"Kamu hanya ingin membela dirimu sendiri. Itulah yang selalu kamu lakukan." Anggara menarik napas dalam. Sesaat Citra menyangka pria itu akan mengulurkan tangan ke arahnya, tapi kemudian Anggara berubah pikiran dan membiarkan tangannya jatuh kembali ke sisi tubuh. "Bahkan aku pun tak bisa membela apa yang tak bisa dibela." Seorang wanita di dekat Citra menghela napas panjang, tapi Citra tak menghiraukannya. "Apa akhirnya kamu mengakui sikapmu mungkin tidak sempurna?" "Sikapku buruk sekali." Bukan kata-kata itu yang menarik perhatian Citra, walaupun itu memang bukan kata-kata yang biasa diucapkan Anggara. Penampilan Anggara yang berantakanlah yang akhirnya membuat Citra berpikir bahwa mungkin upaya pria itu untuk berbicara dengannya lebih didorong oleh kesadaran daripada keinginan yang biasa untuk membuktikan bahwa dia benar dalam segala hal. Ia tak pernah melihat Anggara tampil berantakan. Pria itu bukan hanya benar-benar perlu bercukur, tapi dia jelas meninggalkan rumah dengan
"Aku tidak suka kejutan." Citra mengingatkan diri bahwa satu-satunya yang ia berikan pada Anggara adalah kesempatan untuk meminta maaf secara pantas dan tanpa disaksikan orang lain. Ia menyelinap ke dalam mobil. "Apakah menurutmu tidak lebih baik kalau kamu pulang dulu kerumah dan berganti pakaian? Mengemasi kopermu?" "Tidak." "Kamu mengenakan separuh tuksedo. Kamu terlihat menggelikan." Sebenarnya tidak. Anggara terlihat sangat seksi, dan itu tidak adil karena dia mengenakan pakaian dengan terburu-buru namun masih bisa menarik perhatian setiap wanita yang ada di bandara. Termasuk Citra.Mesin menyala dengan suara rendah dan Anggara menoleh untuk melihat Citra, mata Cokelatnya bertemu mata wanita itu. "Apa kamu memedulikan pakaianku? Apa ada pengaruhnya untukmu?" Bahkan di sini, dengan suara klakson yang keras dan orang-orang yang menatap mereka, ketertarikan di antara mereka terasa panas dan membara.Aku tak mampu memadamkannya, pikir Citra putus asa, merasakan udara di sekeliling
"Kita menuju selatan. Apa kamu akan melemparkanku ke lautan yang luas dan membunuhku?" "Ide yang menggoda." Sudut-sudut mulut Anggara bergerak-gerak. "Dan ya, kita memang menuju selatan." Mata Citra tertuju pada puncak gunung di kejauhan. "Aku selalu menyukai bagian Malang yang ini." "Aku tahu." Mereka sudah melewati jalan raya dan mendaki, mobil itu meliuk-liuk mengitari tikungan di bawah kendali cekatan Anggara. "Apa yang kamu lakukan?" Jantung Citra sedikit berdebar saat menyadari ke mana tujuan mereka. "Kamu membawaku ke Sendang ?" Itulah tempat yang biasa Citra tuju saat menghabiskan sebagian masa liburan sekolah bersama ayahnya dan Citra sangat menikmati kealamian tempat itu. Ya, tempat itu memang tempat favorit pelancong, tapi karena alasan yang bagus. Tempat itu menakjubkan.Desa purba yang menjadi sumber inspirasi para seniman dan pelukis selama bertahun-tahun itu terletak di atas tebing sementara di bawahnya terhampar kesempurnaan Laut Selatan yang berkilauan, permukaann
