Bab 16 : Terungkap (Bagian 2)
Sreeek! Sreeek!
Mata Zara seketika membulat ketika Rasyad merobek beberapa lembar gambar kakaknya, juga gambar beberapa budak, gambar Razi, dan kuda.
"Tu-tuan, ke-kenapa kau lakukan itu?" Zara berusaha merebut buku itu. Matanya kini dipenuhi kaca-kaca.
"Jangan menggambar makhluk hidup lagi," seru Rasyad dengan tatapannya yang datar.
"Kau boleh menggambar apa saja, istanamu, kamarmu, taman, atau pemandangan alam di Konstin. Asal jangan menggambar makhluk bernyawa. Paham?" tegas Rasyad.
"Ta-tapi kenapa, Tuan?" Zara menghapus air matanya yang hendak luruh.
"Gambar itu bisa menarik jin ke dalamnya. Nanti pun malaikat tak mau singgah di rumahku," ujar Rasyad menjelaskan.
Dahi Zara mengernyit.
"Jangan pasang wajah seperti itu. Dengarkan saja aku. Aku bukan hendak membatasi kesenanganmu. Hanya saja itu terlarang. Hemm." Kemudian Rasyad m
Bab 17 : HirabahAngin malam berembus kencang membuat arraya bertuliskan kalimat tauhid yang terpancang di sudut-sudut benteng gerbang Kota Barkah berkibaran. Cahaya purnama cukup terang menyelimuti suasana di malam ini. Tampak seseorang menunggangi kudanya dengan sangat terburu-buru ke arah pintu gerbang. Debu-debu dari tanah berpasir pun beterbangan terkena entakan keras tapak hewan mamalia itu."Ada seorang penunggang kuda ke arah sini!" teriak penjaga yang bertugas mengawasi dari atas menara.Beberapa penjaga gerbang pun segera bersiap sedia, siaga menyambut siapa yang datang. Penunggang kuda itu pun menuruni kudanya setelah sampai di hadapan para penjaga. Ia tampak terengah-engah berbicara kepada para petugas Klkesultanan.Setelah orang itu menjelaskan sesuatu, para penjaga pun membagi kelompoknya. Sebagian masih berjaga di tempat, yang lainnya pergi entah ke mana. Mereka tampak sangat tergesa-gesa. Sepertinya kabar ya
Bab 18 : Hirabah (Bagian 2)"Terjadi hirabah di sekitar Bukit Radu, keluarga Anda korbannya. Katanya beberapa terluka karena senjata tajam," jawab salah seorang petugas.Marie, Jasmine, Henry dan Benazir ternyata sedang dalam perjalanan pulang. Namun, tak menyangka rombongan mereka dicegat oleh para irhabi setelah beberapa orang pengawal berhasil terkecoh."Ap-apa?!" Mata Rasyad terbelalak, ia sangat terkejut dengan berita ini. "Bagaimana dengan keadaan mereka? Ibuku?" cecar sang panglima cemas."Kami sudah mengerahkan puluhan pasukan kesultanan menuju ke sana barusan. Masih belum tahu keadaan masing-masing korban hirabah ini. Semoga saja tidak parah dan bisa segera diselamatkan. Kereta kuda mereka juga sudah menuju ke arah Barkah," jelas sang petugas.Rasyad kemudian melesat menuju ke dalam kamar. Zara masih tampak terdiam di atas ranjang. Netra mereka bersirobok. Rasyad lalu mengambil sehelai kain sorban dari dalam
