Citra seharusnya masuk tanpa ragu, mengikuti keinginan Anggara tanpa ragu karena itulah yang akan dilakukan setiap orang. Dalam dunia yang Anggara huni....dunia di luar jangkauan imajinasi sebagian besar orang....pria itu sangat berkuasa. Dia yang memutuskan apa yang terjadi dan kapan.Kesalahan nomor dua adalah kembali, pikir Citra. Kemarahannya, yang tersimpan rapat dalam dirinya selama dua tahun menggerogotinya dari dalam.Ia tidak ingin masuk ke dalam mobil bersama Anggara.Ia tidak ingin berbagi ruang kecil dan tertutup itu dengan pria ini."Aku mual setelah penerbangan tadi. Aku akan berjalan jalan sebentar di kota Malang sebelum pergi ke hotel."Citra telah memesan kamar hotel kecil yang takkan pernah muncul dalam radar Anggara. Tempat ia bisa pulih kembali dari tuntutan tuntutan emosional pernikahan ini.Napas mendesis terdengar melewati gigi Anggara. "Masuk ke mobil atau aku sendiri yang akan memasukkanmu. Permalukan aku di depan umum lagi dan kamu akan menyesalinya." Lagi.
"Aku terkejut kamu bersedia menjadi pengiring pengantin pada pernikahan Lilie.Itu keputusan yang agak munafik,bukan?" Anggara menyalahkan Citra, membebaskan diri sendiri dari segala tanggung jawab, dan Citra tidak berusaha membantah karena ia tidak mau mengubah hasilnya. Jika Anggara membencinya,biarkan saja. Jika memang begitu, kebencian pria itu justru membantu karena meracuni perasaan perasaan berbahaya yang masih bersembunyi dalam diri Citra. Sementara menjadi pengiring pengantin Lilie.... Citra telah memikirkan jutaan alasan untuk menolak, tapi tidak satupun keluar dari mulutnya ketika berbicara pada adik iparnya itu. Kesalahan nomor tiga, pikirnya. Bagaimana bisa ia melakukan banyak kesalahan? "Aku teman yang setia." "Setia?" Perlahan dan tenang, Anggara melepaskan kaca mata hitam dan menatap Citra. Mata Coklat dengan alis tebal itu mengungkapkan kedalaman pergolakannya."Berani beraninya kamu bicara tentang kesetiaan? Mungkin ini masalah arti karena kita jelas tidak punya
Tidak ada yang beradab tentang berbagai emosi yang bergejolak dalam dirinya dan tidak ada yang beradab tentang kilat berbahaya dalam mata Anggara. Hubungan kita memang tidak pernah beradab, pikir Citra kaku. Hasrat yang mereka rasakan membara, gila gilaan, dan tidak terkendali. Sayangnya, hasrat itu membakar kemampuannya untuk berpikir logis.Citra berusaha untuk bernafas normal, tapi kemungkinan untuk berhadapan dengan keluarga Anggara benar benar menakutkan. Tentu saja mereka semua akan membencinya. Dan sebagian dirinya memahami hal itu. Dari sudut pandang mereka ia adalah gadis jahat yang mengakhiri pernikahannya dan itu tidak akan termaafkan dalam lingkungan Anggara."Aku akan melakukan apa pun yang orang orang ingin kulakukan." Pertunjukan,Pikir Citra. Jika harus tersenyum, ia akan tersenyum. Penampilan luar tidak harus mencerminkan yang ada didalam. Ia sudah mempelajarinya sejak menikah. Ia belajar untuk mengubur dalam dalam perasaannya , begitu dalam sehingga hanya sedikit oran
