Dinda menjadi lebih diam setelah pernyataan Bima semalam. Meskipun Dinda setuju untuk merahasiakan hubungan mereka, dia menyimpan rasa kecewa di hatinya. Mungkin memang Bima malu untuk mengaukinya sebagai pacar di depan orang-orang. Mereka sangat berbeda. Jika jari-jari di tangannya masih kurang jika dipakai untuk menghitung kelebihan Bima, Dinda tidak bisa memikirkan satu hal pun yang bisa dia banggakan.“Huhh,” Dinda mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Niatnya untuk menyelesaikan tugas belum juga terlaksana karena yang ia lakukan sejak tadi hanya melamun.“Kenapa, Din?” Bima muncul dari kamarnya. Dia mengenakan kaos hitam dan celana olahraga dengan warna senada. Rambutnya masih basah karena dia baru saja mandi.“Tugasnya susah, Mas,” jawab Dinda. Hidungnya dimanjakan oleh aroma segar yang menguar dari tubuh Bima saat pria itu duduk di lantai di sampingnya. Dinda memang lebih suka duduk di lantai ruang tengah dan mengerjakan tugasnya di sana.Kening Bima sedikit mengerut saat memb
Tangis Dinda pecah. Tubuhnya bergetar hebat saat menyadari begitu dekat dia dengan angan-angan ayahnya. Seharusnya sang ayah sudah berada di sini. Seharusnya dia sudah dijemput dan tinggal bersama ayahnya lagi. Seharusnya mereka sudah punya rumah baru. Seharusnya sang ayah bisa menghadiri wisudanya beberapa bulan lagi. Begitu banyak mimpi Dinda yang direbut begitu saja. Meski tidak saling berhubungan, keyakinan sang ayah masih hidup telah membuatnya bertahan selama ini. Tetapi kini Dinda tidak lagi punya pegangan dalam hidupnya. Ayahnya telah pergi. Bahkan dia tidak bisa melihat dan menguburkan jasad ayahnya. Pintu kamarnya terbuka dan Bima berdiri di sana. Setelah menutup pintu, Bima duduk di samping Dinda. Dirangkulnya gadis itu dan direngkuhnya ke dalam pelukan. Tangannya membelai punggung Dinda menenangkannya. Bima tidak mengatakan apa-apa. Dia tahu Dinda perlu mengeluarkan semua duka citanya.Bima membiarkan air mata Dinda membasahi pakaiannya. Entah berapa lama Bima memeluk Di
Chelsea terlihat jauh lebih cantik daripada yang ada di televisi atau majalah. Hanya dengan make up tipis dan gaun sederhana saja sudah bisa membuatnya terlihat begitu menonjol. Sebuah senyum ramah melekat di bibirnya saat menyapa Dinda.“Hai, Bim! Masih inget gue, kan? Kita pernah satu sekolah,” kata Chelsea.Berbalik dengan Kartika dan Chelsea, wajah Bima justru menjadi tegang. Dia hanya mengangguk kecil menanggapi Chelsea.“Bima! Yang sopan, dong!” tegur Kartika. Dengan senyumnya dia lalu menatap Chelsea. “Maafin Bima, ya, Sayang. Dia memang nggak ramah.”“Nggak apa-apa, Tante. Mungkin Bima lagi cape,” jawab Chelsea. “Ini anaknya Kak Sarah, kan? Lucu banget, sih kalian.”Rasya dan Tasya merengut saat Chelsea mencubit pipi mereka. Bagi keduanya, Chelsea adalah orang asing. Mereka tidak suka jika ada orang asing yang mendekati atau menyentuh mereka.“Kenapa dia bisa ada di sini, Ma?” tanya Bima tanpa berusaha menutupi rasa tidak sukanya.Kartika menyabarkan diri menanggapi sikap putr
Dinda harus menahan tatapan sinis Chelsea sepanjang makan malam. Berkali-kali dia sengaja menyuruh Dinda melakukan hal-hal kecil yang membuat kesal seperti menuangkan air putih, mengambilkan garam karena sopnya terasa hambar, hingga mengambilkan alat makan baru setelah sebelumnya ia dengan sengaja menjatuhkan sendoknya ke lantai.Dengan mengabaikan rasa kesalnya, Dinda menuruti permintaan-permintaan itu. Mungkin ini adalah balasan Chelsea padanya karena telah menolak tawarannya dan mengguruinya sore tadi. Tetapi meski begitu, Dinda merasa puas karena dirinya kini lebih berani dan menentang sesuatu yang tidak sesuai dengan hatinya.“Pakai madu dua sendok teh. Ingat, dua sendok aja jangan kebanyakan!” Lagi-lagi Chelsea menyuruh Dinda saat dia dan Kartika duduk minum teh setelah makan malam.“Baik, Mbak.”“Kamu suka teh madu juga?” tanya Kartika. “Biasanya anak muda sekarang lebih suka kopi-kopi kekinian, lho.”Chelsea menggeleng. “Aku suka teh Tan. Terutama chamomile sama lemon hangat.