Mereka berdua menikmati makan siang di bagian teras yang teduh, dikelilingi taman yang memukau dan rumpun pohon-pohon apel yang berbuah ranum. Citra memakan Steak dengan saus dan bumbu-bumbu yang di dapat dari laut di sekitar istana itu, pipinya pucat dan matanya terasa lelah saat ia pelan-pelan menikmati makanannya. Anjing-anjing berbaring dekat kakinya sambil memandangnya dengan tatapan memuja yang konyol, tidak bersedia meninggalkannya saat mereka terengah- engah di tengah cuaca panas. Dan aku pun sama nakalnya dengan anjing-anjing ini, pikir Anggara ironis saat menunggu Citra menceritakan rahasianya. Ia tahu benar apa yang ada dalam benak Citra. Tidak butuh seorang cerdas untuk menebaknya dan Anggara bisa saja mengungkit masalah itu, tapi ia ingin melihat apakah Citra akan melakukan itu tanpa dorongannya. Menyadari bahwa hal itu kemungkinan besar takkan terjadi ketika situasi di antara mereka terasa begitu tegang, Anggara memilih mengalihkan percakapan ke masalah netral. "Di man
Itu pertanyaan yang ditanyakan Anggara pada dirinya sendiri jutaan kali. "Aku dibutakan oleh pembelaan diri bahwa kamu mengabaikan pernikahan kita. Aku melakukan banyak kesalahan. Beri aku kesempatan untuk memperbaikinya."Muncul keheningan yang lama. "Bisakah kita pergi jalan-jalan ke kota? Aku selalu menyukai toko-toko barang barang kerajinan kecil dan kesibukan di sana."Saat itu, Anggara menyadari betapa takutnya ia jika Citra akan menuntut diantarkan kembali ke bandara. Jika wanita itu takkan memberinya satu kesempatan lagi. "Ini masih siang. Kamu akan kepanasan dan berdesak-desakan dengan para wisatawan.""Aku yakin kamu punya topi di antara pakaian-pakaian yang kamu belikan untukku dan kita berdua bisa melewati para pelancong itu. Please? Aku ingin sekali melakukan sesuatu yang normal." Normal?"Tak ada yang normal dengan berjalan-jalan di sepanjang Pusat kota Batu di bawah terik matahari." Terutama saat aku ingin membawamu ke ranjang, melepaskan pakaianmu dan menjelajahi seti
"Tidak. Ini tidak sama. Ini lebih rumit lagi." Meskipun Citra bisa berdiri seperti itu selamanya, ia menjauhkan diri karena percakapan ini perlu dituntaskan. "Ini tidak mudah bagiku karena aku tumbuh dewasa mengimpikan keluarga serta anak-anak. Aku mempunyai ambisi-ambisi itu. Kurasa aku hanya tidak memercayai akhir yang bahagia. Tapi kamu memercayainya.""Aku tidak akan menggambarkannya sebagai ambisi. Lebih sebagai asumsi. Dan jika kamu berpikir apa yang baru saja kamu katakan padaku akan mengubah perasaanku padamu, maka kamu benar-benar tak tahu betapa aku mencintaimu." Suara Anggara terdengar gemetar. "Yang berarti aku masih punya banyak hal untuk dibuktikan.""Aku tidak ingin kamu berkorban, Anggara..." Kali ini Citra benar-benar menjauh dari pria itu. "Aku bahkan tidqk tahu apakah kita punya masa depan bersama. Kamu memintaku mengambil risiko dan aku tidak yakin bisa melakukannya, terutama setelah apa yang baru saja kukatakan padamu. Ini keputusan besar." "Dibandingkan dengan ke
Anggara menginginkan Citra menceritakan kegundahannya . Dan dia layak mendapatkannya. "Dari kecil aku menginginkan seorang saudara,baik itu laki laki maupun perempuan. Aku selalu kesepian saat ayahku bekerja.Aku tidak punya siapa siapa yang dapat di ajak bicara. Dan ketika ayahku meninggal aku benar benar menjadi sendiri dan merasa sebatang kara. Ini membuat aku mengalami gangguan kecemasan yang akut.Citra berbaring telentang, menjauhkan diri dari Anggara. Citra mengubah suaranya menjadi santai sambil menoleh memandang Anggara. "Jadi sekarang kamu tahu mengapa aku benar- benar kacau." Dan tak ada keluarga, tapi Citra tidak menyebutkan bagian itu. Tidak menyebutkan mengenai kesedihan dan perasaan di sendiri yang mengikuti pengalaman traumatis tersebut. "Mungkin jika aku membaca beberapa cerita dongeng, aku tidak akan menjadi separah ini. Masalahnya, aku tidak akan tahu akhir yang bahagia bahkan jika aku mengalaminya sendiri." Keheningan terasa di antara mereka dan Aggara bersandar d
