EVA terbangun karena sinar mentari menerobos masuk melalui jendela kaca hingga membuatnya terpaksa harus mengambil bantal dan menutup wajah dengan bantal tersebut. Selama sesaat, rasanya tidak ada yang berbeda dari tidurnya. Ia bangun di jam-jam normal, yaitu setelah matahari naik. Itulah yang selalu ia lakukan setelah berpesta selama semalam suntuk. Sejauh ini, tidak ada yang keberatan dengan rutinitasnya itu. Dan memang, faktanya ia tinggal seorang diri di sebuah apartemen yang cukup nyaman hingga tidak ada yang bisa mengusik tidurnya. Namun, sebuah suara gemericik air memaksanya untuk membuka mata lebih lebar dan menyingkirkan bantal dari kepalanya. Ia terperanjat, selama sesaat merasa kebingungan.
Dengan perasaan campur aduk, ia menelan salivanya kasar. Eva mengamati sekitar dan menemukan fakta baru bahwa saat ini ia tengah berada di sebuah kamar hotel. Jendela kaca di satu sisi tembok yang tirainya sudah dibuka menampilkan pemandangan kota yang cukup sibuk di jam makan siang. Tengah hari, itulah hal kedua yang terbesit di benaknya setelah memindai kamar hotel secara singkat.
Eva kembali ambruk ke atas tempat tidur dan mengingat-ingat apa yang terjadi padanya semalam. Pertama, ia pulang bersama Alex. Kedua, ia tertidur entah sejak kapan, yang itu artinya ia tidur di kamar hotel Alex. Kira-kira itulah yang terlintas di benaknya. Eva meraba dada, lengan dan pahanya. Seluruh pakaiannya masih utuh seperti sebelum ia tertidur. Itu artinya Alex tidak melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Ia menghela napas lega, merasa sangat beruntung karena Alex ternyata bukan orang jahat.
“Kau sudah bangun?” suara bariton yang tidak asing menyadarkan Eva dari lamunanya. “Oh, maaf kalau aku mengagetkanmu.”
Eva berguling di atas tempat tidur dan duduk dengan nyaman seraya memandangi Alex yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos. “Apa semalam aku tertidur?”
Alex mengangguk sembari menggosok rambutnya dengan handuk. “Begitulah. Aku tidak tahu di mana kau tinggal, jadi aku memutuskan untuk membawamu kemari. Kuharap kau tidak keberatan.”
Jika Eva manusia normal, ia bisa saja marah dan memaki Alex karena dengan lancangnya membawa dirinya kemari, tetapi saat ini ia tidak mau menghabiskan waktunya hanya untuk marah kepada laki-laki yang sudah menolongnya semalam. “Sama sekali tidak.” katanya dengan senyuman. “Ngomong-ngomong, terima kasih atas tumpangannya.”
“Sama-sama.” Sahut Alex sembari keluar menuju balkon.
Eva tidak mau berdiam diri di atas tempat tidurnya. Hari sudah siang dan ia harus segera kembali ke apartemennya sebelum ayah dan ibunya marah besar. Semalam, ia tidak sengaja meninggalkan tasnya di mobil Bruce. Ponsel dan dompetnya berada di tas tersebut. Jika ia tidak segera pulang dan menghubungi keluarganya, Eva takut ayahnya merenggut kebebasannya dan tidak lagi mengijinkan dirinya untuk bekerja di dunia modeling. “Kurasa kau juga baru saja bangun.”
Alex menoleh sambil tertawa. Rambut pirangnya bergoyang seiring dengan embusan angin. “Memang. Sedikit informasi, kau cukup berat dan aku kesulitan membawamu kemari.”
Eva mengeluh dalam. “Aku benar-benar minta maaf, Alex. Semalam aku kelelahan, kuharap kau tidak kapok membantiku.”
“Sama sekali tidak. Aku juga sangat lelah. Maka dari itu aku bangun cukup siang hari ini. Ngomong-ngomong, apa kau mau pulang sekarang?”
“Ya. Aku harus segera kembali ke apartementku dan menghubungi keluargaku. Mereka pasti sangat mengkhawatirkanku sekarang.” Katanya. Saat ini, bahkan Eva bisa membayangkan bagaimana wajah kedua orangtuanya. Ava pasti sangat memahami dirinya, seperti biasa. Tapi ayah dan ibunya? Jangan tanya apa yang bisa mereka lakukan jika ia tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
Alex mengangguk setuju. “Baiklah, aku akan mengantarmu. Tapi sebelum itu, kurasa kita butuh asupan tenaga sebelum memulai aktifitas. Aku sudah memesan makanan untuk kita berdua. Sebaiknya kita makan sebelum kembali ke apartementmu.”
