"Kenapa aku harus menikah dengan adiknya Kak Mariyah, Bang!" sergahku tidak terima dengan perintah Bang Arsya kali ini. Bukankah dia tahu, bahwa di dalam hatiku hanya ada dia. Lalu mengapa dia memintaku untuk menikah dengan laki-laki lain. Hal ini sangat konyol sekali.
Bang Arsya menjatuhkan tubuhnya duduk berjongkok di depan kedua lututku. Kedua tangannya menggenggam erat tanganku yang berada di pangkuan.
"Sayang, dengarkan Abang, Jika kamu tidak menikahi Bilal maka kisah cinta kita akan berakhir!" Bang Arsya menjatuhkan tatapan lekat kepadaku namun berucap dengan nada memperingatkan.
"Tapi aku sama sekali tidak menyukai lelaki itu, Bang!" debatku dengan bibir mengerucut. Kubuang tatapanku dari Bang Arsya.
Bang Arsya mendengus berat. Kemudian memalingkan wajahku ke arahku. Hingga kini kami saling bersitatap.
"Sayang, dengarkan Abang. Setelah Abang mendapatkan sebagian harta da
"Yuma, Yuma!" Suara Uma terdengar memburu dari luar rumah. Aku yang sedang berkutat di dapur segera berhambur menuju keluar."Ada apa, Uma?" tanyaku melihat Uma yang masih mengatur nafasnya yang menderu di depan rumah. Wajahnya terlihat begitu panik. Kerudung yang ia kenakan pun nampak berantakan."Ayo, Yuma cepat ikut denganku!" Wanita paruh baya itu memburuiku dengan wajah panik. Aku pun segera berlari mengikuti Uma yang berlari menuju pondok pesantren. Perasaan was-was semakin memenuhi rongga dadaku saat melihat kerumuman yang ada.Para santriwan dan santriwati sudah berkerumun di halaman luas yang berada di belakang gedung kelas santriwan dan santriwati. Uma menembus kerumunan para santri yang sedang melihat pusat perhatian yang membuatku semakin penasaran. Aku, terus mengikuti Uma dari belakang hingga sesuatu yang mengejutkan itu terlihat."Bang Bilal!" Aku tercekat melihat lelaki yang menjadi suamiku
Semalam aku mendengar deru mesin mobil Kak Mariyah melewati depan rumah. Sepertinya Kak Mariyah baru pulang dari rumah sakit bersama Uma yang berangkat sejak tadi sore. Pagi buta setelah aku melaksanakan salat subuh, aku bergegas mempersiapkan diri untuk pergi ke rumah sakit menjenguk Bang Bilal. Sebagai istri sudah sepantasnya aku harus selalu ada di samping suamiku di saat seperti ini.Aku mengenakan gamis berwarna nude pemberian Bang Bilal beberapa hari yang lalu sebelum kejadian buruk itu terjadi. Kuputar tubuh ke kiri dan ke kanan di depan cermin besar yang berada di dalam kamar."Sempurna!" gumanku melihat pantulan diriku dari cermin yang sangat cantik sekali."Aku yakin Bang Bilal pasti akan bertekuk lutut kepadaku. Apalagi lelaki itu sangat mencintai," batinku melayang jauh. Membayangkan hal indah yang akan terjadi antara aku dan Bang Bilal.Biarlah kini aku kehilangan Bang Arsya. Lagipula sekarang