Citra berharap bisa menerimanya dengan mudah dan bagi jutaan wanita lain mungkin demikian. Mendengarkan Anggara Dobson mengatakan "Aku mencintaimu" telah menjadi puncak ambisi banyak wanita. Untuk Citra, itu sekadar ucapan biasa. Citra frustrasi dengan dirinya sendiri, turun dari ranjang, mengenakan jubah kamar dan melangkah menuju teras. Kenyataan bahwa Anggara membiarkannya pergi dengan begitu mudah memberitahunya banyak hal tentang perasaan pria itu sekarang, saat sedalam apa perasaan tidak amannya yang terungkap. Ketakutan dalam bentuk sensasi dingin merayap di sekujur tubuhnya yang panas ketika akhirnya ia menyadari masa depan pernikahan mereka bukan bergantung pada kemampuannya untuk memiliki anak, tapi kemampuannya untuk memercayai Anggara supaya tidak melukainya. Apa maksud Citra, ia tidak pernah memberi wanita itu tanda apa pun? Anggara berbaring telentang di ranjang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, memikirkan kembali pernikahan mereka selama dua tah
"Maksudmu, ini bukan pertama kalinya?" seru Anggara dengan wajah panik, membuka ponsel untuk menghubungi dokter Mila dan gusar karena selama ini tidak diberitahu. "Kenapa kamu tidak cerita padaku?""Oh, pergilah dan jangan ribut, Anggara," erang Citra sambil mendekati wastafel untuk mencuci wajah sehabis muntah-muntah yang tadi membuatnya melompat dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Saat ini, ia betul-betul tak butuh penonton. "Ini hanya gangguan perut biasa... mungkin karena menu makananku berubah. Aku terlalu banyak makan makanan pedas."ujar Citra yang terus menahan rasa mualnya"Aku akan mempekerjakan koki baru jika begini akibatnya. Sudah berapa kali ini terjadi?" desak Anggara, bicara cepat dalam bahasa inggris kepada seorang pelayan yang berdiri di dekat mereka. Kemudian, ia mengangguk dan mengatupkan bibir sensualnya saat mendengar jawaban yang membenarkan kecurigaan terburuknya. Wajah tampannya berubah suram mengiringi suasana hatinya. "Kamu harus kembali ke tem
Anggara masuk ke kamar setelah larut malam dan berbaring di sisi tempat tidurnya sementara Citra berpura-pura terlelap. Ia malu atas kenyataan yang Anggara sodorkan ke hadapannya dan amat menyesali pilihannya sekarang. Pagi hari saat ia terjaga, Anggara sudah pergi, dan itulah awal dari tiga minggu yang amat sepi ketika Citra jarang sekali melihatnya. Anggara makan pagi sebelum Citra turun dari tempat tidur, yang justru membuat wanita itu lega karena pada minggu ketiga ia merasa perutnya tidak nyaman, yang ia duga akibat kehamilan yang masih ia sembunyikan. Ia terkadang mual pada pagi hari, bahkan muntah beberapa kali, tetapi kemudian baik-baik saja saat siang dan malam.Tanpa menyadari penderitaan Citra pada pagi hari, Anggara kerap muncul saat makan siang, mengajaknya berbincang dengan amat sopan, tetapi Citra hanya menerima tanggapan dingin. Anggara kembali pada kebiasaannya makan malam bersama Citra. Dan suatu pagi, pria itu mengumumkan sekilas akan terbang ke Singapura untuk men