Karena Alex sudah berbaik hati padanya, Eva sama sekali tidak bisa menolak permintaan pria itu. Ia hanya bisa mengangguk setuju. “Baiklah. Kurasa, sembari menunggu makan siang kita, aku akan mandi dan menggosok gigi. Kuharap kau punya sikat gigi baru.”
“Aku sempat meminta sepupuku untuk membeli sepasang baju dan sepatu untukmu. Kau bisa memakainya. Semoga pas di badamu dan semoga kau suka.”
Eva yang semula sudah berjalan menuju kamar mandi kita berbalik untuk menatap Alex. “Apa kau serius?” tanyanya dengan kening mengkerut.
“Kau keberatan?” bukannya menjawab, Alex justru balik bertanya dengan hati-hati.
“Tidak, sama sekali tidak. Tapi aku merasa benar-benar merepotkanmu.”
Alex meringis. “Aku… hanya tidak tega melihatmu memakai pakaian kusut itu.” ucapnya sembari menunjuk baju Eva.
“Sekali lagi, terima kasih, Alex. Aku benar-benar berhutang banyak padamu.”
“Jangan pedulikan aku. Cepatlah mandi agar kita bisa segera kembali ke apartementmu.”
**
Usai makan siang, Alex segera mengantarnya kembali ke apartement. Perjalanan yang mereka lewati cukup mudah dan hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam saja. Sepanjang perjalanan mereka saling bertukar cerita. Tentang pekerjaan Alex yang mengharuskannya pergi ke luar negeri untuk bertemu dengan sepupunya dan kapan kira-kira ia akan kembali ke Negara asalnya. Juga tentang pekerjaan Eva yang akhir-akhir ini menjadi cukup padat. Eva menjelaskan kepada Alex tentang karirnya di dunia modeling dan betapa ia menyukai pekerjaannya saat ini. Singkat cerita, ia juga menceritakan tentang keluarganya yang cukup harmonis dan selalu mendukungnya. Topik pembicaraan yang cukup personal, yang seharusnya mereka hindari karena mereka baru saja mengenal satu sama lain.
Dan di sinilah mereka sekarang. Di depan gedung apartement Eva yang menjulang angkuh. Eva menoleh sekali lagi sebelum keluar dari mobil. “Terima kasih tumpangannya.”
Alex hanya mengangguk sambil tersenyum hanya. “Senang bertemu denganmu. Jangan lupa hubungi aku setelah kau mendapatkan ponselmu kembali.”
“Siap!” katanya seraya membuka pintu mobil dan bergegas keluar.
Setelah berhasil menutup pintu, Eva melambaikan tangan pada Alex. Sesaat kemudian, mobil yang ditumpangi pria itu melaju pergi, meninggalkannya seorang diri di sana. Eva tahu ia tengah tersenyum penuh arti pada pria yang baru saja dikenalnya. Namun tiba-tiba, segerombolan paparazzi datang menghampirinya dengan penuh semangat. Dan… tidak ada alasan untuk mundur. Eva harus menghadapi mereka semua. Pasti ada sesuatu yang membuat para paparazzi itu begitu antusias saat melihat kehadirannya. Ia sangat penasaran akan apa yang sedang mereka buru kali ini.
Eva berbalik saat melihat seorang wartawan mengejarnya, pura-pura tidak menyadari kehadiran wartawan tersebut. Namun, setelah sebuah pertanyaan muncul dari pria yang kini sudah berhasil tiba di sisinya, detik itu juga ia menghentikan langkah. “Ms. Eva, apakah Anda dan Mr. Bruce berniat menikah dalam waktu dekat? Kapan pernikahan kalian akan digelar dan bagaiamana hubungan kalian bisa sampai sejauh ini?”
Membeku. Itulah respon pertama tubuhnya ketika ia mendengar rentetan pertanyaan tersebut. Menikah? Dengan Bruce? Gosip macam apa ini?
Ia kembali mendapatakan kesadarannya saat sepasang lengan kekar merangkulnya dari samping dan membawanya menyingkir dari tempat tersebut. Seorang bodyguard. Pikirnya dalam hati,
Dengan pemikiran yang masih berkelana kesana-kemari, ia menyeret kedua kakinya untuk masuk lebih dalam ke apartemennya. Eva butuh sesuatu untuk menjernihkan pikiran. Segelas jus jeruk atau mungkin sedikit wine. Dan setibanya mereka di depan lift, bodyguard yang entah darimana datangnya itu, melepaskan dirinya dan berkata, “Anda sudah aman sekarang.”
Eva mengangguk penuh penghargaan. “Terima kasih.” Katanya tanpa menanyakan dari mana pria itu berasal.