POV ArsyaSudah lama aku menjadi salah satu santri di pondok pesantren milik Abah Abdullah. Tapi aku yakin pasti tidak ada satupun orang di sini ya mengetahui tentang diriku. Karena aku terlahir dari anak orang yang tidak punya. Aku belajar mengaji di sini pun secara gratis atas kebaikan Gus anak dari Abah Yai Abdullah. Hampir setiap tahun pondok pesantren ini mencari anak yang kurang mampu untuk belajar mengaji di tempat ini, dan aku salah satu dari mereka.Semenjak lulus SD hingga aku menyelesaikan bangku madrasah aliyah, aku berada di pondok ini, dan semua itu aku dapatkan secara gratis. Pernah suatu hari aku berandai-andai, jika saja aku bisa memiliki pondok pesantren ini pasti hidupku akan bahagia, tidak kekurangan satu apapun. Karena yang aku tahu pondok pesantren ini memiliki sebuah perusahaan konveksi yang sangat besar dari donatur orang tua seorang janda tua yang berada di dalam pondok ini. Aku tidak tau siapa janda tua itu. Hanya
Dia adalah sekretaris baruku. Namanya Hanum. Tubuhnya yang tinggi semampai, serta bentuk tubuhnya yang sintal, membuat aku selalu bernafsu setiap melihatnya. Tapi sayangnya Hanum selalu berpura-pura tidak mengetahui kodeku."Hanum, jangan terlalu jual mahal seperti itu kepadaku!" batinku melihat pada Hanum yang meletakan berkas-berkas di atas meja kerja. Posisi tubuhnya yang sedikit membungkuk, membuatku dapat melihat dengan jelas buah dada besar dengan kulit putih yang nampaknya begitu kenyal sekali dari kemeja Hanum yang sedikit menyembul."Pak!" Hanum tercekat. Dengan cepat ia segera menutup bagian dadanya yang terbuka saat ia menyadari jika aku sedang melihat dada besarnya. "Maaf Pak!" ucap Hanum terbata dengan satu tangan menutupi bagian dada."Iya Hanum, tidak masalah! Lagi pula aku juga tidak melihatnya," jawabku memasang wajah' lugu."Duduklah!" titahku pada Hanum. Wajah Hamum masih merah merona ka
Aku kira perselingkuhanku dengan Larissa aman. Ternyata aku salah, diam-diam Mariyah mengetahui dan menyelidiki semuanya. Beberapa orang kantor mengatakan padaku, bahwa mereka menemukan beberapa CCTV yang terpasang di kantor. Aku yakin ini adalah ulah Mariyah. Aku harus lebih berhati-hati."Risa!" ucapku pada Risa. Biasanya setiap siang Risa pasti akan datang ke kantor mengantarkan bekal untukku."Iya Mas! Aku masih siap-siap. Mas, tunggu sebentar ya!" ucap Risa dengan nada tergesa-gesa."Risa tolong dengarkan aku!" ucapku pada Risa dengan nada serius. Sejenak nafas memburu Risa itupun terhenti."Tolong kamu jangan datang ke kantor. Keadaan sedang gawat , Risa!" desisku."Gawat ada apa, Mas?" tanya Risa menaikan nada suaranya."Nanti aku ceritakan semuanya kepadamu," balasku segera mengakhiri panggilan.Kugenggam kuat ponsel yang berada di tangan. Rasanya
POV BILAL"Bapak sudah bisa pindah dari kursi roda! Tapi Bapak harus tetap berhati-hati ya jika menggunakan tongkat ini!" tutur suster Hani kepadaku dengan ramah.Aku mengangguk lembut. Wanita yang mengenakan seragam putih itu membantuku kembali duduk di tepi ranjang.Semenjak kejadian itu, aku kehilangan banyak hal. Aku harus kehilangan satu kakiku yang mendadak lumpuh, sebuah kenyataan bahwa aku mandul, dan kenyataan yang lebih pahit adalah bahwa wanita yang sangat aku sayangi ternyata sudah berkhianat kepada aku. Allah seperti membuka mataku, bahwa hanya pada Allah lah sebaik-baiknya tempat bergantung, bukan manusia."Baik suster Hani. Percayalah padaku, pasti aku akan sangat berhati-hati sekali," tuturku membalas ucapan suster Hani dengan senyuman."Kita tinggal menunggu kabar dari Dokter Iman. Jika beliau sudah mengizinkan Bapak Bilal pulang. Kemungkinan besok Bapak sudah diperbolehka