Anggara menghabiskan segelas anggur dengan sekali teguk, berusaha menumpukan tusukan tajam emosinya sambil menunggu Citra muncul di teras rumah. Ia telah berjanji pada diri sendiri akan bersikap tenang dan acuh tak acuh. Niat itu bertahan sampai Citra melangkah keluar dari pesawat. Rencananya untuk tidak menyinggung keadaan mereka gagal akibat beratnya tekanan pertemuan mereka. Berbagai emosi yang berlawanan tersebut bagaikan badai dalam dirinya, semakin bergejolak akibat kurangnya reaksi Citra. Wanita itu amat pandai menyembunyikan emosi. Sambil berharap ia punya waktu untuk joging dan membakar sebagian adrenalin yang membuat darahnya mendidih, Anggara mengangkat tangan dan menyelipkan jari ke balik kemeja putihnya. Karena itu gagal melenyapkan ketegangan, ia mengisi gelasnya dengan tangan yang gemetar. Citra masih menyalahkannnya. Itu sudah jelas, tapi bahkan saat ini pun wanita itu tidak bersedia membicarakan alasan sebenarnya. Segera setelah peristiwa itu terjadi Anggara sudah
"Sudah terlambat untuk bersikap posesif.Pernikahan bukan sekedar Cincin,Anggara, dan lebih daripada secarik kertas." "Kamu mengajari aku tentang pernikahan?Kamu, yang memperlakukan pernikahan kita seperti benda yang bisa di ganti?" perasaan gusar dan marah bercampur. "Kenapa kamu melepas cincinmu? Apa ada orang lain?" "Akhir pekan ini bukan tentang kita, ini tentang adikmu." Anggara menginginkan penyangkalan. Ia ingin Citra tertawa dan mengatakan. Tentu saja tidak ada orang lain.....bagaimana mungkin? Ia ingin Citra mengakui apa yang mereka lewati bersama adalah hal yang berharga dan istimewa Sebaliknya, Citra mengabaikannya. Wanita itu membuangnya ke dalam tong sampah berisi kesalahan kesalahan masa lalu. Di dorong oleh emosi yang tidak ia pahami, Anggara mencengkeram bahu Citra dan menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Jika ia lebih terkendali, Anggara mungkin akan bertanya pada diri sendiri mengapa ia berusaha memancing Citra, tapi ia tidak merasa terkendali.Fa
Anggara terlalu resah dengan betapa dalam benaknya tenggelam, sehingga butuh beberapa saat untuk menyadari Citra telah berhenti di jalan masuk menuju teras. "Citra." Andine berdiri di sana. Wanita berambut pirang dengan tatapan sinis telah berdiri di sana. Andine menatap marah ke arah Citra, ekspresinya terlihat jelas. Citra membalas tatapan mata itu tanpa rasa takut. Meski emosinya sedang memuncak, Anggara mau tidak mau merasakan sedikit kekaguman. Di sinilah Citra, di kelilingi orang orang yang membencinya dan ia menghadapi mereka dengan berani.Tinggi Citra hampir tidak mencapai bahu Andine, namun wanita itu tidak mundur. Citra seorang pemberani.Dan itulah salah satu masalahnya, pikir Anggara resah.Citra terbiasa menjaga diri sendiri sehingga hampir mustahil membujuknya mengurangi pertahanan dirinya.Karena tahu dirinyalah yang harus menjaga ketenangan supaya mereka bisa melewati malam ini tanpa masalah, Anggara melangkah maju dan mengambil alih kendali."Apa Lilie ada di sini?"