Suasana apartemen sedikit lengang. Di dalam lift, hanya ada dirinya seorang. Ia kembali memikirkan bagaimana gossip tentang pernikahannya dengan Bruce bisa sampai ke media dengan secepat itu. Tidak, tidak aka nada pernikahan dengan Bruce Smith sampai kapan pun. Eva meyakini semua itu. Mereka sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun hingga detik ini dan yah, mustahil kalau mereka akan menikah.
Ting!
Pintu lift terbuka lebar. Eva bergegas keluar dari sana dan berjalan cepat menuju unitnya. Ia harus memikirkan cara agar gossip yang beredar saat ini lenyap begitu saja. Ia tidak mau membuat harapan palsu kepada kedua orangtua Bruce. Mengingat orangtuanya adalah sahabat baik orangtua Bruce, gossip ini bisa sangat berbahaya untuk kelangsungan persahabatan kedua keluarga itu.
Sesampainya di depan unit apartementnya, Eva berniat membuka pintu dengan menggunakan kartu kuncinya. Namun, lagi-lagi ia lupa kalau semua barang-barangnya berada di tas yang ada di mobil Bruce. Seharusnya sebelum kembali ke unitnya, ia meminta kunci cadangan pada… pintu terbuka dari dalam dan Eva seketika tertegun saat mendapati Bruce Spencer Smith berada di dalam istananya.
“Masuk!” titah pria itu tanpa basa-basi.
Eva menggeleng. Ia tidak akan masuk jika ada Bruce di sana. Lihat saja, pria itu berlagak seperti seseorang terpenting dalam hidupnya.
“Masuk atau aku akan menghancurkan tempat ini.” Titah Bruce sekali lagi. Kali ini dengan nada satu oktaf lebih tinggi dan ekspresi sedater tembok.
Mau tidak mau, Eva menuruti permintaan Burce. Jika bukan kemari, memangnya kemana lagi ia harus pulang?
**
Bruce tidak punya pilihan lain selain menunggu Eva di apartementnya. Sekembalinya ia dari club dan berpisah dengan Delta, ia bergegas membawa mobilnya ke apartement Eva dan berharap menemukan gadis itu di sana. Namun sayang, saat ia sampai, Bruce tidak menemukan siapa-siapa di sana. Apartement Eva kosong melompong, tidak berpenghuni.
Hari ini, mungkin bukanlah hari keberuntungannya. Ia bertemu dengan gadis yang selama ini diincarnya sekaligus harus menelan pil pahit kalau gadis itu telah berbohong padanya dan memilih pergi bersama laki-laki lain. Bruce berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan kekecewaannya pada kenyataan yang kini menimpanya. Eva sama sekali tidak bersalah. Dalam hal ini, dirinyalah yang bersalah karena sejak awal tidak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Dengan gontai, Bruce memasuki apartement Eva. Ia memutuskan akan menginap di sini pagi ini. Instingnya mengatakan Eva akan kembali kemari karena ponsel dan dompet wanita itu ada di tangannya. Bruce mengeluarkan ponsel Eva dan membuka aplikasi chatting. Ada banyak nomor yang tidak dikenalinya di sana, tetapi satu hal yang jelas ia tahu adalah saat ini Eva belum memiliki pasangan. Terlihat dari tidak adanya panggilan yang berkepanjangan atas menghilangnya Eva yang tiba-tiba.
Bruce meletakkan tas Eva di atas nakas dan membuka baju serta sepatunya. Sebelumnya ia meminta para pengawalnya untuk berjaga di luar apartement Eva agar jika gadis itu tiba-tiba muncul, pengawalnya bisa langsung menghubunginya. Setelah itu, ia berbaring di atas tempat tidur, mencoba memejamkan mata meskipun benaknya melayang kemana-mana. Satu jam kemudian, ia sudah berpindah ke alam mimpi.
Pagi harinya, Bruce terbangun dengan perasaan sangat kacau. Ia tidur kurang dari lima jam. Dan hingga detik ini, ia juga belum mendapatkan kabar dari Eva. Bruce beranjak dari tempat tidur dan bergegas mandi lalu sarapan. Hari ini ia akan menunggu sampai Eva menunjukkan batang hidungnya. Mereka perlu bicara. Atau lebih tepatnya, Bruce harus tahu kemana Eva pergi, di mana gadis itu menginap dan siapa laki-laki yang tidur dengannya sisa malam itu.
Lama ia menunggu, akhirnya ia mendapat panggilan dari salah satu pengawalnya yang mengatakan Eva datang dengan seorang laki-laki yang mereka duga sebagai teman kencan Eva semalam. Bruce meminta agar mereka segera mengantar Eva kembali ke apartementnya setelah mobil pria itu menghilang dari pandangan. Butuh sekitar sepuluh menit hingga Eva sampai ke depan pintu. Dan ketika Bruce menyadari kehadiran wanita itu, ia segera membuka pintu dan meminta Eva untuk masuk.