Bab 19 : Hirabah (Bagian 3)"Bagaimana kelanjutan penyelidikan kasus hirabah kemarin?" tanya Rasyad kepada salah seorang petugas kesultanan."Alhamdulillaah mereka semua sudah ditahan. Jumlah mereka ada dua belas orang. Tiga di antara mereka tewas. Sebenarnya empat, yang satu tewas berhadapan dengan pengawal bayaran Anda hari itu," jawab sang petugas menjelaskan."Alhamdulillaah. Berapa lama mereka direhab?" lanjut sang panglima dengan rahang mengeras. Ia sangat geram dengan para pelaku karena begitu sadis dan kejam kepada wanita. Ia teringat bagaimana luka parah yang diperoleh sang ibu juga bibinya."Sekitar dua pekan kita rehab mereka, setelah itu baru eksekusi, Tuan.""Hemm. Jangan lupa hubungi saya jika ada perkembangan, Akhi," ucap Rasyad sembari menekan pangkal hidungnya. Tiga hari ini ia tak dapat istirahat dengan benar karena ikut memburu para irhabi yang menyebabkan kematian ibu dan bibinya.***
Bab 20 : Pertemuan dengan Razi"Ini barangnya, Henry," ujar Tuan Rasyad sembari menurunkan karung dan kantung berisi kain sutra juga perhiasan bersama Hamri.Tuan Henry dan kulinya pun kemudian memasukkan barang-barang itu ke dalam tokonya satu per satu."Terima kasih, Sepupu," ucap Tuan Henry kepada Tuan Rasyad sembari melirikku. Hhhgg, genitnya muncul lagi. Menyebalkan!"Ya, sama-sama," jawab Tuanku. "Aku pergi dulu, ya," lanjut Tuan Rasyad seraya meraih pergelangan tanganku. Desiran itu kembali datang dengan sentuhannya."Hamri, kau pulang duluan," perintah Tuan Rasyad sambil telapak tangan kanannya menepuk pundak Hamri."Baik, Tuan," jawab Hamri, kemudian ia berlalu membawa kereta kami."Aku mau cari buah dulu. Kau mau sesuatu?" Tuan menatapku. Astaga, manik birunya itu sungguh indah."Emm, akuu tak mau apa-apa, Tuan," jawabku lirih."Kau ini, aku mau memb
Bab 21 : TerbongkarAh, cuaca lumayan panas hari ini. Pakaian jadi cepat kering. Aku sedang melipat pakaian yang baru saja diangkat."Putri, eh! Bibi ...?"Deg!Tiba-tiba terdengar suara bocah kecil. Aku ... aku kenal suara itu!"Razi!" Aku terpekik, lalu langsung menghambur memeluk keponakan kesayanganku.Bulir bening menyeruak dan seketika bercucuran tanpa dapat tertahan."Sayaaang, bibi sangat merindukanmu, Naak .... " Kupeluk dan kuciumi Raziku.Bocah itu juga balas memelukku. "Bibi ke mana saja ...?" Razi ikut menangis.Hatiku membuncah penuh dengan kebahagiaan. Terima kasih, Tuan ... dalam hatiku sangat bersyukur atas kebaikan Tuan Rasyad. Kebaikannya bagaikan Dewa ... aku sangat berhutang budi dengannya."Maafkan bibi, Nak." Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi bocah yang kini terlihat sangat kurus itu. "Razi, jangan pa
Bab 22 : Keresahan"Sudah, tak perlu dipotong," seru sang panglima sembari meraih apel yang dipegang gadisnya. Sengaja ia menyentuh jemari sang budak cantik beberapa jenak, menyebabkan sengatan yang merampat seperti kilat ke relung hati Zara, lalu sang pria pun memakan buah itu sambil terus menatap tajam ke arah Zara yang kini mulai terlihat pucat dan gemetar.***Gadis cantik yang kini tampak pias itu hanya tertunduk di atas ranjang besar sang tuan tampan. Sang pria kembali menanggalkan pakaian di hadapannya. Jantung sang gadis jelita seolah akan pecah di rongga dada ketika sang panglima tampan semakin mendekat dan mulai mencumbui bingkai wajahnya. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyerang bertubi-tubi mengiring sentuhan lembut tuannya. Gadis itu tak sanggup lagi menolak kali ini. Tak mungkin ia menjilat kembali apa yang sudah ia lontarkan dari lidahnya sendiri."Aku suka aroma tubuhmu, Shaki." Suara itu terdengar parau. Sang pan