"Anggara baru saja memarahi Andine. Itu masalah, karena sekarang wajahnya akan terlihat muram di foto pernikahanku." Sambil mengangkat gaunnya supaya tidak kusut, Lilie berlutut di pinggir jendela supaya lebih leluasa melihat pekarangan di bawah. "Aku belum pernah melihat mereka bertengkar sejak mereka bersama. Aku bertaruh andine sangat membenci dirimu sekarang." Membayangkan kekacauan yang akan terjadi Citra bergegas ke jendela dengan panik."Apa yang mereka lakukan sekarang?Oh,Tuhan,seseorang seharusnya menenangkan mereka...." "Mereka telah dewasa,tidak akan terjadi apa apa diantara mereka,Anggara bisa mengendalikan dirinya." Lilie menatapnya. "Ku pikir kamu sudah tidak peduli lagi padanya?" "Hanya karena aku tidak mencintainya lagi bukan berarti aku ingin melihat mereka membuat kekacauan." Citra menjilat bibir. "Menurutmu apa yang mereka pertengkarkan?" "Kamu, tentu saja kamu. Apa lagi?"Lilie melirik iri pinggang Citra. "Kamu terlihat cantik untuk seseorang yang sedang menga
"Aku seharusnya tidak datang dan kamu tidak seharusnya menempatkan kita semua dalam posisi ini. Kenapa kamu bersikeras menjadikanku pengiring pengantinmu?" "Karena kamu istri orang yang paling ku sayangi dan kamu juga sudah menjadi sahabatku dan selamanya akan begitu." Sahabat selamanya. "Kamu memilih waktu paling tidak tepat untuk bersikap sentimental." Anin berdiri kaku. Hanya karena persahabatannya dengan lilie sangat berarti baginya bukan berarti dia bisa mengekspresikan perasaannya. "Kamu tidak mudah mencintai, tetapi saat kamu melakukannya itu untuk selamanya. Aku tahu betapa kamu sangat mencintai kakakku." Bagaikan integerator,lilie mendekatinya. "Setiap kali kita bertemu, kamu selalu menghindari percakapan ini, tapi aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sekarang. Aku ingin tahu masalahnya sekarang. Jelaskan padaku." Entah bagaimana anin bisa menggerakan bibirnya. "Aku pergi." "Ya, tapi kenapa." Lilie memegangi tangan anin,dan terlihat ragu. "Kakakku memberitah
"Maksudmu, ini bukan pertama kalinya?" seru Anggara dengan wajah panik, membuka ponsel untuk menghubungi dokter Mila dan gusar karena selama ini tidak diberitahu. "Kenapa kamu tidak cerita padaku?""Oh, pergilah dan jangan ribut, Anggara," erang Citra sambil mendekati wastafel untuk mencuci wajah sehabis muntah-muntah yang tadi membuatnya melompat dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Saat ini, ia betul-betul tak butuh penonton. "Ini hanya gangguan perut biasa... mungkin karena menu makananku berubah. Aku terlalu banyak makan makanan pedas."ujar Citra yang terus menahan rasa mualnya"Aku akan mempekerjakan koki baru jika begini akibatnya. Sudah berapa kali ini terjadi?" desak Anggara, bicara cepat dalam bahasa inggris kepada seorang pelayan yang berdiri di dekat mereka. Kemudian, ia mengangguk dan mengatupkan bibir sensualnya saat mendengar jawaban yang membenarkan kecurigaan terburuknya. Wajah tampannya berubah suram mengiringi suasana hatinya. "Kamu harus kembali ke tem
Anggara masuk ke kamar setelah larut malam dan berbaring di sisi tempat tidurnya sementara Citra berpura-pura terlelap. Ia malu atas kenyataan yang Anggara sodorkan ke hadapannya dan amat menyesali pilihannya sekarang. Pagi hari saat ia terjaga, Anggara sudah pergi, dan itulah awal dari tiga minggu yang amat sepi ketika Citra jarang sekali melihatnya. Anggara makan pagi sebelum Citra turun dari tempat tidur, yang justru membuat wanita itu lega karena pada minggu ketiga ia merasa perutnya tidak nyaman, yang ia duga akibat kehamilan yang masih ia sembunyikan. Ia terkadang mual pada pagi hari, bahkan muntah beberapa kali, tetapi kemudian baik-baik saja saat siang dan malam.Tanpa menyadari penderitaan Citra pada pagi hari, Anggara kerap muncul saat makan siang, mengajaknya berbincang dengan amat sopan, tetapi Citra hanya menerima tanggapan dingin. Anggara kembali pada kebiasaannya makan malam bersama Citra. Dan suatu pagi, pria itu mengumumkan sekilas akan terbang ke Singapura untuk men
