Anggara tidak menginginkan perceraian.Ia menginginkan istrinya. Di sini. Sekarang.Selamanya.Sambil menggeram pelan Anggara bergerak menuruni tubuh Citra dan menggunakan mulutnya untuk memuaskan wanita itu, menuntut setiap rahasia dari wanita yang telah menghantui setiap segi hidupnya sejak pertemuan mereka.Godaan, sensasi Anggara menganggap dirinya pria yang terkendali, tapi saat ini tak ada kendali, tidak saat Citra terbaring di bawahnya. Tanpa ampun, ia mengirim Citra kembali ke puncak gairah, mendorongnya dengan posesif sampai akhirnya wanita itu membisikkan namanya. Citra miliknya, dan akan selalu menjadi miliknya. Panas membara ini sungguh luar biasa.Mata Anggara terpejam.Saat tubuh Citra mengencang di sekeliling tubuhnya Anggara merasa benaknya hampa dan hatinya terkoyak. Inilah yang selalu terjadi di antara mereka. Lebih daripada sekadar seks. Penyatuan yang jauh melebihi hubungan fisik. Masalah apa pun mereka miliki, hal ini akan selalu membereskannya. Tanpa menyadari ap
Citra memejamkan matanya sejenak dan berusaha menjernihkan pikirnya. Mengendalikan emosinya yang bergejolak ."Karena kita baru saja bercinta? Apa teknikmu yang hebat seharusnya memiliki efek yang sama dengan cuci otak? Itu hanya tindakan fisik, Anggar. Tidak punya makna emosional." Anggara mengumpat pelan dan akhirnya menjauhkan tubuh. Sambil berguling telentang ia mencengkeram rambutnya sebagai tanda frustrasi. "Kamu membuatku gila, kamu tahu itu kan?" "Kamu pun begitu." Citra ingin Anggara melepaskannya, tapi sekarang saat pria itu melakukannya ia merasa sangat kehilangan. Begitulah cara mereka terlelap, ingatnya, selalu saling memeluk. Ia belum pernah bergantung pada siapa pun, tapi caranya tidur dengan Anggara adalah momen ketika ia melonggarkan peraturan itu.Itu membuat malam menjadi waktu favoritnya. Citra merasa dirinya semakin lemah. Ia baru akan berbalik ke arah Anggara ketika pria itu bangkit dari ranjang, tak memedulikan kondisinya yang telanjang. Anggara benar-benar
"Apa kamu membenciku karena menghadiri satu pertemuan lagi ketika aku seharusnya menemani kamu untuk memeriksakan dirimu pasca kecelakaan itu. Kita berdua melakukan kesalahan. Menikah berarti memperbaikinya dan melangkah maju. Itulah yang sedang kita lakukan."Dia benar-benar sombong, pikir Citra putus asa saat menutup koper dan menggenggam pegangannya. Pria itu begitu yakin satu-satunya yang harus dia lakukan adalah menjentikkan jemari dan apa pun yang dia inginkan akan terjadi. Begitu percaya diri bahwa dia mampu menghapus masa lalu."Kamu pikir kita bisa melangkah maju, tapi kamu sama sekali tak tahu apa yang terjadi hari itu." Citra gemetar penuh ketegangan saat membayangkan kejadian itu. "Kamu tidak tahu bagaimana perasaanku."Penampilan dingin Anggara berubah. "Kalau begitu katakan padaku bagaimana perasaanmu. Katakan padaku sekarang. Jangan sembunyikan apa pun."Koper terjatuh ke lantai dengan suara keras. "Itu diawali dengan saat aku dengan terpaksa kehilangan bayiku." Suara