"Untuk mendapatkan surga bagi seorang wanita itu menurutku sangat mudah. Hanya perlu taat pada suami, menjaga harta dan kehormatannya saat suami tidak ada, lalu melaksanakan salat lima waktu dan puasa." Aku melirik kepada Yuma yang mulai gelisah dengan nasehatku."Tapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang gugur menjalankan hal ini." imbuhku tersenyum sinis, mungkin lebih menertawai diriku sendiri."Maaf Bang, mungkin aku belum bisa melakukan yang seperti Abang mau," tutur Yuma terdengar sendu."Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Yuma. Aku sudah menimbang semuanya. Aku sudah menjalankan salat istikharah agar aku tidak salah dalam melangkah dan aku sudah memutuskan semuanya dengan matang dan terbaik," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.Yuma menaikkan kedua alisnya menatap kepadaku. "Keputusan tentang apa, Bang!" tanya Yuma dengan sorot mata penasaran."Maaf jika beberapa wa
"Baiklah jika Kakak sudah siap untuk mendengarkan!" Ucapan Bilal terdengar bagitu aneh sekali. Membuat jantungku semakin berdebar karena penasaran."Lelaki yang sudah menghamili Yuma adalah suami Kak Mariyah, Bang Arsya!""Apa?" Aku tercekat, jantungku seperti copot dari tempurungnya. Tubuhku bergetar hebat dan lidahku pun terasa kelu. Hal ini sungguh sangat sulit untuk dipercaya.Aku kira perselingkuhan Bang Arsya dengan wanita asing itu sudah cukup mengguncang diriku. Kini sebuah fakta baru yang lebih buruk dari apa yang terlintas dalam benakku membuat aku semakin hancur.***"Bagaimana pengacara Ruhut, semua pelimpahan berkas atas nama saya sudah selesai kan?" tanyaku pada pengacara yang sudah membantuku untuk melimpahkan berkas perusahaan atas namaku. Karena, meskipun berkas-berkas itu ada di tanganku. Tapi berkas-berkas itu atas nama Bang Arsya, sesuai pemilik pertama.
Enam tahun kemudianMeskipun masih berusia tujuh tahun. Tapi kemampuan Ais menjadi hafiz Alquran tidak perlu diragukan lagi. Gadis kecil itu pernah menjuarai lomba Hafiz tingkat nasional dan mendapatkan juara satu."Ais, jangan lupa beroda ya!" tuturku seraya mengusap kerudung yang Ais kenakan."Iya Bude," sahutnya dengan nada semangat.Tangan Ais menggapai-gapai ke arahku yang duduk di sampingnya."Ais mau apa?" tanyaku menyetuh tangan Ais."Aku ingin memegang perut Bude!" sahutnya.Aku tersenyum lebar pada Ais, lalu mengarahkan tangan kecilnya menyentuh perutku yang sudah membesar."Adek, doakan Kakak Ais ya!" ucap gadis kecil yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu.Aku tersenyum kecil, megusap perutku yang membesar. Kemungkinan beberapa hari lagi aku akan segera melahirkan.