Citra masih tersenyum-senyum sendiri saat kembali masuk ke tempat tidurnya. Ia tidak sabar memberitahu kepada Anggara tentang kabar bahagia ini. Dengan tatapan penuh harap ia mengeluarkan ponsel dan membaca pesan masuk pada ponselnya.Pesan itu dari Andi. AKU KEHABISAN UANG. BUTUH UANG 500 JUTA. Citra membaca pesan itu dengan mata membelalak kecewa serta mulut mengatup. Ada apa dengan Andi?Ia betul-betul tidak tahu malu. Ia bergegas mengetik pesan balasan. AKU TIDAK AKAN MEMBERIMU UANG UANG SEBANYAK ITU. DIA HARUS MEMBERIKU UANG JIKA TIDAK INGIN FOTO FOTONYA BERSAMA GADIS GADIS DI SURABAYA TEREKSPOS KE MEDIA. Dengan perasaan terpukul bercampur ngeri, Citra duduk tertegun sambil menatap layar ponsel. Mereka telah tiba di pusat kota saat akhirnya ia bisa menenangkan perasaan yang campur aduk. Ia mengangkat telepon untuk bicara dengan Lilir yang duduk di samping sopir. "Aku ingin pulang ke rumah. Aku terlalu capek untuk belanja sore ini," ujarnya. Gadis-gadis? Di Surabaya? Perutnya
Selama beberapa hari ini Laurel lebih terbuka dibandingkan yang terjadi selama pernikahan mereka, namun Anggara tidak akan tertipu. Ketika Citra merasa terancam, dia menutup diri. Itulah cara wanita itu melindungi dirinya sendiri. Di sini, Anggarq tidak bersedia membiarkan Citra bersembunyi tapi ia cukup realistis untuk tahu bahwa ketika mereka kembali ke dunia sibuk tempat mereka tinggal, segalanya akan berubah. "Seminggu," janjinya di bibir Citra, "kita akan kembali selama seminggu. Dan kita akan bersama-sama pada awal dan akhir setiap hari. Sarapan setiap pagi dan makan malam setiap malam. Sendang tidak jauh dari Brakseng. Aku takkan pergi lama. Aku berjanji." Citra mengawasi saat Anggara mengirimkan e-mail dengan satu tangan sambil mengikat simpul dasi sutranya dengan tangan yang satu lagi. Secangkir kopi dingin tergeletak tak tersentuh di meja karena ia tak sempat meminumnya. Sejak mereka tiba kembali di Brakseng, rumah yang dimiliki keluarga Anggara selama beberapa generasi,A
Anggara mendekatkan wajahnya menatap wajah Citra,Matanya menyipit . "Kamu tak mau aku melakukannya?" Citra bisa saja berbohong. Ia bisa saja membiarkan hubungan mereka berjalan tanpa memberitahu Anggara hal sebenarnya, tapi mereka sudah menghadapi cukup banyak hambatan dalam pernikahan mereka tanpa ia menciptakan hambatan baru. "Tidak." Citra menggeleng perlahan, tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan masa depan mereka. "Tidak, aku tidak mau. Ada sesuatu yang belum kuberitahukan padamu. Sesuatu yang belum kukatakan dengan sejujurnya." Anggara terdiam, wajahnya dibayangi cahaya yang semakin temaram. "Katakanlah." Bagaimana Citra bisa menjelaskannya? Dari mana ia memulainya? "Kehilangan bayi kita adalah hal terburuk yang pernah kualami. Ketika merasakan rasa sakit pertama itu aku berpikir, Jangan, tolonglah, jangan sampai ini terjadi. Aku panik. Tak ada, benar-benar tak ada, yang paling kuinginkan di dunia ini seperti aku menginginkan anak kita." Mata Citra basah k