Hari-hari berikutnya adalah saat paling membahagiakan dalam hidup Dinda. Bima selalu berusaha langsung pulang setelah selesai jam kerja. Lalu mereka akan makan malam dan menghabiskan waktu bersama. Terkadang Bima membantu Dinda mengerjakan tugas atau skripsinya. Di lain waktu Dinda akan menemani Bima bekerja atau membantunya memeriksa beberapa laporan perusahaan. Hanya ada satu hal yang membuat Dinda merasa tak enak. Keluarga Bima tidak tahu hubungan mereka.Seperti biasa, setelah Bima berangkat kerja, Dinda membersihkan sisa-sisa sarapan mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi bel. Dengan penasaran Dinda memeriksa siapa yang datang karena biasanya tidak ada yang datang di waktu-waktu seperti ini.Begitu melihat Kartika dan Sarah di monitor, Dinda segera membukakan pintu.“Gimana kabar kamu, Din?” tanya Kartika begitu masuk.“Baik, Bu,” jawab Dinda sambil mengikuti mereka ke ruang duduk. “Mas Bima sudah berangkat tadi, Bu.”Kartika duduk di sofa dengan Sarah di sampingnya. “Kami kemari untu
Setelah menutup rapat, Bima bergegas pulang. Sebuah pesan dari Dinda masuk dan membuatnya khawatir. Pesan itu singkat, hanya berisi tiga kata tetapi berhasil membuat hatinya tak tenang. Terlebih saat dia mencoba menghubungi Dinda, ponsel gadis itu justru tidak aktif.‘Mas, saya pergi.’Kata-kata Dinda terus terngiang di benak Bima sepanjang jalan pulang. Begitu membuka pintu apartemen, Bima berteriak memanggil Dinda. Tak ada jawaban. Betapa terkejutnya dia saat masuk ke ruang duduk dan mendapati Kartika dan Sarah ada di sana.“Sedang apa Mama dan Kak Sarah di sini?” tanya Bima bingung. “Di mana Dinda?”“Dinda sudah Mama usir,” jawab Kartika datar.Bima tak mempercayai pendengarannya. Mungkin dia terlalu lelah setelah memimpin rapat panjang sehingga telinganya bermasalah. “Mama barusan bilang apa?”“Mama sudah mengusir Dinda dari sini. Kamu tidak perlu repot-repot mencarinya lagi.”Melihat sikap ibu dan kakaknya, Bima merasa ada yang tidak beres. Dia duduk di hadapan mereka. “Maksud Ma
Saat membuka matanya, Dinda hanya melihat langit-langit berwarna putih. Seluruh tubuhnya terasa sangat lelah dan lemah. Dia melihat berkeliling dan tersadar bahwa dia ada di rumah sakit. Jika dilihat dari interiornya, Dinda berada di ruang VIP. Bagaimana dia bisa sampai di tempat ini?Ingatan Dinda mulai kembali. Dia ingat berada di kafe bersama Aldi. Mereka kemudian keluar dan berpisah, lalu Dinda merasakan sakit luar biasa di perutnya. Ada darah juga. Mungkinkah menstruasinya datang dan ia tidak menyadarinya? Tetapi mengapa dia sampai pingsan dan dibawa ke rumah sakit? Siapa yang membawanya kemari? Aldi?Tepat saat Dinda bertanya-tanya pintu ruangannya terbuka. Aldi masuk dengan membawa tas plastik di kedua tangannya.“Udah sadar, Din? Gimana keadaan kamu?” Aldi meletakkan barang-barang yang dibawanya di atas meja di samping brankar tempat Dinda berbaring.“Saya kenapa, Di? Kenapa saya sampai dibawa ke rumah sakit? Berapa lama saya pingsan?” Dinda balik bertanya. Dia ingin segera ta