“Masuk atau aku akan menghancurkan tempat ini.” Kalimat itulah yang akhirnya mampu meluluhkan Eva. Gadis itu melangkah gontai menuju unitnya. Bruce menutup pintu di belakang mereka dan menguncinya. Atmosfer di sekeliling mereka mendadak memanas. Ia melipat tangan di depan dada, menunggu Eva berbicara.
“Apa yang kaulakukan di sini?” gadis itu berbalik dengan angkuh, ikut menyilangkah kedua tangan di depan dada. “Kau tidak seharusnya ada di sini. Ini tempatku.”
“Aku hanya ingin tahu kenapa kau berbohong padaku.”
“Karena aku tidak mau berada satu mobil denganmu. Apa kau puas? Kalau hanya itu yang ingin kautanyakan. Tolong keluar dari sini karena aku berniat untuk tidur.”
“Aku tidak berniat pergi sampai kapan pun.” Ucap Bruce tegas.
Eva mengerutkan keningnya. “Kenapa? Aku tidak suka ada yang mengusik kehidupanku.”
“Di mana kau menginap semalam?”
“Bukan urusanmu!” sahut Eva sinis.
“Dan siapa laki-laki yang bersamamu.”
“Sekali lagi, Bruce, kehidupanku bukanlah urusanmu. Dan ngomong-ngomong, terima kasih sudah menyebar berita bohong tentang hubungan kita. Asal kau tahu, aku sama sekali tidak berniat menikah denganmu.” Katanya tanpa ragu.
Bruce menggeram, sama sekali tidak menyangka kalau Eva akan memperlakukannya seperti ini. Ia datang baik-baik untuk memperbaiki hubungan mereka tetapi sepertinya gadis itu sudah tidak memiliki pintu maaf untuknya. Mungkin- “Inikah yang selalu kau lakukan selama sepuluh tahun terakhir?” Bruce melihat Eva berbalik lagi kepadanya dan menatapnya sengit. “Tidur dengan laki-laki yang berbeda setiap malam dan tidak pernah kembali ke apartementmu sendiri?” tuduhnya.
Eva mengambil napas lalu mengembuskannya. “Kalau jawabanku adalah ‘iya’, apa semua itu masalah bagimu? Dengar, Bruce. Aku berhak tidur dengan laki-laki mana pun yang kumau. Termasuk dengan pria yang semalam kutemui. Hidupku bukan urusanmu dan tidak akan pernah menjadi urusanmu sampai kapan pun. Sekarang, tolong keluar dari sini karena aku sudah muak melihatmu.” Ia menunjuk pintu di belakang Bruce, meminta agar dirinya segera melangkah keluar dari pintu iry. “P-E-R-G-I.”
Bruce menggeleng. “Kita harus bicara.”
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.” Eva maju beberapa langkah dan mendorong Bruce hingga punggungnya menabrak pintu. Ketika Bruce tidak juga bergeming, ia menggunakan kesempatan itu untuk membuka pintu dan kembali berusaha mendorong pria itu. “Jangan pernah muncul di hadapanku lagi!” katanya sambil membanting pintu dengan keras.
Bruce tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Ia terlalu marah saat mendapati dirinya dipermainkan oleh Eva sejak semalam. Dan pagi ini, kehadiran laki-laki yang semalam tidur dengan wanita itu membuatnya semakin frustasi hingga mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya ia ucapkan. Pembicaraan mereka kali sama sekali tidak berakhir baik. Bruce membuat keadaan semakin kacau. Eva tidak akan pernah memaafkannya lagi setelah kejadian ini.
Astaga… bodohnya kau, Bruce! gerutunya pada diri sendiri. Bruce menatap pintu yang tertutup rapat di hadapannya. Pintu itu tidak akan terbuka lagi untuknya.
Namun… tiba-tiba… pintu terbuka. Bruce berpikir Eva berubah pikiran dan memaafkannya, tetapi yang terjadi selanjutnya adalah sebuah kantong plastic yang cukup besar mendarat tepat di kepalanya. Bruce mengaduh dan mengumpat di saat yang bersamaan.
“Bawa barang-barangmu pergi dari sini!” seru Eva sambil membanting pintu lagi.
Yah, barang-barangnya kini berceceran di lantai. Eva mengusirnya dengan cukup jelas dan Bruce mengakui semua itu.
“Bukankah semua ini sempurna untukmu, Bruce?” katanya pada diri sendiri.