Citra masih tersenyum-senyum sendiri saat kembali masuk ke tempat tidurnya. Ia tidak sabar memberitahu kepada Anggara tentang kabar bahagia ini. Dengan tatapan penuh harap ia mengeluarkan ponsel dan membaca pesan masuk pada ponselnya.Pesan itu dari Andi. AKU KEHABISAN UANG. BUTUH UANG 500 JUTA. Citra membaca pesan itu dengan mata membelalak kecewa serta mulut mengatup. Ada apa dengan Andi?Ia betul-betul tidak tahu malu. Ia bergegas mengetik pesan balasan. AKU TIDAK AKAN MEMBERIMU UANG UANG SEBANYAK ITU. DIA HARUS MEMBERIKU UANG JIKA TIDAK INGIN FOTO FOTONYA BERSAMA GADIS GADIS DI SURABAYA TEREKSPOS KE MEDIA. Dengan perasaan terpukul bercampur ngeri, Citra duduk tertegun sambil menatap layar ponsel. Mereka telah tiba di pusat kota saat akhirnya ia bisa menenangkan perasaan yang campur aduk. Ia mengangkat telepon untuk bicara dengan Lilir yang duduk di samping sopir. "Aku ingin pulang ke rumah. Aku terlalu capek untuk belanja sore ini," ujarnya. Gadis-gadis? Di Surabaya? Perutnya
Selama beberapa hari ini Laurel lebih terbuka dibandingkan yang terjadi selama pernikahan mereka, namun Anggara tidak akan tertipu. Ketika Citra merasa terancam, dia menutup diri. Itulah cara wanita itu melindungi dirinya sendiri. Di sini, Anggarq tidak bersedia membiarkan Citra bersembunyi tapi ia cukup realistis untuk tahu bahwa ketika mereka kembali ke dunia sibuk tempat mereka tinggal, segalanya akan berubah. "Seminggu," janjinya di bibir Citra, "kita akan kembali selama seminggu. Dan kita akan bersama-sama pada awal dan akhir setiap hari. Sarapan setiap pagi dan makan malam setiap malam. Sendang tidak jauh dari Brakseng. Aku takkan pergi lama. Aku berjanji." Citra mengawasi saat Anggara mengirimkan e-mail dengan satu tangan sambil mengikat simpul dasi sutranya dengan tangan yang satu lagi. Secangkir kopi dingin tergeletak tak tersentuh di meja karena ia tak sempat meminumnya. Sejak mereka tiba kembali di Brakseng, rumah yang dimiliki keluarga Anggara selama beberapa generasi,A
Anggara mendekatkan wajahnya menatap wajah Citra,Matanya menyipit . "Kamu tak mau aku melakukannya?" Citra bisa saja berbohong. Ia bisa saja membiarkan hubungan mereka berjalan tanpa memberitahu Anggara hal sebenarnya, tapi mereka sudah menghadapi cukup banyak hambatan dalam pernikahan mereka tanpa ia menciptakan hambatan baru. "Tidak." Citra menggeleng perlahan, tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan masa depan mereka. "Tidak, aku tidak mau. Ada sesuatu yang belum kuberitahukan padamu. Sesuatu yang belum kukatakan dengan sejujurnya." Anggara terdiam, wajahnya dibayangi cahaya yang semakin temaram. "Katakanlah." Bagaimana Citra bisa menjelaskannya? Dari mana ia memulainya? "Kehilangan bayi kita adalah hal terburuk yang pernah kualami. Ketika merasakan rasa sakit pertama itu aku berpikir, Jangan, tolonglah, jangan sampai ini terjadi. Aku panik. Tak ada, benar-benar tak ada, yang paling kuinginkan di dunia ini seperti aku menginginkan anak kita." Mata Citra basah k
Citra sangat gemetar sehingga tak yakin kedua kakinya mampu menopang tubuh. "Kupikir aku tak boleh melihat rumah." "Tidak lagi. Aku punya kejutan untukmu. Hadiah." Saat mereka menuruni tangga taman itu, Anggara memegang tangan Citra dengan erat dan mengernyit. "Tanganmu dingin. Apa kamu baik-baik saja?" "Aku tak apa-apa." Citra ingin memberitahu Anggara bahwa ia tak membutuhkan hadiah-hadiah besar dari pria itu, bahwa hadiah-hadiah bukanlah alasan ia bersama Anggara. Tapi satu-satunya yang bisa ia pikiran adalah kenyataan bahwa Anggara akan membuat janji untuk menemui dokter padahal itulah hal terakhir yang ia inginkan.Anggara memperpanjang langkah-langkahnya. "Aku tak sabar menunggumu melihatnya." "Dokter itu?" Anggara melirik lembut. "Aku sedang membicarakan hadiahku untukmu." "Oh. Aku yakin aku akan menyukainya," ucap Citra parau, tahu ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Anggara.Mereka tiba kembali di rumah dan Anggata segera melangkah menuju ruang kerja, salah sat