Perdamaian?Dinda tak mempercayai pendengarannya.Apakah Iskandar begitu takut dia akan menuntut Bima dan mencoreng nama baik keluarga besar mereka? Dinda bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hal seperti itu.“Apa maksud Bapak?”Iskandar duduk dan menyatukan kedua tangannya di pangkuan. “Istri saya sudah cerita tentang hubungan kamu dan Bima. Karena itu, saya tidak memberitahu siapapun tentang kondisimu,” Iskandar diam sejenak. “Tidak seharusnya kamu diusir seperti itu. Bagaimanapun, Bima juga bersalah. Tetapi tolong maafkanlah istri saya karena membela Bima. Kamu tahu istri saya sebenarnya orang yang baik. Hanya saja, Bima adalah anaknya. Naluri seorang ibu adalah melindungi anaknya. Dan itu yang dilakukan istri saya pada Bima.”Dinda tertegun. Iskandar datang menemuinya untuk minta maaf atas nama Kartika? Yang benar saja. Jika Kartika benar-benar merasa bersalah, dia akan datang sendiri. Sakit hatinya tidak akan sembuh hanya karena seseorang mewakili Kartika meminta maaf.“Lalu
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Setelah menjadi istri seorang Bima Sakti Iskandar, ternyata tidak banyak yang berubah dalam rutinitas sehari-hari Dinda. Dia masih mengambil beberapa tawaran pemotretan iklan yang datang padanya. Meski Daniel ingin Dinda melebarkan sayap ke bidang lain setelah kesuksesan debut sebagai model video musik, Bima tidak menyetujui ide itu. Akhirnya setelah perdebatan panjang dan melelahkan─antara Bima dan Daniel tentu saja, karena Dinda hanya duduk diam menonton mereka berdua─Dinda hanya akan menjadi foto model.Dinda hanya mengangguk setuju saat Bima menanyakan pendapatnya karena ia sudah bertekad untuk mengikuti apapun keputusan pria itu tentang pekerjaannya. Bima berkali-kali mengatakan dia sanggup menanggung hidup Dinda sehingga dia tidak perlu bekerja. Tetapi Daniel tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya. Jalan Dinda sudah terbentang dengan mulus dan Daniel tidak bisa membiarkan dia berpindah halauan begitu saja.“Tunggu sampai agensi gue lumayan gede ya, Din. Abis
“Kamu yakin?” Bima menatap Dinda sambil mengelus sisi wajahnya. Betapapun besar keinginannya saat ini untuk berada di dalam tubuh Dinda, dia akan menghentikan semua yang membuat sang istri tidak nyaman.Dinda mengangguk. Napasnya berangsur stabil. “Please.”Tanpa menunggu lagi Bima kembali mencium bibir Dinda dengan semua tekad hatinya. Dia bersumpah akan membuat Dinda hanya mengingat sentuhannya, ciumannya, mendesah karenanya, dan memanggil namanya saat berada di puncak.Dengan sabar dan penuh kelembutan Bima menjelajahi seluruh tubuh Dinda. Menciuminya, menghisapnya hingga meninggalkan jejak di beberapa tempat. Sentuhan-sentuhannya di beberapa tempat seringkali membuat wanita itu menggigil. Setiap desahan yang keluar dari mulut Dinda adalah pelecut semangatnya.“Look at me, Din,” bisik Bima serak. “Keep looking at me.”Dinda menurut. Dia menatap Bima yang membayangi di atasnya.“Jangan tutup mata kamu.”Dinda hanya mengangguk.Puas dengan jawaban Dinda, Bima membenamkan dirinya dala