SORRY, I’M BUSY.EVA mengambil napas dalam-dalam sembari bersandar di pintu. Ia tidak habis pikir akan menemui Bruce di apartementnya. Dan yang paling menyebalkan adalah ketika pria itu menuduhnya tidur dengan sembarang pria! Apa Bruce tidak tahu kalau dirinya tidak mungkin melakukan hal itu? Jika ayah dan ibunya tahu, mereka berdua tidak akan segan-segan mencabut kebebasannya di dunia modeling dan akan mengurungnya sampai ada seseorang yang meminangnya. Eva meringis membayangkan semua itu. Selama belasan tahun ia bekerja keras demi menjadi dirinya yang sekarang dan ia tidak mau usahanya sia-sia karena ia tidur dengan laki-laki yang baru saja ditemuinya. Astaga, ia tidak sebodoh itu! Siapa pun yang mengenalnya akan langsung menyadari semua itu, tapi memang dasar Bruce. Laki-laki itu tidak pernah mengenal dirinya. Jadi, wajar saja jika Bruce berpikir demikian.Lama ia berdiri di sana. Setengah hatinya berharap Bruce menggedor pint
MY REVENGE!MALAM harinya Eva dan Payton masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponsel mereka dan meminta orang-orang jangan terlalu banyak berasumsi mengenai hubungan Eva dan Bruce. Saat ini, mereka berdua masih tidak tahu apa maksud Bruce mengatakan semua itu kepada media. Karena itulah mereka tidak mau gegabah mengambil keputusan. Eva mengesampingkan egonya untuk tidak menyanggah berita tersebut meski sebenarnya ia ingin sekali melakukannya. Setelah Bruce menyelesaikan wawancaranya dengan media di depan apartement Eva pagi ini, pria itu sama sekali tidak mau menerima panggilannya dan justru memblokir nomornya. Hal itu membuat keduanya frustasi.“Eva, ayahmu menghubungiku lagi!” seru Payton dari dapur. Malam ini mereka terpaksa memasak sendiri dan menikmati makanan yang tersisa di kulkas Eva. Rasanya 2x24 jam tidak akan cukup untuk membalas semua pesan dan panggilan yang masuk. Payton juga terpaksa menjadwal ulang pemot
DATE!BRUCE tersenyum puas saat menatap ponselnya. Selama ini tidak ada yang pernah membuat dirinya merasa bahagia seperti sekarang. Akhirnya, setelah tiga hari memutus komunikasi dengan Eva, ia kembali membuka blokir nomor wanita itu. Yang terjadi sebenarnya adalah Bruce tidak benar-benar memblokir nomor Eva. Ia selalu bisa menerima panggilan atau pesan apa pun yang Eva kirim kepadanya. Ia meminta Romeo mengakali ponsel dan nomornya. Semua itu mudah dilakukan di tangan yang tepat. Ia hanya ingin memberi pelajaran pada Eva. Ini satu-satunya yang ia punya untuk membawa gadis itu kembali ke kehidupannya.Ia selalu menganggap pesan-pesan yang dikirim Eva adalah sebuah hiburan yang sangat menarik di tengah kesibukannya bekerja. Eva yang merengek dengan cara elegan membuatnya ingin tertawa dan tersanjung di saat yang bersamaan. Meski begitu, masih ada yang mengganjal di benaknya. Bruce masih tidak bisa mengenyahkan bayang-bayang laki-laki yang tempo hari tidu
LIKE IT USED TO BE.BERENDAM adalah salah satu hal kesukaan Eva. Dengan aroma mawar dari buble bath, air hangat yang menyapu seluruh tubuhnya dan segelas wine serta alunan musik dengan ditemani pemandangan langit cerah serta bintang-bintang dan bulan yang seolah tengah bercengkerama melengkapi kebahagiaannya malam ini. Tentunya, setelah kencan pertamanya dengan Alex. Kencan yang datang tanpa sebuah rencana besar. Sekali lagi, senyumnya mengembang membayangkan betapa pria itu… sangat sempurna.Alex. Pria dengan perawakan tinggi, rambut gelap sempurna, hidung layaknya perosotan dan tubuh kekar seperti Dewa Romawi. Eva merasa senang saat berada di dekat pria itu. Apalagi, Alex yang datang dari negeri antah berantah sepertinya belum menyadari siapa dirinya. Itu artinya, mereka memang dipertemukan karena sesuatu. Ia sama sekali tidak mengenal Alex dan begitu juga dengan pria itu. Alex datang bukan karena na
