Gadis Muda itu bangun subuh, ingin memasak sesuatu untuk dibawa ke Rumah Sakit. Ia kebingungan menu apa yang boleh dimakan oleh Bang Fikar.
"Daripada bingung, lebih baik aku tanyain Ibu Bang Fikar." gumamnya. Lalu mencari kontak Ibu dan mulai menekan panggilan. Dua kali dering langsung diangkat.
"Assalamualaikum, bagaimana kabar Ibu? Ini Zola mau tanya. Apa jenis makanan yang boleh dimakan Bang Fikar?" Ujar Zola to the point. Takut mengganggu istrahat Ibu.
"Waalaikumussalam, Alhamdulillah Baik. Ikan Gabus. Diolah jadi apa gitu, biar nggak ketahuan Fikar, soalnya dia nggak suka." Jawab Ibu pelan.
"Oh, baiklah Bu! Aku cari dulu ikannya." Zola mematikan sambungan telpon.
Lalu melangkah ke dapur. Zola kebingungan. Dia juga nggak suka Ikan Gabus apalagi megangnya, geli jijik.
"Ih ... Coba cek kulkas dulu, semoga nggak ada!" lirih Zola pelan.
Ketika tangan Gadis itu sibuk membongkar semua plastik yang ada dikulkas. Tetapi tidak ditemukan rupa gabus itu. "Ah, tumben Emak nggak nyetok," ucap Zola riang. Jadi dia punya alasan tidak membawa ikan gabus.
----------------
Di depan cermin gadis itu berkaca memperbaiki hijabnya dengan style gamis modern berwarna coklat dipadukan hijab warna krim muda, menambah kesan elegan pada tampilannya. Tidak lupa tas hitam bertali tipis sebagai pelengkap.Zola berjalan ke arah motornya yang baru saja dipanaskan! Setelah berpamitan dengan Ibu. Tak lupa rantang untuk membawa makanan.
Sesampai di Rumah Sakit masih pukul 07 pagi. Ia bergegas masuk sebelum pagar dikunci sebab bukan waktu untuk kunjungan pasien. Tampak Ibu sedang duduk dilantai, zola mencium tangannya takzim lalu meletakkan rantang dihadapannya.
"Sarapan dulu Bu," ajak Zola mendorong lembut rantang itu ke arah Ibu.
"Apa isi di dalamnya Nak? Nggak usah repot-repot, kamu datang aja. Kami sudah senang." Sahut Bu Hasnah lembut.
"Nggak kok Bu. Aku senang malah bisa kasih sesuatu. Ini yang paling atas Nasi, tumis kangkung campur teri pakai cabe rawit, dan ini sambal kentang campur teri," jelas Zola menunjuk deretan rantang.
Bu Hasnah hanya senyum. Mendengarkan penjelasan Zola yang terkesan lucu.
"Oh ya Bu, boleh aku ke dalam nemani Bang Fikar?"
Zola bertanya dengan tatapan penuh harap. Seolah memohon izin dari Ibu."Boleh! Tapi gantian dengan bang Jeri ya," sahut Ibu kemudian.
--------------------
"Assalamualaikum calon imamku! Apa kabar?" Sapa Zola dengan ceria ketika sampai di hadapan Fikar yang masih terjaga.Fikar merasakan debaran kebahagiaan menyambut kedatangan Sang Kekasih. Sudut bibirnya tak henti melengkung.
"Nggak usah senyum begitu, ntar adek meleleh loh," Ujar Gadis manis itu lagi.
Fikar tersipu malu, tertangkap basah sebab senyum sendiri.
"Abang Bahagia, Adek bisa datang," tukas Fikar tampak Sendu."Jawab dulu dong salam Adek Bang," tegur zola dengan wajah manyun.
"Waalaikumsalam ..." Jawab Fikar salah tingkah.
"Adek usahain buat datang, biar Abang semangat untuk sembuh." Zola berusaha menghibur dan menyemangati Kekasih hati.
Tiba-tiba datang seorang perawat.
"Ehem ... Jadi ceritanya pujaan hati sudah berkunjung nih!"
