“Nggak perlu ditungguin. Dinda udah janjian sama gue buat pulang bareng.”Sean, remaja yang menjadi partnernya di kelas tari menghampiri mereka dan berdiri di samping Dinda. Tubuhnya yang jangkung membayangi gadis itu.Dinda merasakan kelegaan mengaliri hatinya saat Sean datang. Walau menyebalkan, Dinda lebih memilih digoda anak itu dibanding harus berduaan sepanjang makan malam dengan Aldi.“Siapa kamu?” Aldi menatap Sean dengan mata menyipit.“Siapa kamu?” Sean membeo. Matanya memandang Aldi dari atas ke bawah dan menyeringai. “Asal Anda tahu, Om, yang bukan murid di sini nggak boleh masuk.”Aldi mendengus. Rahangnya menegang. Matanya yang biasanya bersinar hangat berubah menjadi dingin. Dia lalu mengabaikan Sean dan beralih pada Dinda. “Saya tunggu kamu di luar.”“Dibilang Dinda ada janji sama gue, jadi Om nggak perlu nunggu dia. Udah tuli ya, Om?” ejek Sean.“Bener, Din?” Tentu saja Aldi tidak percaya jika ucapan itu tidak keluar langsung dari mulut Dinda.“Eh, iya bener, Di,” den
Dinda menggigit bibir bawahnya, menebak reaksi Bima jika ia menceritakan semua yang terjadi sepanjang hari ini. Mungkin dia tidak akan menyetujui keputusannya lagi. Tetapi kali ini Dinda akan memaksa Bima untuk mendengar alasannya.Di atasnya, Bima menatap Dinda dengan campuran antara nafsu dan ingin tahu. Walau wajahnya tenang, matanya menyorotkan gairah yang menyala-nyala. Kepala Bima turun dan dia membenamkan wajahnya di leher Dinda, menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam.“Jadi kamu masih belum berhenti?” desisnya.Dinda terkesiap saat Bima menghisap leher di bawah telinganya. Tulang-tulangnya terasa lembek. Napasnya mulai tidak teratur. Dia bahkan kesulitan untuk menjawab pertanyaan Bima.“I─iya─ah”Bibir Bima berpindah, kali ini bawah dagunya, terus turun hingga berhenti di ujung belahan dada Dinda. “Kenapa?”“Karen─aah...,” pekik Dinda. Sekuat tenaga dia mendorong Bima menjauh dari tubuhnya. “Boleh aku jawab nanti? Atau kamu bisa berhenti dulu─”“Oke. Jawab nanti.”Bima kembali m
Masih terekam jelas di ingatan Dinda saat dia harus berpanas-panasan di bawah terik matahari untuk mencari kerja. Dia banyak berjalan kaki demi menghemat ongkos kendaraan karena saat itu dia tidak punya pekerjaan. Hanya makan dua kali sehari agar pengeluarannya bisa ditekan. Tidak menyalakan AC di apartemennya agar biaya listrik tidak melonjak. Bahkan Dinda sempat ingin menjual apartemen pemberian Iskandar itu dan pindah ke tempat yang lebih sederhana, tetapi dia mengurungkan niatnya. Dinda merasa bersalah jika menjual apartemen itu.Hari-harinya mulai membaik saat ia mendapat pekerjaan di tempatnya sekarang. Walau lebih seperti pesuruh pada awalnya, bayaran yang ia dapat cukup untuk biaya hidupnya dan sedikit tabungan. Dia bisa makan tiga kali sehari dan menyalakan AC saat cuaca panas. Bagi Dinda itu sudah cukup. Dinda tidak pernah menginginkan sesuatu yang lebih dari itu. Dia tidak lagi punya cita-cita dan ambisi. Tidak ada keinginan untuk sekedar naik jabatan atau berkuasa. Seringk
‘Jalan seratus meter dari tempat kamu sekarang ke arah barat. Jangan bilang siapa-siapa atau foto ini akan tersebar.’Panik menyebar ke setiap sel di tubuh Dinda. Tangannya bergetar hebat. Pilihannya ada dua. Mendatangi bahaya secara sukarela dan menyelamatkan yang ia punya sekarang atau mengabaikannya dan rahasia kelamnya akan terungkap. Jika berita itu menyebar, semua yang ia bangun akan hancur. Nama Bima dan keluarganya juga akan terseret ke dalamnya. Dinda tidak mau itu terjadi.Dia bimbang. Tidak ada waktu untuk berpikir. Tapi kenapa dia harus takut? Dinda pernah kehilangan segalanya dan dia tetap bertahan. Lagipula itu hanyalah foto USG. Semua bisa direkayasa. Dia bisa mengelak jika orang-orang bertanya.Sebuah pesan masuk lagi. Dinda menarik napas dan merapalkan manteranya sebelum membuka pesan itu. Dari nomor tidak dikenal lagi.‘Jangan lama-lama. Atau Bima akan dikenal sebagai pemerkosa dan mendekam di penjara.’Benar. Entah narasi apa yang akan muncul bersamaan dengan foto i