THE PANTIES.EVA membuka matanya perlahan saat merasakan sesuatu yang cukup berat menindih perutnya. Ia menggerakkan tangannya untuk menyentuh benda itu dan saat kedua matanya benar-benar terbuka, betapa terkejutnya ia mendapati laki-laki yang sangat dibencinya tengah memeluknya begitu erat. Tanpa banyak bicara, Eva beringsut menjauh dari Bruce, ia lupa tentang kejadian semalam. Satu hal yang pasti, instingnya selalu mengatakan ia harus menjaga jarak dari pria bernama Bruce Spencer Smith-pria yang selalu membuat harinya buruk.“Hai, ada apa?” Bruce menahan dirinya, berkata dengan nada paling lembut yang pernah ia dengar. Di satu sisi, Eva merasa saat ini ia tengah benar-benar bermimpi. Jarang sekali ia mendengar Bruce berkata selembut itu. Namun, sinar mentari yang menerobos masuk melalui kaca jendela kamarnyaa mengingatkan Eva kalau saat ini ia sedang tidak dalam keadaan tidur. “Aku tahu kau marah padaku. Tapi tolong
A DEAL.“KITA HARUS BICARA”. Tiga kata itulah yang Eva ingat sejak pertama kali Bruce mengacaukan hidupnya. Bruce masih berdiri di belakangnya, memandangi dirinya yang tengah memilih baju mana yang akan ia pakai siang ini. “Bruce, tolong beri aku waktu lima menit untuk memakai baju. Setelah itu kita bisa bicara.” Pintanya pada pria paling mneyebalkan yang pernah Eva temui.Bruce mengedikkan bahu. Eva sempat berpikir kalau Bruce akan menolak mentah-mentah permintaan itu. Sampai pria itu berbalik sambil berkata, “Baiklah. Aku akan mandi dulu kalau begitu. Aku tunggu di kamarmu untuk sarapan bersama.”Sepeninggal Bruce, Eva segera mengambil sepasang Victoria Secreet yang tergantung rapi di rak-rak khusus pakaian dalam. Hari ini ia memilih warna hitam. Kebanyakan laki-laki menyukai warna itu. Dan meskipun Bruce tidak melihat pakaian dalamya, Eva merasa Bruc
SECRET RELATIONSHIP.ALEX. Ulang Bruce di benaknya. Ternyata, itulah nama pria itu. Alex. Bruce kembali mengucapkan satu kata itu, kali ini sambil memejamkan mata dan mengambil napas dalam-dalam. Tenang, Bruce. Tenang. Hanya pria biasa yang sedang mencoba menarik perhatian Eva. Seperti pria-pria sebelumnya. Pria-pria pada umumnya yang memuji gadismu. Ini bukan apa-apa, jangan terlalu dipikirkan.“Bruce, apa kau baik-baik saja?” tanya Eva dengan suara rendah.Jawaban yang sebenarnya adalah, Bruce sedang tidak baik-baik saja. Setelah mendengar nama itu, rasanya Bruce ingin sekali meledakkan sesuatu. Atau mengirim seekor gajah ke antariksa lalu meluncurkan gajah itu tepat di atas kepala pria bernama Alex yang dengan lancang mengencani gadisnya. Namun, demi mendapatkan simpati dari Eva, ia pura-pura bersikap bijak. Ah, sungguh usahanya kali ini tidak boleh berakhir sia-sia. Bruce berdeham, “Ya, aku baik-baik saja.&
SHORT MESSAGE.PAYTON melipat kedua tangan di depan dada sembari meamndangi Eva dengan rambut kusutnya. Ini seperti introgasi yang biasa dilakukan oleh seorang polisi kepada salah satu tersangka kasus… pembunuhan. Lebih tepatnya, pembunuhan yang melibatkan harga diri Payton. Saat ini, ia sedang berperan menjadi polisi baik. Tidak ada siksaan untuk Eva dan itu bagus untuk mereka berdua. “Jadi…”“Payton,” Eva memutar bola matanya untuk kedua kalinya. “Ini sama sekali tidak seperti yang kaubayangkan.”“Seseorang menginap di sini dan kau masih bisa bilang ini semua tidak seperti yang kubayangkan? Coba jelaskan.”Eva menghela napas. Di antara dirinya dan Payton, memang nyaris tidak ada batasan. Ia menganggap Payton sebagai teman baik, Payton juga mengetahui tentang rahasia-rahasianya. Mereka mempercayai satu sama lain, wajar jika saat ini Payton ingin tahu apa yang