"Aku tidak akan hamil lagi." Bibir Citra terasa kaku dan darah mengalir deras di sepanjang tubuhnya. "Itu tidak akan mungkin terjadi." "Kamu hanya keguguran bukan..." Alis Anggara membentuk kernyit. "Tapi..." "Kecelakaan itu membuat aku tidak akan bisa hamil lagi." Hanya dengan mengatakannya membawa kembali berbagai kenangan yang menyiksa itu. Citra harus berhenti dan napasnya tersendat, dan itu mengejutkannya karena ia menyangka pengalaman itu seharusnya tidak lebih daripada sekadar kenangan buruk. Ia menekan perut dengan telapak tangan, ke bagian tubuhnya yang tak lagi berfungsi dengan berbagai akibat yang begitu mengerikan. Ia memikirkan anak mereka. "Jika saja aku tidak ada dalam kebakaran itu,mungkin kamu akan menggendong seorang anak sekarang." Keheningan itu mencekam.Citra belum pernah menyaksikan Anggara tak mampu mengucapkan apa pun. Ia belum pernah menyaksikan Anggara begitu tidak yakin dan tak nyaman.Tapi ia menyaksikannya sekarang. Kepercayaan diri Anggara yang begi
Kebanyakan dari orang orang terlalu memedulikan masa depan sehingga tidak ada yang berani menantang Anggara.Citra tak memperlihatkan sikap hati-hati seperti itu. Dia benar-benar yakin dengan dirinya sendiri, keyakinan yang timbul karena telah membuat keputusan sendiri sepanjang hidupnya. Anggara segera menyadari satu-satunya orang yang dipercayai Citra dalam hidupnya adalah diri wanita itu sendiri.Dalam benaknya Anggara mendengar suara Citra pada hari wanita itu datang ke ruang kerjanya untuk menawarkan pernikahan kepadanya."Anda yang menerimaku," ia mengingatkan Anggara dalam suara dingin sambil menggarisbawahi daftar permintaannya sebelum menjalani kehidupan pernikahan. Karena dirinya. Karena sikapnya yang tak mau tahu dan egois.Tentu saja ia punya alasan. Alasan untuk mematikan ponselnya dan berusaha menjauhkan semua gangguan. Alasannya memilih untuk tetap tinggal dan bukannya pulang untuk menemani Citra. Tapi Anggara tidak memberitahukan alasan-alasan itu karena penjelasan ap
"Kamu hanya ingin membela dirimu sendiri. Itulah yang selalu kamu lakukan." Anggara menarik napas dalam. Sesaat Citra menyangka pria itu akan mengulurkan tangan ke arahnya, tapi kemudian Anggara berubah pikiran dan membiarkan tangannya jatuh kembali ke sisi tubuh. "Bahkan aku pun tak bisa membela apa yang tak bisa dibela." Seorang wanita di dekat Citra menghela napas panjang, tapi Citra tak menghiraukannya. "Apa akhirnya kamu mengakui sikapmu mungkin tidak sempurna?" "Sikapku buruk sekali." Bukan kata-kata itu yang menarik perhatian Citra, walaupun itu memang bukan kata-kata yang biasa diucapkan Anggara. Penampilan Anggara yang berantakanlah yang akhirnya membuat Citra berpikir bahwa mungkin upaya pria itu untuk berbicara dengannya lebih didorong oleh kesadaran daripada keinginan yang biasa untuk membuktikan bahwa dia benar dalam segala hal. Ia tak pernah melihat Anggara tampil berantakan. Pria itu bukan hanya benar-benar perlu bercukur, tapi dia jelas meninggalkan rumah dengan
"Aku tidak suka kejutan." Citra mengingatkan diri bahwa satu-satunya yang ia berikan pada Anggara adalah kesempatan untuk meminta maaf secara pantas dan tanpa disaksikan orang lain. Ia menyelinap ke dalam mobil. "Apakah menurutmu tidak lebih baik kalau kamu pulang dulu kerumah dan berganti pakaian? Mengemasi kopermu?" "Tidak." "Kamu mengenakan separuh tuksedo. Kamu terlihat menggelikan." Sebenarnya tidak. Anggara terlihat sangat seksi, dan itu tidak adil karena dia mengenakan pakaian dengan terburu-buru namun masih bisa menarik perhatian setiap wanita yang ada di bandara. Termasuk Citra.Mesin menyala dengan suara rendah dan Anggara menoleh untuk melihat Citra, mata Cokelatnya bertemu mata wanita itu. "Apa kamu memedulikan pakaianku? Apa ada pengaruhnya untukmu?" Bahkan di sini, dengan suara klakson yang keras dan orang-orang yang menatap mereka, ketertarikan di antara mereka terasa panas dan membara.Aku tak mampu memadamkannya, pikir Citra putus asa, merasakan udara di sekeliling