Mereka berdua hanya menanggapi dengan senyum malu-malu meong.
----------------
"Abang sudah makan?" tanya Zola.
"Nggak selera makan Dek, dari kemarin nggak lapar," sahut Fikar dengan ekspresi lemas.
Matanya tidak sedikit beralih dari wanita yang sangat dia cintai. Ada rasa takut kehilangan, namun melihat kenyataan dari sikap Zola tidak ada perubahan, membuat lelaki itu sedikit tenang.
"Kalau Adek suapin, Abang mau makan nggak? Adek bawa tumis kangkung pedas campur ikan teri. Boleh nggak ya?" tanya Zola dengan alis sedikit terangkat. Wanita itu berpikir resikonya.
"Wah enak tu. Mau Dek, kalau dikit nggak apa-apa asal jangan ketahuan," Antusias Fikar.
Zola tertawa pelan. Meskipun sedang sakit Bang Fikar tetap ngeyelan, sedikit sepertinya nggak masalah. Itulah yang dipikirkan gadis muda itu berlalu keluar ruangan.
Setibanya Zola.
"Ayo Bang, makan Adek suapin!" Kata Zola dengan tangan membuka kotak nasi milik Bu Hasnah. Lalu menyuapi Fikar.
Walaupun kesulitan menelan makanan, demi menghargai usaha Sang Kekasih. Fikar tetap mengunyah perlahan. Setelah empat suapan, ia sudah kenyang.
Makanan tersebut banyak berlebih, hingga dihabiskan oleh Zola. Romantis bukan! Namun sayang belum resmi aja.
Begitu banyak hal-hal manis lain yang dilakukan Zola, seperti memijat kepala, memotong kuku Fikar dan sebagainya. Tidak akan habis jika diceritakan. Ketika dua sejoli dimabuk cinta, dunia serasa milik berdua.
Sakit bukan halangan untuk memberi semangat satu sama lain.
Tiga Bulan berlalu.Fikar melamun mengingat kenangan manis bersama Zola beberapa bulan lalu. Gadis itu mampu membuatnya tersenyum tanpa alasan yang pasti.Sejak kepulangan Fikar ke Rumah. Belum ada kunjungan dari Zola. Padahal sebulan di Rumah Sakit, hampir setiap hari gadis itu tanpa Absen mengunjunginya.Ketika ditanya Zola selalu beralasan motor nggak ada, lagi sakit, Rumah nggak ada yang jaga dan bla ... Bla ... Entah cuma sebagai alasan atau benaran, Fikar tidak tahu.Fikar berusaha berpositif thinking. Walaupun sejujurnya hati itu sangat resah dan gelisah.-----------------Dua minggu setelah pulang dari Rumah Sakit, Fikar hanya terbaring di atas kasur busa di tumpukkan bantal tinggi penyangga kepalanya.Tidak banyak yang bisa dilakukan Fikar. Geraknya sungguh terbatas. Makan diambilin dan disuapi, Buang Air
Sejak Kejadian yang dialami Fikar, tubuhku terasa kehilangan semangat untuk menjalani hidup. Kabar kecelakaan itu sangat mengejutkan. Tepat waktu sore itu, aku bersiap hendak pulang ke rumah. Bekerja sebagai pengawas di Pabrik kayu menyita sebagian besar tenaga dan waktu untuk keluarga, terkadang lembur hingga tengah malam, atau masuk hutan belantara mencari kayu berkualitas tinggi yang harga jualnya pun sangat tinggi. Semua lelah terbayar oleh gaji atau upah keringat yang bisa dikategorikan cukup besar untuk menafkahi istri dan ketiga putraku. Ditambah pula sebagian besar dari hasil kebun karet dan sawit warisan orang tua kami, maksudnya Hasnah dan diriku. Tidak lupa kadang diri ini berbagi rezeki dengan saudara dan sanak family agar dilancarkan dalam bekerja dan berusaha. ---------------- Hari ini tidak ada lembur, sedari pagi entah kenapa perasaanku tidak enak? Pikiranku melaya
Fikar duduk dilantai sembari menompang dagu ditepi jendela, ia menikmati kesendirian di rumah. Bangunan milik orang tuanya memiliki jendela model slim dengan posisi setinggi duduk orang dewasa.Mata lelaki itu menatap lurus ke depan, dia tidak sedang melihat apa-apa, namun pikirannya yang berkelana, memikirkan masa depan yang akan dilaluinya nanti. Buliran bening menetes membasahi pipi, segera diusap Fikar dengan ujung jari telunjuk."Aduh!" pekiknya.Saat menyadari kaki yang diamputasi mengeluarkan air bercampur nanah dari bolongan disekitarnya sebab terbentur dinding tanpa disengaja ketika menggeser posisi duduknya.Terdengar ringisan dari bibir Fikar saat mengusap pelan air berbau menyengat itu dengan kain yang sudah tersedia, bau itu membuatnya kehilangan napsu makan. Akan tetapi, siapa yang dapat menolak takdir?Sejenak ia melupakan kesakitan yang barusan t
