk Helena. Derina yang berdiri di depan pintu mengintip dari celah pintu. Menyaksikan bagaimana Star makin kehilangan semangat hidupnya. Padahal Harvie baik-baik saja, hanya belum sadar. "Star, ayo dong. Kamu juga masih sakit, Nak. Kamu harus makan." Oke, sudah cukup. Derina tidak tahan lagi melihat Star yang tiba-tiba jadi lemah. Dia jauh lebih suka menghadapi Star yang kuat dan berani. Karena itu Derina melangkah masuk dan menarik bahu Star dengan kasar. "Derina." Helena memekik tertahan melihat sikap kurang ajar itu. "Dengar ya. Kamu sekarang istrinya Kak Harvie kan?" tanya Derina tidak peduli dengan tatapan tajam Helena. "Harusnya sebagai istri, kamu yang mengurusi Kak Harvie. Tapi kalau kamu mo
Star tertidur sangat pulas sejak semalam. Mungkin tubuhnya memang sudah sangat lelah karena penculikan dan kecelakaan. Saking pulasnya Star tidak menyadari ada yang menjenguk di malam hari. Pengunjung itu tidak melakukan apa-apa dan hanya menatap dua orang yang tidur berdampingan itu. Setelah cukup puas dia segera pergi. Dan tidak ada yang menyadari kedatangannya, bahkan Irina pun tidak. *** Entah sudah berapa lama Star tertidur. Dia bahkan tidak mengingat kapan tertidur dan tidak tahu sudah jam berapa sekarang. Dirinya hanya bisa mendengar suara samar dan elusan di kepalanya. Penasaran dengan apa yang terjadi di sekitarnya, Star memaksa dirinya yang masih sedikit mengantuk untuk bangun. Mata Star baru terbuka sedikit ketika mendengar suara yang amat dirindukannya. "Duh, ini karena Mama sama Kakek nih. Star kebangun tuh." Mata Star langsung membuka seketika. Dirinya langsung terlonjak bangun dan melihat ke sisi ranjangnya, menemukan Harvie yang sudah terbangun. "Daddy?" Sta
Seminggu telah berlalu sejak Harvie dirawat. Kini dia sudah lebih baik dan telah diizinkan pulang oleh Star. Ya, oleh Star. Dokter sudah mengizinkannya pulang dua hari lalu, tapi Star memaksa tinggal dengan alasan Harvie perlu benar-benar sehat dulu. Alasannya tidak masuk akal karena jelas dokter telah mengatakan Harvie sudah sehat dan bisa pulang, tapi Harvie tetap tinggal sesuai permintaan Star. Ketika penyangga leher Harvie sudah dilepas, barulah Star mengizinkan Harvie pulang. "Babe, Daddymu ini habis sakit leher. Bukan pasien patah tulang kaki. Gak perlu dituntun gini juga kali," gerutu Harvie dengan suara kekehan tertahan. Harvie tidak marah sama sekali, justru sebenarnya dia senang dipeluk-peluk oleh Star seperti. Hanya saja, ini terlihat sangat memalukan. Dirinya baik-baik saja, tapi Star memaksa untuk memapahnya. Para perawat di rumah sakit sampai harus menahan tawa karena hal ini. tapi demi istri tercinta, Harvie memilih untuk memutus urat malunya. "Gak bisa Dadd
“Apa?” tanya Harvie tidak percaya, berharap dia salah dengar. “Kau mungkin sudah bisa menabak kalau aku suka pada Star.” Marcus menjelaskan asal muasal kenapa dirinya bisa jadi gila. “Aku merasa tidak rela melihatnya yang masih polos menikah denganmu yang playboy.” “Dan kau menculiknya?” tanya Harvie dengan suara melengking. Dia marah sekarang. “Ya. Lalu ternyata itu malah menyakiti kalian berdua,” jawab Marcus dengan nada datar. Marcus mengaku, tapi tidak ada lagi gunanya menyesal. Harvie tentu tidak akan mengampuninya lagi, apalagi Star. Mungkin Star malah akan membencinya setelah mengetahui ini. “Lalu? Apa yang kau inginkan setelah menculik Star?” tanya Harvie geram. “Memperkosanya?” Dugaan Harvie bisa dibilang sangat jahat, tapi itulah yang terlintas di kepalanya. Membuat Star hamil, adalah jalan pintas berpisah darinya kan? Yah, walau Harvie tidak berniat melepas istrinya apa pun tejadi. “Tidak. Aku tidak berniat melakukan hal seperti itu.” Marcus buru-buru menjawab.