"Kita menuju selatan. Apa kamu akan melemparkanku ke lautan yang luas dan membunuhku?" "Ide yang menggoda." Sudut-sudut mulut Anggara bergerak-gerak. "Dan ya, kita memang menuju selatan." Mata Citra tertuju pada puncak gunung di kejauhan. "Aku selalu menyukai bagian Malang yang ini." "Aku tahu." Mereka sudah melewati jalan raya dan mendaki, mobil itu meliuk-liuk mengitari tikungan di bawah kendali cekatan Anggara. "Apa yang kamu lakukan?" Jantung Citra sedikit berdebar saat menyadari ke mana tujuan mereka. "Kamu membawaku ke Sendang ?" Itulah tempat yang biasa Citra tuju saat menghabiskan sebagian masa liburan sekolah bersama ayahnya dan Citra sangat menikmati kealamian tempat itu. Ya, tempat itu memang tempat favorit pelancong, tapi karena alasan yang bagus. Tempat itu menakjubkan.Desa purba yang menjadi sumber inspirasi para seniman dan pelukis selama bertahun-tahun itu terletak di atas tebing sementara di bawahnya terhampar kesempurnaan Laut Selatan yang berkilauan, permukaann
"Maksudmu, ini bukan pertama kalinya?" seru Anggara dengan wajah panik, membuka ponsel untuk menghubungi dokter Mila dan gusar karena selama ini tidak diberitahu. "Kenapa kamu tidak cerita padaku?""Oh, pergilah dan jangan ribut, Anggara," erang Citra sambil mendekati wastafel untuk mencuci wajah sehabis muntah-muntah yang tadi membuatnya melompat dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Saat ini, ia betul-betul tak butuh penonton. "Ini hanya gangguan perut biasa... mungkin karena menu makananku berubah. Aku terlalu banyak makan makanan pedas."ujar Citra yang terus menahan rasa mualnya"Aku akan mempekerjakan koki baru jika begini akibatnya. Sudah berapa kali ini terjadi?" desak Anggara, bicara cepat dalam bahasa inggris kepada seorang pelayan yang berdiri di dekat mereka. Kemudian, ia mengangguk dan mengatupkan bibir sensualnya saat mendengar jawaban yang membenarkan kecurigaan terburuknya. Wajah tampannya berubah suram mengiringi suasana hatinya. "Kamu harus kembali ke tem
Anggara masuk ke kamar setelah larut malam dan berbaring di sisi tempat tidurnya sementara Citra berpura-pura terlelap. Ia malu atas kenyataan yang Anggara sodorkan ke hadapannya dan amat menyesali pilihannya sekarang. Pagi hari saat ia terjaga, Anggara sudah pergi, dan itulah awal dari tiga minggu yang amat sepi ketika Citra jarang sekali melihatnya. Anggara makan pagi sebelum Citra turun dari tempat tidur, yang justru membuat wanita itu lega karena pada minggu ketiga ia merasa perutnya tidak nyaman, yang ia duga akibat kehamilan yang masih ia sembunyikan. Ia terkadang mual pada pagi hari, bahkan muntah beberapa kali, tetapi kemudian baik-baik saja saat siang dan malam.Tanpa menyadari penderitaan Citra pada pagi hari, Anggara kerap muncul saat makan siang, mengajaknya berbincang dengan amat sopan, tetapi Citra hanya menerima tanggapan dingin. Anggara kembali pada kebiasaannya makan malam bersama Citra. Dan suatu pagi, pria itu mengumumkan sekilas akan terbang ke Singapura untuk men