"Jika kita melakukan ini..." Citra membiarkan kata itu menggantung "...bagaimana dengan anak yang selalu kamu impikan?" "Kamulah keluarga yang kuimpikan dan untuk yang lainnya..." Anggara mengabaikan anjing-anjing itu, mencondongkan tubuh ke depan, menyingkirkan kuas dari tangan Citra dan menarik wanita itu berdiri "...kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Tapi kita akan menemukannya bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Apa pun yang kamu pikirkan, kamu harus memberitahuku dan kali ini aku akan mendengarkan dengan teliti. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Anggara menangkup wajah Citra dengan kedua tangan, merasakan kelembutan kulit Citra di telapak tangannya. "Pada saat aku selesai membuktikan padamu tidak akan ada ruang bagi keraguan dalam benakmu." Keheningan mencekam dan Anggara menyadari makna sebenarnya dari kata ketegangan. Ia bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan jika Citra menjauhkan diri karena ia tahu ia tidak akan pernah menerima kata tidak. Kedua mata hit
Citra berharap bisa menerimanya dengan mudah dan bagi jutaan wanita lain mungkin demikian. Mendengarkan Anggara Dobson mengatakan "Aku mencintaimu" telah menjadi puncak ambisi banyak wanita. Untuk Citra, itu sekadar ucapan biasa. Citra frustrasi dengan dirinya sendiri, turun dari ranjang, mengenakan jubah kamar dan melangkah menuju teras. Kenyataan bahwa Anggara membiarkannya pergi dengan begitu mudah memberitahunya banyak hal tentang perasaan pria itu sekarang, saat sedalam apa perasaan tidak amannya yang terungkap. Ketakutan dalam bentuk sensasi dingin merayap di sekujur tubuhnya yang panas ketika akhirnya ia menyadari masa depan pernikahan mereka bukan bergantung pada kemampuannya untuk memiliki anak, tapi kemampuannya untuk memercayai Anggara supaya tidak melukainya. Apa maksud Citra, ia tidak pernah memberi wanita itu tanda apa pun? Anggara berbaring telentang di ranjang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, memikirkan kembali pernikahan mereka selama dua tah
Anggara menginginkan Citra menceritakan kegundahannya . Dan dia layak mendapatkannya. "Dari kecil aku menginginkan seorang saudara,baik itu laki laki maupun perempuan. Aku selalu kesepian saat ayahku bekerja.Aku tidak punya siapa siapa yang dapat di ajak bicara. Dan ketika ayahku meninggal aku benar benar menjadi sendiri dan merasa sebatang kara. Ini membuat aku mengalami gangguan kecemasan yang akut.Citra berbaring telentang, menjauhkan diri dari Anggara. Citra mengubah suaranya menjadi santai sambil menoleh memandang Anggara. "Jadi sekarang kamu tahu mengapa aku benar- benar kacau." Dan tak ada keluarga, tapi Citra tidak menyebutkan bagian itu. Tidak menyebutkan mengenai kesedihan dan perasaan di sendiri yang mengikuti pengalaman traumatis tersebut. "Mungkin jika aku membaca beberapa cerita dongeng, aku tidak akan menjadi separah ini. Masalahnya, aku tidak akan tahu akhir yang bahagia bahkan jika aku mengalaminya sendiri." Keheningan terasa di antara mereka dan Aggara bersandar d