Prank!Ponsel yang menempel pada telinga Bilal tiba-tiba terjatuh. Begitu juga dengan tongkat yang menyangga tubuh Bilal. Lelaki itu terhuyun jatuh bersandar dari pada dinding tembok dan terisak."Bilal!" Uma berhambur menghampiri Bilal. Begitu juga dengan aku dan Dejah. Serta beberapa orang yang sedang membantu di rumah untuk mempersiapkan pesta pertunangan adik bungsuku, Dejah."Bilal, ada apa?" Uma panik melihat keringat dingin bercucuran dari tubuh Bilal yang menangis."Abang, ada apa Bang!" Dejah yang berada di samping kanan Bilal pun terlihat panik."Mang sholeh, tolong ambilkan minum! Kalian mundur berikan udara untuk Bilal," ucapku pada beberapa orang yang mengerumuni Bilal.Beberapa saat kemudian mang Soleh menyodorkan segelas air putih kepadaku dan aku segera memberikannya kepada Bilal."Minum dulu Bilal!" ucapku membantu Bilal untuk meneguk air
Aku berdiri di samping ranjang Bang Arsya. Menjatuhkan tatapan lekat pada lelaki bertubuh kurus yang terbaring lemas di atas ranjang. Sementara Yuma, terus saja terisak melihat' kondisi Bang Arsya yang semakin kritis."Kata Dokter, Bang Arsya masih terpengaruh dengan obat bius. Bersabarlah dulu, nanti setelah efek dari obat bius itu habis pasti Bang Arsya akan siuman," dustaku menenangkan Yuma. Aku tidak ingin Yuma semakin menyiksa dirinya jika mengetahui keadaan Bang Arsya yang sesungguhnya.Wanita dengan gamis lusuh berwarna kecoklatan itu mengangguk lembut seraya mengusap pipinya yang basah."Makanlah dulu, pasti Ais juga lapar," ucapku mengingat Yuma pada balita yang masih menggantungkan air susunya."Tapi Bang Arsya!" Yuma menjatuhkan tatapan ragu padaku. Rasa sayang pada Bang Arsya tergambar jelas pada wajah Yuma."Tenang saja! Biar aku yang menjaga Bang Arsya," sahutku tersenyum pad
Keadaan Bilal masih sama seperti dulu. Seumur hidupnya ia akan menjadi seorang lelaki yang lumpuh. Tapi sedikitpun Bilal tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Lelaki yang menjadi tongkat estafet pondok harus berganti padaku. Kini akulah yang meneruskan dakwah keluar kota setiap kali ada undangan yang datang."Kak!" Bilal yang berjalan menghampiriku menuju teras rumah."Apa Bilal!" sahutku masih berfokus pada layar ponsel. Mengecek jadwal undangan yang sudah masuk."Sepertinya kakak harus menghentikan dakwah kakak!" tutur Bilal dengan suara parau.Seketika aku mengalihkan tatapanku pada lelaki yang duduk pada bangku di sampingku."Kakak butuh seorang pendamping. Kakak adalah wanita, dan sebaik-baiknya wanita adalah berada di dalam rumah," imbuh Bilal terdengar seperti sedang menasehatiku.Aku meletakkan ponsel di atas meja yang membelah antara aku dan Bilal. "Bilal, ini buka
"Yuma!" Bang Arsya tercekat melihat kehadiran wanita berbadan dua yang berjalan menuju ke arah meja kami.Yuma menjatuhkan tubuh duduk pada bangku. Wajahnya terus saja menunduk tidak berani menatap kepadaku ataupun Bang Arsya."Maksud kamu apalagi, Mariyah?" Rahang Bang Arsya mengertak menatap tajam kepadaku.Aku membisu dengan membalas tatapan datar pada Bang Arsya. "Beberapa waktu lalu vonis mengejutkan datang dari Bilal. Dokter Iman mengatakan bahwa Bilal mengalami kelainan genetik. Dimana Bilal di katakan mandul seumur hidup.""Apa?" Bang Arsya mengerang menekan meja dengan kedua tangannya. Menatap padaku dan juga Arsya dengan tatapan tajam."Jangan gila kamu, Mariyah?" desis Bang Arsya bangkit dengan wajah merah menyala."Gila bagaimana, Bang?" sergahku mendongak dengan rahang menggertak."Apakah kamu saat ini sedang menuduhku?" kelakar Bang Arsya. Ur