Fikar terjaga dari tidurnya yang indah sebab berjumpa dengan belahan jiwa yang sangat ia rindukan sembari tersenyum lebar mengingat hal manis semalam walaupun hanya di alam mimpi. Setidaknya rasa rindu terobati, tapi ada yang mengatakan rindu tak mampu diobati kecuali sebuah pertemuan. Ada benarnya sih!Lelaki disbilitas itu menelusuri ruangan kamar yang tak terlalu lapang, tapi terasa pengap sebab minimnya cahaya yang masuk. Tatapannya berhenti pada tongkat kruk ketiak pemberian Bang Jeri."Ini tongkat dibeli atau hadiah ya?" gumam Fikar menelisik benda tersebut yang berada tak jauh darinya."Tapi, label harga nggak ada. Bisa jadi pemberian! Apa aku bisa menggunakannya?" Kata Fikar kemudian dengan mata sendu, membendung air mata kala mengingat diri yang tak mampu untuk mandiri.Tangannya meraba alat bantu tersebut secara halus setelah duduknya secara perlahan beringsut sampai
Bi Julai, tetangga sebelah Fikar berlari ke luar memanggil orang-orang saat Fikar didapati pingsan. Wanita tua itu berusaha keras menolong memindahkan tetangganya itu ke tempat pembaringan."Malangnya nasibmu, Nak!" Kata Bi Julai meneteskan air mata menatap wajah Fikar, kemudian membersihkan cairan kental yang bercecer di lantai.Wanita itu meminta salah satu orang yang berada di sana menjemput orang tua Fikar di kebun."Anto, cepat bawa orang tua Fikar pulang! Takutnya ini pendarahan dan darurat," Ujar Bi Julai panik memperhatikan darah yang keluar dari paha Fikar yang diamputasi semakin banyak.Anto mengangguk. Bergegas keluar rumah."Fikar ... Fikar!"Bu Hasnah memanggil Putranya sambil menepuk-nepuk pelan Pipi anaknya supaya cepat sadar.Panik. Keadaan menjadi tegang!"Bagaimana
Sebulan setelah acara angkat keluarga dilakukan, membuat hubungan Pak Harun dan Pak Zur semakin dekat. Anak-anak yang semula hanya teman bermain, sekarang tumbuh rasa sungkan dan saling menghargai.Tidak ada lagi olok-olokan seperti biasa. Semua berubah, tak enak hati selalu menjadi alasan utama. Begitu pun saat bertemu dalam tongkrongan, canda mereka tertahan.Jeri dan Putra pertama Pak Zur yang bernama Musir sangat akrab meski beda usia, namun jarak terbentang saat ini.Biasanya di rumah sederhana dengan tampilan biasa itu selalu dihuni oleh Fikar, setiap pagi semua orang pergi mengais rezeki. Derap langkah kaki memasuki rumah Bu Hasnah.Fikar menajamkan pendengaran."Siapa ya? pagi-pagi sudah bertamu," gumam lelaki itu. Ia menggeser duduk dengan cara mengesot hingga sampai di depan pintu, celingukan menatap ruang tamu. Dihadapan Fikar berdiri sosok lela
Adinda attarjay, wanita blasteran Jawa thailand. Ibu asli Jawa sedangkan Bapak keturunan thailand dan telah menjadi pribumi, sebab puluhan tahun menetap di Indonesia.Wajah oval dengan mata sedikit sipit serta lesung pipi menambah manis perawakan yang dimiliki Dinda. Dia begitu cantik dan dikagumi setiap pria. Setiap yang menyukainya berlomba-lomba memenangkan hati gadis itu.Jika ada yang meminta menjadi pacar. Adinda telah menyiapkan jawaban sebagai tolakan secara halus tanpa menyakiti hati pengagumnya."Maaf, aku mau serius sekolah dulu.""Cinta tak harus jadian, buktikan saja perhatianmu!""Sayang banget! Aku pengennya kita serius ke jenjang pelaminan bukan pacaran.""Maaf, Aku bukan tipe pemilih, tapi hanya ingin seseorang yang mampu bertahan akan sikap burukku," balas Adinda sembari mencongkel upil dengan telunjuk.
[Jangan marah berlama-lama, tak baik untuk kesehatanmu.]Centang dua, status online. Tapi, tak ada balasan dari Zola.Tak kunjung mendapat balasan, akhirnya Fikar terlelap tanpa berubah posisi.Pukul 00:21 Wib. Bunyi notifikasi Whatsapp begitu mengusik alam bawah sadarnya. Muncul pemberitahuan bahwa akun milik Zola beberapa menit yang lalu memperbaharui status terbaru.Suara notifikasi itu menelan keheningan malam, membuat dada yang menunggu berdebar hebat. Rasa kantuk segera ditepis lelaki disabilitas itu guna mengetahui status dari pemilik nada notifikasi itu, siapa lagi kalau bukan Zola.Tangan Fikar berulang kali mengucek matanya, kemudian meraba-raba area kasur dengan cahaya redup untuk mencari keberadaan benda pipih yang selalu mengisi hari-hari yang membosankan.Ponsel terlepas dari genggaman saat ia mulai terlelap. Saat ditemukan, te
Rintik Hujan membasahi Kampung Bukit Lawas. Beberapa orang memilih untuk menarik selimut kembali karena pagi yang gelap dan cuaca yang tidak mendukung tidak memungkinkan mereka ke Kebun. Begitu juga Fikar! Dia tertidur sangat nyenyak hingga matahari mulai meuncul di sela pentilasi udara kamarnya.Semalaman, dia kelelahan menanti kabar Zola, yang mendiaminya sejak kejadian Video itu tersebar luas di jaringan sosial.Fikar mengisik mata, menatap sekitarnya yang sepi. Hanya rintik hujan yang menghiasi siang dengan cuaca dingin, tapi matahari tetap bersinar. Kata Orang Kampung itu hujan panas berarti membawa penyakit bagi yang terkena rintikannya yang tidak terlalu deras."Ah, Kesiangan. Begadang tapi tidak membuangkan hasil!" Dia mendengkus sebal. Lelaki itu beringsut ke pinggir kasur. Dia ingin membuat air menggunakan tempat yang tersedia di kamarnya. Kondisi tubuh besar dan kaki sakit, membuatnya kesulitan jika harus menempuh kamar mandi yang cukup jauh dari kamarnya. Sakit membuat F
Di rumah mewah Perumahan Cendana. Seorang Wanita paruh baya dengan rahang mengeras dan wajah tegang menatap lekat gadis muda di hadapannya.Plak! Plak! Dua kali tamparan keras mendarat di pipi Gadis manis itu. Yang berhasil membuat Pipinya memerah bekasnya."Apa maksudnya ini, Beby?" teriak Bu Mawar, Ibunya Beby Annisa.Sungguh perbuatan Putrinya sudah melampaui batas. Seakan mencoreng nama baiknya sebagai Perempuan pekerja terhormat. Wanita itu melampiaskan amarah yang membelenggu terhadap putrinya dan juga ia merasa gagal sebagai orang tua. Semua fasilitas lengkap dia penuhi, apalagi kurangnya!Bukannya takut. Beby malah berbalik menatap ibunya sinis dengan senyum meremehkan. Apakah Ibu tidak sadar? Dia kurang kasih sayang dan perhatian selama ini."Kenapa kau berlagak seperti pela*cur murahan. Ibu malu Beby! Malu punya anak nggak punya harga diri kayak kamu!" bentak Bu mawar lagi.Dia terlalu gemas melihat Beby yang besikap pongah.Mawar menggeletukkan gigi, menahan geram. Namun,
Di dalam kelas IT C2"Teknologi bisa menaklukkan siapapun, membuat seseorang berambisi menciptakan sebuah karya ...." papar Seorang Dosen mengenakan kemeja Coklat itu di depan para Mahasiswa Jurusan IT.Sebut saja Namanya Dosen Narto yang dengan semangat 45 menjelaskan materi perkuliahan. Sorot mata tertuju padanya, kecuali satu Mahasiswa, Lelaki muda berkaca mata lensa itu sibuk pada pikirannya sendiri. Dia menatap kosong!"Jeri! Jeri!" Suara keras dan lantang sang Dosen tak mampu menarik perhatian Pemuda itu. Dia menatap sekilas lalu meneruskan lamunannya.Siapa yang tahu tentang masalahnya? Ya, Dia tengah memikirkan tahap menghentikan langkah penyebaran video asusila Adiknya."Jeri!" teriak Pak Dosen. Lagi, suara itu hanya angin lalu baginya yang sibuk dengan diri sendiri.Posisi duduk Jeri persis di pojok ruangan. Seseorang segera menyikut sikunya cukup keras. Ya, Dia teman yang duduk di sebelah Jeri."Apaan sih?" teriak Jeri kaget.Belum sempat temannya menjawab, tiba-tiba s
Langkah gadis itu terburu-buru. Semakin dekat ke tempat meletakkan motor maticnya. Mata Zola menyipit, menyadari gantungan di dekat jok, ada sebuah bingkisan. Dia yakin itu dari Fikar, yang sengaja digantung tanpa sepengetahuan dirinya.Segurat senyum terlukis dibibir Zola, sembari membelakangi Bu Hasnah, Jeri dan Fikar. Bergegas dia menaiki kendaraan tersebut berharap agar segera hilang dari sana secepat mungkin. Sebelum melajukan motor, gadis itu menyempatkan diri tersenyum menghadap ke arah keluarga itu. Hanya Bu Hasnah yang membalas senyuman itu, sedangkan kedua putranya ... Entahlah. Wajah datar."Saudara kandung sama aja! dasar menyebalkan," desis gadis itu mengendarai roda dua membelah jalanan.Selepas kepergian Zola."Ayo masuk! ngapain pada berdiri di situ," kata Bu Hasnah berlalu.Kedua putranya hanya diam dengan wajah datar seperti sebelum
"Eh, Dek. Kapan nyampai? Kok nggak kasih tahu," tanya Fikar pelongo saat menyadari pemilik rasa tersenyum manis di depannya."Sebenarnya A----- " ucapan Zola terpotong oleh kedatangan seseorang.Tiba-tiba Jeri datang dengan aura dingin bak kulkas berjalan. "Eh, anak ingusan datang!" serunya menatap Zola yang saat itu menggunakan jilbab marun dengan pakaian gamis modern."Bang," tegur Fikar.Ekspresi yang ditujukan sang Adik membuat dia tak mampu menahan tawa geli."Pas kamu tidur. Dia chat melulu, berisik! ya, Abang suruh datanglah. Jangan OMDO doang," celoteh Jeri tanpa rasa bersalah sambil memasang wajah tampan kebanggaannya.Telinga Fikar terasa panas atas perkataan Abangnya yang berlalu sesuka hati tanpa pamit menuju arah dapur. Zola tercengang, "Ada ya manusia seperti itu? Sumpah nyebelin tingkat kabupaten," jerit gadis itu dalam
Ukuran badan Fikar yang proposinal sebab mantan anggota Damkar, sulit untuk diangkat ke atas, walaupun tak terlalu jurang, tetap saja mereka kesulitan evakuasi. Lima orang tak cukup untuk membantu memapahnya, butuh beberapa orang lagi. Posisi jatuhnya di tepi jalan sehingga bagi yang kenal bakal berhenti dan ikut turun tangan.Tubuh Fikar dibarikan kemudian di atas motor becak yang sudah terlebih dulu ditarik ke atas, dan kondisi tak rusak parah. Jeri melajukan kendaraan roda tiga itu menuju rumah, jarak yang dekat tidak memakan waktu lama.Tubuh Fikar segera diangkat ke kamarnya, dan dibantu menyandarkan pada pinggir tempat tidur. Kamar redup dan sedikit berantakan adalah tempat ternyaman untuknya.Sejak dipindahkan, ringisan yang keluar dari bibir Fikar tak kunjung berhenti. Semua menatapnya kasihan! Lelaki itu benci tatapan iba yang disuguhkan padanya. Daripada emosi, dia memilih membuang wajah ke arah lai
Hadiah yang diberikan sang Ayah mampu membius pikiran Fikar. Dia tak mampu membayangkan hal lain, kecuali kesenangan yang akan diperoleh dengan mata berbinar-binar. Malam semakin larut tetapi kelopak matanya sulit ditutup. "Cepatlah Pagi, ya Allah." Kalimat pamungkas Fikar hari ini, malam ini dan mungkin dua hari kedepan. Dia begitu bersemangat, menanti matahari timbul diufuk timur. Capek rebahan, ubah posisi duduk. Lelah duduk, pindah main handpone, letih scroll-scroll akhirnya terlelap saat jam menunjukkan pukul 03:20 Wib. Begitu tak sabar menanti pagi, namun pada akhirnya Fikar tetap bisa tidur meski tidak seperti jadwal biasa. Bunyi ayam berkokok, membuat kelopak mata Fikar terbuka, setelah menguceknya. Dia segera bangkit mandi tanpa dibantu siapa pun. Belajar mandiri! Fikar begitu antusias. Bunyi tongkat besinya memenuhi ruangan yang sunyi sebab A
[Jangan marah berlama-lama, tak baik untuk kesehatanmu.]Centang dua, status online. Tapi, tak ada balasan dari Zola.Tak kunjung mendapat balasan, akhirnya Fikar terlelap tanpa berubah posisi.Pukul 00:21 Wib. Bunyi notifikasi Whatsapp begitu mengusik alam bawah sadarnya. Muncul pemberitahuan bahwa akun milik Zola beberapa menit yang lalu memperbaharui status terbaru.Suara notifikasi itu menelan keheningan malam, membuat dada yang menunggu berdebar hebat. Rasa kantuk segera ditepis lelaki disabilitas itu guna mengetahui status dari pemilik nada notifikasi itu, siapa lagi kalau bukan Zola.Tangan Fikar berulang kali mengucek matanya, kemudian meraba-raba area kasur dengan cahaya redup untuk mencari keberadaan benda pipih yang selalu mengisi hari-hari yang membosankan.Ponsel terlepas dari genggaman saat ia mulai terlelap. Saat ditemukan, te
Adinda attarjay, wanita blasteran Jawa thailand. Ibu asli Jawa sedangkan Bapak keturunan thailand dan telah menjadi pribumi, sebab puluhan tahun menetap di Indonesia.Wajah oval dengan mata sedikit sipit serta lesung pipi menambah manis perawakan yang dimiliki Dinda. Dia begitu cantik dan dikagumi setiap pria. Setiap yang menyukainya berlomba-lomba memenangkan hati gadis itu.Jika ada yang meminta menjadi pacar. Adinda telah menyiapkan jawaban sebagai tolakan secara halus tanpa menyakiti hati pengagumnya."Maaf, aku mau serius sekolah dulu.""Cinta tak harus jadian, buktikan saja perhatianmu!""Sayang banget! Aku pengennya kita serius ke jenjang pelaminan bukan pacaran.""Maaf, Aku bukan tipe pemilih, tapi hanya ingin seseorang yang mampu bertahan akan sikap burukku," balas Adinda sembari mencongkel upil dengan telunjuk.