Bab 23 : Satu KesempatanSudah tiga hari Razi belajar di rumah belajar asuhan Syaikh Muhammad Abdul Ghafur. Ia tampak senang, setiap pulang dari sana, bocah kecil itu selalu bercerita apa saja kegiatannya. Razi bilang pagi-pagi ia dan kawan-kawannya akan berolah raga, setelah itu mereka belajar menulis dan membaca. Selain itu, ia juga diajarkan bela diri.Aku bahagia melihat perkembangan jiwa Razi. Awal mula datang ia masih pendiam dan terkesan murung, tapi sekarang semua sudah lebih baik. Ia bagai terlahir kembali ke dunia. Inilah Raziku, anak yang cerdas dan ceria.Sungguh di dalam hati aku bersyukur kepada Tuanku, karena lewat perantaranyalah Razi kembali seperti semula. Terima kasih, Tuan ... terima kasih yang tak terhingga.***Sehabis sarapan, waktunya Razi berangkat ke rumah belajar. Tuanku tidak ikut sarapan karena ini hari Kamis, ia biasa saum. Kata Benazir, umat Islam banyak ajaran amalan yang
Bab 24 : Wafatnya Sang SulthanAku berbaring di atas dada bidang pria tampan yang entah sejak kapan kusimpan rasa kepadanya. Rasa yang semakin hari semakin merambat, mencengkeram, memenuhi daging merah di dalam rongga dada. Tuan ... aku mencintaimu ....Rasa itu kian bertambah karena kebaikannya, karena keluasan hatinya memaafkan kedustaanku selama ini, dan memberikanku kesempatan untuk mengembalikan kepercayaannya yang telah kurusak."Zara, bagaimana pendapatmu mengenai agama Islam?"Hemm, mengapa Tuan tiba-tiba bertanya tentang hal itu?"Emm, maksudnya mengenai apanya, Tuan?" tanyaku yang masih nyaman di dadanya yang sedikit berbulu."Kau telah melihat bagaimana negara ini menerapkan hukum-hukum Islam. Tentu berbeda dengan di kerajaanmu dulu. Bukan begitu?" tanyanya."Tentu ... tentu saja, jauh berbeda, Tuan." Kumainkan jemari di dadanya. Ah, betapa menenangkan berada di sini."Apa
Bab 73 : Ekstra PartSetelah Hurin sembuh sepenuhnya, ia pun diboyong kembali ke Kesulthanan Konstin. Sampai di sana, wanita muda jelita itu disambut meriah oleh sang ibu, Zara Shaka Arb. Hurin sangat bahagia. Kini ia merasa sangat sempurna dengan keluarga yang lengkap.Selama hampir dua bulan Hurin mengalami nifas akibat kehilangan janin yang ternyata sudah berusia sebulan lebih. Selama itu juga ia mengonsumsi madu pilihan juga ramu-ramuan dari tabib istana untuk mengembalikan kesehatan dan kesuburannya. Sejak wanita jelita itu masuk Islam, inilah kali pertama dalam waktu yang lama ia tidak menjalankan ibadah shalat. Ia sangat rindu untuk melakukan itu.Inilah hari di mana ia telah selesai melewati masa nifas yang sampai empat puluh hari. Akhirnya kerinduannya untuk shalat terobati. Karena merasa bersih di waktu Isya, ia pun mengqada shalat magrib, dilakukan di waktu Isya. Setelah selesai shalat, wanita muda itu duduk d
Bab 72 : TerangFakhrurrazi bersama lima orang pengawalnya heran melihat perbatasan di lembah Sira. Tenda-tenda milik pejabat dan tentara Negara Konstin telah bersih. "Ke mana semua orang?" tanya pria itu. Matanya diedarkan ke sekeliling tempat itu."Mereka tidak mungkin pulang, Tuan! Kita tidak melihat mereka menuju jalan pulang." Salah seorang pengawal mendekati Fakhrrurazi. Mereka semua masih di atas tunggangannya masing-masing.Sang pejabat menteri mengangguk. "Kita menyebar dan berkumpul lagi di sini untuk melaporkan hasil penglihatan masing-masing sampai menjelang Dzuhur. Kau dan kau ke arah sana, kau juga kau ke sana. Aku dan dia ke sana!" perintah Fakhrurazi mengarahkan kelima prajuritnya."Baik, Tuan!" jawab para prajurit itu serentak.Sampai menjelang waktu Dzuhur, Fakhrurazi bersama seorang pengawal yang memeriksa arah barat, tidak mendapat tanda-tanda keberadaan orang