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kafe tempatku berada. Pesan yang sudah kukirimkan pada Bang Arsya masih saja bercentang satu. Apakah Bang Arsya membohongiku lagi. Aku mendengus berat, aku harap ini hanyalah rasa kekhawatiranku saja.Sebuah tangan tiba-tiba menutup kedua mataku. Aku terkejut untuk sesaat. Aroma maskulin yang bergitu akrab dengan indera penciumanku membuatku tidak kesulitan untuk menebak siapa yang berada di belakang punggungku."Abang!" ucapku."Mariyah!" Bang Arsya melepaskan tangan yang menutupi kedua mataku. "Kok kamu tahu kalau itu, Abang!" serunya memutar tubuh bejalan menuju bangku yang berada di samping kiriku. Senyuman merekah pada kedua sudut bibir Bang Arsya.Meja kafe yang berbetuk persegi memiliki empat bangku pada setiap mejanya. Dengan beberapa lampu yang menggantung di setiap atas meja. Jika malam, kafe ini akan terlihat semakin indah dengan beberapa lampu hias yang lainy
"Baiklah jika Kakak sudah siap untuk mendengarkan!" Ucapan Bilal terdengar bagitu aneh sekali. Membuat jantungku semakin berdebar karena penasaran."Lelaki yang sudah menghamili Yuma adalah suami Kak Mariyah, Bang Arsya!""Apa?" Aku tercekat, jantungku seperti copot dari tempurungnya. Tubuhku bergetar hebat dan lidahku pun terasa kelu. Hal ini sungguh sangat sulit untuk dipercaya.Aku kira perselingkuhan Bang Arsya dengan wanita asing itu sudah cukup mengguncang diriku. Kini sebuah fakta baru yang lebih buruk dari apa yang terlintas dalam benakku membuat aku semakin hancur.***"Bagaimana pengacara Ruhut, semua pelimpahan berkas atas nama saya sudah selesai kan?" tanyaku pada pengacara yang sudah membantuku untuk melimpahkan berkas perusahaan atas namaku. Karena, meskipun berkas-berkas itu ada di tanganku. Tapi berkas-berkas itu atas nama Bang Arsya, sesuai pemilik pertama.
"Untuk mendapatkan surga bagi seorang wanita itu menurutku sangat mudah. Hanya perlu taat pada suami, menjaga harta dan kehormatannya saat suami tidak ada, lalu melaksanakan salat lima waktu dan puasa." Aku melirik kepada Yuma yang mulai gelisah dengan nasehatku."Tapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang gugur menjalankan hal ini." imbuhku tersenyum sinis, mungkin lebih menertawai diriku sendiri."Maaf Bang, mungkin aku belum bisa melakukan yang seperti Abang mau," tutur Yuma terdengar sendu."Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Yuma. Aku sudah menimbang semuanya. Aku sudah menjalankan salat istikharah agar aku tidak salah dalam melangkah dan aku sudah memutuskan semuanya dengan matang dan terbaik," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.Yuma menaikkan kedua alisnya menatap kepadaku. "Keputusan tentang apa, Bang!" tanya Yuma dengan sorot mata penasaran."Maaf jika beberapa wa
POV BILAL"Bapak sudah bisa pindah dari kursi roda! Tapi Bapak harus tetap berhati-hati ya jika menggunakan tongkat ini!" tutur suster Hani kepadaku dengan ramah.Aku mengangguk lembut. Wanita yang mengenakan seragam putih itu membantuku kembali duduk di tepi ranjang.Semenjak kejadian itu, aku kehilangan banyak hal. Aku harus kehilangan satu kakiku yang mendadak lumpuh, sebuah kenyataan bahwa aku mandul, dan kenyataan yang lebih pahit adalah bahwa wanita yang sangat aku sayangi ternyata sudah berkhianat kepada aku. Allah seperti membuka mataku, bahwa hanya pada Allah lah sebaik-baiknya tempat bergantung, bukan manusia."Baik suster Hani. Percayalah padaku, pasti aku akan sangat berhati-hati sekali," tuturku membalas ucapan suster Hani dengan senyuman."Kita tinggal menunggu kabar dari Dokter Iman. Jika beliau sudah mengizinkan Bapak Bilal pulang. Kemungkinan besok Bapak sudah diperbolehka