Citra masih tersenyum-senyum sendiri saat kembali masuk ke tempat tidurnya. Ia tidak sabar memberitahu kepada Anggara tentang kabar bahagia ini. Dengan tatapan penuh harap ia mengeluarkan ponsel dan membaca pesan masuk pada ponselnya.Pesan itu dari Andi. AKU KEHABISAN UANG. BUTUH UANG 500 JUTA. Citra membaca pesan itu dengan mata membelalak kecewa serta mulut mengatup. Ada apa dengan Andi?Ia betul-betul tidak tahu malu. Ia bergegas mengetik pesan balasan. AKU TIDAK AKAN MEMBERIMU UANG UANG SEBANYAK ITU. DIA HARUS MEMBERIKU UANG JIKA TIDAK INGIN FOTO FOTONYA BERSAMA GADIS GADIS DI SURABAYA TEREKSPOS KE MEDIA. Dengan perasaan terpukul bercampur ngeri, Citra duduk tertegun sambil menatap layar ponsel. Mereka telah tiba di pusat kota saat akhirnya ia bisa menenangkan perasaan yang campur aduk. Ia mengangkat telepon untuk bicara dengan Lilir yang duduk di samping sopir. "Aku ingin pulang ke rumah. Aku terlalu capek untuk belanja sore ini," ujarnya. Gadis-gadis? Di Surabaya? Perutnya
Selama beberapa hari ini Laurel lebih terbuka dibandingkan yang terjadi selama pernikahan mereka, namun Anggara tidak akan tertipu. Ketika Citra merasa terancam, dia menutup diri. Itulah cara wanita itu melindungi dirinya sendiri. Di sini, Anggarq tidak bersedia membiarkan Citra bersembunyi tapi ia cukup realistis untuk tahu bahwa ketika mereka kembali ke dunia sibuk tempat mereka tinggal, segalanya akan berubah. "Seminggu," janjinya di bibir Citra, "kita akan kembali selama seminggu. Dan kita akan bersama-sama pada awal dan akhir setiap hari. Sarapan setiap pagi dan makan malam setiap malam. Sendang tidak jauh dari Brakseng. Aku takkan pergi lama. Aku berjanji." Citra mengawasi saat Anggara mengirimkan e-mail dengan satu tangan sambil mengikat simpul dasi sutranya dengan tangan yang satu lagi. Secangkir kopi dingin tergeletak tak tersentuh di meja karena ia tak sempat meminumnya. Sejak mereka tiba kembali di Brakseng, rumah yang dimiliki keluarga Anggara selama beberapa generasi,A
Anggara mendekatkan wajahnya menatap wajah Citra,Matanya menyipit . "Kamu tak mau aku melakukannya?" Citra bisa saja berbohong. Ia bisa saja membiarkan hubungan mereka berjalan tanpa memberitahu Anggara hal sebenarnya, tapi mereka sudah menghadapi cukup banyak hambatan dalam pernikahan mereka tanpa ia menciptakan hambatan baru. "Tidak." Citra menggeleng perlahan, tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan masa depan mereka. "Tidak, aku tidak mau. Ada sesuatu yang belum kuberitahukan padamu. Sesuatu yang belum kukatakan dengan sejujurnya." Anggara terdiam, wajahnya dibayangi cahaya yang semakin temaram. "Katakanlah." Bagaimana Citra bisa menjelaskannya? Dari mana ia memulainya? "Kehilangan bayi kita adalah hal terburuk yang pernah kualami. Ketika merasakan rasa sakit pertama itu aku berpikir, Jangan, tolonglah, jangan sampai ini terjadi. Aku panik. Tak ada, benar-benar tak ada, yang paling kuinginkan di dunia ini seperti aku menginginkan anak kita." Mata Citra basah k
Citra sangat gemetar sehingga tak yakin kedua kakinya mampu menopang tubuh. "Kupikir aku tak boleh melihat rumah." "Tidak lagi. Aku punya kejutan untukmu. Hadiah." Saat mereka menuruni tangga taman itu, Anggara memegang tangan Citra dengan erat dan mengernyit. "Tanganmu dingin. Apa kamu baik-baik saja?" "Aku tak apa-apa." Citra ingin memberitahu Anggara bahwa ia tak membutuhkan hadiah-hadiah besar dari pria itu, bahwa hadiah-hadiah bukanlah alasan ia bersama Anggara. Tapi satu-satunya yang bisa ia pikiran adalah kenyataan bahwa Anggara akan membuat janji untuk menemui dokter padahal itulah hal terakhir yang ia inginkan.Anggara memperpanjang langkah-langkahnya. "Aku tak sabar menunggumu melihatnya." "Dokter itu?" Anggara melirik lembut. "Aku sedang membicarakan hadiahku untukmu." "Oh. Aku yakin aku akan menyukainya," ucap Citra parau, tahu ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Anggara.Mereka tiba kembali di rumah dan Anggata segera melangkah menuju ruang kerja, salah sat