A PRANK.BRUCE masih menggenggam erat tangan Eva saat mereka hampir sampai di townhouse. Yang akan mereka hadapi setelah ini bukanlah sesuatu yang mudah. Saat ini hubungan keduanya bukan hanya tentang Peri Hutan dan Pangeran Pongky. Lebih dari itu, ada keluarga yang setia memisahkan mereka Bruce dan Eva dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah perjodohan. Tenggorokan Bruce tercekat mengingat fakta itu. Ia masih tidak percaya di era seperti sekarang masih saja ada orangtua kolot seperti ayah dan ibunya. Benar-benar menyebalkan!Eva beringsut dari duduknya. “Kau melamun.” Gumam wanita itu.Antara iya dan tidak. Bruce tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari sosok yang amat sangat ia puja di sisinya. Namun di sisi lain, ia juga memikirkan perjodohan sialan itu. Haruskah ia mengatakan kepada Eva apa yang sebenarnya direncakan oleh keluarganya?“Pongky…” Eva memaksa
OUR PARENTS.BRUCE menatap gadis anggun berambut pirang yang saat ini duduk di atas punggung Romeo. Dia, Eva dan Romeo sama-sama tidak percaya kalau kemenangan mereka ternyata hanya akan bertahan beberapa menit saja. Semula Bruce yakin bisa membawa Andrew kembali ke rumahnya di New York dan mempermalukan pria itu. Atau bahkan menyiksa Andrew sebelum mengembalikan pria itu kepada keluarganya. Sayang, sepertinya kali ini Dewi Fortuna tidak memihak kelompoknya. Terlebih saat gadis itu berkata, “Aku telah membunuh Christoper. Kurasa melenyapkannya tidak akan butuh waktu lama. Aku hanya perlu menarik pelatuk ini dan… kalian semua tahu apa yang akan terjadi.”Pernyataan yang terlalu terang-terangan itu menimbulkan kepanikan yang cukup besar di dalam kepala Bruce. Jika memang itu yang terjadi, dan sepertinya ucapan gadis itu bukanlah sebuah kebohongan. Gadis tanpa itu berkata jujur, terlihat dari keyakin
LADY OF THE WOODS.ROMEO menepuk pundak Bruce dan meremasnya. Sebagai sahabat yang baik, ia ingin memberi sedikit kekuatan pada pria itu. Keduanya telah gagal menyelamatkan Eva. Bruce terduduk sambil menangis tersedu. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain meratapi kepergian Eva. Di tengah isak tangis Bruce, tiba-tiba terdengar suara jeritan. Keduanya langsung waspada. Bruce bangkit hanya untuk mendengar sekali lagi apakah dia salah dengar atau itu hanya imajinasinya semata.“Aku mendengarnya, Bruce. Kurasa orang itu membawa Eva ke dalam hutan.” Romeo berkata dengan amarah yang tersirat dalam suara pria itu. “Sebaiknya kita menyusu mereka.”“Kau yakin?” Bruce bangkit, pria itu menyeka air matanya.“Apakah menurutmu jeritan itu bukan pertanda kalau Eva sedang memberi kita kode agar kita bisa menemukannya?” tanya Rome
HOPELESS.BRUCE melihat mobil Christoper keluar dari pintu gerbang istana. Ia segera memberi kode kepada Romeo untuk mengikuti Christoper sebelum pria itu bersembunyi dan menunggu Eva. Setelah berhasil mengejar sang dokter muda, Romeo menghentikan mobilnya tepat di sisi Christoper. “Aku akan turun dan menemuinya.”Romeo mengangguk dan mengawasi Bruce dari kejauhan. Bagaimana pun, mereka berdua tidak tahu apakah Christoper layak di jadikan teman atau tidak.Perlahan, Bruce mengetuk jendela mobil Christoper. Ia menunggu beberapa saat hingga pria itu bersedia membuka jendelan untuknya. “Hai,” sapa Bruce.Sebelah alis Christoper terangkat, tak lama setelah itu ia membuka mulut. “Maaf, ada yang bisa kubantu?”“Tentu. Bisa kita bicara?” pinta Bruce. “Kau tidak perlu turun dari mobil dan perlu kujelaskan kalau aku tidak berniat buruk padamu.”