Bab 71 : Hurin?"Ini surat dari Putri Mahkota Andusia," ujar salah seorang utusan dari Kerajaan Haura.Sulthan Abdul Aziz memberi isyarat kepada Fakhrrurazi. Sang pejabat menteri pun mengambil surat itu kemudian membacanya. Betapa terkejutnya ia ketika membaca tulisan tangan sang istri.'Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.Aku memutuskan untuk tidak kembali kepada engkau, Suamiku ... Raja Negeri Haura mejanjikanku kesenangan. Lagi pula kau hanya pejabat menteri biasa. Aku pasti lebih bahagia menjadi permaisuri dari Raja Hamran.Maafkan aku mengecewakanmu. Katakan kepada Sulthan Abdul Aziz, tidak perlu repot lagi berperang. Aku sudah memutuskan untuk memilih Raja Hamran dibandingkan suamiku sendiri.Oh, iya, aku tunggu berita kau menalaqku, Tuan Fakhrurazi.TertandaRoseline'Seketika
Bab 70 : Keputusan RoselineSetelah setengah harian mengobrol bersama Lucy, Roseline dan Jena pun pamit untuk pulang seusai shalat Dzuhur. Namun, sang putri berniat mengunjungi Elisa sebelum kembali ke istana."Wah, aku rindu sekali dengan Elisa, Tuan Putri!" seru Jena senang.Roseline mengulas senyuman. "Kita ke pasar dulu beli camilan dan buah untuknya. Dia 'kan sedang hamil, tentu dia senang dibawakan buah seperti waktu itu," ujar wanita cantik tersebut.Jena mengangguk dengan bibir yang senantiasa tersenyum.Rumah Elisa dan Steve berada di pinggiran kota. Melewati sedikit wilayah yang penuh dengan pepohonan. Hutan yang tidak begitu lebat. Bersama Nu'man, kusir baru keluarga, Roseline dan Jena menuju ke sana setelah mendapatkan camilan dan buah-buahan dari pasar.Tengah hari itu langit begiu cerah. Perjalanan menuju rumah Elisa memang t
Bab 69 : Keyakinan DiriKarena pikiran berat yang senantiasa mengusik, Roseline jatuh sakit. Badannya panas dan beberapa kali muntah, hingga membuat orang di sekitarnya khawatir. Fakhrrurazi memutuskan untuk mengambil cuti beberapa hari agar bisa merawat sang istri."Bagaimana keadaannya?" tanya Zara cemas kepada putranya setelah tiga hari sang putri sakit. Tampak di tangannya membawa sepinggan kecil potongan buah."Alhamdulillah, panasnya sudah turun, Bu," jawab Fakhrurrazi di depan pintu kamarnya sambil memegang bejana air yang sudah kosong. Sepertinya ia ingin ke dapur untuk mengisinya.Zara kemudian melangkah masuk melewati dua lapis tabir yang menyekat ruang itu menjadi tiga bagian. Tampaklah Roseline yang tengah melamun menatap ke arah jendela sambil berbaring di ranjangnya. Haris terlihat tengah memijat kaki sang ibu dengan jemari kecilnya.Ketika menyadari kedatangan Zara