"Jika kita melakukan ini..." Citra membiarkan kata itu menggantung "...bagaimana dengan anak yang selalu kamu impikan?" "Kamulah keluarga yang kuimpikan dan untuk yang lainnya..." Anggara mengabaikan anjing-anjing itu, mencondongkan tubuh ke depan, menyingkirkan kuas dari tangan Citra dan menarik wanita itu berdiri "...kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Tapi kita akan menemukannya bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Apa pun yang kamu pikirkan, kamu harus memberitahuku dan kali ini aku akan mendengarkan dengan teliti. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Anggara menangkup wajah Citra dengan kedua tangan, merasakan kelembutan kulit Citra di telapak tangannya. "Pada saat aku selesai membuktikan padamu tidak akan ada ruang bagi keraguan dalam benakmu." Keheningan mencekam dan Anggara menyadari makna sebenarnya dari kata ketegangan. Ia bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan jika Citra menjauhkan diri karena ia tahu ia tidak akan pernah menerima kata tidak. Kedua mata hit
Citra berharap bisa menerimanya dengan mudah dan bagi jutaan wanita lain mungkin demikian. Mendengarkan Anggara Dobson mengatakan "Aku mencintaimu" telah menjadi puncak ambisi banyak wanita. Untuk Citra, itu sekadar ucapan biasa. Citra frustrasi dengan dirinya sendiri, turun dari ranjang, mengenakan jubah kamar dan melangkah menuju teras. Kenyataan bahwa Anggara membiarkannya pergi dengan begitu mudah memberitahunya banyak hal tentang perasaan pria itu sekarang, saat sedalam apa perasaan tidak amannya yang terungkap. Ketakutan dalam bentuk sensasi dingin merayap di sekujur tubuhnya yang panas ketika akhirnya ia menyadari masa depan pernikahan mereka bukan bergantung pada kemampuannya untuk memiliki anak, tapi kemampuannya untuk memercayai Anggara supaya tidak melukainya. Apa maksud Citra, ia tidak pernah memberi wanita itu tanda apa pun? Anggara berbaring telentang di ranjang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, memikirkan kembali pernikahan mereka selama dua tah
Anggara menginginkan Citra menceritakan kegundahannya . Dan dia layak mendapatkannya. "Dari kecil aku menginginkan seorang saudara,baik itu laki laki maupun perempuan. Aku selalu kesepian saat ayahku bekerja.Aku tidak punya siapa siapa yang dapat di ajak bicara. Dan ketika ayahku meninggal aku benar benar menjadi sendiri dan merasa sebatang kara. Ini membuat aku mengalami gangguan kecemasan yang akut.Citra berbaring telentang, menjauhkan diri dari Anggara. Citra mengubah suaranya menjadi santai sambil menoleh memandang Anggara. "Jadi sekarang kamu tahu mengapa aku benar- benar kacau." Dan tak ada keluarga, tapi Citra tidak menyebutkan bagian itu. Tidak menyebutkan mengenai kesedihan dan perasaan di sendiri yang mengikuti pengalaman traumatis tersebut. "Mungkin jika aku membaca beberapa cerita dongeng, aku tidak akan menjadi separah ini. Masalahnya, aku tidak akan tahu akhir yang bahagia bahkan jika aku mengalaminya sendiri." Keheningan terasa di antara mereka dan Aggara bersandar d