CHRISTOPER.ANDREW melangkah keluar dari mobil dengan menggendong Eva ala bridal style. Ia menatap wajah damai gadis itu, ujung bibirnya terangkat mendapati keberadaan mereka di Glamis Castle. Mereka hanya perlu melangkah lebih dalam ke kastil tersebut, mengeluarkan microchip dan semuanya selesai. Perang yang sudah ia mulai sejak berhari-hari yang lalu akhirnya dimenangkan oleh dirinya berkat Julliet dan ayah mereka. Tiba-tiba ia rasa sayang terhadap keluarganya meningkat dua kali lipat. Dalam hati Andrew berjanji tidak akan mengabaikan keluarganya lagi setelah ini.“Sebaiknya kita masuk sekarang.” Suara Julliet memaksa Andrew keluar dari lamunannya.Andrew mendongak, menatap adiknya penuh penghargaan. “Baiklah.” Ujarnya parau. Ia lalu membawa kedua kakinya menuju bangunan kastil tua itu. Sekilas Andrew melihat batapa indahnya Glamis Castle. Tamannya yang hijau dan luas mem
THE GLAMIS CASTLE.BRUCE mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit. Kepalanya yang masih berdenyut membuat ia nyaris tersungkur. Untungnya seseorang membantunya bangkit sebelum ia tubuhnya benar-benar ambruk ke lantai. “Astaga, apa yang kau lakukan di sini!” gerutu sebuah suara yang sangat dikenali oleh Bruce.Ujung bibir Bruce terangkat hingga membentuk sebuah senyuman getir. “Apa yang kaulakukan di sini?” bisiknya pada Romeo.Romeo mendesah sembari membantu Bruce berdiri dengan baik. “Mencarimu, memmastikan kau baik-baik saja. Kau pikir apa? Aku tahu sesuatu padamu.”“Aku tertidur, Romeo. Tidak ada yang terjadi padaku.”“Kau pingsan.” Ralat Romeo. “Kita tidak perlu berbisik-bisik. Tidak aka nada yang mendengar kita di sini.”Bruce melihat sekeliling, mereka berada di tengah salah satu sudut kastil yang dibungkus
ESCAPE PLAN.BRUCE mengambil napas dalam-dalam saat mobil yang dikendarai oleh Huxley menepi. Keduanya turun untuk membeli tiket seperti pengunjung lain. Sialnya, antrian cukup panjang sehingga memaksa Bruce dan Huxley untuk berlama-lama berdiri bersama orang-orang yang penasaran dengan tempat bersejarah tersebut. “Apa kau yakin dengan rencana ini?” tanya Huxley yang kulitnya mulai memerah akibat sengatan matahari.“Kita mungkin tidak bisa menemukan Eva sekarang, tapi setidaknya kita tahu seperti apa tempat dia disekap.” Sahut Bruce acuh.Siang itu pertama kalinya Bruce pergi ke sebuah tempat yang cukup ramai hanya berdua dengan Huxley. Sepanjang hidupnya, ia selalu berada di bawah bayang-bayang bodyguard yang dipekerjakan sang ayah untuk menjaganya. Situasi yang terbilang baru dan berbahaya ini memicu adrenalinnya. Jika biasasanya dia hanya perlu memerintah jika menginginkan sesuat
THE EDINBURGH CASTLE.ANDREW menemui Julliet pada pagi harinya saat Eva belum membuka mata. Ia perlu berbicara dengan sang adik perihal kedatangan mereka berdua ke Kastil Edinburgh. Apakah ada yang curiga dengan kehadiran Andrew yang tiba-tiba atau tidak ada satu pun yang peduli padanya. Meskipun rasanya semua itu mustahil mengingat betapa terkenalnya dirinya. Saat tiba di kamar sang adik yang sedikit nyeleneh, Andrew melihat gadis itu masih sibuk dengan berbagai macam computer di ruang kerjanya. Julliet memang terbilang gadis yang cukup unik, jika orang lain menyibukkan diri mereka dengan berbelanja barang-barang mewan, berbeda sekali dengan adiknya yang satu ini.“Ada masalah?” tanya Andrew saat tiba di sisi adiknya.“Aku masih harus memastikan kalau mereka tidak menemukan lokasi kita. Benda kecil pengintai itu tidak lagi bisa kuretas. Ternyata, kemarin hanyalah sebuah keberuntungan bel
JULLIET.ANDREW hanya bisa melihat kepergian Eva dan pria yang ia ketahui bernama Bruce. Ia menatap geram mereka berdua. Beraninya Bruce mempermalukan dirinya. Beraninya pria itu membawa kabur wanita yang sangat diinginkannya itu. Andrew meninju tembok dengan kepalan tangan yang cukup kuat. Seandainya saja ia punya kekuatan super, tembok dan seluruh gedung itu pasti sudah runtuh dalam sekali pukulan. Sayang, dia bukanlah Thor yang bisa menghancurkan gedung pencakar langit hanya dengan satu pukulan dari palunya.Segera setelah punggung mereka berdua menghilang, ia bergegas kembali ke rumah. Keinginannya untuk menghabiskan satu malam penuh dengan Eva telah kandas, ia membutuhkan pelampiasan untuk menyalurkan hasrat yang sejak beberapa saat lalu menderanya. Andrew mengambil ponsel lalu menghubungi Sabrina, seorang model papan atas yang entah berapa kali tidur dengannya. Mereka memang kerap menghabiskan malam hanya untuk bers