Bab 68 : Kecamuk di Dalam HatiMenjelang dini hari Fakhrurrazi kembali dari bertugas. Ia melihat sang putra dan istrinya telah terlelap. Oleh karena tubuh yang merasa begitu lelah, seusai membersihkan diri lelaki itu pun merebahkan diri di samping Roseline. Lengan kekarnya memeluk pinggang ramping sang istri. Tidak lama kemudian pria itu terlelap dengan sendirinya, ia tak menyadari jejak air mata yang ada di pipi wanitanya.Ketika waktu hampir subuh, Roseline terbangun. Kelopak mata indahnya mengerjap hendak mengembalikan kesadaran. Seketika ia menyadari ada lengan yang memeluk perutnya. Kembali pikiran wanita jelita tersebut terusik dengan kenyataan bahwa pria yang kini berada dekat tanpa jarak itu adalah kakaknya.Roseline menatap lekat wajah lelap sang pria. Sungguh rupawan, walau yang ia tahu pria itu dari ayah berbeda, tetapi bukankah mereka lahir dari rahim yang sama? Begitu pikirnya. Garis wajah di had
Bab 67 : Sebuah Aib yang BesarTiga hari terlewati semenjak Fakhrurrazi menyampaikan berita bahwa Raja Negara Haura hendak merampas sang istri. Roseline sering memikirkan hal itu. Namun, ia selalu mencoba menyembunyikan perasaan kacau juga pikirannya yang berkecamuk. Walaupun sang suami telah mengatakan jika peperangan akan tetap terjadi dengan atau tanpa kejadian ini. Hal itu tetap menjadi beban pikiran bagi wanita jelita tersebut."Jadi, Kesulthanan Konstin akan berperang dengan Kerajaan Haura dua bulan ke depan, Tuan Putri?" tanya Lucy memastikan setelah mendengar cerita dari Roseline.Sudah beberapa pekan sang putri tidak berkunjung ke kastil. Ia sudah merindukan Jena, Lucy, dan Benazir."Ya, begitulah, Nek," jawab sang putri. Mereka tengah duduk berdua di dalam ruangan Lucy."Tapi, kedua negara ini memang tidak pernah akur, bukan? Aku sering mendengar
Bab 66 : Menantang BalikRahang Fakhrurrazi tampak mengeras. Ia sangat geram mendengar isi surat tersebut. Bagaimana tidak, seseorang yang begitu dekat dan ia pedulikan saat ini hendak dirampas begitu saja oleh raja yang kafir seperti Hamran.Langsung saja sang pejabat menteri mencabut pedang dari sarungnya. Lalu melangkah dengan cepat ke arah utusan tersebut.Secara spontan Rasyad menghentikan langkah Fakhrurrazi yang terlihat begitu marah. "Sabar, Razi! Kendalikan dirimu, mereka mu'ahid!"Mu'ahid adalah kafir asli yang darah dan hartanya haram untuk ditumpahkan. Mereka hanya utusan untuk menyampaikan pesan.Sulthan Konstin pun turun dari kursi singgasananya mendekati Fakhrurrazi dan menepuk pundaknya, berusaha menenangkan. "Sabar, Akhi ... kita tidak akan menyerahkan istri Anda kepada kafir seperti mereka." Ia memahami kemarahan Fakhrurrazi.
Bab 65 : Pesan dari Raja Negeri HauraKeesokan harinya, Fakhrurrazi mengajak Rasyad untuk sarapan pagi bersama di ruang keluarga mereka."Hari ini kita akan menghadap sulthan, Tuan. Bagaimana menurut Anda?" tanya Fakhrurrazi kepada Rasyad di sela-sela makan pagi mereka."Baiklah," sahut Rasyad singkat sembari meraih cawan di hadapan, lalu meneguk airnya perlahan."Jadi Tuan Andrew ini kakekku?" tanya Haris setelah menyimak pembicaraan orang dewasa di sekitarnya. Ia juga terkejut dengan kenyataan ini."Iya, Sayang. Panggil kakek ya ...." ujar Zara lembut sembari membelai rambut halus sang cucu."Baik, Nek!" sahut Haris, "Aku senang punya kakek yang hebat bermain pedang seperti Tuan Andrew!" lanjutnya girang sambil mengangkat kepalan tangan ke atas.Rasyad dan Fakhrurrazi tertawa melihat tingkah bocah kec