Dinda tidak mengenakan gaun putih dan membawa buket mawar di tangannya. Dia tidak berjalan didampingi ayahnya menuju altar. Tidak ada tamu undangan yang memberinya selamat. Tetapi statusnya kini telah berubah. Ia sudah menjadi istri seseorang.Semua terjadi begitu cepat, seperti mimpi yang mengabur di mata Dinda. Setelah melakukan pernikahan secara agama yang hanya disaksikan oleh Daniel, Ryan, dan Kevin, Bima mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil. Dengan gemetar Dinda meletakkan kembali dokumen pernikahannya di nakas dan menghela napas panjang. Mantranya bergema dalam hati. Tarik napas lalu keluarkan.Setelah merasa sedikit lebih tenang Dinda bangkit dan keluar dari kamar. Suara-suara dari ruang tengah terdengar samar. Saat Dinda menampakkan diri di sana, dia siambut dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Hanya ada empat orang, tapi Dinda harus menutup telinganya untuk menghindari kerusakan pada pendengarannya.Saat mereka puas membunyikan terompet, Daniel berada di bari
Sekali lagi, Dinda menjadi orang paling banyak dicari di internet setelah videonya dan Bima di rumah sakit menyebar. Tentu saja berita-berita itu muncul dengan berbagai judul yang penuh kehebohan dan kontroversi. Ada satu media menyebutkan Dinda sakit keras dan Bima melamarnya agar mereka menikah sebelum Dinda meninggal. Yang lain menyebutkan hubungan mereka seperti Cinderella di dunia nyata. Beberapa bahkan mulai menghitung aset yang akan Dinda dapatkan jika ia menikahi Bima.Dinda memijit kepalanya saat membaca berita-berita itu. Semakin lama terdengar semakin aneh. Entah dia harus bangga atau sedih karena orang-orang lebih tertarik pada kehidupan pribadinya daripada pekerjaan Dinda sebenarnya.“Yang ini setuju. Tapi ada yang maki-maki lo lagi, Din. Oh, pantesan. Fans Chelsea ternyata,” Reva sibuk membaca komentar-komentar di bawah berita Dinda dan Bima. Mereka bertiga─Dinda, Reva, dan Tania─sedang berada di apartemen Dinda. Reva sengaja datang setelah membaca berita kalau Dinda sed
Jika Bima melamarnya dua tahun lalu, Dinda akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Dia akan dengan senang hati menerima pinangan itu. Tetapi keadaannya tidak sama lagi. Ada kemungkinan Dinda mengandung bayi pria lain. Dia tidak bisa membuat Bima menerima bayi itu juga. Rasanya sangat tidak adil bagi Bima jika Dinda menerima lamarannya dalam kondisi mengandung.Entah berapa banyak air mata yang ia keluarkan selama beberapa hari terakhir. Dinda menangis berhari-hari hingga rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ada kekosongan di dalam hatinya. Bahkan dia tidak merasakan apapun saat melihat cincin permata di depannya.Tetapi jurang antara dirinya dan Bima justru semakin lebar dan dalam. Rasanya memang semesta tidak merestui mereka.“Aku akan menjawab setelah hasi tes keluar.”Bagi Dinda itulah yang paling masuk akal. Jika memang dia terbukti mengandung, jawabannya sudah jelas. Dinda akan menolak Bima. Tetapi jika hasilnya negatif, mungkin masih ada sedikit harapan bagi merek