Citra sangat gemetar sehingga tak yakin kedua kakinya mampu menopang tubuh. "Kupikir aku tak boleh melihat rumah." "Tidak lagi. Aku punya kejutan untukmu. Hadiah." Saat mereka menuruni tangga taman itu, Anggara memegang tangan Citra dengan erat dan mengernyit. "Tanganmu dingin. Apa kamu baik-baik saja?" "Aku tak apa-apa." Citra ingin memberitahu Anggara bahwa ia tak membutuhkan hadiah-hadiah besar dari pria itu, bahwa hadiah-hadiah bukanlah alasan ia bersama Anggara. Tapi satu-satunya yang bisa ia pikiran adalah kenyataan bahwa Anggara akan membuat janji untuk menemui dokter padahal itulah hal terakhir yang ia inginkan.Anggara memperpanjang langkah-langkahnya. "Aku tak sabar menunggumu melihatnya." "Dokter itu?" Anggara melirik lembut. "Aku sedang membicarakan hadiahku untukmu." "Oh. Aku yakin aku akan menyukainya," ucap Citra parau, tahu ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Anggara.Mereka tiba kembali di rumah dan Anggata segera melangkah menuju ruang kerja, salah sat
"Jika kita melakukan ini..." Citra membiarkan kata itu menggantung "...bagaimana dengan anak yang selalu kamu impikan?" "Kamulah keluarga yang kuimpikan dan untuk yang lainnya..." Anggara mengabaikan anjing-anjing itu, mencondongkan tubuh ke depan, menyingkirkan kuas dari tangan Citra dan menarik wanita itu berdiri "...kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Tapi kita akan menemukannya bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Apa pun yang kamu pikirkan, kamu harus memberitahuku dan kali ini aku akan mendengarkan dengan teliti. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Anggara menangkup wajah Citra dengan kedua tangan, merasakan kelembutan kulit Citra di telapak tangannya. "Pada saat aku selesai membuktikan padamu tidak akan ada ruang bagi keraguan dalam benakmu." Keheningan mencekam dan Anggara menyadari makna sebenarnya dari kata ketegangan. Ia bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan jika Citra menjauhkan diri karena ia tahu ia tidak akan pernah menerima kata tidak. Kedua mata hit
Citra berharap bisa menerimanya dengan mudah dan bagi jutaan wanita lain mungkin demikian. Mendengarkan Anggara Dobson mengatakan "Aku mencintaimu" telah menjadi puncak ambisi banyak wanita. Untuk Citra, itu sekadar ucapan biasa. Citra frustrasi dengan dirinya sendiri, turun dari ranjang, mengenakan jubah kamar dan melangkah menuju teras. Kenyataan bahwa Anggara membiarkannya pergi dengan begitu mudah memberitahunya banyak hal tentang perasaan pria itu sekarang, saat sedalam apa perasaan tidak amannya yang terungkap. Ketakutan dalam bentuk sensasi dingin merayap di sekujur tubuhnya yang panas ketika akhirnya ia menyadari masa depan pernikahan mereka bukan bergantung pada kemampuannya untuk memiliki anak, tapi kemampuannya untuk memercayai Anggara supaya tidak melukainya. Apa maksud Citra, ia tidak pernah memberi wanita itu tanda apa pun? Anggara berbaring telentang di ranjang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, memikirkan kembali pernikahan mereka selama dua tah
Anggara menginginkan Citra menceritakan kegundahannya . Dan dia layak mendapatkannya. "Dari kecil aku menginginkan seorang saudara,baik itu laki laki maupun perempuan. Aku selalu kesepian saat ayahku bekerja.Aku tidak punya siapa siapa yang dapat di ajak bicara. Dan ketika ayahku meninggal aku benar benar menjadi sendiri dan merasa sebatang kara. Ini membuat aku mengalami gangguan kecemasan yang akut.Citra berbaring telentang, menjauhkan diri dari Anggara. Citra mengubah suaranya menjadi santai sambil menoleh memandang Anggara. "Jadi sekarang kamu tahu mengapa aku benar- benar kacau." Dan tak ada keluarga, tapi Citra tidak menyebutkan bagian itu. Tidak menyebutkan mengenai kesedihan dan perasaan di sendiri yang mengikuti pengalaman traumatis tersebut. "Mungkin jika aku membaca beberapa cerita dongeng, aku tidak akan menjadi separah ini. Masalahnya, aku tidak akan tahu akhir yang bahagia bahkan jika aku mengalaminya sendiri." Keheningan terasa di antara mereka dan Aggara bersandar d