“Kenapa?”Suara Dinda menggema ke seluruh ruangan kecil itu. Hanya itu yang bisa keluar dari tenggorokannya. Tidak ada yang masuk akal baginya saat ini. Dinda tidak ingin mempercayai semua ini perbuatan Aldi.Pria itu mendekat dan berhenti di dekat meja di tengah ruangan. Wajahnya masih dihiasi senyum. “Kenapa apanya?”Cengkeraman Dinda di headboard semakin kuat. Tubuhnya masih lemah, bahkan dorongan kecil mungkin bisa membuatnya limbung. Tenggorokannya terasa sangat kering. “Kenapa kamu melakukan ini?”Aldi tertawa keras seolah pertanyaan Dinda adalah sebuah lelucon. “Kamu tanya kenapa?” dengusnya. “Bukankah sudah jelas?”Apapun yang ada di kepalanya, Dinda merasa harus tetap mendengar pengakuan Aldi. Dia butuh mendengarnya agar jika ia berhasil keluar dari tempat sialan itu, Dinda tidak akan merasa berhutang lagi padanya. “Jelaskan.”“Semuanya karena kamu.” Aldi duduk dengan santai di kursi dan memainkan pisau kecil yang berkilat di tangannya. Raut wajahnya berubah serius. Dia menat
Bima menggunakan semua koneksinya untuk melacak keberadaan Dinda. Seluruh kamera pengawas yang dipasang di sekitar studio Hilda diperiksa. Mereka menemukan rekaman mobil yang dicurigai sebagai kendaraan yang dipakai pelaku untuk menculik Dinda. Sean lalu mengkonfirmasinya. Penyelidikan mereka menemui jalan buntu saat menemukan fakta kalau plat nomor yang dipakai adalah palsu. Mereka terpaksa melacak jejak mobil itu melalui rekaman kamera pengawas yang terpasang di jalanan. Bima harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk itu.Sinyal dan koordinat ponsel Dinda pun tidak membantu. Esok harinya polisi menemukan ponsel Dinda di tumpukan sampah dedaunan di hutan di pinggiran kota. Mereka menelusuri tempat-tempat di sekitarnya tetapi nihil. Tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan.Bima tidak tidur sejak Dinda menghilang. Dia ikut mencari gadis itu bersama pihak kepolisian. Dia dan Daniel bergantian mengemudi. Dua hari setelah Dinda menghilang, Bima mendapat telepon dari Iskandar. Saat
“Dehidrasi dan pemakaian chlorofom yang berlebihan. Mungkin Saudari Dinda harus dirawat sampai dua atau tiga hari lagi. Dan saya sarankan agar Dinda berkonsultasi dengan psikolog untuk menyembuhkan traumanya.”Samar-samar Dinda mendengar seseorang berbicara di dekatnya. Kesadarannya mulai pulih meski kepalanya masih terasa sakit. Saat matanya terbuka, Dinda kembali melihat Bima di sampingnya.“Air,” gumamnya.Sama seperti sebelumnya, Bima membantunya mengambil air dan menopang tubuhnya saat Dinda minum. Dia tidak kembali berbaring. Tubuhnya sudah terasa lebih baik. Dinda duduk setelah Bima menaikkan ujung brankar untuk tempatnya bersandar.“Berapa lama aku pingsan?” tanya Dinda. Suaranya serak.“Tiga jam.”Dinda memperhatikan Bima. Pria itu hanya memakai kemeja kusut dan jins hitam. Wajahnya kasar karena beberapa hari tidak bercukur. Kantung matanya terlihat lebih gelap, menunjukkan betapa sedikit jam tidurnya.“Kamu bisa pulang dan istirahat dulu. Aku udah enakan,” kata Dinda.Bima l
“Aku datang untuk memberitahu kalian kalau aku akan menikahi Dinda. Secepatnya.”“Mama nggak setuju,” Kartika serta merta memeberikan penolakan. Dilepaskannya tangan Bima yang sejak tadi ia pegang.Tentu saja Bima sudah menduganya. “Aku nggak minta persetujuan Mama. Aku cuma mau memberitahu kalian,” kata Bima dengan tenang, membuat sang Mama memberengut.“Apa Dinda setuju?” Iskandar buka suara. “Kamu sudah membicarakan ini dengannya?”Bima tertegun. Ayahnya selalu lebih jeli dalam segala hal. Tetapi Bima yakin. Dia tidak melihat ada sesuatu yang membuat Dinda menolaknya. “Dinda masih belum seratus persen pulih. Aku akan mengatakan semuanya setelah kondisinya lebih baik.”Iskandar mengangguk. Ia menatap Bima yang duduk di seberangnya. “Pastikan Dinda benar-benar bersedia.”“Papa mengizinkan mereka menikah?” suara Kartika naik satu oktaf. “Apa Papa sudah gila?”“Dan kenapa Mama nggak mengizinkan?” desis Bima. “Bukankah Dinda sudah mengikuti syarat yang Mama berikan?”“Banyak alasannya,”
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek