Bab 37
Telapak tangannya melekat tepat di pipiku sebelah kanan. Aku terkejut dengan tamparan itu.
"Tulang! Kalau memang aku sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Bunuh saja aku! Bunuh!"
"Diam! Berani-beraninya menantang Tulang sekarang, ya. Dasar tidak berpendidikan!"
Kejam sekali Tulang mengatakan aku tidak berpendidikan. Memang aku hanyalah tamatan SMA, tetapi tidak sewajarnya ucapannya seperti itu. Ini sudah membuat hatiku terluka. Lebih baik aku pergi dari rumah ini. Apa hubungannya masalah dengan pendidikanku?
Bukannya membantu menyelesaikan masalah, malah menghina dan merendahkan. Ini tidak bisa dibiarkan. Tidak akan kumaafkan! Meski dia adalah adik makku sendiri. Lihat saja nanti.
Aku mengambil kembali barang-barangku dari kamar Dina. Lebih baik pergi daripada harus bertahan dengan kekacauan. Semua sudah menyalahkan aku.
Otakku berpikir, ke mana aku akan pergi. Di Sibuhuan ini, hanya rumah ini dan Nunu yang kuketahui. Oh, Tuh
Bab 38 Bola matanya membulat sempurna bak bulan purnama. Wajah cantik itu berubah menjadi mimik yang menyeramkan. Tetiba jantungku berdebar. Darah di dada berdesir tidak beraturan. Sungguh pemandangan ini sulit untuk ditata agar tidak timbul kesalahpahaman. "Ka-- ka-mu? Kok--" "Zeyn, mama mencarimu semalaman. Dia nggak bisa tidur. Kerjanya hanya menangis dan menyebut nama kamu terus." Ucapan Dina sudah bisa kubayangkan seperti apa nantulangku malam tadi. Setelah mendengar penjelasan itu, aku jadi merasa bersalah karena tidak bisa mendengar ucapan mereka. Memang ini adalah kekeliruan terfatal yang kulakukan. Namun, aku juga punya rasa dalam menanggapi ucapan siapa pun yang bicara. "Lah, kalian ada masalah apa, sih? Kok, Zeyn nggak cerita?" Nunu mengernyit keningnya. "Hmmm ... apa kamu tidak bertanya, kenapa Zeyn tinggal bersamamu. Sementara dia punya keluarga di sini?" Dina mulai kembali mengingat masalah kemarin. Ini yang tidak
Bab 39"Zeyn, ini bukan momen yang tepat untuk membahas masalah ini. Aduh," keluh Nunu sembari meletakkan kedua tangannya ke kepala."Tulang rasa, kau sudah tidak waras, Zeyn. Coba berpikir jernih saat ini," gerutu tulangku."Uda, aku pulang dulu. Lagian mau kerja lagi. Sudah jam sembilan lebih." Nunu berpamitan.Uda adalah kata sapaan untuk lelaki yang lebih muda dari orang tua kita. Seperti paman atau om.Paman mempersilakan Nunu pulang. Tinggallah aku di sini tanpanya. Entah kenapa, semenjak hari kemarin, hatiku padanya terasa dekat. Sepertinya cinta mulai tumbuh tanpa kusadari. Rasa nyaman itu kadang membuat aku bingung pada diri sendiri.***Hari ini, Dina mengajakku untuk pergi ke tempat yang membuat aku tenang. Kuakui, otakku penuh dengan kekacauan. Perlu refreshing. Ibarat komputer yang sering dipakai. Hampir hank dan panas. Wajar bila harus diistirahatkan.Setelah salat Zuhur, aku dan Dina bersiap-siap un
Bab 40Tidak sampai setengah jam, kami sudah sampai di rumah. Tidak ada kulihat orang lain di sini, selain tulang dan nantulangku.Tamu yang disebutkan Dina sepertinya hanyalah kebohongan agar kami pulang. Memang begitulah tulangku, selalu saja merasa khawatir bila Dina pergi tanpa mereka. Ya, wajar, sih. Karena Dina adalah putri semata wayang.Aku menunggu kamar mandi untuk membersihkan badan. Rasanya sangat gerah sekali. Meskipun tempat yang kami kunjungi tidak begitu jauh, akan tetapi berjalan dari parkiran ke masjid saja sudah mengeluarkan keringat."Mago do sude, arsak ni rohakku. Molo dilambunghu ho. Sonang ma rohakki, rap dohotho. Ito haholongan. Haholongi au, sayangi ma au. Salelengni lelengna. Baen au ito hot di rohami. Ulang adong na asing. So tung mubaho, so tung lupaho. Tung so jadi sirang. Au dohotho."Kunyanyikan lagu Batak itu dengan suara fals milikku. Bayangan melayang hanya pada Nunu seorang, bukan suamiku. Sepertiny
Bab 41Arul membanting ponselku. Ini sudah membuatku murka. Mengajakku pulang, tetapi begitu yang dia lakukan. Jika bukan di rumah nantulangku, sudah kubunuh dia.Sakit sekali rasanya melihat benda pipih kesayanganku hancur berkeping-keping. Dia tidak tahu, bagiku benda itu lebih berharga daripada dirinya. Sebab, keluh kesahku ada pada Nunu melalui benda tersebut. Saat ini tidak ada lagi orang yang paling kusayangi selain Nunu."Bangsat! Apa maumu? Dasar laki-laki biadab!" Kemarahanku sudah memuncak.Dia mendorongku dan melekatkan kedua tangannya ke leherku. Aku kesusahan untuk bernapas. Tenaganya membuat aku kewalahan menghadapinya."Ueek ... ueek .... Ough ...," ucapku tidak jelas."Rul! Arul! Lepaskan! Ya, Allah ... matilah istrimu! Lepaaas!" Nantulang dan Dina berusaha menarik tangan Arul dari leherku.Aku sulit bernapas. Rasanya hampir mati. Lidahku mulai kaku. Sungguh ini pertama kali kurasakan seumur hidup."Arul!" benta
Bab 42Aku berlari ke arah suara benturan tersebut. Kucari di setiap sudut. Tidak kutemukan apa-apa. Semua benda tampak rapi pada tempatnya. Lantas, suara apa yang terdengar barusan?Tidak sampai sepuluh menit, mata ini terbelalak mendapati Dina yang jatuh di lantai. Aku menjerit sejadi-jadinya seraya menyadarkan."Dina! Din! Bangun, Dina!" Aku menggoyang badannya dengan keras.Dina masih juga tidak sadarkan diri. Kuambil air lalu kepercikkan ke wajahnya dengan tanganku. Tidak juga ada perubahan. Ya, Allah ... ada apa dengan Dina? Ini pertama kali aku melihatnya dalam keadaan pingsan.Aku semakin khawatir atas keadaan sepupuku. Kuletakkan jari telunjukku ke hidungnya untuk memastikan kalau dia masih bernapas. Alhamdulillah. Masih ada angin yang keluar masuk dari indera penciumannya."Nantulang! Arul! Toloooong, lihat Dina!" teriakku agar penghuni rumah datang."Ya, ampun. Ada ini? Astagfirullah ...," ucap nantulangku sambil menangis.
Bab 43"Owh, iya. Baguslah.""Bagus? Apanya yang bagus?""Mmm ... enggak. Ya, udah, aku mau jumpain Titin dulu. Aku laper."Kupasang lagi strategi agar bisa membalas chat Dina. Ponsel yang ketinggalan jaman ini masih bisa kugunakan untuk bisa berhubungan dengan Nunu juga.[Kau tahu kan kalau aku dari dulu suka sama Nunu. Selama kalian berdua, aku nggak tenang, Zeyn. Sumpah. Sebenarnya aku malu telah jujur. Tapi, aku nggak tahan menyimpan semua ini, Zeyn. Maaf.]Kenapa Dina membiarkan aku pergi dengan Nunu? Dia kan tahu kalau aku sangat menyintai lelaki itu. Seharusnya dia menegurku, dong. Bukan malah memikirkan hubunganku sampai sakit. Kasihan juga melihatnya."Din, akan juga mau jujur kalau aku sangat sayang sama Nunu. Tapi demi kamu, aku lepaskan. Aku nggak apa-apa.][Makasih, Zeyn.]Tidak kubalas lagi pesan dari Dina. Seketika hatiku hancur lebur bagaikan dihempas ombak besar. Terombang-amb
Bab 44"Matamu, Zeyn. Jangan terlalu serius melihatnya." Arul berkata dengan merapatkan giginya.Aku langsung melipat kedua tanganku ke dada. Wajah kutundukkan, tapi mataku melirik ke arah lelaki itu. Sejak diriku dipoligami, jiwaku semakin rusak. Semua laki-laki hendak kudekati, tanpa memikirkan rasa malu."Assalamualaikum. Ini rumahnya Zeyndra?""Ya, ada apa?" jawabku sembari mengerutkan kening. Kenapa dia menyebut namaku?"Ekhemmmm, Anda siapa, ya? Maaf, saya suaminya." Arul memotong sebelum lelaki itu menjawab pertanyaanku."Saya temannya." Laki-laki itu mengaku temanku, tetapi tidak mengenali. Kenyataannya dia masih bertanya kalau ini rumah Zeyndra. Padahal aku di sini. Aneh sekali dia. Aku yakin kalau dia orang suruhan. Mana pernah aku kenal dengan laki-laki lain, selain Nunu."Teman? Kamu siapa?" sahutku keheranan."Owh ... ada yang nyuruh kamu? TIDAK USAH KAU CARI ZEYN! DIA ADALAH ISTRIKU!" cegah Arul untu
Bab 45"Kenapa dia. Itu siapa, Zeyn.""Dia bukan siapa-siapa, Ded.Aku baru nyadar yang awalnya aku menyapa abang, sekarang malah memanggil namanya. Sungguh malu diri ini.Aku khawatir ada kabar apa yang diterima oleh Arul barusan. Kenapa begitu mendadak dia pergi dan tidak melanjutkan atas apa yang akan dia lakukan pada Dedi."Tin! Sini." Aku memanggilnya karena dia masih di atas sepeda motor."Ada apa, Bu?" Tampak wajahnya ketakutan saat menemuiku."Kenapa kalian bisa bertemu? Kau nelepon Arul? Aduhhh ... kau ini gimana, sih? Kan saya udah bilang, jangan kasi tau ...." Aku menggeram pada Titin."A-aku tidak ngasi tau, Bu. Tadi pas aku duduk sama teman makan bakso, Pak Arul juga ada di sana. Katanya untuk Naya.""Owh, Tuhan.""Siapa Naya, Bu?""Udah, nggak usah dibahas." Aku berpikir sejenak. "Ded, kita bubar dulu, deh. Aku masih ada urusan.""Ya, udah. Bisa minta nomor WA kamu?""Boleh. Nih,
Bab 61Sebelum dibuka, aku duduk di sofa. Dengan berlahan membuka kertas kado. Dirobek dan perekatnya diambil agar secepatnya bisa melihat isinya. Gladis juga sibuk membantuku. Aku jadi tersenyum melihat kelakuan putri kami yang mulai aktif-aktifnya bergerak.Mata yang tadinya memandang biasa saja, kini membulat sempurna karena tidak percaya dengan apa yang dilihat. Apakah aku bermimpi? Dari mana Jafra tahu kalau pandangan mataku tadinya ke arah benda ini?"Gimana, Sayang? Kamu suka?" tanya Jafra memegang benda ini."Mas, ini terlalu mahal untukku. Aku nggak enak.""Jangankan benda semahal ini, hatiku saja akan Mas berikan padamu. Bahkan bila kau kehilangan bagian dari tubuhmu, Mas rela memberikannya. Karena apa? Mas sangat mencintaimu, Zeyn.""Tapi, Mas ...."Aku salut dengan cintanya melebihi cintanya Arul sewaktu masih hidup bersamaku."Selamat sore," ucap seseorang dari luar. Kami kedatangan tamu sore ini.
Bab 60Aku diam dan tak ingin lagi bicara. Terlebih karena awal pernikahanku sudah ada wanita lain selain aku. Apa ini memang sudah nasibku? Ya, Allah ... jangan beri aku ujian yang kesekian kalinya. Aku memohon pada-Mu, ya, Allah.Gladis yang mulai bosan di dalam showroom, mengajakku keluar. Sementara Jafra masih ragu dengan pilihanku."Sayang, tunggu, dong. Kok, pergi?""Pilih aja sendiri, Mas. Lagian Gladis udah bosen di sini. Aku keluar aja, ya." Terlihat kalau aku mulai akrab dengan sapaan mas dan kata aku, bukan saya lagi.Hati yang sudah menaruh rasa cemburu, rasanya pengin pulang saja dan berdiam di rumah. Abang dan adik sama saja. Tidak bisa dengan satu wanita. Heran aku."Zeyn, kasi aja sama Husna. Setelah itu kamu masuk lagi, ya. Mas mau kamu yang milih," imbuhnya sembari memegang pundakku.Aku berlalu keluar ruangan dan memberikan putriku pada Husna. Kembali menemui Jafra sesuai permintaan suamiku."Ze
Bab 59"Apa? Jangan suka buat orang penasaran," ucapku.Papa dan mama mertuaku tertawa pelan melihat mimik wajahku setelah mengucapkan kalimat itu. Jafra juga menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku jadi malu karena merasa bertingkah seperti anak kecil."Santai, dong, Sayang," ucap Jafra dengan menyapa sayang. Astaga. Apa dia tidak segan pada orangtuanya dengan kata sayang? Apalagi belum resmi menjadi suamiku."Sayang? Huss! Sembarangan Anda," marahku, kupalingkan wajahku ke arah Gladis yang masih makan disuapi Husna dan Titin secara bergantian."Ha-ha-ha-ha, okelah, Bu Zeyn yang saya hormati. Begini, saya nggak mau mendengar kalau Ibu berteman dengan orang yang tidak dikenal sama sekali. Dan saya nggak mau Anda terus terlarut dalam kejadian yang telah menimpa rumah tangga Ibu. Hati-hatilah pada siapa pun. Terutama saudara sendiri, Bu.""Biasa aja, nggak usah panggil Ibu," sahutku, lalu memandang ke langit-langit restoran dengan menaik
Bab 58"A-apa lagi? Jangan nakut-nakuti, ya?""Saat ini Naya ingin menghancurkan bisnis Arul yang sekarang dikelola oleh papa mertuamu. Kamu tahu atas nama siapa semua wisma dan hotel milik Arul?""Ya, atas nama papanya lah.""Ha-ha-ha-ha, Zeyn ... Zeyn ... polos bener kamu." Dia tertawa sambil menutupi mulutnya."Nggak usah sok akrab!""Ya, udah. Aku pergi aja. Dan aku nggak akan temui dan kasi tau apa pun rahasia jahat mereka ke kamu.""Aduuuh, apaan, sih? Aneh!""Ok. Ya, atas nama kamulah. Ih!""Parah Anda. Saya nggak percaya kalau masalah nama. Oya, kenapa ... Naya dan Dina menyarankan Meta untuk meminta pertanggungjawaban pada Arul. Kan dia tau siapa yang menghamilinya.""Gini, awalnya Meta menolak saran Naya. Tapi tidak ada satu pun laki-laki yang dia kencani menanggungjawabinya. Terpaksa dia datang pada Arul. Nah, saat Meta meninggal, anak ada pada kamu kan? Dina dan Naya tepuk tangan, Zeyn. M
Bab 57Di hari yang sama, aku ke kamar Husna dan Titin untuk menanyakan perihal tentang isi chat dari Dina."Husna, Titin, saya mau bicara sesuatu. Ayo, ke depan TV," ucapku dengan pelan agar mereka tidak tersinggung.Setelah mereka duduk di atas karpet, aku bertanya, "Kalian jawab dengan jujur, ya. Siapa yang menyampaikan pada Dina kalau saya dan Naya berkelahi di pasar?"Husna dan Titin saling pandang dan sama-sama menceritakan kening. Aku tidak tahu apakah mereka pura-pura heran atau memang tidak tahu."Maksudnya, Bu?" Husna masih mengernyitkan keningnya."Baca," ucapku, sembari memberikan ponselku pada mereka untuk menunjukkan isi chat dari Dina."Lho, kok, Bu Dina tau?" Titin kembali heran. "Apa kau yang ngasi tau, Na?""Mana ada, Tin. Sumpah mati aku, iya. Paling haram samaku nyampein cerita apa pun tentang Bu Zeyn. Nggak ada untungnya samaku, Tin."Aku percaya dengan omongan Husna. Lalu siapa? Nah, aku yakin ini p
Bab 56Sebuah benda berbahan dasar tanah liat yang ada di dekatku kulemparkan. Emosiku semakin memuncak karena ucapannya. Tidak seharusnya dia mengatakan itu pada sahabatnya. Sudah menyakiti, ditambah lagi akan berbuat kasar."Wadawwww ...."Benda itu mengenai kepalanya. Lalu kuseret dia ke luar rumah. Najis kalau wanita yang tidak berakhlak dan jauh dari sopan santun masuk ke rumahku.Kujambak rambutnya dengan kencang dan berkata, "Sekali lagi kau datang padaku dengan niat buruk, kubunuh kau! Paham!""Lepaskan! SAKIT, ZEYN! LEPAAAS!" teriaknya sembari memegang tanganku agar terlepas dari rambutnya."Nggak akan kulepas sebelum kau iyakan permintaanku!""I-iya, iya!""Jawab yang tulus biadab!""Iyaaa!"Barulah kulepaskan jambakanku. Kudorong dia ke luar pagar, lalu kututup kembali pagarnya. Saat berbalik arah, dia malah berteriak seperti orang gila. Anak orang tajir dan punya pendidikan tinggi, bisa-bisanya s
Bab 55 [Ya, ini aku. D I N A.][Kaget?] 'Sepupu tidak berakhlak!' makiku dalam hati. Aku mengabaikan chat Dina dengan tidak membalasnya. Masih ada duka dalam hatiku, tapi Dina setega itu padaku. Bukannya ikutan bersedih, malah mengucapkan selamat dan memberikan react ketawa. Dokter gila! [Zeyn, balas, dong.][Owh, aku tau kalau kamu lagi nangis, ya.][Cup-cup-cup-cup.][Mirip dengan bayi yang bukan anakmu.][Ahhaaayy.] [Nggak pantes!] Celaan demi celaan terus dilontarkan Dina melalui pesan singkat. Aku memblokir nomor itu dengan terpaksa. Biar saja Dina bingung dengan keegoisannya. Aku tidak menyangka kalau Dina setega itu. Bukankah selama ini dia baik-baik saja padaku? Ponsel Arul yang ditinggalkannya, kini untukku. Sayangnya, aku tidak tahu kode membuka kunci kedua ponsel ini. Aku tidak pernah menyentuh barang-barang miliknya. Termasuk ponsel. Di keheningan, aku teringat dengan suaranya y
Bab 54Wanita ini selalu saja mengganggu konsentrasiku dalam segala hal. Cocoknya, orang seperti ini dimusnahkan dari permukaan bumi. Agar tidak ada lagi yang terluka selain aku. Dia bagaikan racun bagiku dan rumah tanggaku. Dia adalah sahabat dekat yang tega merampas kebahagiaanku bersama suami. Siapa lagi kalau bukan Naya. Anak orang tajir, miskin hati."Ya, ini aku, Zeyn. A-aku banyak salah sama kamu," akunya."Ngapain kau ke mari! Haa?!" bentakku di depan jenazah Arul."Ma-maafkan aku. Siksa saja aku, Zeyn. Siksa.""Aku bukan manusia laknat seperti kau! Aku masih punya hati nurani. Tau kau!""Zeyn, sudah berapa kali kubilang, maafkan aku. Ini memang salahku. Tapi, semua ini karena harta. Ya, aku nggak mau kau merasakan nikmatnya dunia. Aku nggak ingin kekayaan yang kau miliki melebihi yang dimiliki ayahku. Ka-karena, akulah yang selama ini di atasmu, Zeyn." Dia tertunduk dan meneteskan air mata."Nggak usah menyesal
Bab 53"Aduh kenapa? Halaaaahhhh, basa-basi!"Arul pergi ke arah mobilnya, lalu membawa dua kotak kecil. Dia memberikannya pada Gladis dan aku. Kubuka kotak untuk Gladis, isinya ada seperangkat perhiasan. Gelang tangan, anting, cincin, dan kalung. Setelah itu, kotak untukku juga kubuka, isinya sama juga bentuknya. Aku memakainya. Kalau urusan perhiasan mahal, istri mana yang menolak? Pertengkaran hebat pun bisa aman."Zeyn, maaf, ya. Cuma itu yang bisa aku berikan saat ini ke kalian berdua. Tadinya aku bingung mau ngasi apa. Kalau ngajak kamu, pasti kamu bawaannya marah terus. Males berantem sama perempuan yang mudah emosian, kek, kamu.""Apaan, sih? Kek, aku tukang marah aja. Gini-gini aku punya sisi lembut, lho." Aku memiringkan bibirku. Sambil bersungut-sungut."Ya udah, aku ngalah. Kan kata orang di pasar, yang waras ngalah. Ha-ha-ha," ledek Arul memancing tawa.Entah sudah berapa lama candaan seperti ini hilang. Aku juga tidak tahu kapa