"Daddy mau cerita sesuatu?" Star akhirnya bertanya setelah mereka berbaring berdampingan. Saling berpelukan dengan nyaman. Selama sejam, Harvie hanya diam dan memeluk Star. Selama itu pula Star harus menahan pegal karena dipeluk terlalu erat. "Banyak." Harvie mendesah. Dirinya tiba-tiba saja merasa lelah. "Oke. Akan kudengarkan." Star memperbaiki posisinya sedikit agar bisa lebih nyaman lagi memeluk Harvie. "Marcus mengkhianatiku," bisik Harvie pelan. Star mendengar dengan baik dan menunggu kelanjutan ceritanya. "Dia yang mencelakai kita," bisik Harvie makin pelan. "Mencelakai kita? Maksud Daddy yang kejadian pas di hari pernikahan kita minggu lalu?" Harvie menjawab Star dengan anggukan kepala dan gumaman pelan. Itu membuat Star membulatkan mata dan mulutnya. Dia tidak percaya kalau ternyata Marcus segila itu. "Kalau orang lain yang melakulannya, rasanya masih masuk akal, tapi Marcus?" Harvie menggeleng pelan, masih tidak percaya pada kenyataan. "Aku tidak tahu harus
“Kamu kenapa sih, Vie? Masih ada yang sakit?” tanya Helena khawatir, ketika melihat putranya berwajah mendung. “Gak,” jawab Harvie datar. Jawaban datar itu membuat Star meringis. Sedikit banyak dia tahu apa yang membuat Harvie badmood. Salah satu alasannya karena dia sudah harus masuk kantor. Pekerjaannya tidak bisa ditinggal lagi. Hal lainnya adalah karena Star. Setelah ‘ditolak’ dua hari berturut-turut dengan alasan masih sakit, kini Harvie harus menunggu seminggu lagi. Tadi pagi Star berteriak dari kamar mandi, memberi informasi kalau dirinya sedang dapat tamu bulanan dan minta dipanggilkan Irina karena kehabisan pembalut. Setelah puasa berbulan-bulan dengan harapan bisa tersalurkan setelah menikah, tapi sekarang dia malah harus menunggu lagi. Sebenarnya bukan Harvie tidak mau menunggu atau apa. Dia bisa puasa berbulan-bulan, jadi tambahan seminggu lagi tentu tidak masalah. Yang jadi masalah adalah, Star selalu menempel seperti perangko padanya saat sedang tidur. Cobaan ya
“HERA.” Teriakan Zeus menggema nyaris di seluruh rumah istrinya itu. Ya. Rumah istrinya. Zeus dan Hera memang tinggal terpisah. Rumah bereka bersebelahan, tapi tetap terpisah oleh dinding tinggi. “Kau pikir jam berapa ini?” Hera menuruni tangga dengan gaun tidur yang tertutup kimono tidur juga. Hari masih subuh dan Hera masih terlelap ketika asisten rumah tangganya mengetuk pintu kamar Hera, memberitahu kedatangan Zeus. Selang semenit kemudian, suara pria yang dimaksud sudah terdengar menggema. “Apa kau gila?” tanya Zeus dengan suara melengking tinggi. Suara tingginya bahkan mungkin melebihi para penyanyi sopran. “Kau yang mendatangi rumah orang di pagi buta, tapi pemilik rumah yang dibilang gila? Gak salah?” tanya Hera kesal setengah mati. “Oh, atau selingkuhanmu yang tak terhitung jumlahnya itu tidak bisa memuaskanmu? Makanya kau datang buat keributan di sini? Maaf, tapi aku tidak bersedia melayanimu,” sambung Hera dengan mata melotot. “Jaga mulutmu. Memangnya kau tidak seper
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas